Brugk...
Innalillahi wa innna ilaihi rojiun....
Amara, seorang gadis berkerudung coklat muda, mahasiswi semester 5 universitas terkemuka di kota Den Haag.
Dia sangat terkejut ketika tiba-tiba ketika tubuhnya terdorong keras, hingga menyenggol tongkat berjalannya. Dia jatuh tersungkur di atas trotoar. Buku-bukunya pun jatuh berserakan.
“Kalau jalan, hati-hati dong,” ucapnya dengan mendengus kesal.
“Oh maaf,.” ucap Yordan.
Yordan, seorang pemuda yang sudah cukup matang dan pengusaha properti yang cukup berhasil. Tanpa pikir panjang, ia merapikan buku-bukunya dan mengembalikannya.
Amara mencoba meraih tongkatnya dengan susah payah.
l
“Aw...kakiku,” Amara merintih kesakitan.
Tanpa sengaja Yordan menginjak kakinya. Malang benar nasibnya kali ini. Sudah jatuh, diinjak pula. Kata peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga.
“Oh, maaf. Mana yang sakit.” tanya Yordan dengan penuh perhatian. Lalu memijin kaki Amara dengan lembut.
“Apa-apaan, Kau. Pegang-pegang tanpa ijin. Nggak sopan!”
Amara mendorong tubuh Yordan dengan kuat. Sampai-sampai Jordan terduduk seketika.
“Sakit kah?,” tanya Yordan dengan bingung.
“Kau...hiks.” wajahnya memerah. Bukan hanya sakit tapi juga kesal.
Yordan kembali memijat pergelangan kakinya.
“Kamu itu” ucap Amara tertahan. Lalu la pun menunduk malu.
"Tak usah." Amara menepis tangan Yordan dengan kesal.
“Mengapa? Aku hanya ingin membantumu,”
Tanpa persetujuan Amara, Dia kembali memeriksa dan memijit kaki gadis itu dengan hati-hati.
“Aku bilang nggak usah, ya nggak usah. Bilang saja kau mencari kesempatan dalam kesempitan,” ucapnya dengan ketus.
Yordan terbelalak. Dia tak menyangka, niat baiknya telah disalah artikan.Yordan menatap gadis itu lekat. Dia terpaku, saat melihat wajah gadis itu dengan seksama. Sepertinya, wajah ini tak asing baginya. Tapi siapa, ya?
Oh ya...sekarang dia baru ingat.
Wajah gadis ini seperti wajah gadis kecilnya yang selama ini disimpannya dalam hati. Gadis kecil yang hidup sebagai tetangganya saat ia sedang mengasingkan diri di rumah neneknya. Dia menjadi teman satu-satunya yang ia miliki saat kala ia sendiri.
Saat dirinya merasa kesepian, saat dia sedih, dia selalu datang. Keceriaannya, keusilannya, dan kecerewetannya mampu mengusir gundah-gulana yang dia rasakan. Ada saja cara yang dia lakukan yang membuat dirinya tersenyum.
Entah disengaja atau tidak, dia selalu punya alasan untuk bisa masuk ke tempatnya dan melakukan kekonyolan di sana.
Eh, ternyata kita punya kesukaan hewan yang sama. Binatang berbulu yang berbunyi “meong”. Hehehe...
Kadang kucing anggora-nya yang dijadikan alasan agar dia bisa menggangguku. Katanya, Si Pus Meong ingin cari temanlah, atau apalah. Alasan yang mengada-ada, agar ia bisa menggangguku dan membuat kamarku berantakan. Tapi lama-lama membuat diriku kangen juga, jika dia tak datang. Tak ada yang mengganggu dan mengajakku bermain.
Aku yang sedikit bisa bermain musik sering mengajaknya bernyanyi bersama dengan diiringi piano yang aku punya. Ini sangat menyenangkan.
Tapi sayang, kita harus berpisah. Dia pergi, mengikuti kedua orang tuanya yang pindah tugas di kota yang jauh, lain pulau. Ah, sayang sekali, dirinya kini kembali kesepian. Dia meninggalkan kesan yang mendalam, sampai sekarang ia masih terkenang.
Kehadirannya sangat berarti baginya, mengisi hari-hari yang semula menyebalkan, menjadi lebih berwarna. . Siapa namanya, ya?...Ah, mengapa aku harus lupa?....
Tapi benarkah ini dia? Wajah ini terlalu cantik dan manis untuk disandingkan. Tapi kalau memang dia, Ia amat bersyukur bisa dipertemukan kembali.
Bagaimana pun ada rasa rindu yang tak bisa dia ungkapkan pada siapa pun sampai saat ini. Tapi, mampukah ia mengungkapkan apa yang dia rasakan?
Dia yang tubuhnya terbungkus rapat dengan pakaian yang entah itu apa namanya dengan kalung salib yang selalu menghiasi lehernya.
Semoga saja bukan dia, harapnya kemudian.
Yordan tersenyum dan geleng-geleng kepala. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran gadis yang ada di depannya. Dia menolak pertolongan yang ingin dia berikan.
“Apakah sakit?” tanyanya ketika melihat bibir gadis itu meringis.
“Aku tak apa-apa. Terima kasih,” jawabnya.
Berlahan-lahan, dia berusaha berdiri dengan berpegangan tongkat penyanggah yang dia miliki.Dia tampak lelah. Ada butiran-butiran peluh yang tipis memenuhi dahinya.
Ia menjadi tak enak hati. Dia ingin membantunya, tapi baru saja dia mengulurkan tangan, gadis itu sudah terlebih dulu menggelengkan kepala.
Ya, sudahlah. Apa boleh dikata, keberadaannya sudah tidak diperlukan lagi di sini. Lebih baik dia pergi.
Yordan pun bangkit, meninggalkan Amara sebelum dia bisa minta maaf dan memperbaiki kesalahannya. Namun belum sampai dia membalikkan badan, tiba-tiba dia mendengar teriakan lirih.
“Aaa...” Tubuh gadis itu sempoyongan, tongkatnya terlepas dari tangannya.
Spontan Yordan menangkap tubuh gadis itu dan menariknya ke dalam pelukan.
Gadis itu kaget. Tubuhnya bergetar hebat. Untuk sesaat dia menjadi terpana. Ada getaran halus yang menyelinap dalam jiwanya. Apa itu, dia tak bisa mengartikan.
“Oh, tidak ... ini salah,” batinnya berteriak. Dia menyentak kedua tangan Yordan dengan keras, ingin melepaskan diri.
“Jangan keras kepala!” ucap Yordan agak keras.
Tentu saja Yordan tak ingin melepaskan begitu saja. Bisa-bisa, dia akan jatuh kembali.Yordan merasa kalau gadis itu merasa tak nyaman dengan apa yang dilakukannya.
Hmm....
Dia tak habis pikir, ada apa dengan wanita ini? Memangnya ada yang salah dengan yang dia lakukan. Dia tulus ingin membantu.
“Maafkan aku. Aku hanya ingin menolong mu,” kata Yordan kemudian, sambil melepas tubuh gadis itu berlahan-lahan sampai ia dapat berdiri tegak.
“Terima kasih,” sahutnya dingin.
“Apa kamu marah?”
“Tidak.” jawabnya ketus. Ia pun membuang muka.
Kini wajah itu memerah dan menegang, mungkin sebentar lagi rintik hujan akan turun dari sudut matanya. Mungkin ....
Melihat keras kepalanya gadis itu, takkan mungkin dia akan menangis. Sama saja itu menunjukkan kelemahan di hadapannya. Tapi ternyata..
Hiks...akhirnya.
Kalau sakit atau sedih, ungkapkan saja. Kenapa mesti malu. Selagi dirinya masih ada di sana, dia akan selalu siap sedia. Setidaknya dia bisa memberikan bahunya untuk bersandar. Hahaha....
“Kamu telah membuat rencana ku gagal. Tak mungkin aku akan datang ke tempat temanku dalam keadaan kakiku sakit. Aku ingin pulang. Dan itu sangat menyebalkan. Dan lebih menyebalkan lagi, aku harus berjalan ke stasiun dalam keadaan seperti ini,” gumamnya lirih.
Yordan tertawa dalam hati sambil berkata, “Makanya jadi gadis jangan sombong dan sok kuat. Banyak lho, yang ingin menolong mu. Contohnya dirinya, hahaha....”
Maaf, kalau watak setan mencoba mengambil peran. Tapi jangan khawatir, itu tak akan terjadi. Dia masih waras. Hanya ingin sombong sedikit.
Dia perhatikan dengan seksama, lama-lama ia tak tega melihat gadis itu melangkah dengan susah payah.
“Kamu mau kemana?’
“Aku mau pulang.”
“Aku antar.”
“Tidak, aku tak mau merepotkan kamu.”
Masih sama, gadis ini tak tergoyahkan. Ini yang membuat dirinya makin penasaran. Mengapa dia bersikeras menolak pertolongannya. Apa wajahnya bertampang kriminal?
“Sama sekali tidak. Justru aku senang. Kalau kamu keberatan, anggap saja ini sebagai permintaan maaf ku.”
“Apa kamu bisa dipercaya?”
“Kamu mencurigai ku?”
“Tentu.”
What?
Seketika Yordan terperanjat. Alis matanya pun terangkat. Apa yang terjadi dengan gadis ini?
Hm...Gadis ini luar biasa. Dia sangat unik dan menarik. Caranya marah sangat berkelas. Tak perlu banyak kata. Tapi sekali berkata, membuat diriku tak berarti di hadapannya dan tersulut emosi. Tapi aku suka itu.
Inilah yang membuatku semakin tertantang. Apalagi saat dia berbicara, gaya bicara dan suaranya semakin mengingatkan pada sosok gadis kecilnya yang sampai saat ini menari-nari dalam ingatan. Oh my God ....
“Bukannya aku tak mau menerima pertolonganmu, tapi Aku lebih suka berusaha sendiri dari pada harus bergantung, apalagi...” Dia tak melanjutkan kata-katanya. Dia menatap Yordan dengan ragu.
“Baiklah, aku tak bisa melarang kamu untuk mencurigai ku. Tapi, apakah kamu merasa aman di sini sendirian, dalam keadaan seperti ini?”
Benar juga apa yang dikatakan lelaki yang ada di depannya. Kalau dia adalah laki-laki yang tidak baik, tentu dia akan meninggalkan dirinya begitu saja.
Tak ada salahnya untuk percaya padanya, mana kakiku makin sakit lagi. Ok, dia akan menerima bantuannya kali ini. Maafkan diriku Tuhan, jika tindakan ini salah.
Dia benar-benar membutuhkan bantuan orang lain. Dan hanya dia yang bersedia membantunya.
“Baiklah, aku percaya. Aku akan berterima kasih bila kamu bisa mengantarkan aku sampai di depan pintu rumahku.”
Sekarang Yordan merasa lega. Rasa bersalah yang menekannya sedikit berkurang. Meskipun dia merasa, itu belum seberapa dengan apa yang harus ditanggung oleh gadis itu, akibat kecerobohannya.
“Tunggulah di sini, aku ambil mobilku.”
Gadis itu mengangguk Dia berdiri dengan sabar di pinggir trotoar memperhatikan Yordan yang setengah berlari, menuju ke tempat parkir.
Tak lama dia telah kembali dengan mobil sport miliknya. Yordan turun, menghampiri gadis itu. Dia membukakan pintu untuknya.
“Masuklah!” Dengan dibantu Yordan gadis itu melangkah, masuk ke dalam mobil itu dan duduk dengan nyaman.
“Di mana kamu tinggal?”
“Roterdam.”
“Tapi, sepertinya kamu bukan orang sini, deh?”
“Ya. Aku dari Indonesia. Aku sedang kuliah. Aku ikut saudara. Kalau Kakak?”
“Aku dari Brazil. Kebetulan saja aku di sini.”
“Ngomong-ngomong, boleh aku tahu siapa namamu?”
“Amara.”
Amara...Amara...Amara. Nama yang tak asing di telingaku. Sepertinya nama gadis kecil itu.
Tapi bukan ah...aku biasa memanggilnya Irma. Karena begitulah nenek menyuruhku memanggilnya saat itu. Agar kami bisa lebih akrab dan saling menyayangi.
Seperti adat di sana, memanggil yang lebih muda dengan sebutan “Dik” dalam bahasaku adalah “Irma” yang artinya adik perempuan. Sedangkan ia sering memanggil sebutan “Kakak”. Kadang-kadang dia memanggilku dengan sebutan “Irmao” yang artinya kakak laki-laki.
“Kakak bisa bahasa Indonesia?’
“Sedikit. Dulu aku pernah tinggal di Indonesia tapi itu sudah sangat lama. Waktu aku kecil.”
Where do I begin
To tell story of how great a love can be
....
Lirik dari sebuah lagu yang berjudul love story, mengalun indah memenuhi ruangan, mengusik pendengaran Amara. Ia menengok kesana-kemari, mencari sumber suara.
Oh...
Rupanya suara itu berasal dari sebuah benda pipih di box yang ada di depannya. Lagu yang terlalu romantis untuk sebuah nada dering. Bisa-bisa membawa angan ini melintas ke masa lalu. Tentu bagi orang yang telah mengalami bagaimana syahdunya sebuah asmara. Hehehe...
Apakah dia sedang kasmaran, ya...
Amara tersenyum. Jika tak ingat dosa, mungkin ia akan tertawa lepas. Tapi ia tak tega. Ia pun masih punya rasa kasihan. Ia pun mengambil napas berlahan agar dapat berdamai dengan keadaan untuk tidak tertawa. Apalagi saat ini dia sedang menikmati peran sebagai gadis yang jutek dan ketus.
Mau tak mau, ia pun menikmati lagu itu hingga syair itu hampir berakhir. Ternyata bagus juga. Bahkan tanpa ia sadari, tangan ini mengikuti iramanya. Dan bibir ini mengalunkan syairnya.
Amara menengok lelaki yang ada di sampingnya. Dia tampak fokus mengemudikan mobil yang kini melaju dengan kecepatan penuh. Hingga beberapa lagu berulang, tak bisa mengalihkan perhatiannya.
Kasihan sekali orang yang di ujung telepon, pasti dia menunggu jawaban.
“Kak, ada telepon.” kata Amara.
“Kamu angkat dan tolong loud spikernya dinyalakan.”
Satu jempol untuk kakak yang sedang serius mengemudi. Memang begitu aturannya. Jika sedang mengemudi tak boleh bertelepon ria, agar tidak mengganggu konsentrasi. Ini jalan umum.
Dia tahu, jika tidak konsentrasi, bisa berakibat fatal, bisa jadi kecelakaan. Tidak saja merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain.
Oke, sekarang angkat benda pipih itu dan nyalakan loud speaker diaktifkan.
“Crianca desobediente! Avo ligou nao atendeu...bla...bla...bla...” Suara seorang wanita terdengar, mengalun indah. Seindah suara barang-barang dapur yang sengaja dijatuhkan, berserakan di atas lantai.
Astaghfirullah al adzim...Amara dibuatnya terperanjat. Dia mengelus dada. Untung saja itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk kakak yang ada di sampingnya.
Dia segera menjauhkan benda itu dari dirinya, dan menyerahkannya ke Yordan, namun dia tak menanggapi. Dia mengangkat kedua bahu. Rupanya Dia tak ingin diganggu.
Tatapannya lurus ke depan. Dengan isyarat kepala, dia meminta Amara untuk meletakkan benda itu di tempatnya semula.
Amara pun menurutinya. Meletakkan benda pipih itu ke tempat semula.
Ucapan atau sumpah serapah, ya?
Kepala ini menjadi pusing, kalau lama-lama mendengarnya. Dirinya sudah tak mengerti bahasanya, memakai nada tinggi pula. Membuat kepala pusing.
Astaghfirullah al adzim ...Tak ada yang bisa dilakukan Amara untuk menghilangkan pusingnya selain memijit-mijit dahinya.
Yordan tersenyum kecut. Dia cukup malu dengan kejadian yang tidak ia duga sebelumnya. "£Nenek...harga diriku benar-benar jatuh," gumamnya dalam hati.
“Avo espere 5 minutos. Se voce nao vier,Avo vai te despedir quando crianca!”
“Sim Avo.” Jawab Yordan dengan tenang. Terlihat pembicaraan mereka telah selesai. Tak ada lagi terdengar suara keluar dari benda pipih itu.
Amara segera mengeceknya. Dia pun bisa bernafas lega. Senyum manis tersungging di wajahnya.
“Itu tadi telepon dari nenek. Dia sekarang sudah mendarat di bandara,” ucap Yordan.
“Lalu?’ Amara penasaran dengan isi pembicaraan. Kelihatannya penting.
“Kamu tak keberatan, kan. Kalau kita mampir dulu ke bandara, menjemput nenek?”
“Eee...” Amara tak segera menjawab.
Ia tampak berfikir keras. Sesekali melirik pada Yordan, membuat Yordan tertawa.
Dia tersentak, ketika tiba-tiba mobil itu telah berbalik arah, dan melaju dengan amat kencang.
“Lho, kok!” ucap Amara dengan cemberut.
“Kelamaan, Nona.”
“Tak boleh gitu dong. Ini namanya pemaksaan.”
Rupanya Amara masih terpengaruh dengan hawa panas yang baru saja berhembus dari hp Yordan. Wajahnya yang cantik itu kini berubah menakutkan di mata Yordan.
“Lalu, maumu apa?” Yordan mencoba mengalah.
“Kalau gitu kamu harus memenuhi 3 permintaanku!” ucapnya dengan menjentikkan jari-jari. Wajahnya yang sesaat suram dan menakutkan, kini menjadi cerah, secerah senyumnya yang indah.
“Ok,” jawab Yordan dengan santainya.
“Janji?”
“Ya. Aku janji.” Untuk apa berprasangka buruk. Tak akan mungkin wanita di samping ini punya niat buruk, pikir Yordan.
“Apa permintaanmu?” tanya Yordan kemudian.
“Tidak akan aku sampaikan sekarang. Hanya pada saat aku membutuhkan saja, permintaan itu aku katakan. Pada saat itu, kamu harus memenuhinya. Bagaimana?”
Lho, kok...bola matanya membulat sempurna. Dia benar-benar tak menyangka kalau wanita di sampingnya pintar bernegosiasi.
Dianggap tantangan, kok tak ada menariknya. Dianggap masalah, kok lucu juga. Hanya tinggal mengatakan permintaan saja, harus menunggu waktu.
Yordan senyum-senyum sendiri. Dia menjadi penasaran, apa yang dimaui oleh wanita yang ada di sampingnya.
Moga-moga sesuatu yang mudah dipenuhinya. Seperti uang, makanan, tas atau sepatu seperti yang dipikirkan gadis-gadis zaman now. Bukan hal yang aneh-aneh.
Sepertinya wanita ini memang sengaja menjebaknya. Tapi apa boleh buat, gengsi kalau dia mengurungkan janji yang sudah diucapkannya. Tidak usah dipikirkan sekarang. Ikuti saja permainannya.
“Ok lah. Tak masalah. Siapa takut. Tapi sebelum itu, pejamkan matamu!...terimalah kejutan dariku,” ucap Yordan tanpa menoleh.
“Akal bulus. Pasti kamu akan berbuat tak baik padaku. Aku tak mau.”
“Yakin?”
“Tentu saja.”
“baiklah.”
Yordan menaikkan kecepatan mobilnya dengan berlahan-lahan. Entah sampai berapa, sampai-sampai laju mobil itu seperti melayang.
“Kau!” wajah Amara pucat pasi. Dia benar-benar ketakutan.
“Kalau tak kuat melihat. Lebih baik pejamkan matamu.” Kata Yordan dengan santai yang disertai tawa kecil.
Tak ada yang bisa dilakukan Amara kecuali berdoa dan bershalawat sambil memejamkan mata, semoga tidak terjadi sesuatu. Dia tak mau mati sia-sia.
Dia baru saja memeluk Islam. Belum banyak berbuat amal shaleh. Ditambah pula masih suka berlaku khilaf.
Sekarang dia sedang bersama laki-laki asing. Berkalung salib pula. Bagaimana kalau kita meninggal bersama. Apa kata dunia?
Amara masih khusyu` berdoa. Dia benar-benar ketakutan. Apakah ini merupakan teguran dari Tuhan. Dia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit pada paman dan tantenya.
Pasti saat ini, paman dan tante khawatir dan mencari-cari keberadaannya. Karena sudah hampir satu hari penuh, dia menghilang.
Ya Allah, maafkan diriku. Jangan cabut nyawaku dulu. Lain kali saja. Aku masih ingin hidup dan mengenal-Mu dengan baik. Jika Engkau hendak mencabut nyawaku, maka jadikanlah aku dalam keadaan khusnul khatimah. Aku mohon, ya Allah....
“Sudah. Buka matamu. Takut banget, sih,” ledek Yordan.
“Mobilmu sudah benar-benar berhenti, kan?’ tanya Amara memastikan.
“Iya. Kita sudah sampai di bandara.” Dengan cepat, Yordan melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya. Dia pun segera keluar.
“Tunggulah di mobil. Aku mau ke dalam, menjemput nenek,” pamit Yordan.
Begitu bunyi pintu mobil tertutup kembali, Amara segera membuka mata.
“Alhamdulillahi robbil alamiin. Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku kesempatan hidup lebih lama. Aku tak akan pergi dari rumah lagi tanpa pamit,” ucap Amara dengan penuh rasa syukur, sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.
Kini dia bisa bernafas lega. Tak terjadi apa pun dengan dirinya dan Yordan, lelaki yang kalau mengendarai mobil, membuat jantungnya berolahraga.
Untuk saat ini, lebih baik dirinya istirahat, duduk santai di dalam mobil sambil memijit kakinya yang sesaat lalu terasa kram.
“Hai, bukankah itu nenek Yohana,” seru Amara dalam hati.
Dia heran dengan wanita yang sudah cukup berumur yang sudah amat dikenalnya. Wanita yang kini sedang berjalan dengan di samping Yordan.
Apa hubungan Yordan dengan nenek Yohana. Jangan-jangan lelaki yang sudah membuat harinya buruk, adalah ....
Astaghfirullah al adzim, mengapa dunia ini begitu sempit?
Amara merasakan dadanya sesak , melihat kenyataan yang ada di depannya. Bahwa kakak yang telah menjadikan harinya buruk adalah Irmao Yordan. Kakak yang ingin dia hindari selama ini. Karena Dia menyebalkan.
Dulu, waktu mereka kecil sering bertengkar. Hanya karena Momo, kucing kesayangannya yang selalu bertandang ke rumah. Ia menjadi suka marah dan bersikap kurang baik.
Padahal Sisi, kucing kesayangannya hampir tiap hari datang ke rumah. Dia selalu minta makan.
Dia tidak pernah mempersoalkan. Berbagi itu baik, Bukan? Tapi giliran Momo yang datang ke rumahnya menemui Sisi, dia marah besar. Aneh ....
Lupakan soal dia. Yang penting sekarang aku harus bertemu nenek Yohana. Aku kangen sekali.
“Nenek...” panggil Amara dengan membentangkan satu tangannya. Satu tangannya yang lain masih setia memegang tongkat penyanggah.
Untuk sesaat Yohana terkejut, mengapa ada gadis yang berpakaian abaya berdiri di depannya. Namun setelah mengamati wajahnya dengan seksama, dia seperti mengenal gadis itu dengan baik.
“Amara,” serunya kemudian.
“Iya, Nek. Aku Amara. Aku kangen sekali sama nenek.” Keduanya pun berpelukan mesra.
“Irma.” Yordan tak kalah terkejut saat tahu bahwa wanita di depannya adalah wanita yang dicarinya selama ini.
“Nenek senang sekali. Kalian rukun dan mau bersama-sama menjemput nenek ,” ucap Yohana dengan bahagia.
“Bukan begitu, Nek. Kami hanya kebetulan saja bertemu. Dia ....”
“Hus!” sentak Yordan, menghentikan cerita yang akan Amara ungkapkan. Dia tak mau semua rahasianya terbongkar di hadapan neneknya. Sudah bisa dipastikan, dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari nenek Yohana. Hadiah yang tak mengenakkan, dan yang pasti akan membuat dirinya tak baik-baik saja. Hehehe....
“Ya, begitulah, Nek. Kami memang berniat menjemput nenek. ” Amara mengurungkan keinginannya untuk bercerita tentang awal pertemuannya dengan Yordan yang sudah membuatnya celaka.
Huh...rasanya dia ingin sekali menjitak kepala Yordan, karena telah menyebabkan dirinya harus berbohong di hadapan nenek Yohana.
“Kamu sekarang beda. Hampir saja nenek tak mengenalimu.”
“Meskipun beda, tapi Amara tetaplah Amara yang sama. Amara cucu Nenek.” Jawab Amara dengan manja. Sesekali dia mencium pipi Yohana dengan penuh kehangatan.
“Sudah-sudah. Nenek tak bisa nafas, nih.”
Yordan hanya termangu menyaksikan kehangatan yang tercipta antara neneknya dengan Amara. Sesekali dia mencoba mengalihkan pandangan di tempat lain, untuk menutupi hatinya yang patah seketika.
Jadi, adikku dulu adalah Amara, bisik batin Yordan dengan kecewa. Harapannya pupus sudah, melihat gadis yang dia nantikan telah berseberangan jalan dengannya . Jika dulu mereka masih beramin yang sama, tapi sekarang tidak lagi.
Yordan mengambil satu langkah ke depan, untuk memberi keleluasaan pada mereka untuk melepas rindu.
Amara sepertinya tak menyadari dimana mereka sat ini berada. Bahkan dia juga tak menyadari kalau telah mengusik langkah-langkahnya. Sampai beberapa kali, dia berpindah tempat.
Sementara itu, Amara menikmati pertemuan dengan Yohana. Sambil tertawa kecil, Dia pun melepas pelukannya dan mengambil tempat di samping Yohana, agar bisa berbincang-bincang, berjalan beriringan menuju ke tempat parkir.
“Tapi sekarang kamu makin cantik dan manis. Bagaimana kalau kamu menikah dengan cucu nenek satu-satunya ini.”
“TIDAK!” sahut mereka bersamaan. Keduanya saling memandang dengan penuh kekesalan.Hampir-hampir saja bola mata mereka lepas.
“Wow, subhanallah. Ternyata Irmao Yordan tampan sekali kalau diamati dari dekat,” bisik hati Amara. Dia segera memejamkan mata, takut ada setan lewat yang akan membawa angannya kemana-mana. Apalagi dia merasakan jantungnya tiba-tiba berdetak tak menentu.
Astaghfirullah ala adzim...ampuni mataku ini ya Allah, yang telah melihat sesuatu yang tak halal untukku.
Ingin sekali Yohana tertawa melihat reaksi mereka. Dia hanya bercanda, tapi mereka menanggapinya dengan serius. Tapi, seumpama mereka berjodoh, dia pasti menjadi orang yang pertama yang akan menyetujuinya.
“Chemistry yang kuat. Bahkan bicara pun kalian senada seirama. Berarti kalian memang berjodoh,” goda Yohana yang seketika membuat Amara cemberut.
“Nenek. Amara masih kuliah, tak mau memikirkan pernikahan dulu.”
“Itu bagus. Lanjutkan kuliahmu. Yordan pasti sabar menunggu. Bukan begitu, Yordan?”
Yordan kaget, mendapat pertanyaan dari Yohana yang tiba-tiba. Apa maksudnya?
“Nenek, aku sudah punya pacar.” Yordan menjawab dengan asal-asalan.
“Jangan berharap ya...” bisik Yordan pada Amara.
“Ih, siapa yang berharap,” jawab Amara sambil melengos.
Mereka masih tetap sama. Kalau bertemu tak pernah akur, selalu saja bertengkar. Membuat Yohana makin gemas.
“Sudah-sudah.” Yohana mencoba menengahi.
“Kamu sudah menemukannya?” tanya Yohana penuh selidik. Yordan pernah bercerita kepadanya tentang gadis kecil yang selama ini dia rindukan, dia ingin sekali bertemu dengan gadis itu bahkan ingin memilikinya. Karena itu, setiap kali dia dijodohkan, dia selalu menolaknya. Naluri seorang wanita mengatakan bahwa gadis itu adalah gadis yang ada disampingnya saat ini. Tapi mengapa Yordan tak mengakuinya. Mungkinkah perkiraannya salah?
“Belum. Tapi bukan dia.” Lebih baik dia sembunyikan rasa itu daripada menyatakan yang tak mungkin terwujud.
“Keysa?” tanya Yohana memastikan.
Yordan diam. Dia tak punya jawaban. Tapi ada satu nama yang pernah orang tuanya memperkenalkan padanya. Seorang gadis, anak dari relasi bisnis papanya yang ada di Belanda ini. Tapi dia belum memutuskan untuk menerimanya atau menolaknya kerena dia berharap menemukan gadis yang selama ini dia rindukan. Namun harapannya itu harus kandas, karena suatu alasan yang tidak bisa ditolak.
Apakah sebaiknya dia menerima Kaysa saja, wanita yang telah dipilihkan oleh mama-papanya.
“Ya.” Daripada didesak terus, lebih baik turuti saja kemauan mereka. Toh, Kaysa cantik dan kelihatannya baik. Dan yang paling penting, dia seiman.
“Meskipun nenek kurang setuju, tapi semua terserah padamu. Kamu yang menjalani.”
“Aku mengerti maksud nenek. Aku akan pertimbangkan lagi setelah mengenalnya lebih dalam,” kata Yordan menutup pembicaraan.
“Lho...tak bisa begitu dong. Itu namanya mempermainkan perasaan wanita. Masa mengenal lebih dalam tapi tak ada niat untuk menikahinya,” sela Amara tanpa permisi. Membuat Yordan melotot.
“Hus...Kamu masih kecil. Ini urusan orang dewasa.”
Mood Amara yang sudah turun, saat pertama kali bertemu dengannya, kini semakin drop ketika dikatakan sebagai anak kecil. Tapi apa yang bisa dia lakukan saat ini, kecuali menyimpan kekesalan ini dalam-dalam agar tidak meledak kemana-mana. Bisa berabe, ini tempat umum. Bisa jadi tontonan gratis, live streaming yang tak ada baiknya sama sekali.
Astaghfirullah al adzim ... Amara beristighfar beberapa kali untuk meredam amarah yang sempat menyulut jiwa nya yang sangat rapuh. Dipentik sedikit, langsung saja tersulut lalu cemberut, muka ditekuk. Tak ada manisnya sama sekali.
“Bagaimana kalau dia punya harapan pada Kakak. Kasihan, kan?” Kali ini Amara mencoba untuk menggunakan logikanya untuk bisa membela kaumnya. Siapa lagi yang mau membelanya, kalau dari kita sendiri. Tak mungkin mengharapkan pada pria yang egois, macam Irmao Yordan yang ada di sampingnya.
“Kalau aku tak ada cinta, kasihan dia juga, kan?" Yordan mencoba membela diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!