NovelToon NovelToon

CLASS CLOWN!

Bab 1 : Class President.

Jarum jam terus berdetik, angka 10 sudah terlewati 10 menit yang lalu yang berarti bel masuk sudah kembali berbunyi setelah istirahat pertama tadi. Murid - murid kelas tersebut sudah mulai masuk satu persatu dan kembali ke mode belajar, mempersiapkan diri mereka menerima pelajaran selanjutnya sebagai siswa kelas 12.

Seorang guru datang membawa sebuah map dan tas, mengabsen satu persatu anak - anak didiknya sebagai wali kelas dan menemukan fakta bahwa salah satu anaknya hilang entah kemana. Absen paginya terisi, namun setelah istirahat pertama perempuan itu hilang seakan ditelan bumi. Beliau meminta bantuan beberapa anak didiknya untuk mencari perempuan itu selagi ia menyiapkan bahan untuk voting hari ini.

Hari kedua mereka sebagai kelas 12 akan diisi dengan pemilihan ketua kelas. Siapa yang mau menanggung segala bentuk kelakuan anak - anak dikelas, siapa yang mau mengatur dan menjaga nama baik kelas mereka nantinya.

"Jaka Ardinan!"

Seruan dari seluruh siswa dan siswi dikelas tersebut membuat siswa bernama Jaka Ardinan yang namanya disebut itu tersenyum dengan bangga.

"Mulai hari ini kamu resmi jadi ketua kelas 12 IPS 1."

Jaka mengangguk senang, "terima kasih, pak."

Setelah melakukan voting bersama teman - temannya dikelas, namanya berakhir dengan voting terbanyak meskipun ada 3 orang yang masih belum masuk kedalam kelas.

Ada 3 kandidat yang digadang - gadang handal menangani jabatan ketua kelas, namun 2 lainnya sudah pernah satu kelas dengan Jaka dan berakhir kalah voting. Sedangkan Jaka sudah 3 kali berturut - turut menjadi ketua kelas dan ia tidak akan pernah bosan melakukannya.

Reputasinya sangat bagus disekolah, menjadi murid pintar dan berbakat, banyak melakukan perlombaan akademi yang bisa membuat dirinya pulang membawa medali.

Segala hal tentang Jaka Ardinan memang sangatlah sempurna bagi banyak murid disana. Ingat juga! Fakta bahwa Jaka tidak akan pernah bisa jatuh dan lemah karena siapapun.

***

"Gue tau arah jalan ke kelas kok,"

"Tapi Pak Max minta kita jemput lo, Marissa."

Perempuan dengan nametag Marissa Putri itu menghela nafas dan memutar matanya malas. Hal ini selalu terjadi kepadanya hampir setiap hari, ada saja teman sekelasnya yang dengan rela menuruti kemauan guru mereka untuk menyusulnya meskipun mereka tidak tau Marissa dimana.

"Udah sana balik duluan, sebelum gue bikin lo jungkir balik ya disini, sumpah." Marissa berusaha menahan suara tingginya agar tidak keluar.

Untungnya temannya itu pergi setelah ia meminta mereka, sedangkan Marissa kembali masuk kedalam kamar mandi dan mengambil alat makeup yang sempat ia tinggalkan.

Perjalanan kembali menuju kelas ia lanjutkan setelah mampir ke loker untuk meletakkan barang - barangnya, lorong sudah sangat sepi dan hanya diisi dengan suara - suara guru yang mencoba menjelaskan pelakaran kepada murid - muridnya.

12 IPS 1

Papan kelasnya sudah didepan mata, suara seruan anak - anak dikelas ia dengar. Marissa mengintip dari jendela, melihat beberapa anak sampai berdiri untuk menyoraki salah satu murid didepan kelas.

"Udah kepilih?" Batinnya sembari masuk kedalam kelas tanpa memperhatikan siapapun bahkan gurunya disana.

Keriuhan itu perlahan memudar sesaat setelah Jaka kembali duduk dan pelajaran ketiga dimulai.

"Heboh banget ketua kelas doang." Gerutu Marissa setelah melirik 2 perempuan disebelahnya yang masih senang Jaka jadi ketua kelas.

Mereka berhenti berbicara sesaat setelah mendapat komentar dari Marissa, sedangkan teman sebangku Marissa tertawa melihat itu.

"Kok lo yang marah sih?" Marissa menoleh, "alay soalnya, begituan doang heboh banget." Jawab Marissa tanpa beban.

Sesaat setelah Marissa menoleh kedepan, ia bertatap mata langsung dengan Jaka, si ketua kelas. Matanya tajam setajam belati, raut wajahnya datar, namun Marissa tidak takut sedikitpun. Marissa malah memasang wajah mengejek kepada Jaka karena ia tau Jaka sedang membuat rencana untuk menegur segala perbuatannya dihari yang akan datang.

***

"Hari ini gue balik langsung ke rumah aja."

"Terus? Gue disini sendirian dong? Gila lo, bocil!"

Jaka berdecak sembari memasang tasnya ke salah satu bahunya, "ya lo balik juga apa susahnya sih?"

"Jauh ya, bensin gue gimana kabarnya?"

Jaka melirik ke suatu arah setelah ia sampai didepan pintu kelas yang sudah kosong itu, "alay banget, gitu doang heboh." Ucapnya sembari mem-blocking pintu dengan tangan dan tubuhnya.

Alasannya?

"Lo sengaja ya?"

Suara itu membuat Jaka menoleh dan mematikan panggilan ponselnya dengan sang kakak, "emang." Ucapnya singkat.

"Minggir, gue mau balik." Meskipun Marissa memaksa dan mendorong tubuh Jaka ia tetap tidak bisa keluar.

"Jaka! Keburu ditutup gerbang sekolahnya tau!"

"Biarin aja, biasanya kan lo naik pager." Seketika Marissa terdiam.

Jaka mengeluarkan sebuah kertas dari sakunya, memberikan itu kepada Marissa dan meminta perempuan itu untuk membukanya disana.

"Apaan sih! Seniat itu lo jadi ketua kelas sampe bikin surat perjanjian? Udah deh Jaka, gak usah banyak gaya."

"Khusus buat lo," sautnya, "spesial buat salah satu Class Clown IPS."

"Eh, satu - satunya maksud gue," Jaka memasang topinya dan perlahan mundur, "satu - satunya Class Clown disekolah dan sialnya gue harus nanggung kelakuannya selama 6 bulan kedepan." Jaka beralih pergi meninggalkan Marissa dipintu kelas.

"Sumpah, itu anak serius amat hidupnya."

***

Marissa melangkahkan kakinya masuk kedalam sebuah rumah besar disalah satu perumahan elite disana, ia melihat sebuah mobil yang sudah lama tidak ada disana.

Ia menghela nafas, melepas sepatunya dan mulai masuk tanpa mengatakan apapun, namun seseorang yang selama ini pergi sudah berdiri dan menunggunya sejak tadi.

"Icha."

"Ngapain balik sih?" Tanya Marissa datar.

"Cha, kita masih berharap kamu setuju sama perjanjiannya loh."

Marissa terkekeh geli, "perjanjian apaan sih? Soal harta papa sama mama?"

"Gak disekolah, gak dirumah, ada aja yang bikin perjanjian. Sayangnya, perjanjian mereka pada gak ada untungnya di aku."

"Cha! Ini juga kan untuk kepentingan kita bareng - bareng Cha!"

Marissa berhenti melangkah ditangga dan menoleh kebawah dimana kakak perempuannya berada, "kepentingan bersama apa kepentingan suami kakak?"

"Kamu gak boleh ngomong gitu, Marissa!"

"Kenapa enggak? Aku berhak kali mempertahankan apa yang udah papa sama mama perjuangkan dari dulu, daripada diambil sama si bangsat yang masih aja kakak sayang - sayang itu." Sarkasnya membuat si kakak tidak bisa berkata - kata lagi, sedangkan temannya yang berada dibelakang hanya bisa diam.

"Aku kan udah bilang dari dulu, kalo kakak milih minggat ke Paris sama dia yaudah gak usah balik, ngapain terusan disini?"

"Sok bikin perjanjian lagi, punya apaan kakak mau menghidupi aku yang masih jauh ini masa depannya?"

"Cinta? Kakak aja sana yang makan, aku mah ogah."

Marissa berlari kembali turun untuk membuka pintu rumah tersebut, memberi isyarat untuk meminta kakak perempuannya dan temannya pergi dari sana sebelum ia kembali meledak - ledak.

"Bahasamu kasar tau gak! Keliatan kalo mama sama papa gagal didik kamu!" Umpat si kakak sebelum keluar.

"Enggak tuh, tapi yang pasti kakak lebih gagal daripada aku."

Kakaknya menoleh, menatap sang adik dengan mata berair dan dada yang sesak. Sayangnya, Marissa malah menatap kakaknya dengan tatapan remeh dan tidak suka sebelum menutup pintu dengan keras.

"Manusia emang gak ada yang punya malu apa ya?" Ucapnya random, "sialnya, gue juga manusia."

Ia melangkah menuju kamarnya, meletakkan segala perlengkapan sekolahnya dimeja termasuk kertas perjanjian dari Jaka yang sudah ia buat kusut.

"Perjanjian macem apa yang isinya cuman menjunjung tinggi martabat seorang Paduka Raja Jaka Ardinan, iya benar, perjanjian yang dia buat sendiri." Marissa tertawa setelah membaca surat perjanjian itu untuk sekali lagi.

Hanya tentang peraturan yang harus Marissa lakukan sebagai anak sekolahan biasa, tapi juga hal ini demi nama baik Jaka.

Apakah Marissa mau melakukannya?

***

Bab 2 : What Marissa Do?

"tapi maksud dia baik sih bikin peraturan gini."

Marissa menoleh dan menatap tak percaya temannya, Rossa.

"Yang bener aja lo ngomong begitu," seru Marissa, "kalo gue nurutin kemauan dia dengan tanda tangan suratnya, gue bener - bener jadi manusia paling rugi dan bodoh didunia." Ucapnya penuh emosi.

"Ya enggak lah, bukannya lo malah jadi lebih baik dari sebelumnya?" Heran Rossa.

"Menurut lo selama ini gue gak baik gitu?"

Rossa yang mulai lelah pun memutar bola matanya malas, "dengan lo bolos dan bahkan kabur dari sekolah itu sudah masuk kelakuan buruk ya, bestie."

"Ya kan itu masuk ke kelakuan gue, bukan ke sifat gue, beda dong." Serunya mencoba membela diri.

"Udah deh, saran gue cepetan tanda tangan daripada lo dihantui sama paketu tau gak." Rossa mengambil bulpoin miliknya dan meletakkannya didepan Marissa tepat diatas kertas perjanjian yang sudah sangat lusuh itu.

"Mana bisa dia menghantui gue, yang ada gue yang bakalan bikin dia kepikiran tiap malem tau gak," ia menyaut kertasnya dan memasukkan kertas itu ke kolong meja, "sampai kapanpun, gak bakalan ada yang bisa kasih gue peraturan dan merubah gue seperti apa yang orang lain minta, titik."

"Oh ya?"

Suara itu datang dari arah jendela disebelah Marissa, membuat 2 perempuan yang sedang berdiskusi alot tadi kaget bukan main dan hampir terjungkal.

"Anjing! Jaka! Kaget goblok!" Umpat Marissa reflek.

Jaka menatap Marissa datar seperti biasa, "mulutnya bisa diatur gak? Banyak kata bagus yang masih bisa dipake untuk mengekspresikan kaget lo."

"Reflek, bukan urusan lo juga, kan?" Saut Marissa.

"Urusan gue, kata siapa bukan?"

Marissa mendelik tidak percaya, "apaan sih, jangan menganggap jabatan lo sebagai ketua kelas tuh setinggi itu ya! Freak tau gak!"

"Enggak tuh, khusus lo doang."

"Ewh, sounds weird!"

"Mana suratnya?" Tanyanya sambil mengulurkan tangan.

Marissa mengeluarkan kertasnya dan memberikan kertas itu kepada Jaka, sesaat setelahnya Jaka menghela nafas dan mengeluarkan kertas baru yang ternyata berisi perjanjian yang sama. Marissa dan Rossa mendelik untuk kesekian kalinya karena tidak mengira Jaka menyiapkan cadangan kertas perjanjiannya untuk Marissa.

"Buruan, tanda tangan, pake bulpen punya Rossa."

"Siapa lo nyuruh - nyuruh?"

"2 jam, istirahat pertama nanti harus udah tertanda tangan." Ucap Jaka lalu ia masuk kedalam kelas lewat pintu.

Sedangkan Marissa hanya diam seperti tidak terjadi apa - apa, namun Rossa yang duduk disebelahnya dagdigdug bukan main.

***

"Kalo misalnya lo pake cari yang pertama, agak rumit, jadi gue saranin pake yang dijelasin sama guru les lo aja kalo menurut lo lebih bisa dipahamin."

"Gak bakalan dimarahin Bu Retno kan Jak kalo gue pake cara lain?"

"Ya enggak lah, lagipula hasilnya sama kan cuman cara pengerjaan aja yang beda."

"Oke deh, makasih ya Jaka."

"Yoi bro sama - sama."

Setelah sibuk mengajari teman dari kelas lain, Jaka berniat pergi ke kantin untuk makan dan membeli minuman. Hari ini ia ada latihan taekwondo di sekolah dan ia harus punya banyak botol air karena saat latihan kantin akan tutup, ia juga lupa dengan bekalnya dirumah.

Namun, saat diperjalanan, ia melihat Marissa berjalan dengan senyum mengangkat sebuah kertas ditangannya keatas. Berjalan seolah ia adalah model dan memakai lipstik ... Oh no, Marissa!

"Marissa!" Teriakan Jaka membuat Marissa berhenti berjalan dan menoleh lalu berlari kearah Jaka.

"Jaka! Nih," ia memberikan kertas yang Jaka duga adalah surat perjanjian yang ia buat, "udah gue isi ya."

Jaka melihat suratnya, helaan nafas seketika keluar begitu saja dan Jaka langsung meraih tangan Marissa dan menggeretnya menjauh dari keramaian.

"Jaka! Lepasin gue gak!?"

"Jaka! Sakit goblok!"

"Apaan sih lo!"

Ia berhenti didepan kamar mandi perempuan dan membuka pintunya tanpa ragu, mendorong masuk Marissa kesana dan bergegas mengunci pintunya.

"WOY! JAKA GAUSAH BERCANDA YA!" Teriak Marissa heboh.

"Lo ngajakin bercanda duluan, kan?" Saut Jaka santai sambil bersandar ditembok dan menyilangkan tangannya didada.

"JAKA BUKAIN GAK!"

"Hapus dulu makeup lo yang norak itu."

"BUKAIN CEPETAN!"

"Hapus dulu Sa."

"BUKAN URUSAN LO YA BANGSAT! MUKA PUNYA GUE JUGA! SOK NGATUR LO!" Teriaknya tanpa henti sembari menggedor - gedor pintu kamar mandi itu.

"Bodo amat dah, tungguin BK ya, gue laper pengen makan." Ucap Jaka sebelum akhirnya meletakkan kunci diatas karpet kamar mandi dan pergi ke kantin untuk sarapan.

"JAKA JANGAN PERGI LO! WOY! BUKAIN PLEASE SIAPAPUN!"

***

“Jaka!” seruan heboh itu membuat Jaka menoleh dan mencari asal suara tersebut, “cewek lo masuk BK tuh.” Lanjutnya.

Jaka yang sudah sangat paham dengan maksud dari aduan tersebut pun hanya berdecak pelan.

“heh? Sejak kapan vampire modelan Jaka ada cewek?”

Jaka yang mendengar itu kembali berdecak lebih keras, “salah dia sendiri dan gue bukan vampire!” Sautnya.

“lagian si Jehian bilangnya begitu, ya gue sebagai sohib lo percaya dong.”

“dia temen sekelas gue, agak gak bisa diatur, jadi harus didisiplinkan.”

“Kenapa harus?” heran Jehian, “lo diminta buat ngurusin dia?”

Jaka mengangguk, “semacam itu, everyone at school has raised their hands the same way she’s been acting all along.”

“Pada akhirnya mereka meminta gue untuk memanfaatkan jabatan sebagai ketua kelas untuk ngurusin dia.”

“apa gak berlebihan? Tugas lo sebagai ketua kelas kan gak harus menanggung semuanya, Ka,”

“lo cuman sebagai perwakilan kelas aja gak sih?”

“Masalahnya adalah ini itu permintaan orang pentingnya sekolahan, kalo aja bukan dari beliau juga gue mana mau.” Jelas Jaka.

“Kok lo bisa kenal orang sepenting itu? How dude?” Heboh Jehian dan Haris.

“Beliau sempet ketemu gue pas gue balik menang olim kemarin, kenal dah.”

Haris bukannya terkesima dengan kemampuan bersosial Jaka yang sudah sampai ditingkat orang penting sekolahan, ia malah terkesima dengan kemampuan Jaka yang bisa dengan mudah memenangkan sebuah olimpiade besar.

“Gitu tuh dapet uang ya?” tanyanya membuat Jaka mengerutkan dahinya, “ ya iya lah?” saut Jaka ikut seolah bertanya.

“Ajarin kita dong Ka, kalia aja rejeki kan bisa ikutan olim terus dapet duit.” Keluh Jehian.

Jaka menghela napas berat dan mengusak rambutnya kesal, “telat monyet! Kita abis ini lulusan!”

***

"Ewh, itu kertasnya diapain sama Marissa, Jak?" Tanya salah satu teman Jaka.

Jaka melirik kertas didepannya, "menyalurkan bakat terpendam, gapapa lah."

Jaka meraih sebuah map yang biasa ia isi dengan kertas - kertas penting dari sekolah ataupun kertas ujiannya, untuk kesekian kalinya Jaka mengamati kertas surat perjanjian yang ia buat untuk Marissa.

Kertas kedua itu sudah dipenuhi dengan berbagai macam maha karya, dari mulai doodle, sketch wajah Jaka yang disilang dan dicoret - coret, kata - kata kasar dimana - mana dan sebuah bekas kecup bibir berwarna merah yang sudah pasti dari Marissa.

"Jago juga ini anak ngegambar." Batinya sembari memasukkan kertas tersebut kedalam map dan mengambil kertas baru.

"Udahlah Jak, nyerah aja, itu anak gak bakalan bisa lo setir juga pada akhirnya ntar."

Jaka tertawa kecil, "emang, gue gak bakalan bisa, tapi papanya pasti bisa kan?"

Jaka membuka tas sekolah milik Marissa dan memasukkan kertas tersebut kedalamnya, tidak berharap anak itu menandatangani perjanjiannya, Jaka hanya ingin tau aksi apalagi yang akan Marissa lakukan setelah ini.

Seorang guru datang untuk mengajar pelajaran selanjutnya, Jaka bergegas kembali kebangku dan menyiapkan buku pelajarannya, namun satu notifikasi menarik perhatiannya.

Marissa : fuck you Jaka Ardinan tai kucing!

Marissa :  gara gara lo makeup gue ilang semuaaaaaa

Marissa : GANTI!

Jaka terkekeh geli dan bergegas membalas chat tersebut sebelum akhirnya fokus kepada pelajaran hari itu.

Jaka : males

Jaka : minta bapak lo sana

***

Marissa menatap Jaka didepannya dengan wajah keki, lelaki didepannya itu hanya tertawa terbahak - bahak setelah melihat wajah tanpa make up Marissa.

Jaka bahkan rela melepas helmnya dan menunda untuk pulang hanya demi menertawakan wajah polos Marissa. Tawa Jaka benar - benar lepas dan itu membuat Marissa kesal sekaligus sedih juga.

Marissa berniat meminta ganti peralatan riasnya kepada Jaka namun malah ditertawakan sebegitu lepasnya.

Marissa merasa malu, sedih, sekaligus sakit hati kepada Jaka karena itu. Ia berlari meninggalkan Jaka yang masih tertawa dan keluar sekolahan.

Jaka yang melihat itupun bergegas sadar dan memakai helmnya untuk menyusul Marissa yang berlari lebih dulu. Jaka menemukan perempuan itu berjalan dengan lesuh dari belakang dan memutuskan untuk mengikutinya dengan pelan hingga perempuan itu berhenti dan berjongkok didepan seekor kucing.

"Masa gue dikatain jelek sama temen gue sendiri." Gerutunya kecil sambil sesenggukan dan mengelus kucing tersebut.

Disitulah, Jaka langsung mematikan motornya dan berlari menghampiri Marissa.

"Gak ada yang bilang lo jelek tuh."

***

Bab 3 : Who Is He?

Sore itu, Marissa dan Jaka bertemu.

Enggak ah, terlalu cheezee bahasanya, kurang cocok buat kisah Marissa sama Paduka Raja Jaka Ardinan wkwkw :D

Setelah bertemu Marissa dan kucing jalanan, Jaka harus berdiri selama hampir 1 jam karena Marissa memintanya melakukan itu.

"Berhenti disitu! Jangan pernah gerak!" Teriaknya membuat Jaka menuruti itu.

Jaka berdiri tegap dan diam, menatap Marissa yang mulai melangkah menjauh dan berlari untuk pergi meninggalkan Jaka yang masih diam.

"1 JAM YA! SAMPE GUE ILANG DARI PENGLIHATAN LO!" Teriaknya lagi sembari berlari.

Jaka akhirnya kembali kerumah setelah benar - benar berdiri disana selama 1 jam lamanya, ia tidak kesal maupun marah, hanya saja sedikit kelelahan.

Namun hari ini ia melihat Marissa datang tanpa ada masalah, seolah semua baik - baik saja meskipun kemarin banyak barang milik Marissa yang diambil paksa oleh pihak sekolah sebagai hukuman.

Seperti biasa, tidak tersenyum namun tidak cemberut juga, wajah Marissa sangatlah datar dan menatap semua orang dengan tajam.

Jaka berniat menagih surat perjanjiannya, namun Marissa malah mendatanginya duluan.

Marissa mengeluarkan sebuah toples kaca berukuran besar dari tasnya dan meletakkan toples itu diatas meja Jaka, Jaka kaget bukan main namun ia menahan ekspresinya.

"Sa .."

"Hari ini gue agak baik dan berbakat, gue gak merusak kertas yang lo kasih atau nyoret - nyoret kertasnya. I respect you." Ucapnya sembari mendorong toples itu mendekat.

Jaka hanya menghela nafas dan membuka toplesnya, ia mengeluarkan satu persatu isi toples tersebut yang ternyata adalah origami berbentuk burung.

"Lo cari sendiri ya suratnya, pokoknya kertas warna putih." Marissa beralih pergi dari hadapan Jaka yang masih terdiam.

Kertas warna putih?

Bagaimana bisa Jaka menemukan surat perjanjian itu jika semua origami didalam toplesnya berwarna putih dan terbuat dari kertas yang sama. Tidak ada perbedaan yang membantu Jaka menemukan surat buatannya.

"Sial, ada aja kelakuannya."

***

"Habis bikin gebrakan apa lagi lo ke Jaka?" Tanya Rossa saat bertemu Marissa diperpustakaan.

Marissa sesekali datang kesana untuk tidur karena perpustakaan sekolahnya sangatlah tenang dan hanya dikunjungi oleh beberapa siswa - siswi saja, termasuk Rossa.

Kali ini Marissa memilih perpustakaan sekolah untuk kamar tidur siangnya, sembari menunggu Rossa menyelesaikan buku cerita fiksi yang sedang dibacanya.

"Gue kasih toples isi origami burung, dia harus cari suratnya sendiri diantara burung - burung itu." Jawab Marissa sambil memposisikan dirinya untuk tidur.

"You turned the paper into a bird?" (Lo ngerubah kertasnya jadi burung?)

"Yep."

"How? Kertasnya kan gede, Sa."

"I cut it into pieces, gampang, kan?" (Gue potong jadi beberapa bagian)

Rossa menghela nafas mendengar gebrakan baru dari teman baiknya itu, "terus, kertas lain yang lo pake itu kertas apaan?"

"Gatau, nemu dimeja gue pake aja, kayaknya undangan orang tua yang dibikin sekolahan deh."

Rossa bergegas mengambil salah satu buku dan menutup wajah Marissa dengan buku tersebut sangking lelah dan kesalnya dengan temannya itu.

"Ntar bangunin gue ya."

"Males."

"Sa ..."

"Iya udah sono tidur ah!"

***

Pak Fino : Jaka. ngapain lagi hari ini dia?

Jaka : Suratnya dirubah jadi origami burung pak haha

Jaka : Saya cek satu persatu ternyata ada banyak surat dari sekolah pak, seperti surat pemanggilan orang tua

Pak Fino : aduuhh aneh aneh aja anak itu

Pak Fino : kasih lagi aja ya suratnya. Sampai dia baca isinya dan ditanda tangani, tapi kamu jangan pernah baca isinya. Oke?

Jaka : siap pak

"Chattan sama siapa lo?" Suara itu membuat Jaka menoleh, "bapaknya Marissa." Jawabnya singkat.

Disana sudah ada Haris dan Jehian yang barusaja menghampirinya membawa makan siang mereka masing - masing.

"Bapaknya? Yang punya sekolah kata lo itu?" Tanya Jehian.

"Iya, nanyain kelakuan anaknya hari ini."

"Emang habis ngapain dia?"

Jaka menunjukkan sebuah foto kepada Jehian dan Haris, foto toples dari Marissa yang sekarang sudah kosong karena origami burung darinya sudah Jaka bongkar untuk mencari surat perjanjian yang malah dibagi jadi 4 bagian tanpa ditandatangani.

"Berbakat ya gue liat liat." Celetuk Haris.

"Emang, cuman keadaan aja yang bikin dia agak gak bisa diatur." Jaka berusaha memikirkan kemungkinan lainnya.

Disisi lain, Jehian malah fokus kepada satu arah dimana dilapangan ada satu kejadian yang menarik perhatian. Seorang guru menarik telinga salah satu siswi dan membawanya pergi ke ruang BK dan Jehian langsung sadar jika itu adalah Marissa.

"Jak, Jak, cewek lo Jak." Seru Jehian membuat Jaka reflek menoleh.

"Mau kemana tuh?"

Jaka tidak bergeming, ia hanya melihat Marissa diseret ke ruang BK. Namun sesaat setelahnya, Jaka dipanggil melalui spiker sekolah untuk datang keruang BK sekarang.

Barulah Jaka beranjak, meninggalkan Jehian dan Haris tanpa kata.

Sesampainya disana, Jaka melihat Marissa duduk dikursi dan tersenyum kearahnya, seolah anak itu sedang menunggu kedatangan Jaka. Meskipun telingannya begitu merah, namun Marissa tidak terlihat kesakitan.

Hari itu guru BK mengkonfirmasi keburukan apa yang dilakukan Marissa selama dikelas, Jaka sebagai ketua kelas membeberkan dengan lantang tanpa takut dan sungkan, lagipula Marissa tidak keberatan.

Dari mulai menjahili teman sekelas, bolos, dan bahkan tidur dikelas pun Marissa lakukan. Marissa juga beberapa kali adu mulut dengan teman sekelasnya dan beberapa murid dikelas lain hanya karena hal sepele.

Setelah selesai, mereka membuat perjanjian untuk membantu Marissa. Tapi, yang mengagetkan adalah, surat perjanjian yang guru BK itu berikan adalah surat perjanjian yang sama dengan surat perjanjian yang Jaka berikan kepadanya selama ini.

Bedanya, kali ini Jaka memaksa Marissa untuk tanda tangan dan bersedia untuk berubah sebelum kelulusan nanti. Ancamannya adalah Marissa tidak akan lulus dari sana jika dia tidak berubah dan menerima bantuan dari Jaka.

"Gue terpaksa ya! Inget!" Umpatnya saat mereka keluar dari ruangan itu.

"Yang penting lo udah tanda tangan, kan?"

Marissa yang melihat wajah menjengkelkan Jaka langsung mengayunkan beberapa pukulan ke lelaki itu, "UH! Ngeselin tau gak lo!" Kesalnya.

"Ya mau gimana? Kan juga demi kebaikan lo juga, Marimas!"

"Marissa!"

"Marimas cincau! Gaenak lo!"

"Jaka!" Teriaknya kesal sedangkan Jaka tertawa, "gue begini juga ada alasannya tau!" Ia berusaha memberi alasan.

"Gue juga begini ke lo ada alasannya tau."

"Apa?" Tanya Marissa dengan serius meskipun ia tau Jaka tidak akan menjawab dengan serius.

"Kepo lo!"

"Tuhkan, Jaka! Jangan isengin gue terus!" Omelnya dengan mata yang berkaca - kaca.

"Ya udah sih minta maaf, gak sengaja gue!" Seru Jaka, "biasanya jadi brandalan lo sekarang lembek banget, segala mau nangis."

"Enggak, siapa yang nangis."

"Anak Pak Fino nih depan gue." Celetuk Jaka santai.

Marissa menoleh dan menatapnya aneh, "Pak Fino siapa maksud lo?"

Sekarang gantian Jaka yang menoleh dan menatap Marissa aneh, "bapak lo kan?"

"Goblok, bapak gue udah mati setahun yang lalu ya!" Kesal Marissa sembari menginjak kaki Jaka.

Jaka kesakitan bukan main, "yang bener aja lo."

"Tau dari mana juga Pak Fino bapak gue, orang bapak gue namanya Heru."

"Gak usah bercanda deh Marimas!"

"Ngapain gue bercandain nama bapak gue sendiri ya!"

"Lah terus, yang selama ini ngaku bapak lo ke gue siapa dong?"

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!