New York, AS
Suasana New York masih ramai karena sudah memasuki musim panas. Dari balik balkon mansionnya, seorang lelaki berpakaian rapi lengkap dengan jas hitam mahalnya, memandang langit New York dengan tatapan kosong.
Tangannya menyimpan kembali senjata apinya yang sempat ia gunakan untuk membunuh seseorang yang kini telah terbujur kaku di bawah kakinya.
"Bereskan dia."
Kalimat tersebut murni perintah kepada beberapa anak buah yang berada disana. Tidak sampai menunggu lama, pekerjaan itu telah selesai dikerjakan dengan cekatan seolah mengurus mayat dengan bercecer darah sudah menjadi kebiasaan mereka.
Mereka telah pergi, meninggalkan sang pria itu seorang diri. Ia mengambil segelas wine-nya dan menyesapnya. Ia bahkan tahu, langit New York pernah menertawakan hidupnya yang begitu susah dan kelam yang ia alami beberapa tahun lalu. Dia bukanlah siapa-siapa, bahkan kekuasaanpun dia tak ada. Wanita? Cih, bahkan para wanitapun enggan menengok kepadanya, semuanya tidak menginginkan dirinya.
Sepuluh tahun lalu, ia sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus kering, dengan tubuhnya yang tinggi, proporsi badannya tidak mampu memikat hati wanita ketika melihatnya. Penampilannya sangat berantakan, rambutnya tidak pernah ia tata rapi. Dan parahnya, ia menghabiskan uang tabungannya untuk berfoya-foya, entah untuk mengonsumsi ganja atau mabuk-mabukkan. Hidupnya sangat hancur. Dialah Leonard Denjiro Hashimoto atau lebih dikenal dengan Leonard Denjiro, seorang mahasiswa Harvard University yang mendapatkan beasiswa dengan peringkat nilai terbaik, namun ia memilih tidak menamatkan kuliahnya. Itu adalah sesuatu yang miris namun tidak pernah disesalinya.
Seolah seperti kejadian kemarin, Leonard yang kini berusia 33 tahun itu masih ingat dengan jelas bagaimana takdir mempermainkannya.
⁕ ⁕ ⁕.
Flashback 10 tahun lalu, New York
Malam itu Leonard dan beberapa temannya tengah berkumpul di salah satu club mewah untuk menghabiskan malam mereka. Club tersebut terletak di dekat Times Square. Times Square atau Great White Way sendiri merupakan nama persimpangan jalan utama di Manhattan. Tempat yang tidak pernah sepi dan merupakan wilayah paling sibuk di NYC. Bagaimana tidak, mulai dari pagi hari orang sudah mulai lalu-lalang di Times Square, karena tempat ini merupakan salah satu pusat perkantoran dan belanja tersibuk di NY.
Makin siang, suasana makin ramai dan ketika menjelang sore, mulai bermunculan atraksi unik dengan menggunakan kostum tokoh superhero, entah tokoh spiderman atau ironman dan tokoh lainnya. Hal itu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berfoto. Malam hari, Times Square makin ramai, terutama di hari Jumat dan Sabtu malam. Seperti Sabtu malam ini. Leonard bisa melihat sorotan layar digital dari berbagai penjuru sisi gedung yang sekaligus disulap sebagai penerangan bagi kawasan ini. Layar digital tersebut berupa gerak gerik gambar iklan seperti lampu disko yang menerangi tempat terbuka.
Club mewah yang kini dimasukinya adalah salah satu tempat termahal. Mereka sengaja menghabiskan malam itu disana, karena Leonard menang judi. Orang yang berkunjung adalah orang-orang kaum sosialita, pengusaha kaya dan pejabat tinggi. Club ini juga terkenal dengan wiski-nya yang memiliki beragam jenis yang berasal dari Amerika-Asia. Tidak hanya itu, ada pula jenis vodka, tequila, dan anggur.
Malam itu, Leonard memesan wiski, disusul dengan kedua temannya. Club yang cukup nyaman sebenarnya, karena cahaya lampu yang temeraman dan ada balkon di lantai dua. Dari balkon tersebut tentu saja bisa melihat betapa sibuknya Times Square di malam hari.
Salah satu teman Leo mengeluarkan sebatang rokok dan membagikan sisa rokok di dalam bungkus itu kepada temannya yang lain, Leo mengambil satu dan menyulutnya. Tatapannya menyapu ke setiap sudut ruangan dalam pencahayaan yang temeraman.
Entah malam keberapa ia menghabiskan waktunya seperti ini. Ia bahkan enggan melanjutkan bahan tugas akhirnya di Harvard University dan meninggalkan bisnis yang telah ia rintis saat menginjak tahun kedua di bangku kuliahnya. Akhir-akhir ini pria berdarah campuran Perancis-Jepang itu merasa bosan dengan kehidupannya.
Maka, lihatlah wajah dan penampilannya. Ia tidak mengurus hidupnya selama setahun dan membuat hidup pria itu berantakan. Rambutnya tidak pernah tertata rapi, tak pernah memakai parfum dan baju ala kadarnya. Ia pergi menghabiskan malamnya bersama dengan teman-temannya, hm, sebutlah teman yang telah membuat hidupnya menjadi tidak bosan ini. Ia membeli ganja dan mengonsumsinya bersama dengan mereka. Mereka ada tiga orang, termasuk Leo. Kedua teman Leo semuanya orang asli Amerika. Hanya pria ini yang campuran Perancis-Jepang. Kedua bola mata pria ini berwarna biru, sayang tertutup oleh topi dan rambutnya yang sengaja dipanjangkan.
Alunan lagu masih memenuhi ruangan dan menghipnotis siapapun yang berkunjung. Selang beberapa menit, sang DJ mengubah alunan lagunya yang slow dengan alunan lagu dari Luis Fonsi ft Daddy Yankee yang berjudul Despacito. Beberapa orang yang tadinya enggan untuk berdansa langsung memutuskan ke dance floor.
Kedua teman Leo mencoba peruntungannya malam ini, langkah mereka menghampiri wanita incarannya disana dan berdansa di hadapannya.
Sialnya, mereka mendapat masalah dari hal tersebut. Wanita-wanita itu mendorong tubuh teman Leonard dan sedikit terjadi kekacauan disana. Leo hanya tersenyum pahit melihat aksi penolakan itu. Sesungguhnya ia tidak begitu tertarik dengan wanita. Wanita baginya sungguh tidak penting. Leo menyulut rokoknya sampai gerakannya terhenti ketika sebuah suara menyapanya.
"Hai, maukah kau berdansa denganku?"
Wanita itu hendak meraih tangan Leo sampai akhirnya Leo diserang.
Sekelompok orang berbaju hitam menyerangnya. Mereka memukul wajah dan perutnya hingga membuat tubuh Leo tumbang. Belum sempat Leo membalas perlakuan mereka, seseorang menghampirinya dan menarik tubuhnya dengan kasar, hingga tubuh yang sudah lemah itu dipaksa berdiri.
“What the fuck are you doing?! Beraninya kau sentuh wanitaku!"
Bersamaan dengan itu, sebilah pisau mengenai bagian perut Leo sebelah kiri. Darah segar langsung keluar dan membekas di bajunya.
Suasana makin histeris melihat aksi tersebut. Namun tetap tidak ada yang berani untuk ikut campur. Begitu pula dengan kedua teman Leo yang pengecut. Mereka paham betul siapa lawan Leo malam itu, salah satunya yang bernama Richard adalah pemilik club tersebut yang terkenal dengan kekejamannya.
"Chard! Richard, stop! Kau bisa membunuhnya!" Wanita itu beranjak dan mencoba melerai perkelahian tersebut.
"Oh Tuhan, lihat, kau hampir membunuhnya! Dia sekarat!"
Pria yang dipanggil Richard itu kini tampak makin emosi. Ia melihat lawannya masih bertahan hidup walau dalam kondisi sekarat. Ia kembali memainkan pisaunya dan langkahnya kembali memburu pria itu. Suara Bella menggema menyuruh Leo untuk melarikan diri.
Leo yang sekarat menyeruak kerumunan orang-orang di dalam club tersebut. Pria bernama Richard itu dan beberapa anak buahnya mulai mengejarnya dengan geram. Andai saja salah satu diantara mereka membawa pistol, tentu saja dengan sekali tembak mereka bisa memastikan kalau lawannya tersebut akan langsung mati. Leo masih beruntung, malam itu mereka tidak membawanya. Hanya sebilah pisau yang akan digunakan sebagai alat membunuhnya.
Tubuh Leo melemah dan ia mulai kehilangan fokusnya. Entah karena efek dari wiski atau ganja yang ia konsumsi sebelumnya atau dari luka tusuk yang ia alami sekarang. Leo tidak tahu. Sungguh, ini malam yang sial baginya.
Leonard menghindari jalanan-jalanan sepi dan gang-gang kecil, karena ia tidak tahu sampai kapan dirinya bisa bertahan lari dari mereka dalam kondisi seperti sekarang. Ia bisa tumbang kapan saja, dan ia hanya dapat berharap ketika ia tumbang berada di tengah keramaian sehingga setidaknya ada yang menolongnya. Itu adalah harapannya. Realitanya, meloloskan diri di tengah keramaian di sepanjang jalan Times Square di Manhattan sangatlah tidak mudah. Ia harus berhasil menyeruak dalam kerumunan orang yang luar biasa banyak. Namun disisi lain, jika ia berhasil kabur, maka bisa dipastikan mereka akan kesulitan menemukan Leo.
Pilihannya kabur adalah menyeberang jalan. Walau ia tahu itu bukan ide bagus, tapi tidak ada salahnya ia coba. Saat itu, lalu lintas kendaraan cenderung normal. Ia merasa tertantang dan menguji kembali peruntungannya malam itu. Namun belum sampai setengah jalan, suara klakson terdengar nyaring mencegah langkah kakinya. Ia masih berjalan sempoyongan tepat disaat seseorang keluar dari Koeningsegg CCXR Terevita yang tadi membunyikan klakson untuknya.
"Oh, shit! What the fuck are you doing?!"
Malam ini, ia menerima kalimat kasar itu dua kali hanya berselang menit saja. Sempurna sekali Leo malam itu!
Dia adalah seorang pria tua yang mengatai Leonard. Umurnya mencapai sekitar 50 an tahun, namun ia memiliki fashion yang bagus. Pria tua itu mengenakan setelan jas mahal yang kini tampak berkilat oleh sorotan lampu digital gedung di sekitarnya. Leo tidak menjawab. Tangannya masih menahan luka tusuk di perutnya dan mencoba berdiri tegap agar tidak tiba-tiba pingsan. Tampaknya lelaki itu menyadari sesuatu, sampai akhirnya sekelompok orang yang tadi mengejar Leo kini berada disana.
"Rupanya ini ulahmu."
"Ah, Tuan Javier, ma-maaf, tapi dia incaran kami sekarang."
Richard yang tergagap mulai berbasa-basi. Tampaknya anak buah Richard pun mengalami hal serupa. Mereka semua salah tingkah, tertunduk dan tidak berani menatap seseorang yang kini berdiri di hadapan mereka. Leo dapat menangkap perubahan situasi yang drastis ini. Siapa Tuan Javier yang disebut mereka ini?
"Dia anak buahku. Cepat tinggalkan tempat ini, atau kupatahkan tangan kalian semua."
Orang yang bernama Javier itu menggeram dengan nada suaranya yang lebih berat dan rendah dibandingkan sebelumnya. Bahkan sorot matanya kini berubah menatap mereka lebih tajam. Sebuah ancaman yang murni perintah jika mereka tidak ingin celaka.
Richard menggiring anak buahnya pergi. Pria itu menganggap urusannya selesai dengan Leo tanpa mengucapkan sepatah ancaman padanya. Cari mati namanya jika ingin memperpanjang urusan ini. Siapa yang tidak tahu Javier Wyman. Seorang mafia besar dan terkenal kejam di dunia. Anak buahnya banyak, hingga ribuan. Bisnisnya mulai dari legal dan ilegal yang hampir tersebar di dunia. Semua orang menghormatinyalebih tepatnya takut.
"Ikut aku, kau bisa mati disini."
Nada itu murni perintah untuk Leo.
Di belakang mobilnya suara klakson sudah nyaring terdengar sejak beberapa menit yang lalu. Area yang seharusnya dilarang parkir ini mengundang perhatian petugas kepolisian yang tengah bertugas di sekitar tempat tersebut. Tanpa membuang waktu lagi, mobil berwarna silver itu melaju berbaur dengan pengendara mobil lain.
Sekilas Javier melihat ke arah spion, memastikan bahwa mereka sedang tidak diikuti. Dugaannya tepat. Rupanya mobilnya pun sudah dikenal polisi dan mereka enggan berurusan dengannya. Javier hanya menyunggingkan senyumnya.
Leonard menatap Javier. Itu adalah pertemuan pertamanya. Memang pertemuannya dengan Javier tidak sepenuhnya memberikan kesempurnaan, namun Leonard belajar tentang kekuasaan, kekuatan, dan kejayaan. Itu adalah tiga hal penting dalam kamus besar Javier untuk meraih keinginannya dan sebelumnya Leonard tidak mendapatkannya dari ayahnya. Auara pria itu sangat kuat, sampai akhirnya Leonard pun menyetujui untuk melepas segala masa lalunya dan bergabung bersama Javier. Menjadi bagian anggota mafia terbesar di dunia.
Pagi hari yang hangat di musim panas. Segelas kopi pahit mampu menemani pagi seorang Leonard untuk melangkah menuju kantor perusahaan diamond-nya yang memakan waktu sekitar satu jam dari letak mansionnya. Atau hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja jika ia menggunakan helicopter seperti hari-hari biasanya. Namun hari itu, ia memilih menggunakan mobilnya karena harus memimpin dua kali rapat di bisnis legalnya di tempat yang berbeda, perusahaan Jewelrynya dan bisnis perhotelan.
Rapat pertamanya dimulai dari perusahaan diamondnya.
Leonard harus memimpin rapat siang itu, karena menggantikan posisi Javier yang tengah berada di Roma untuk berlibur. Perusahaan Denjiro and Wyman Diamonds adalah perusahaan berlian yang dirintis oleh Javier sejak 30 tahun lalu. Sesungguhnya bersama pria itu, Leonard harus mengakui jika kini bisnisnya tidak hanya seputar perhotelan dan berlian saja, namun merambah ke bidang lainnya yang bersifat ilegal.
Contohnya saja memproduksi jenis senjata api, serta bermain dengan heroin masih menjadi bisnis yang sangat menggiurkan untuknya. Ia terkenal dengan kemampuannya melakukan penyelundupan ke beberapa negara hanya dengan menggunakan jalur udara. Saat ini, ia sudah termasuk ke dalam jajaran orang terkaya di dunia, bahkan mengalahkan posisi ayahnya sendiri! Javier memang mengubah banyak hal dalam hidupnya. Ia mengakui hal itu.
Sejak pertemuannya dengan Leonard sepuluh tahun lalu, Javier tahu, pemuda benama Leonard itu adalah seseorang yang istimewa. Dan Leonard beruntung terlahir sebagai seseorang yang memiliki insting yang bagus saat berbisnis dan punya jiwa pantang menyerah. Hal itu terbukti ketika Perusahaan Wyman Diamonds milik Javier sempat nyaris bangkrut. Namun tanpa sengaja, Leonard mampu membalikkan posisi perusahaannya seperti semula seolah hanya dengan membalikkan telapak tangannya. Padahal Leonard hanya merancang desain untuk model-model berlian milik Wyman Diamonds-nya dan dengan ilmu marketing yang tepat, semua itu menjadi awal kembalinya perusahaan Javier yang akhirnya mengganti namanya menjadi Denjiro and Wyman Diamonds atau lebih dikenal dengan D&W Diamonds. Itu adalah momentum bagi Leonard sehingga Javier sendiri telah menyerahkan sebagian besar kendali perusahaan berliannya kepada Leonard dan memposisikannya sebagai CEO.
Saat itulah, untuk kesekian kalinya Javier kagum pada Leonard. Walaupun masih terbilang muda, ia mampu mengendalikan salah satu bisnis yang ia bangun selama ini hingga ia mempercayakannya pula untuk ikut memegang kendali pada bisnis ilegalnya yang lain. Javier amat menyayangi Leonard yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Well, hal itu karena Javier sendiri tidak memiliki anak, jangankan anak, ia bahkan tidak pernah mau melakukan hubungan serius dengan seorang wanita ke dalam hidupnya. Namun ia memiliki teman kencan yang banyak di usianya yang nyaris mencapai 60 tahun!
Javier Wyman yang dikenal oleh Leonard adalah seorang mafia yang ditakuti di dunia. Namanya mengalahkan mafia-mafia yang tersebar di dunia, seperti di Rusia, Jepang, Meksiko dan Italia. Siapa yang tidak mengenal Javier Wyman yang kini sebagian besar kekayaannya berasal dari perjudian, perdagangan orang, narkoba dan perdagangan senjata api. Itu adalah bisnis ilegalnya, bisnis legalnya tentu tidak kalah banyak, salah satunya adalah perusahaan berlian yang diceritakan tadi. Kekayaan Wyman sekarang memang membuatnya masuk dalam jajaran orang terkaya di dunia, melebihi deretan kekayaan mafia lainnya yang ada di dunia.
Organisasi hitam yang diberinya nama Dragon Blood ini memiliki 8 brigade dengan kekuasaan yang otonom dan terpisah. Meski demikian, semuanya diawasi oleh sebuah dewan yang beranggotakan 20 orang. Jumlah anggotanya kini telah mencapai 8.000 orang yang tersebar hampir di seluruh dunia. Leonard Denjiro adalah satu di antara mereka, namun kini ia menjadi tangan kanan, bahkan dianggap sebagai anak oleh Javier yang memegang kendali langsung atas bisnis-bisnisnya dan menjadi orang penting kedua setelah Javier di organisasi tersebut.
Leonard membaca dokumen mengenai laporan yang telah dirangkum oleh asistennya. Dokumen-dokumen tersebut tentang kenaikan grafik perusahaan berliannya dari segi pendapatan, serta grafik kinerja tim-nya selama sebulan terakhir ini. Dan beberapa laporan lainnya yang harus ia pelajari dalam satu waktu.
Para anggota rapat masih dengan sabar menunggu respon tuannya. Suasana rapat begitu hening dan mencekam. Sesungguhnya setiap anggota rapat sudah memastikan jika tidak ada yang aneh atau sesuatu data yang dapat memancing amarah seorang Leonard. Namun aura yang terpancar dari diri pimpinan mereka tersebut sudah berhasil membuat mereka menahan nafas.
Ini angka yang fantastis, ucap Leonard, akhirnya. Dan saat itulah, seluruh anggota rapat menghembuskan nafas leganya nyaris bersamaan. Itu cukup mewakili jika Leonard puas dengan laporan penjualan bulan ini.
Betul, Tuan. Penjualan kita meningkat setelah bekerjasama dengan One Star Entertainment."
Leonard tidak heran dengan penjelasan yang disampaikan oleh asistennya. Karena ia sendiri yang meminta kepada karyawannya untuk melakukan kerjasama dengan perusahaan tersebut. One Star Entertainment sendiri merupakan perusahaan agen pencari bakat, label rekaman, managemen acara dan produksi musik dan konser.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, untuk Angel diamonds ini yang beberapa waktu lalu dipakai pada video klip salah satu artis milik One Star, semua sold out. Ini penjualan yang sangat fantastis karena terjual hanya dalam 1 hari saja.
Leonard bergeming seolah menyesap kalimat tersebut. Ini sejarah baru dalam perusahaannya.
"Siapa artisnya?"
"Dia bernama Shayna, Tuan. Dia seorang penyanyi pendatang baru di bawah naungan perusahaan One Star, namun baru dua tahun ini namanya sudah melambung dan lagunya masuk dalam chart Top 100 Billboard."
Wajah Leonard tetap datar, namun dibalik ketenangan wajah itulah, ia menyembunyikan senyumnya.
"Satu hal lagi Tuan, CEO One Star mengundang Anda untuk menghadiri pesta ulang tahunnya weekend ini."
Willy memberikan undangan party tersebut kepada tuannya. Sesungguhnya ini diluar bahasan rapat, namun sesuatu telah menarik perhatiannya sehingga Leonard tidak memarahi asistennya tersebut.
"Masukkan ke dalam jadwalku."
⁕ ⁕ ⁕
Berada di negara empat musim menjadi suatu tantangan tersendiri bagi seseorang yang terbiasa berada di iklim tropis. Seperti sebuah mimpi, seorang wanita berwajah oriental itu kembali menginjakkan kakinya di negara empat musim.
Jika sebelumnya ia melanjutkan sekolah musiknya di Inggris, kali ini ia tengah menjalani kontrak kerjasama dengan salah satu perusahaan label rekaman terkenal di New York, Amerika. One Star Record namanya, perusahaan ini merupakan anak usaha dari One Star Entertainment yang menangunginya.
Ada satu tempat yang menjadi favorit bagi wanita itu. Yaitu di atap gedung One Star Record. Agak mainstream sebenarnya, tapi hanya disinilah, ia merasa dirinya dapat menyatu dengan alam.
Menyapa matahari walau terasa lebih terik dari biasanya ketika di musim panas dan menikmati sebuah alunan musik yang tercipta dari gesekan antara udara dengan angin. Semua itu adalah harmoni yang sangat sempurna.
Shayna memainkan dawai gitarnya, lalu mencatatnya di sebuah partitur. Semalam ia menulis sebuah lirik lagu namun ia belum menyelesaikannya menjadi lagu yang utuh, karena ia belum menentukan struktur lagu dan nada dasarnya sendiri. Entah sudah berapa lama ia terlalu asik dengan dunianya, sampai tidak menyadari kehadiran seseorang disana.
"Shayna!"
Suara yang terdengar cempreng itu menyapanya. Suaranya bertabrakan dengan suara angin yang bertiup kencang disana. Tanpa aba-aba, wanita tersebut berlari dan langsung menarik tangan Shayna dengan kuat.
Shayna yang awalnya tengah duduk di bawah sana, sontak langsung mengimbangi gerakan dari wanita tersebut hingga akhirnya keduanya berdiri berhadapan. Sedetik kemudian, ia dipeluk dengan erat walau hanya sekilas.
"Ada apa Emma?"
"Lagumu! Lagumu masuk dalam 100 Chart Billboard! Ini suatu hal yang sangat mengejutkan! Ini fantastis, Shayna!"
Shayna bisa memastikan jika Emma menjelaskan dalam satu tarikan nafas. Lalu sekarang Emma kembali memeluknya dengan erat.
"Sekarang bereskan semuanya. Sebentar lagi rapat akan dimulai. Apa kau lupa?"
Suara Emma kembali terdengar. Padahal Shayna sendiri belum menyesap dengan sempurna kalimat pertamanya tadi, namun kini Emma sudah mengambil alih gitarnya. Ia mengalungkan dan menempatkannya di punggungnya. Tangannya menggandeng Shayna dan berjalan dengan irama yang cukup cepat untuk meninggalkan tempat favoritnya tersebut.
Kebiasaanmu memang aneh. Padahal di gedung ini ada studio musik yang bisa kau pakai!
Emma adalah manager Shayna semenjak dua tahun lalu, atau lebih tepatnya ketika ia resmi menandatangani kontrak dengan perusahaan One Star Entertainment. Sebelumnya ia telah berkarir dan memiliki manager di Indonesia, namun sayang manager lamanya tidak dapat ikut bersama dengannya karena ia single parent. Namun memiliki manager seperti Emma tidaklah buruk.
Emma memiliki kepribadian yang ceria, bahkan bisa dibilang cerewet. Namun dalam hal pekerjaan dia cukup profesional. Ia bahkan selalu memberikan ide segar untuknya dalam hal karir dan mengatur jadwalnya. Baginya Emma tidak hanya sebagai manager, tapi sudah seperti kakak sekaligus Ibu pengganti untuknya. Baiklah yang terakhir agak sedikit berlebihan, hal ini dikarenakan Emma selalu mengurus segala hal tentangnya mulai dari membuka mata hingga Shayna tidur. Mengenai usia, keduanya hanya berjarak sekitar sepuluh tahun. Shayna tahun ini berumur 27 tahun, sementara Emma antara 35-37 tahun an. Entahlah.
Kadang Shayna merasa ini seperti mimpi yang akan lenyap ketika ia terbangun. Namun berkali-kali ia mencubit lengannya dan terbangun dari tidurnya, semuanya masih sama. Ini nyata.
Sejak kecil Shayna sudah suka menyanyi. Ia beruntung memiliki sosok ayah yang sangat mendukung hobinya dan memfasilitasi setiap kebutuhan anaknya, termasuk mendatangkan guru musik khusus untuk mengajarinya olah vokal dan beberapa instrument musik. Hingga akhirnya ia dapat meneruskan sekolahnya di salah satu sekolah musik bergengsi di Inggris.
Baginya ini suatu perjalanan yang sangat luar biasa. Ia tidak bisa mengatakan bahwa apa yang ia capai saat ini adalah suatu yang instan. Karena bagaimanapun Shayna berjuang selangkah demi selangkah. Ia hanya ingin terus menyanyi, ia ingin memberi banyak lagu untuk orang-orang. Karena Shayna tahu bagaimana rasanya sebuah lagu dapat mengubah mood seseorang. Karena sebuah lagu pula, Shayna merasa kuat, bahkan tanpa kehadiran sosok Ibu tercintanya.
"Bagaimana bisa okupansi hotel kita menurun drastis disana?!"
Semua anggota rapat terdiam. Aura khasnya yang begitu membunuh, mampu membuat orang terdiam dan tidak berkutik. Mereka ingin menjawab, namun ketakutan yang menyergapnya jauh lebih besar.
Hari sudah menjelang siang dan udara makin panas di musim panas. Saat ini, Leonard tengah memimpin rapat keduanya yang diadakan di Luxury Denjiro Hotel. Namun sayang, data laporan mengenai grafik hotelnya tidak sesuai harapannya. Bahkan jauh dari berita baik yang tadi ia terima saat berada di perusahaan berliannya.
Ini buruk. Sangat buruk.
"Steve, bukankah Ms Chloe yang memegang kendali di LA?" lanjut Leonard. Steve hanya mengangguk membenarkan.
"Kami sudah mengumpulkan data seperti yang Tuan perintahkan, dan kami menemukan ada ketidakcocokan data, Tuan. Terutama untuk laporan keuangan hotel kita disana," terang Steve.
Ia memberikan dokumen tebal yang diminta oleh Leonard beberapa minggu lalu.
Leonard kembali mengamati dokumen yang ada ditangannya. Dugaannya tidak pernah meleset, hanya saja selama ini ia tidak memiliki banyak bukti. Rupanya wanita itu begitu pintar memanipulasi laporan keuangan dan melakukan hal licik lainnya yang membuat okupansi hotel menurun drastis. Karena ulahnya, perusahaan diprediksikan mencapai kerugian hingga ratusan juta dollar. Itu bukan angka yang main-main!
"Dimana Ms Chloe sekarang?"
"Maaf Tuan, beliau tidak bisa hadir."
"Tidak bisa hadir katamu?!"
Leonard menggeram marah dan itu menjadi alasan bagaimana mencekamnya suasana rapat kala itu. Chloe sendiri adalah kekasih Javier, dan bisa dipastikan ia tengah bersama Javier di Roma, menemani berlibur. Atau mungkin sebaliknya, Javier yang menemani wanita licik itu untuk liburan. Persetan dengannya.
Leonard sendiri tidak mau berdebat dengan Javier tentang penempatan Chloe di daerah California untuk memegang kendali hotel-hotel Leonard disana. Walau sesungguhnya usaha perhotelan adalah usaha murni yang dibangun oleh Leonard sendiri, namun menolak permintaan Javier mengenai penempatan Chloe disana adalah suatu ide buruk. Ia sudah terlalu banyak berhutang budi kepada Javier. Sialnya, ia terlalu lengah dan menyerahkan hampir sepenuhnya kepada Chloe hingga ia lupa bahwa di dunia ini penuh dengan pengkhianatan.
Aku ingin masalah ini terselesaikan sebelum rapat dengan para pemegang saham dan dewan direksi.
Leonard menutup kembali dokumen tersebut. Tatapan matanya yang tajam menyapu bersih setiap anggota rapat yang hadir. Semuanya mengangguk dan menjawab lirih atas kesanggupan mereka, namun tidak ada yang berani menatap balik tatapan seorang Leonard. Pikiran pria itu sesungguhnya begitu kacau. Ia yakin, tidak mudah menyampaikan kepada Javier bahwa Chloe tengah bermain api dengan perusahaannya. Namun pria ini harus mengatakannya, sekalipun akan mengancam hubungan keduanya.
⁕ ⁕ ⁕
“Baiklah, cheers!”
Emma mengangkat gelas keduanya di udara. Saat itu, ia tengah bersama dengan Shayna, dan beberapa staf dari perusahaan One Star untuk merayakan keberhasilan Shayna. Sesungguhnya ini murni ide gila Emma. Shayna bahkan tahu, Emma sudah berhemat dan menahan diri untuk tidak pergi ke club. Ia sudah berjanji pada Shayna untuk mengurangi kebiasaan buruknya tersebut. Namun karena lagu Shayna telah masuk dalam Top 100 Chart Billboard, Emma berulah. Dan inilah hasil ulah Emma.
Shayna hanya memutarkan kedua bola matanya. Ia bahkan tidak mengangkat gelasnya, seperti yang dilakukan oleh Emma. Dia hanya meneguk sedikit minumannya. Bukan wine, vodka atau wisky. Baiklah, ia hanya memesan jus strawberry. Itu cukup menemani ide gila Emma malam ini.
Seseorang menangkap ketidaknyamannya. Ia beranjak dari tempatnya dan memilih duduk di kursi kosong yang kebetulan ada di sebelah Shayna.
"Selamat untuk keberhasilanmu."
Seorang pria mengangkat gelasnya untuk Shayna, lalu ia meminumnya. Dia adalah Daniel, seorang CEO dari perusahaan One Star Entertainment, tempat Shayna bernaung. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu bagaimana awalnya sampai seorang CEO sesibuk Daniel menyempatkan waktunya untuk hal tidak berguna seperti ini.
"Terimakasih Daniel, Anda bahkan telah mengatakan itu puluhan kali."
Shayna tersenyum dan disambut dengan tawa Daniel yang cukup membuat lesung pipi yang dimiliki pria tersebut tercetak jelas disana. Bagi para wanita di perusahaannya, Daniel adalah sosok suami idaman dan memiliki urutan pertama yang wajib dikencani. Satu hal yang unik dari pria itu, ia hanya ingin dipanggil Daniel oleh siapapun, tanpa embel-embel Sir ataupun Tuan, dan lainnya.
"Aku tahu kau mampu, Shayna."
Daniel kembali membuat Shayna terdiam.
Memori wanita tersebut tiba-tiba mengantarkannya pada insiden bagaimana Daniel menemukan Shayna di ajang pencarian bakat di Amerika. Saat itu ia memang tidak menang sebagai finalis, namun ia tidak menyangka jika suaranya mampu menarik perhatian salah satu CEO dari perusahaan agensi sekaligus label rekaman ternama. Itu kejadian dua tahun lalu, namun terasa seperti kemarin.
"Ya, Anda telah memberi saya kesempatan, Daniel. Bagi saya ini masih terasa mimpi."
Shayna menyesap jusnya. Lalu kembali menatap Daniel yang ternyata pria tersebut tidak melepas tatapannya darinya, dan jalan saya masih panjang.
"Ini baru awal, right?"
"Yeah. Kau harus lebih tangguh dari sekarang. Lebih mampu bersaing dan tetap lakukan yang terbaik."
Daniel melepaskan tinjuan ringannya di lengan Shayna. Wanita itu paham jika itu adalah salah satu kebiasaan Daniel untuk memberikan semangat kepada seseorang.
Shayna membalasnya dengan tersenyum.
"Hei! Oh, astaga bagaimana bisa kalian rapat di tempat seperti ini!"
Emma menyela di antara pembicaraan yang terjadi. Ia kini tengah berada di tengah-tengah antara Daniel dan Shayna.
"Shayna, ayo kau sekali-kali harus mencoba dansa!"
Suara Emma berusaha mengalahkan dentuman musik yang masih mendominasi. Percakapan singkat antara Daniel dan Shayna membuat mereka tidak sadar jika beberapa staf lainnya telah hilang dalam lautan manusia, berbaur untuk berdansa di dance floor. Pantas jika Emma menyebutnya dengan rapat pribadi, karena tadi yang tersisa di meja hanya Daniel dan Shayna saja.
"Tidak, Emma. Aku tidak bisa."
"Ayolah, Shayna! Kau rugi jika tidak melakukan ini seumur hidup! Ini menyenangkan!"
Lihatlah, bahkan Emma sudah menggoyang-goyangkan tubuhnya mengikuti dentuman musik. Shayna yakin Emma sudah setengah mabuk. Baiklah, kadang memang agak sulit membedakan tingkah Emma saat ia sadar atau sedang mabuk. Ia sama gilanya.
Shayna hanya menggeleng dan tidak menggubris Emma. Hingga akhirnya wanita tersebut beralih membujuk Daniel untuk ikut dansa. Baiklah, kali ini Shayna yakin Emma mabuk. Karena tidak mungkin jika dalam kondisi sadar Emma mengajak seorang Daniel untuk berdansa disana.
"Shayna, kupikir ini ide bagus."
Daniel sudah beranjak berdiri, dan siap menarik Shayna.
“No, Emma. What??!"
Shayna tidak percaya ketika Daniel ikut mengajaknya juga. Oh baiklah, ia kini berada di posisi tidak ada yang memihaknya sama sekali.
"Daniel, Anda pasti tidak percaya ini. Saya tidak bisa berdansa! Saya kacau! Oh tidak, ini ide buruk!"
Seberapa pun kerasnya Shayna menolak, Daniel dan Emma telah menyeret Shayna layaknya seorang narapidana. Mereka membawa wanita tersebut ke center. Emma sudah mulai menggerakkan badannya, bergoyang mengikuti alunan suara keras dari lagu yang diputar oleh DJ. Sementara Shayna masih terdiam di tempatnya. Ia memandang Daniel yang sudah mulai asyik dan menyatu dengan suasana tersebut. Sesekali pria tersebut menyuruhnya untuk mengikuti gerakannya. Shayna hanya meringis pahit. Ia mencoba melompat, tapi kedua kakinya kembali turun dan akhirnya hanya menggerak-gerakkan kepalanya saja. Sudah dibilang, dia kacau jika untuk melakukan ini.
Shayna bukan orang awam yang baru saja mengenal dunia malam. Bahkan Ayahnya sengaja mengenalkannya dengan tujuan tidak untuk terjun dan terlena disana. Bahkan beliau sendiri yang mengajak Shayna pergi ke salah satu club ternama di Jakarta ataupun di Bali. Beliau hanya ingin memperlihatkan langsung kepada anak putrinya bahwa dunia malam yang sering digandrungi oleh kaum muda ini hanyalah fana. Terlebih minumannya. Tidak ada yang bisa menebak nasib seseorang setelah terlena meminum minuman terkutuk itu.
Shayna mengerti, ia sudah cukup dewasa untuk memahami bahayanya dunia malam yang dikenalkan oleh ayahnya saat itu. Itu adalah bekal berharga yang diberikan oleh ayahnya terutama ketika Shayna memutuskan untuk tinggal di luar negeri. Apalagi di lingkungannya saat ini di New York, bahkan ini seolah ujian hidupnya setiap hari. Disini, pergi ke club sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang-orang barat ini. Oleh karenanya, Shayna selalu menasehati managernya agar mengurangi jam malamnya di club. Hanya di moment seperti ini lah, Shayna lebih cerewet dari Emma.
Shayna akhirnya memutuskan pergi setelah ia menyadari jika ia sudah bisa lepas dari Daniel dan Emma. Keduanya bahkan sudah sangat enjoy berada disana, dan ia tidak ingin mengacau suasana dance floor dengan kondisi dirinya yang mirip patung. Percayalah, itu sangat buruk karena orang-orang di sekitarmu beberapa kali menabrakmu dengan wajah tidak berdosa.
Ia mencoba kembali ke mejanya, namun ia agak lupa bagaimana caranya kembali ke mejanya.
Rupanya tersesat di dalam club juga bisa membuatmu mati kutu. Shayna mencoba berjalan dengan tenang dan mengingat mejanya, walau kini di dalam hatinya sungguh sangat kacau. Suara musik DJ yang begitu keras, disambut dengan teriakan para manusia dan bau alkohol yang menyengat.
Baginya, club sama saja. Walaupun sebelumnya Emma mengatakan jika club yang dimasukinya adalah salah satu club terkenal di kotanya, dimana mayoritas yang datang adalah dari kalangan menengah ke atas, tapi bagi Shayna, itu tidak ada bedanya dengan club biasa. Memang, dari tingkat keamanan dan fasilitas jauh berbeda. Namun ketika semuanya terpusat di dance floor, tidak ada yang membedakan antara kasta menengah ke atas dengan orang biasa. Mereka berdansa, bergoyang dan itu cukup membuat Shayna merasa pening dengan suasananya.
"Aduh!"
Shayna merasa tubuhnya menabrak sesuatu hingga ia terhempas dan menimbulkan kekacauan disana.
Ia telah menabrak seseorang dan menumpahkan minuman orang tersebut hingga membasahi jas yang dikenakannya. Seorang pria berdiri di hadapannya dengan wajah penuh amarah.
"Maafkan aku, aku--"
Melihat hal itu, buru-buru Shayna hendak mengelapnya dengan sapu tangannya. Namun sesuatu menahan gerakannya. Orang tersebut mencengkeram dengan kuat pergelangan tangan Shayna dan menekuknya ke belakang tubuhnya.
Wanita itu sontak meringis kesakitan, karena rasanya tangannya hampir patah.
“Tuan baik-baik saja?"
Dua orang berjas hitam lainnya sontak panik. Namun perhatian tersebut mendapat gerakan penolakan dari sang tuannya.
“Moodku sedang tidak baik, kau bisa kubunuh sekarang kalau kumau. Paham?!"
Suara pria tersebut begitu datar, namun penuh penekanan.
Kedua bola mata mereka beradu. Shayna mungkin tidak akan lupa insiden ini bagaimana ia dipermalukan dan diperlakukan oleh orang yang sungguh arogan. Wanita tersebut hanya meringis menatapnya. Jarak mereka cukup dekat, namun Shayna enggan berlama-lama menatap aura arogansi yang terpancar darinya.
“Dasar jalang! Apa kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa?!"
Bukan pria tersebut yang membentaknya, namun salah seorang wanita yang tengah bersamanya juga. Selain para pria berjas hitam tadi, mereka juga terlihat bersama dengan dua orang wanita di kanan kirinya. Mereka memincingkan mata menatap Shayna.
Kejadian tersebut mampu menarik perhatian orang-orang disekitar. Suara mulai riuh rendah ketika kedua wanita tersebut dengan sengaja menumpahkan minuman yang mereka bawa ke atas kepala dan wajah Shayna secara bergantian. Mereka tertawa bersama.
Pria tersebut hanya diam dengan tatapan matanya yang mengintimidasi. Sampai akhirnya ia menyuruh mereka menghentikan aksinya. Ia berlalu begitu saja tanpa kata. Melewati dirinya yang baru saja dihina sebagai jalang!
"Shayna! Apa yang terjadi?" tanya Daniel yang sudah berada di dekat Shayna.
Namun ia terlambat melihat aksi konyol yang baru saja menimpa Shayna. Ia memperhatikan wanita tersebut dan orang-orang yang baru saja berlalu darinya. Daniel menangkap perubahan rambut Shayna yang kacau. Secara refleks, ia merapihkannya dan mengelap rambutnya dengan sapu tangannya.
"Apa kau baik-baik saja?"
“Yes, im okay."
Shayna melepaskan senyum palsunya seraya menggantikan aktivitas Daniel untuk merapihkan rambutnya. Tentu saja perasaannya tidak baik. Ia baru saja dikatakan jalang, namun ia mencoba tidak melawan. Ia hanya mencoba tidak emosi karena bisa saja paparazi akan menangkapnya dan membuat berita yang negatif tentangnya. Itu tidak baik untuk karirnya, karena ia baru saja memulainya.
"Hei, berhenti kalian!"
Bukan Shayna yang berseru, namun Daniel. Seruan tersebut berhasil membuat orang-orang di sekeliling semakin bersuara riuh rendah menanti apa yang akan terjadi. Namun sayang, orang-orang tadi tetap berjalan tanpa menoleh sedikitpun.
"Keterlaluan. Mereka bahkan tidak mengindahkan seruanku huh?"
"Daniel, sudahlah. Emosi Anda hanya akan memperburuk keadaan. Kita tidak tahu insiden ini bisa saja jadi berita besok pagi. Sudahlah, saya tidak apa-apa."
Daniel meresapi kalimat yang dilontarkan Shayna. Apa yang dikatakan wanita tersebut memang benar. Bisa jadi kemarahannya hanya akan membuat kekacauan yang semuanya berimbas pada karir Shayna. Ia baru saja memulainya.
Namun tetap saja Daniel masih merasa kesal.
Pandangan Shayna tiba-tiba tertahan pada seorang pria yang menabraknya. Entah hanya perasaannya atau tidak, namun pria tersebut tengah menatap dirinya beberapa saat dari kejauhan, lalu ia berbalik dan memasuki ruangan VVIP.
Saya rasa saya harus pulang, Daniel. Shayna melirik arlojinya. Itu adalah kalimat pertama sesaat setelah waktu berlalu begitu saja.
Bagaimana kalau kuantar? tanya Daniel menawarkan diri.
"Tidak, Daniel. Saya bisa pulang sendiri."
"Kau yakin?"
Daniel memincingkan kedua matanya. Shayna hanya mengangguk mantap.
"Baiklah. O ya, aku hanya mengingatkan, sabtu malam adalah pesta ulang tahunku. Kuharap kau bisa datang kesana."
"Tentu. Mana mungkin saya melewatkannya."
Shayna membalikkan badannya. Namun langkahnya terhenti dan kembali menatap Daniel di belakangnya,
"Daniel, tolong sampaikan pada Emma ya. Saya pulang dulu. Malam ini saya harus menyelesaikan nada lagu."
"Jangan terlalu memaksakan diri. Kau perlu beristirahat, Shayna."
Kalimat itu tidak dibalas apapun selain senyuman dari Shayna. Malam ini seharusnya menjadi perayaan sebagai ucapan selamat atas pencapaian dari karirnya masuk dalam Chart Billboard, namun semuanya berhasil dikacaukan atas insiden konyol tadi. Seumur hidup, Shayna tidak akan pernah melupakannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!