September 2008 ...
Gendis belum juga siuman, akhir Agustus setelah mengalami kecelakaan. Gendis masih terbaring di ICU. Monitor di sisi kanan kepalanya, juga terus menampilkan grafis kinerja organ tubuhnya.
Selang ventilator terus membantu Gendis bernapas, ditambah selang makan juga terus mengalirkan nutrisi makanan, selama Gendis nggak sadarkan diri.
Cairan infus, juga berperan penting dan nggak kalah membantu proses penyembuhan bagi Gendis, dan memberikan nutrisi pengganti makanannya.
Doni sudah tiada, Itu lah yang membuat Gendis belum juga mengalami kemajuan dari kondisinya yang masih koma.
Menurut cerita pengasuh yang menemani Doni di Italia, Doni terpelanting saat mengendarai motor barunya itu. Nyawanya nggak bisa diselamatkan, walaupun aslinya bukan seperti itu. Tapi pada akhirnya, nyawa Doni memang nggak terselamatkan seperti apa yang sudah disampaikan bu Popy ke Nover dan juga Gendis.
Kejadian itu, awalnya memang keinginan kedua orang tuanya Doni untuk memisahkan Gendis dengan Doni. Namun pada akhirnya, kedua orang tua Doni menyesali perbuatan mereka, dan memutuskan pindah ke Italia, setelah mengetahui kalau Gendis adalah keponakan dari sahabat dekatnya sendiri.
Sudah 7 hari, Gendis belum siuman.
Kepergian Doni inilah, yang membuat Gendis masih belum sadarkan diri.
Pada saat Gendis mendengar kematian Doni, Gendis terbayang ucapan Maya. Pikiran Gendis nggak karuan, sampai nggak sadar dan menerobos jalan raya.
"Entar juga kalau lo punya pacar. Lo bakalan ngerasain kayak gue Ndis. Dia sakit sedikit, rasanya lo panik mikirin pacar lo. Lo juga bakalan jadi orang yang nggak waras pas lo jatuh cinta."
Sekalipun ucapan Maya memang ada benarnya, tapi perbedaan yang Maya dan Gendis rasakan jelas jauh berbeda.
Waktu itu, Maya panik karena Nover terkena diare.
Namun untuk Gendis, dia panik bukan main karena Doni dikabarkan meninggal dunia.
Di saat Gendis kehilangan akal sehatnya, berlari tanpa arah dan menerjang maut. Gendis juga mengingat perkataan Doni, yang dianggapnya sebagai pesan terakhir dari kekasihnya itu.
"Maaf ya, karena kak Doni milih impian kakak. Kita jadi jauh."
"Kak Doni sayang banget sama kamu Ndis, kak Doni minta maaf. Udah berani sayang sama kamu, tapi nggak tanggung jawab buat ada di samping kamu."
Hidupnya Gendis, tergantung pada keinginannya sendiri. Dia masih mau melanjutkan hidupnya, meskipun Doni nggak ada. Atau benar-benar menyusul Doni? seperti perkataan terakhirnya saat tubuhnya tergeletak di aspal dan nggak sadarkan diri sampai saat ini.
................
Sudah hari ke 10, Gendis belum juga siuman. Napasnya pun, masih dibantu oksigen. Tanpa bosan, teman-temannya terus berdatangan. Bergantian berjaga, hingga mendongengi Gendis cerita masa-masa kecil bersama, dan jadi pengajar selama Gendis koma, supaya membantu proses kesadarannya Gendis.
Pak Bayu, Ayahnya Gendis yang biasanya hanya pulang setiap seminggu atau bahkan sebulan sekali. Harus benar-benar ada di sisi anaknya, untuk membantu Gendis sadar, dan juga bergantian mengawasi Jingga yang belum tau apa-apa mengenai keadaan kakaknya.
Sementara bu Ayu, setelah kecelakaan yang dialami Gendis. Beliau mendapat tawaran pekerjaan di salah satu perkantoran, sebagai customer service. Namun, beliau belum bisa menerima tawaran tersebut. Sebelum putri pertamnya itu siuman, dan ada yang bisa menjaga Gendis di rumah sakit.
Teman-teman Doni juga datang menjenguk Gendis, termasuk Oliv yang datang melupakan kebenciannya terhadap Gendis.
Oliv juga kehilangan Doni, dan juga nggak tega melihat keadaan Gendis yang belum menunjukkan perubahan apapun.
Kali ini, Maya, Nover dan Rezy menemani Gendis. Mereka menggantikan kedua orang tua Gendis yang baru saja pulang, dan dipaksa istirahat di rumah selama ada mereka yang menjaga Gendis malam ini.
Nover dan Maya ketiduran di sofa, sedangkan Rezy masih sanggup melek sambil bermain game di laptopnya.
Rezy berhenti memainkan game nya sesaat, karena perhatiannya tertuju pada Gendis.
"Lo nggak capek ya tidur mulu? Ini udah 1 minggu lebih. Lo nggak kangen bergerak, lo nggak kepengen ngeluarin unek-unek lo gitu?"
"Mending lo nangis Ndis, sampai mata lo bengkak. Abis itu, lo mau inget Doni lagi ya nggak pa-pa. Asal balik lagi ke realitanya."
"Doni emang udah meninggal Ndis, tapi jangan juga karena cinta, lo juga harus ikut ke mana Doni pergi," ucap Rezy, berusaha mengajak Gendis berkomunikasi.
Rezy benar-benar mengakhiri permainannya. Menaruh laptopnya di tas, lalu mengeluarkan amplop cokelat dari dalam tasnya. Dan cuma memperlihatkan amplop itu ke arah wajah Gendis.
"Sebelum dia berangkat, dia nitipin lo ke gue, gue ngerasa aneh banget denger ucapannya. Tapi juga nggak berpikiran sampai separah ini, Ndis."
"Sebenernya, di hari itu. Doni belum meninggal Ndis, Doni masih komunikasi sama gue. Doni kepingin gue jagain lo, karena hubungan kalian nggak direstuin kedua orang tuanya Doni."
"Tapi, komunikasi itu akhirnya ...," ucapan Rezy terhenti, lidahnya keluh untuk melanjutkan penjelasan itu ke Gendis.
Hari di mana Doni kabur, dan masih dinyatakan bernyawa. Doni menelfon Rezy.
Ya. Sahabat yang dia maksudkan, adalah Rezy. Pesan suara yang Doni kirimkan, memang untuk Rezy. Dari awal, orang yang diajak bekerja sama, adalah Rezy.
"Gue udah ngerasa kalau Doni bakal ngelepasin lo Ndis, tapi gue nggak menyangka, kalau Doni bener-bener ...."
Rezy nggak sempat melanjutkan ucapannya, karena melihat Gendis yang mulai bereaksi. Jarinya bergerak perlahan, kemudian matanya pun terbuka dengan sempurna.
Buru-buru Rezy menyembunyikan amplop cokelat tadi ke dalam tasnya, dan memastikan kalau Gendis benar-benar siuman.
"Ndis?" tanya Rezy memastikan.
"Gendis …," ucap Rezy untuk kedua kalinya, sampai memegang bahu Gendis, untuk memastikan kalau Gendis beneran siuman.
Sedangkan Gendis masih belum berbicara. Dia hanya mengarahkan kedua manik matanya, yang menatap Rezy dengan tatapan kosong.
"Lo nggak lupa ingatan kan Ndis? Lo inget siapa gue kan?" tanya Rezy meyakinkan.
Gendis masih belum bereaksi juga, Rezy langsung berteriak membangunkan Maya dan juga Nover.
"Kenapa Gendis, kak Rezy selamatin?" bisiknya ke telinga Rezy.
Rezy menatap lirih ke arah Gendis, saat mendengar ucapan gadis berusia 13 tahun itu.
Sementara Maya, ia langsung antusias mendekati Gendis.
"Gendis, akhirnya lo bangun juga Ndis. Gue kangen lo, gue kangen lo." Maya langsung memeluk Gendis sambil menangis, namun Gendis langsung mendorong tubuh Maya.
Maya diam membeku, melihat Gendis yang seketika mendorongnya.
Nover langsung mengusap kepala Gendis, Nover lega melihat Gendis sudah siuman. Tapi belum sadar, sama reaksinya Gendis yang berubah dingin.
Gendis mulai merasakan tubuhnya yang lemas, belum lagi selang ventilator dan juga cairan makanan mengganggu gerak tubuhnya, namun Gendis tetap berusaha bangun.
"Gendis, lo nggak boleh bangun dulu. Lo baru aja siuman Ndis," ucap Nover, seraya memegang kedua bahu sepupunya itu.
"Gendis mau nyusul kak Doni, mas."
Rezy, Maya dan Nover jelas khawatir, melihat Gendis yang belum bisa melepaskan kepergian Doni.
"Doni mau lo susul ke mana Ndis? Doni udah nggak tinggal di Italia lagi! Lo harus terima kenyataan ini Ndis. Doni udah meninggal, Doni udah nggak ada lagi!" sergah Nover, masih sambil memegang kedua bahu adik sepupunya itu.
Rezy langsung memencet tombol pemanggil perawat, supaya kondisinya Gendis bisa langsung ditindak lanjuti.
"Ya, ada yang bisa dibantu?" tanya perawat, yang suaranya terdengar di speaker.
"Pasien yang koma bangun sus," ucap Rezy, menjawabi pertanyaan suster tersebut.
"Baik, kami segera ke ruangan dan mempersiapkan peralatan," ucap perawat, lalu sambungan pun terputus.
Sementara Rezy berkomunikasi dengan perawat, Gendis sudah mulai ngotot.
"Nggak mungkin mas, nggak mungkin kak Doni meninggal. Gendis masih ngerasain kalau kak Doni masih hidup!" tegas Gendis, dengan air mata yang langsung meluncur dari kedua netranya.
Rezy memalingkan wajahnya, dadanya ikut sesak mendengar ucapan Gendis. Begitu juga dengan Maya, yang hanya bisa menutupi wajahnya, menahan supaya tangisannya nggak terlihat sama Gendis.
Nover langsung memegang kedua tangan sepupunya, agar Gendis bisa tenang, sembari menunggu perawat yang sedang bersiap-siap.
Namun Nover memilih diam, sebab percuma melawan Gendis yang masih emosi. Apalagi, dia masih belum bisa merelakan kepergian Doni.
Setelah paramedis mulai berdatangan, Gendis justru menolak pemeriksaan dokter.
Kegaduhan pun terjadi di ruang rawatnya Gendis, karena Gendis memilih kabur dari kamar rawatnya, dan mau menyusul kepergian Doni.
Keluarga pasien yang berada di depan ruang rawat Gendis, langsung keluar. Memastikan apa yang terjadi di luar ruangan, dan hingga beliau harus masuk ke dalam kamar rawat Gendis.
Ada percakapan singkat, yang dilakukan antara keluarga pasien di kamar yang merasa tergangu. Dan dokterpun segera memerintahkan perawat, agar mengambil tindakan cepat. Karena bagaimana pun juga, Gendis sampai menggangu ketenangan pasien lainnya. Meskipun kamar rawat yang mereka pergunakan, kamar berkelas naratama.
................
Gendis semalaman ditemani dokter bagian psikologi, agar ia meluapkan emosinya yang harus diluapkannya. Wajar saja kalau Gendis masih belum bisa melepaskan Doni, karena kepergian Doni yang tiba-tiba. Belum lagi janji-janji mereka yang akhirnya kandas, sebelum melewati waktu berdua setelah Doni berangkat ke Italia.
Gendis akhirnya mendapatkan nasihat dari ibunya Ade, setelah beliau tau kalau Gendis sudah siuman.
Ibunya Ade, memberikan nasihat yang kembali lagi ke Gendis. Gendis diminta mengingat kedua orang tuanya, yang juga mengharapkan Gendis bisa kembali lagi ke pelukan mereka, setelah Gendis berjuang melawan koma dan rasa sedihnya kehilangan Doni.
Dokter yang merawat Gendis sudah mengizinkan Gendis pulang, namun sebelum itu, beliau menyarankan Gendis untuk ronsen sebelum Gendis diizinkan pulang ke rumah.
Setelah koma selama 1 minggu lebih, lalu Gendis pun diizinkan pulang ke rumahnya. Gendis masih diberi waktu untuk istirahat di rumah selama 1 minggu lagi, karena Gendis masih harus chek up, dan juga memulihkan kakinya yang kesulitan berjalan akibat kecelakaan.
Nover ikut berkunjung ke rumah, setelah adik sepupunya itu bisa pulang setelah pemulihan.
"Nih, buat lo. Dari ibu-ibu di sebrang ruangan lo, sebenernya sih udah dikasih lama. Cuman, ibu itu mintanya dikasih ke lo, setelah lo udah nggak ke rumah sakit lagi," ucap Nover panjang lebar, seraya memberikan sebuah kardus.
"Kenapa gitu?" tanya Gendis.
"Nggak tau, berarti ibu itu tulus ngasihnya, nggak harus menerima ucapan terima kasih dari lo," ucap Nover, menjawabi pertanyaan adik sepupunya itu.
Gendis pun bangun perlahan dari kasurnya, guna mengambil kado tersebut yang Nover taruh di atas meja belajarnya.
"Tapi mas Nover udah bilang terima kasihkan?" tanya Gendis memastikan.
Tanpa bersuara, Nover pun menganggukkan kepalanya.
"Apaan ya isinya, gede banget lagi kardusnya?" tanya Gendis, hanya berani melihat-lihat kardus yang kini ada di pangkuannya.
"Dibukalah, kalau mau tau apa isinya," ucap Nover mengomentari.
"Nggak berani akh, Gendis nggak kenal. Emang mas tau apa alasan ibu itu ngasih kado ini ke Gendis?" tanyanya.
"Ibu itu juga nggak kenal sama lo. Cuman, Ibu itu nggak mau lihat lo terus larut dalam kesedihan."
"Gendis buka nggak pa-pa nih?" tanyanya masih ragu.
Nover menganggukkan kepalanya lagi, sebagai jawaban tanpa memunculkan suaranya.
Setelah Gendis membuka kado tersebut, iapun tersenyum melihat boneka beruang ukuran 80 cm. Pantas bungkus kadonya pun besar. Di situpun tertempel note, yang bertuliskan; Di saat kamu sedih, kamu bisa memeluknya.
Nggak hanya itu, boneka dalam box tersebut juga diisi diary, yang juga dituliskan note; Di saat kamu ingin sendiri, dan mencurahkan kesedihan.
Dan mp3 player yang juga dituliskan note; Di saat kamu harus kembali tersenyum, dengarkan lagu kebahagiaan. Dan berikan manisnya senyumanmu, untuk mereka yang menantikannya.
Dan ada kalimat penyemangat lainnya juga dituliskan di secarik kertas.
Untuk Anak cantik di sebrang kamar tante.
Selamat ya, kamu sudah bisa kembali ke rumah. Berkumpul dengan sanak keluarga, dan segera kembali ke sekolah.
Setelah mendengar, bahwa kamu sudah bisa kembali ke rumah, kembali bertemu teman dan sahabat yang menantikan kesembuhanmu. Tante ikut senang, melihat kamu juga sudah bisa tersenyum beberapa hari ini.
Tante mengerti, kepedihan yang kamu rasakan. Karena tante pun ada di posisi kamu saat ini.
Saat ini, kamu memang kehilangan orang yang selama ini kamu cintai. Pastinya, masih banyak orang yang mengharapkan kamu bahagia, dan menunggu senyum kamu kembali.
Tante pun tetap optimis, sekalipun tante dikabarkan akan meninggalkan orang tua, anak-anak, dan juga suami yang tante cintai yang pastinya berat untuk dilepaskan. Tapi Tante tetap harus menjalaninya, dan percaya kalau tante masih diberi umur panjang.
Terus bahagia ya nak. Doakan tante juga, supaya kita bisa bertemu lagi.
Nover ikut membacanya, tulisan itu membuat Gendis menitihkan air matanya. Dan Nover jelas memeluk Gendis.
Gendis menyadari lewat hadiah dan tulisan yang ia terima itu. Bahwa ada orang lain yang nggak saling kenal, mungkin hanya saling sapa. Namun orang tersebut, membagikan kebahagiaan untuk Gendis, di saat beliau pun mengalami penyakit yang mendiagnosanya berumur pendek.
🔜 Next part🔜
Setelah 2 minggu istirahatnya, Gendis kembali ke sekolah.
Kedatangan Gendis disambut teman-teman sekelasnya, dengan membuat kejutan. Ide ini juga dibuat para power rangers nya Gendis.
Baru aja Gendis duduk di kursinya, Deka langsung mendatangi Gendis, sambil memberikan Gendis kado.
"Gue ngerasa bersalah banget Ndis, karena selama ini bikin ulah terus sama lo. Pas lo koma, gue takut banget nggak sempet ngucapin maaf. Maafin gue ya Ndis," ucap Deka panjang lebar, akhirnya menyampaikan rasa bersalahnya selama ini ke Gendis.
"Iya, gue maafin kok." Gendis membalasi Deka, sambil mengembalikan bungkusan yang Deka kasih.
"Jangan ditolak Ndis, gue ngasih ini buat gantiin hape lo yang gue rusakin." Deka berucap, sambil memberikan balik kado yang Gendis kembalikan tadi.
"Ini kado dari bokap buat gue, karena gue udah naik kelas, hape gue yang lama juga masih bagus. Makanya gue bilang ke bokap, kalau hape ini mau gue kasih ke lo, buat gantiin hape lo yang udah gue rusakin," ucap Deka lagi, meyakinkan Gendis supaya Gendis mau menerima handphone yang Deka berikan.
"Udah. Jangan ditolak lagi Ndis, terima aja. Deka kan ngasihnya tulus buat gantiin handphone lo," ucap Bejo menasehati.
Ucapan Bejo pun didenger sama Gendis, dan Gendis menerima itikad baik Deka. Yang meskipun handphone yang Deka kasih, nggak akan bisa mengembalikan kebersamaannya dengan Doni yang setiap hari selalu saling kasih kabar.
................
Setelah kondisi Gendis membaik, keempat power rangers nya Gendis langsung membuat keputusan, supaya Gendis bisa lupain Doni. Mereka berusaha menjauhkan Gendis dari teman-temannya Doni, termasuk Nover juga.
Hari pertama Gendis balik ke sekolah, Rezy lolos dari perhatian power rangers nya Gendis, terutama Widi yang kepingin banget bikin Gendis lupain Doni dan teman-temannya itu.
Rezy berhasil ngajak Gendis ke rumahnya, untuk menemui Mamanya. Rezy meminta bantuan Gendis, supaya Mamanya itu bisa meringankan hukuman pak Tarjo. Supirnya Rezy, yang menabrak Gendis sampai koma.
Mamanya Rezy punya alasan untuk memecat pak Tarjo, karena beliau seorang pengusaha, beliau nggak mau karyawannya bermasalah dan menimbulkan citra buruk pada perusahaannya.
Nggak disangka, kehadiran Gendis membuahkan hasil. Mamanya Rezy luluh dengan permintaan Gendis.
Pak Tarjo yang sempat dipecat, akhirnya kembali dipekerjakan, dan hukumannya diganti menjadi skorsing selama 10 hari.
Konsekuensi lainnya pun diterima Rezy, yang harus menggunakan kendaraan umum ke sekolah, selama supir pribadinya itu diskorsing.
..........
Hari berikutnya, Rezy dateng lagi ke sekolahnya Gendis. Dia menunggu Gendis di halte, tapi Widi dan Bejo yang dateng.
Sebelumnya, Ade udah lihat kedatangan Rezy dari sebrang jalan, Ade balik lagi buat ngadu ke Widi supaya Gendis nggak ketemu sama Rezy.
"Mau ngapain lo nemuin Gendis!" Widi nggak berniat bertanya, dia cuman mau menegur Rezy saat ini.
"Gue cuman ...," ucapan Rezy langsung dipotong sama Widi.
"Gue nggak mau denger alesan lo nemuin Gendis!"
"Lo kan udah lihat sendiri, gimana sedihnya Gendis ditinggal Doni. Jadi kalau lo kasihan juga sama Gendis, jauhin Gendis supaya dia bisa lupain Doni." cerocos Widi dengan tegas.
"Gini kak, Gendis itu kan baru aja kehilangan kak Doni. Karena lo juga berhubungan sama kak Doni, biar Gendis lupain cowoknya itu. Mendingan lo jauhin Gendis untuk sementara aja kok," ucap Bejo, menjelaskan lebih sopan ketimbang Widi yang emosian.
"Terserah lo, mau ngertiin omongan gue atau Bejo. Intinya, kita sahabatnya Gendis minta lo jauhin Gendis buat kebaikan dan kesehatannya dia," ucap Widi menimpali.
"Tenang aja Wid. Gue nemuin Gendis, karena Gendis sendiri yang kepingin ketemu sama supir gue, bukan untuk ngingetin Gendis sama Doni," ucap Rezy, langsung ngejelasin sebelum omongannya dipotong lagi.
"Intinya, lo bagian dari Doni!" ucap Widi, membalas ocehan Rezy, nada bicara Widi juga menjelaskan kalau Widi nggak suka sama kehadiran Rezy, dan nggak mau mendengar penjelasan apapun dari Rezy.
"Lo takut, Gendis direbut lagi sama orang lain? Karena sebenernya lo naksir sama Gendis kan?" tukas Rezy, sengaja menyindir karena sudah tersulut emosi.
Widi nggak ngomong apa-apa, tapi tangannya langsung narik kerah seragam Rezy.
"Kalau lo emang suka sama Gendis, atau lo ngerasa sahabatnya Gendis. Nggak gini cara lo buat bikin Gendis lupain Doni!" timpal Rezy, yang juga membiarkan tangan Widi menarik seragamnya, dan nggak berusaha buat lepasin tangan Widi.
"Lo nggak bisa maksain perasan orang! Usaha lo bakalan percuma, karena Gendis masih sayang sama Doni," ucap Rezy lagi.
Keadaan makin memanas, hampir aja Widi menaruh tangan di pipi Rezy, kalau bukan karena Gendis dan Maya yang tiba-tiba muncul dan langsung melerai pertengkaran itu.
Bejo yang dari tadi nahan Widi, terus berusaha sendiri buat menjauhkan Widi dari Rezy, sementara Ade sama Didot cuman menonton tanpa berniat menolong Rezy.
"Apa-apaan lo?" desis Gendis, diikuti tangannya yang mendorong dada Widi.
Sementara Maya, dia menarik Rezy, supaya menjauh dari Widi.
"Lo berdua juga ngapain malah diem aja? Bukannya ditahan malah ditontonin. Lo pikir ini pertandingan tinju!?" sewot Gendis ke Ade dan Didot.
Rezy menahan emosinya Gendis, dia langsung mengalihkan dan segera mengajak Gendis pergi. Memberhentikan taksi kosong yang kebetulan lewat, dan mereka pun pergi ninggalin teman-temannya Gendis.
Sepanjang perjalanan, mereka sama sekali nggak komunikasi. Rezy menghadap ke sisi jalanan di sebelah kirinya, begitu juga sama Gendis yang melihat jalanan di sisi sebelah kanannya.
Begitu Gendis mau mulai pembicaraan, taksi yang mereka tumpangi malah berhenti dan mereka pun tiba di tempat tujuan.
Sampai di rumah pak Tarjo pun, mereka langsung diajak makan sembari mengobrol, sampai Gendis pun lupa membahas mengenai teman-temannya.
................
Rezy dan Gendis pun pamit pulang, Rezy juga nggak mau disalahkan teman-temannya Gendis. Karena terlalu lama mengajak Gendis main, apalagi kondisinya Gendis yang tiba-tiba lemas.
"Yang tadi udah nggak apa-apa kan?" tanya Rezy sambil jalan menuju halte, untuk menunggu taksi mereka.
"Iya," jawab Gendis singkat.
Setelah pertanyaan itu, keduanya nggak ngobrol apa-apa lagi.
Rezy sibuk main hape, sementara Gendis cuma memperhatikan jalanan dan lupa lagi membahas ulah teman-temannya tadi. Dan Gendis pun malah mengomentari mengenai cuaca.
"Kak Rezy bawa payung?"
"nggak," jawab Rezy, sambil melihat ke arah awan yang mulai mendung.
Keduanya hening lagi, nggak ada percakapan apa-apa dan malah canggung lagi.
Nggak lama kemudian, hujan pun turun setelah diperkirakan lewat mendungnya awan tadi.
Rezy nggak mau ngambil resiko setelah lihat kondisinya Gendis. Dia pun mengajak Gendis berteduh di warung makan, yang nggak jauh dari halte karena hujan pun langsung turun dengan derasnya.
Gendis menahan langkahnya di depan pintu warung makan, yang seketika membuat Gendis langsung teringat Doni. Tapi karena Rezy narik tangan Gendis, mau nggak mau Gendis masuk dan Rezy udah langsung memesan minuman hangat.
Gendis justru diam aja, tangannya kini menyentuh kepalanya, dan tubuh Gendis pun mulai nggak seimbang lagi. Rezy langsung cekatan, dan meminta Gendis duduk, disandarkan ke tembok.
"Tadi, obat apa yang lo minum?"
"Obat sakit kepala, kalau tiba-tiba kumat dan cuman boleh diminum sekali," jawab Gendis, suaranya terdengar lirih.
Rezy langsung menelfon supirnya, dia nggak mikirin hukuman lain dari Mamanya, kalau dia menelfon supirnya. Dia cuma mikirin Gendis, yang harus cepet-cepet diantarnya pulang.
Setengah jam berlalu, Rezy memperhatikan kondisi Gendis lagi, dan melihat Gendis sudah bisa membuka matanya.
"Lo udah enakan?"
Gendis pun mengangguk pelan.
"Tunggu sampe supir gue dateng ya, sekalian nunggu hujan berhenti."
"Mau gue pesenin minuman lagi?" Rezy berucap lagi, yang tiba-tiba jadi perhatian banget ke Gendis, karena cemas lihat kondisinya Gendis, tanpa tau kalau Gendis saat ini kembali mengingat sosok cowoknya itu.
"Nggak usah kak, Gendis kembung kalau kebanyakan minum," ucapnya menjawabi.
Rezy langsung memanfaatkan situasi, dia keingetan soal amplop cokelat yang memang mau dikasihnya ke Gendis, waktu hari pertama Gendis siuman.
"Untuk Gendis?" tanyanya, seraya menatap kedua manik milik sahabat Doni itu.
Rezy mengangguk dan nggak menunggu lama, Gendis pun langsung membuka amplop itu.
Ada foto polaroid di sampul sebuah buku diary.
Gendis mematung, melihat wajahnya berada di sampul diary yang dilihatnya itu.
"Lo nggak pa-pa Ndis?" tanya Rezy, mengkhawatirkan Gendis yang nggak bereaksi sama sekali.
"Kak Rezy dapet ini dari siapa?" Gendis langsung mengajukan pertanyaan, dengan tatapan terkejut.
Selama ini, Gendis taunya kalau Doni ngirim diary itu lewat pos. Tapi kenapa, diary itu justru sampainya ke Rezy?
Sementara Rezy dengan Rezy, dia terdiam sejenak, dia jelas bingung menjawabi pertanyaan Gendis. Apalagi, dia tau semua kejadian yang menimpa Doni, sampai alasan orang tuanya Doni yang mau memalsukan kematian putranya sendiri.
"Dari Doni," jawab Rezy ragu-ragu.
"Kebetulan, di hari itu Doni ketemu sama nyokap gue. Terus, Doni minta ini dikasih ke lo, lewat nyokap gue."
Akhirnya, Rezy memberikan alasan itu ke Gendis. Dan semoga aja, Doni masih hidup dan sahabatnya itu bisa menjelaskan sendiri ke Gendis, sesuai janjinya lewat telfon yang Rezy terima terakhir kalinya.
"Gendis takut nggak kuat nyimpennya kak," ujarnya, sambil memberikan lagi amplop tersebut ke Rezy.
Rezy pun malah menyodorkan post-it ke Gendis.
🔜Next🔜
[Zy, tolong temenin Gendis ya, pas baca cerita di diary yang gue tulis. thanks]
"Doni juga ngasih post-it lainnya ke gue, sekalian sama amplop cokelat itu."
"Gue nggak bawa post-it yang lainnya, karena banyak dan takutnya ketahuan Nover. Karena Doni nggak mau kalau Nover sampai tau, gue ngehasut lo untuk inget sama dia lagi."
"Lo nggak bakal gue kasih izin untuk simpen barang ini, tapi kalau lo mau baca diary ini, gue siap nemenin kapan pun lo mau," ucap Rezy lagi.
Gendis masih terlihat bingung dengan diary yang Doni kasih ke Rezy, ditambah Gendis masih pusing, karena keingetan Doni.
"Mau pakai cara gue dan teman-teman gue?"
Gendis menyimak ucapannya Rezy.
"Gue dan yang lain selalu mikir, kalau Doni itu sibuk buat ngejar cita-citanya. Anggep aja dia lagi sombong di sana, dan nggak bisa ngabarin kita."
"Dan untuk lo, anggep aja Doni pas lagi inget sama lo, dan nyuruh lo untuk baca diary ini."
Gendis membetulkan posisi duduknya, tapi masih menyenderkan punggungnya ke tembok.
"Nggak gampang kak, buat lupain kak Doni. Setiap kali Gendis mau lupain kak Doni, ada aja kejadian yang bikin Gendis inget lagi," ucapnya menjelaskan.
Gendis bingung ngejelasin ke Rezy, karena nggak ada bukti yang bikin Gendis keingetan sama moment ini. Satu-satunya bukti, ada di diary nya yang udah dikirim Gendis ke Italia.
Akhirnya, Gendis pun menyampaikan perasaan yang tengah dirasakan Gendis saat ini.
"Sebenernya, kejadian hari ini bikin Gendis trauma kak. Gendis sama kak Doni, pernah berteduh di warung makan. Kak Rezy inget nggak, waktu kejadian ulang tahun kak Doni, tas Gendis ketinggalan di mobil kak Rezy. Terus maag Gendis kumat ditambah hujan juga, dan mau nggak mau aku dan kak Doni harus berteduh di warung makan itu, dan kejadiannya persis kayak hari ini."
Mendengar penuturan Gendis, Rezy langsung kaget dan membuat satu kesimpulan, yang memang dibahas sama teman-temannya Gendis tadi.
"Gue sempet salah sangka sama temen-temen lo, usaha mereka buat bikin lo lupa sama Doni emang bener banget."
"Harusnya gue ikutin saran mereka untuk nggak nemuin lo, termasuk Nover. Dia juga harus jauhin lo sampai lo bener-bener lupain Doni."
Gendis cuma menundukkan kepalanya, dia memang harus mengikuti saran Rezy, tapi memang dasar perasaannya yang masih belum bisa untuk lupain Doni. Memory yang udah pernah dijalanin bareng Doni, belum bisa dibuang gitu aja, ditambah Rezy langsung ngasih kenangan terakhir dari Doni yang dititipin untuk Gendis.
................
Setelah kejadian Widi melabrak Rezy, lalu Rezy justru meminta Gendis untuk melupakan Doni. Gendis malah berbalik marah ke teman-temannya, yang juga menyuruhnya melupakan Doni. Padahal ide itu mereka pilih, untuk kebaikan Gendis juga. Sampai-sampai, Didot minta tuker temen sebangkunya Widi buat duduk sama Gendis.
Pindahannya Iqbal nggak membuahkan hasil dan intinya percuma, karena guru Bahasa masuk dan meminta mereka untuk duduk menurut kelompok mereka.
"Ada yang mau ngasih ide? Gue antusias banget nih, pengen menangin kelompok kita," ucap Deka.
Kerja kelompok ini bukan hanya untuk menambah nilai pelajaran Bahasa, mereka juga sekalian mengikuti perlombaan secara berkelompok.
Kelompok dari setiap kelas yang menang, akan diikut sertakan pada acara anniversary sekolah mereka.
Pertanyaan antusias Deka, sayangnya nggak disambut sama Gendis, Didot dan Widi yang memang lagi bersitegang.
"Gimana kalau bikin drama musikal?" Yani mendonorkan ide pertama untuk kelompoknya.
Deka dan Rizky terlihat setuju, tapi dia juga butuh persetujuan lain dari tiga orang di kelompoknya yang sedang bersitegang dan nggak fokus.
"Wid, Dot, Ndis. Kalian setuju nggak?" tanya Deka selaku ketua.
"Tarserah wae lah Dek, lier lah ente bisa kasih solusi," ucap Didot dengan logat dan bahasa sundanya itu.
"Lo Ndis?" tanya Yani ikut memastikan.
"Gue kurang setuju untuk drama musikal, karena kita harus ngafalin dialog," ucap Gendis, dia belum selesai menjelaskan idenya ke Yani, tapi Widi malah mendahuluinya. "Susah-susah orang nyari ide, malah ditolak."
Gendis langsung pasang tampang sinis ke Widi.
"Lo mau kasih ide lain Ndis?" tanya Deka, menyela tatapan Gendis ke Widi, yang dipastikan bakalan bersitegang.
Sementara Deka yang sekarang, semenjak Gendis kecelakaan dan Koma. Deka bertekat untuk menghentikan aksinya, yang selama ini nyusahin dan suka ganggu Gendis disetiap kesempatan. Deka nggak mau nyesel, apalagi sebelumnya dia sama Gendis habis bersitegang yang untungnya. Semua kejadian beberapa hari yang lalu, sudah bisa dikondisikan dan berusaha diperbaiki sama Deka.
"Musikalisasi puisi," ucap Gendis, yang lagi-lagi diselak Widi.
"Kalau ngasih ide dijelasin dong, banyak orang awam nih," ucap Widi yang terus bikin Gendis kesel.
Tapi Deka berhasil menenangkan suasana.
"Gue punya contohnya, hari ini langsung ke rumah gue aja. Kita langsung praktekin idenya Gendis tadi."
"Terserah lo deh," ucap Widi malas, sambil melipat kedua tangan di antara dadanya, lalu menyenderkan bahunya ke kursi dan tetap pasang tampang cuek dan kesal.
"Ng-geus kelar?" tanya Didot dan bikin Yani, Deka dan Rizky kebingungan, karena Didot pakai bahasa sunda.
"Maksud Didot teh, udah selesai belum, gue laper mau ke kantin," ucapnya memperjelas.
................
Rumah Deka cukup mewah, dengan tatanan dan dekorasi classic khas banget sentuhan seorang Ibu.
Begitu mereka naik ke lantai satu, banyak terpajang bingkai foto dan isinya foto Deka dari kecil sampai sekarang. Dan bingkai tersebut, terpajang dan berhenti tepat di samping pintu kamarnya Deka.
"Rumah lo keren juga Deka," ucap Widi memuji.
Yang membuat Widi takjub sejak awal masuk ke rumah Deka, karena ia menikmati pemandangan foto-foto di sepanjang perjalanan mereka ke kamar Deka. Walaupun terbilang rumah Deka nggak besar, tapi memiliki kesan mewah dan nggak ngebosenin.
Deka tersenyum menerima pujian tentang rumahnya.
"Di atas cuman kamar lo doang Dek?" tanya Widi lagi, karena begitu mereka ke lantai atas, mereka hanya melihat 2 pintu. Yang satu pintu kamar Deka dan yang satunya pintu menuju kamar mandi dan begitu mereka memasuki kamar Deka, luas kamar Deka bener-bener seluas kelas mereka di sekolah.
"Iya, karena gue anak tunggal, jadi kamarnya ya hanya satu di atas."
"Widiiih, enak betul nih yang bakalan jadi istri lo nanti. Tinggal menikmati," ucap Didot, kali ini nggak pakai Bahasa Sunda, supaya Deka mengerti ucapannya.
Semenjak kejadian Gendis kecelakaan, Didot udah nggak tarik urat lagi kalau ngomong sama Deka. Mereka sekarang, justru jadi teman dekat. Dan malahan, Didot yang kali ini lagi kesel banget sama Gendis.
"Ya salah satu alasan kamar gue sekalian gede, karena orang tua gue nggak mau gue pindah pas nikah," ucap Deka sambil tersenyum.
Deka menyalahkan komputer, yang langsung tersambung ke jaringan internet. Deka langsung memberikan contoh dari video yang dijadikannya referensi, untuk tugas Bahasa dan mempersiapkan untuk perlombaan serta pembagian tugas.
Nggak disangka, ide yang Gendis berikan membuat teman-temannya setuju, tanpa mereka mencetuskan kata-kata. Terlihat dari nyamannya mereka membagi tugas, sampai akhirnya mereka langsung hafal setelah beberapa kali mengulang latihan hari itu juga.
Gendis memikirkan batas waktu yang diberikan guru bahasa, kalau tadi Gendis menerima ide Yani. Karena udah jelas, akan buang waktu dan belum lagi mereka akan lama karena harus menghafal dialog.
Saran Gendis sendiri karena tau keterbatasan dirinya, dan juga kedua sahabatnya yang sama-sama nggak bisa menghafal dengan cepat, apalagi di bawah tekanan.
Gendis juga memberi ide yang nyambung sama tugas mereka bikin puisi, jadi biar puisi mereka kepakai, jadi harus ada tema yang pas dan menarik untuk mereka pelajari.
................
Setelah melewati seleksi perkelas, kelompoknya Gendis mewakili kelas mereka untuk mengisi acara perlombaan dalam rangka ulang tahun sekolah.
Mereka optimis menang dalam perlombaan, sampai sudah menyiapkan strategi kedua untuk memenangkan perlombaan, apabila mereka masuk ke babak final dan berkompetisi dengan 5 kelas untuk kelas 2.
Handy camp sudah disiapkan Deka, untuk merekam moment penting kelompoknya.
Gendis nggak sadar pada saat mengambil handy camp yang memang dititipkan ke Gendis, Gendis malah menjatuhkan sebuah foto.
Setelah acara selesai. Gendis yang datang belakangan, langsung dikejutkan sama amarahnya Widi, padahal mereka sudah mulai baikan selama latihan.
"Lo masih nyimpen ini?" bentak Widi, sembari memberi unjuk foto Doni yang terjatuh di kolong tempat duduknya Gendis.
Gendis langsung menundukkan kepalanya.
Didot yang nggak tega, buru-buru mengambil fotonya Doni, lalu dikasih ke Gendis yang diambilnya dari tangan Widi.
"Didot ngarti kok, kalau Gendis belum bisa ngalupain a Doni."
Setelah itu, Didot juga langsung ngomong ke Widi, "Wid, kita nggak bisa maksa Gendis."
Widi tetep kukuh, nggak terima nasihat dari Didot, Dan langsung marah-marah ke Gendis, yang untungnya nggak ada penonton lain selain temen kelompoknya, karena yang lain berkumpul semua di depan panggung.
"Doni! Dia aja terus yang ada di pikiran lo!"
"Sadar Ndis, dia itu udah mati! Dengan lo mikirin dia terus, emangnya dia bisa hidup lagi?"
"Kita perduli sama lo Ndis, kita kepingin lo lupain Doni dengan segala macem kesibukan. Sampai gue rela berantem sama lo, karena gue mau lo sadar Ndis!"
Gendis menggebrak meja sambil berteriak.
"Udah .... cukup!!"
"Coba lo ada di posisi gue, ngerasain susahnya di kondisi kayak gini," sergah Gendis, diikuti air matanya yang menetes.
Gendis menahan ucapannya, mengatur napasnya terlebih dulu, sebelum kemudian berbicara lagi, "gue nggak minta bantuan kalian, gue cuma butuh kalian ada terus sama gue dan nggak ninggalin gue kayak kak Doni."
"Cuma itu ...." tandas Gendis. Dan menjadi kata-kata terakhirnya Gendis, karena Gendis langsung nggak sadarkan diri.
🔜 Next ... 🔜
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!