NovelToon NovelToon

Mencuri Ciuman Princess Viviane

Prolog

Wanita itu merasakan dirinya mulai kehabisan nafas. Dada terhimpit dengan beban yang dua kali lipat lebih besar. Tangan kecilnya mencoba menyingkirkan tubuh yang ada di atas tubuhnya. Dengan putus asa mendorong tubuh itu sekuat tenaga, hingga si pria jatuh ke tempat tidur.

Sensasi dingin menyambar seketika pada kulit bagian depan yang tidak terhalang apapun. Gaun hijau yang tadi dipakai sudah terbelah di bagian dada hingga ke perut. Akibatnya dada sintal wanita itu jelas terlihat tanpa penghalang.  

Pakaiannya tidak bisa digunakan lagi, jadi ia cepat-cepat mengambil kemeja si  pria yang tercecer di lantai untuk melapisi gaunnya yang rusak. Lila tidak tahu apakah vas bunga yang ia raih sembarang di atas nakas membunuh pria itu atau tidak, Yang jelas saat ini Grey de Armond tidak sadarkan diri.

Dengan tangan gemetar Lila kembali mengambil mantel panjang Grey dan buru-buru memakainya, sementara tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di pintu memecah suasana hening kamar. 

“Tuan Grey, apakah anda baik-baik saja?”

Lila menatap horor ke arah pintu, lalu berganti menatap Grey yang terbaring ditempat tidur dengan keadaan setengah telanjang dan kepala terlihat mengeluarkan darah. Sesungguhnya ia sangat takut pria itu sadar. 

“Tuan Grey, aku mendengar suara barang pecah di dalam, apakah kau baik-baik saja?” kata orang yang ada di luar, sembari terus mengetuk pintu kamar yang Lila yakini sudah dikunci Grey tadi. Namun, tampaknya pintu kayu itu tidak akan bertahan jika didobrak.

Pria di atas ranjang tiba-tiba mengerang, wanita itu semakin panik. Jika Grey bangun saat dia masih disini, sudah dipastikan dia akan terkurung di kediaman Count Grey selamanya. Membayangkan hal itu saja membuat Lila bergidik ngeri. Ia buru-buru pergi ke jendela kamar dan membukanya. Hawa dingin menabrak wajahnya seketika. Di luar salju mulai turun, dan dirinya kini ada di lantai dua penginapan. Lila  bersyukur setidaknya kamar itu tidak berada di lantai yang lebih tinggi.

Ketika gagang pintu bergerak ke atas dan kebawah, di tambah suara orang berteriak di luar mulai tak sabar, Lila turun dari jendela itu. berpegang dan memijak pilar jendela satu ke jendela lain tanpa rasa takut, hingga kakinya berhasil mendarat di tanah dengan aman.

Lila berlari menyelamatkan dirinya ketika suara dobrakan pintu terdengar jelas. Ia  berlari secepat mungkin menjauhi penginapan dan masuk ke hutan yang gelap.

...***...

Lila tidak berani melihat ke belakang. Dia hanya fokus untuk menjauh dari Count Grey dengan sekuat tenaga. Lila sangat bersyukur, kapal yang seharusnya datang hari ini, mengalami keterlambatan karena cuaca buruk, dan akan tiba di pelabuhan keesokan harinya. Hal itu menyebabkan Grey mau tak mau memesan kamar penginapan untuk mereka menunggu pagi. Lila tidak ingin hidup dengan seorang pembunuh.

"Ya Tuhan, kumohon, selamatkan aku!" batin Lila dengan nafasnya yang mulai tersengal-sengal, juga yang jadi panas akibat reaksi dari adrenaline-nya

Lila yang lupa memakai sepatu merasakan telapak kakinya  mati rasa karena membeku, ditambah gaun nya tersangkut sana-sini hingga mulai robek sedikit demi sedikit. 

Dia tetap memaksakan kakinya untuk untuk berlari meski rasanya bisa lemas kapan saja. Lila terlalu panik dan takut jika dirinya tertangkap kembali. Maka Grey akan terus menjadikannya budak pemuas nafsu atau bahkan membunuhnya.

Suasana terlalu berkabut, salju mulai turun dengan deras, jarak pandang Lila berkurang, ia tidak memperhatikan jurang di depannya. Lila terlambat menghentikan langkah hingga terperosok dan jatuh berguling-guling. Kepalanya menabrak batu sebelum tubuhnya jatuh ke jalan.

Tubuhnya terlentang di atas jalan berbatu dengan pandangan berputar, seiring dengan darah yang mengalir dari kepala mengotori salju di bawahnya.  Air mata mengalir dari sudut-sudut netranya. Memandang nanar langit gelap dengan gumpalan es yang turun melayang-layang.

Kenangan lama berputar di depan matanya seperti sebuah kilas balik kehidupanya. Istana Bellerick yang megah, taman penuh bunga-bunga cantik, ayah dan ibu yang mencintainya, Valentine menyebalkan, ritual suci yang sangat membosankan, Daisy yang disayanginya dan Nicholas yang dia cintai.

Sekarang ia tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. Hanya tersisa perasaan terkhianati dan dipecundangi. Bagaimana hidup bisa mempermainkannya dengan begitu kejam. Memutar balik hidupnya hingga sedemikian rupa. Mengubah dirinya yang tadinya seorang puteri raja, menjadi budak hingga tawanan seorang laki-laki maniak. Semua yang dimilikinya tak bersisa. 

mata Lila terasa semakin berat. Darah dari kepala semakin banyak yang membasahi salju. Gadis itu menutup mata sepenuhnya. Membiarkan kenangan-kenangan masa lalu menghujaninya. Dengan begitu kematian yang sudah di depan mata tidak akan terlalu menakutkan.  Nafas yang ia tarik mulai putus-putus. Tepat setelah itu, suara kaki kuda dan putaran roda yang beradu dengan jalan berbatu memecah keheningan malam. Berikutnya ringkikan kuda  terdengar tatkala kusir menarik tali pelana secara tiba-tiba.

...Bersambung...

8 tahun lalu

Awan hitam tampak berkumpul di atas kepala seperti siap menumpahkan bebannya, ditambah angin bertiup kian kencang. Bukan hari yang pas untuk berburu. 

Seorang gadis berambut merah terkepang, dengan busur dan anak panah ditangan tetap berjalan memasuki hutan dibuntuti pelayan setianya.

“Your highness, bagaimana kalau kita pulang saja? Sudah berapa lama kita berjalan, tapi tidak bertemu dengan hewan buruan satupun.” Pelayan setia sang putri berkata dengan cemas dan setengah lelah. Kakinya sudah berteriak minta diistirahatkan sedari tadi, bahkan cemilan yang dibawanya sebelum masuk ke hutan pun sudah habis. Sudah sejak siang mereka ada di hutan Philea ini dan sekarang matahari akan segera terbenam, tetapi sang putri belum menunjukan tanda-tanda ingin pulang.

“Sebentar lagi, Daisy. Aku yakin itu agak jauh ke dalam hutan,” balas Princess Viviane tetap teguh. Dia sudah satu bulan tidak melakukan hobinya ini, karena hukuman yang diberikan ratu karena ketahuan berburu.

Ratu sudah sering memintanya untuk menghentikan hobinya itu. Menurut sang ratu, berburu dan membunuh hanya pantas dilakukan seorang laki-laki, sedangkan seorang princess seharusnya melakukan sesuatu yang anggun seperti duduk di pesta teh menikmati gosip panas yang beredar dari setiap bangsawan Bellerian.

Viviane ingin setidaknya mendapat satu saja hewan buruan hari ini. Mau itu rusa, kijang,  bahkan kelinci tak masalah baginya. Hal  terpenting adalah panahnya melesat ke sasaran dan membawa  daging enak untuk  para pekerja kebun. Sang gadis sangat menyukai perasaan ketika anak panahnya berhasil mengenai sasaran.

“Tapi, Your Highness—”

Kata-kata Daisy terputus ketika tangan Viviane membekap mulutnya tiba-tiba.

“Sssttt … Daisy, menunduk,” bisiknya, lalu memberi isyarat dengan kepalanya agar pelayannya menatap ke depan.

Di sana di antara pepohonan dan tanaman perdu yang meranggas, seekor kijang  asik mengunyah rumput.  Jarak Viviane dengan kijang itu agak jauh, tetapi dia yakin panahnya bisa mencapai si kijang. Viviane tidak mengalihkan perhatian dari buruannya.  Baru saja ia ingin menarik busurnya, kijang itu bergerak menjauh.

“Sial,” umpatnya pelan. 

“Your highness, Anda mau kemana?” tanya Daisy saat tuan putrinya bergerak menjauh.

“Aku akan mengejarnya.”

“Jangan. Hujan sebentar lagi turun. Kita harus segera pulang.” 

“Aku akan mencoba sekali lagi. Kalau gagal, maka kita akan pulang. Kau tunggu di sini saja,” ucap Viviane kemudian kembali melangkah meninggalkan pelayannya. 

Daisy cuma bisa menghela nafas atas sikap sang putri yang keras kepala. Akhirnya memutuskan untuk menunggu majikannya di sana karena dirinya sudah tidak sanggup berjalan lagi. Hutan ini adalah hutan yang sering mereka masuki untuk berburu dan juga letaknya  tidak terlalu jauh dari istana,  jadi masih dalam wilayah yang terbilang aman. Maka dari itu, Daisy tidak terlalu khawatir membiarkan sang putri sendirian. Mereka sudah sering melakukan ini, mereka mengenali sebagian dari hutan ini dan putri Viviane lebih paham untuk tidak membahayakan dirinya sendiri. Namun, tanpa mereka sadari, ada yang mengawasi gerak-gerik mereka sejak tadi dari atas pepohonan yang rimbun.

“My Lord, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Seorang pria dengan penutup wajah bertanya dengan pria lainnya yang tengah memakai teropong.

Sudah sejak tadi laki-laki yang disebut sebagai “My Lord”  memutuskan untuk mengikuti gadis pemburu itu. Melompat dari satu pohon ke pohon lain.

Entah bagaimana dia bisa menjadi tertarik. apakah parasnya yang cantik, cara gadis  itu memegang busur, atau rambut merahnya yang indah terlihat menarik di matanya

“Aku akan turun. Kalian tunggu disini,” kata pria berjubah hitam. Dia menyerahkan teropong kepada prajuritnya kemudian meraih busur dan anak panahnya yang memiliki bulu berwarna perak. Dia melompat dari atas pohon dengan ringan. 

Sementara itu Viviane tanpa sadar masuk semakin jauh ke dalam hutan mengikuti buruannya. Ia perlahan mengendap-endap sekitar 30 kaki di belakang si kijang. Berusaha untuk tak terdengar dan tak terlihat. Bersembunyi di balik semak.

Merasa si kijang mulai stabil, Viviane menarik busurnya dengan anak panah berbulu merah. Mata hijaunya yang cemerlang mengawasi makhluk itu dengan tajam. Jangan sampai buruannya lepas. Viviane menahan napas ketika panah melesat ke arah si kijang menembus tubuh hewan itu hingga rubuh ke tanah.

Senyum di wajah Viviane terkembang sempurna. Cepat-cepat ia keluar dari persembunyiannya menghampiri hewan yang kini tergeletak tak berdaya. Namun baru beberapa langkah suara gemuruh tiba-tiba terdengar. Entah muncul dari mana seekor babi hutan menyergapnya. Dengan marah hewan itu berlari ke arah Viviane. Menyebabkan gadis itu panik. Ini pertama kalinya ia melihat babi hutan selama berburu di tempat ini. Itu berarti dirinya sudah memasuki hutan terlalu jauh. 

Viviane berlari sekuat tenaga menghindari kejaran hewan yang terlihat ganas. Bukannya kembali ke tempat dimana Daisy menunggu, gadis itu malah berlari menjauh.  Amukan babi hutan merupakan ancaman mematikan di hutan. 

“Tolong!” teriak Viviane berharap seseorang  mendengarnya.

Sambil berlari Viviane menarik busurnya ke belakang, dan satu panahnya mengenai babi besar itu. Pergerakannya sempat terhambat tapi sepertinya tidak terlalu berefek untuk hewan dengan taring menonjol ke atas. Babi itu malah semakin mengamuk dan mengejarnya.

“Tolong!” Viviane kembali berteriak dengan putus asa. Dalam hati ia menyesal kenapa dirinya tidak mendengarkan Daisy tadi.

Gadis itu mulai kehabisan nafas, kakinya seperti kehilangan tenaga. Terlebih saat dia terpojok di tepi jurang yang dalam. Sementara suara hewan itu terdengar kian mendekatinya, Viviane dengan gemetar melepaskan anak panah terakhir di tangannya bersamaan dengan tubuh babi hutan yang anehnya tersungkur ke dekat kakinya.

Viviane yang pucat pasi kemudian mendengus lega. Dadanya naik turun berkejaran dengan nafasnya yang tidak beraturan. Wajah putihnya semakin pucat dengan keringat sebesar biji jagung mengalir di pelipisnya. Sumpah demi apapun, dia sangat ketakutan tadi.

Viviane memperhatikan hewan yang tergeletak sekarat. Ada tiga panah yang menancap di tubuh hewan itu, satu panah yang ia tembakan di awal dan panahnya yang barusan sudah pasti tidak mengenai babi hutan itu.

Lalu milik siapa dua panah perak ini?  Batin Viviane ketika melihat panah dengan bulu perak menancap menembus ke bagian terdalam hewan itu.

“Anda baik-baik saja, Nona?” 

Viviane terkejut ketika sebuah suara menginterupsi nya. Dengan cepat menoleh ke sumber suara dan menemukan seorang pemuda berbaju lusuh dengan jubah hitam keluar dari balik semak. Dipunggungnya kantong anak panah berbulu perak menyembul. Sementara anak panah yang dikenal Viviane tertancap sempurna di  pundak  sang pria.

“Oh tidak,” desis gadis berambut merah sebelum pria asing itu ambruk ke tanah

...Bersambung...

Pipi yang bersemu

“Your Highness!” teriak Daisy ketika melihat Viviane muncul di kejauhan. Berjalan dengan susah payah mengemban beban yang dipapahnya.

Daisy terbelalak. Bukankah sang princess sedang berburu hewan, kenapa malah membawa pulang seorang manusia?

“Daisy, bantu aku. Kita harus membawanya ke pondok dan mengobatinya,” kata Viviane dengan suara sepenuhnya cemas. Pandangan Daisy beralih kepada pria asing yang tampak lunglai. Rembesan darah terlihat dari balik jubah hitamnya.

“Ba-baik, yang mulia.” Daisy bergegas membantu Viviane. Menuju ke pondok di pinggir hutan. Tubuh pria itu lebih besar dan tinggi  dari dua gadis yang memapahnya. Tentu saja itu sangat menyulitkan.

Setelah bersusah payah menyeret langkah, akhirnya mereka tiba di sebuah pondok kayu tempat yang biasa  Viviane gunakan untuk beristirahat dari aktivitas berburu. Gadis itu membaringkan si pria di dipan kayu yang ada di sana.

Pria itu masih tidak sadarkan diri, dan bukan karena luka nya, melainkan racun di panah Viviane yang membuatnya seperti itu. Demam, muntah, bahkan bisa sampai meninggal. Itu hal yang pasti terjadi jika pria itu tidak segera ditolong.

“Daisy, cepat kembali ke istana. Cari obat penawar racun di kamarku.”

“Mengapa kita tidak membawanya ke istana, yang mulia?”

“Dan membuat kita dihukum lagi?” potong Viviane, membungkam pelayannya. Tentu saja membayangkan cambuk ratu yang akan mengenai kakinya sekali lagi membuat Daisy bergidik.

Ratu pasti akan sangat panik jika melihat anaknya kembali berburu, terlebih menyebabkan seseorang terluka. Masalah akan membesar jika ia membawa pria itu ke istana. Begitu pikir Viviane.

Daisy mematuhi perintah sang princess. Bergegas ia kembali ke istana, sedangkan Viviane memutuskan mengambil air untuk membersihkan luka si pria dan beberapa daun obat sebagai pertolongan pertama sembari menunggu Daisy kembali.

Di luar gubuk suasana semakin gelap, matahari mulai mundur ke peraduan, selain itu hujan rintik-rintik mulai turun, tetapi tak menggoyahkan bayangan hitam yang berdiri tegak di atas sebuah cabang pohon yang kokoh. Sedari tadi mengawasi pondok dengan seksama. Dengan kekhawatiran yang  terlihat jelas di mata mereka.

“Barran, kita harus menolong Nicholas.” Seorang laki-laki dengan penutup wajah berujar kepada rekannya.

“Tidak, kita harus menunggu, gadis itu sedang menolongnya,” balas Barran pelan. Ia sendiri sudah dari tadi menahan keinginan untuk menyerbu pondok itu dan meminta pertanggung jawaban si gadis karena telah membuat tuannya terluka, tetapi sinyal yang diberikan sang tuan saat terkena panah tadi sudah cukup mengisyaratkan bahwa mereka sama sekali tidak boleh mendekat. Tuannya itu memang gila, tetapi ini melampaui ekspektasi Barran, Nicholas bisa segila ini hanya karena rasa penasaran terhadap seorang gadis. Untuk sekarang, tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan selain menunggu.

“Begitu mereka pergi, kita akan masuk ke pondok itu,” desis Barran diakhiri helaan nafas berat.

...****...

Suara kain robek memenuhi seisi pondok. Viviane terpaksa merobek pakaian usang pria itu, dan berjanji akan menggantinya dengan pakaian lebih baik esok pagi.

Ketika baju atasan si pria terbuka sepenuhnya. Rasa hangat tiba-tiba  menjalar di pipi Viviane. Tubuh orang itu membuyarkan fokus sang gadis.  Itu jauh dari kata jelek dan melampaui ekspektasinya selama ini terhadap tubuh laki-laki.  Bahu lebar, lengan berotot tapi tidak berlebihan, torso ramping di lengkapi barisan otot perut. Pria itu nampaknya sering beraktivitas. 

Akan Tetapi kalau ditilik dari pakaiannya yang lusuh, Viviane meragukan jika pria itu seorang pemburu atau rakyat jelata sekalipun. Terlebih ketika ia menyingkirkan topi jubah yang sedari tadi menyembunyikan wajah si pria, 

mustahil wajah itu dimiliki seorang pemburu. Wajah halus, dengan rahang tegas. Bibir berbentuk hati dan mata terbingkai bulu mata yang lentik, ditambah alis yang tebal mempertegas kemaskulinan penampilannya. Itu adalah wajah pertama yang bisa dibandingkan dengan Valentine, kakaknya. 

Viviane berdehem, menepis pikiran-pikiran aneh yang mengembang di otaknya. Tangannya mulai dengan cekatan membersihkan luka menganga yang disebabkan oleh panah yang sebelumnya telah ia cabut sewaktu di dalam hutan.

Ketika kain basah menyentuh lukanya. Mata yang tertutup itu tiba-tiba terbuka dengan sayu.

Mencengkram tangan si gadis hingga tubuhnya jatuh ke tubuh si pria karena gerakannya yang tiba-tiba.

"Ah, maafkan aku," gumam Viviane ketika ia berpikir telah menyakiti pria itu.

Viviane merasakan tenggorokannya tercekat. Dadanya menempel lekat dengan dada bidang pria itu sementara tatapan sayu milik si pria mengunci matanya, dalam dan menghanyutkan. Viviane bisa mendengar jantungnya sendiri yang melompat tak karuan. Baru saja ia ingin mengumpulkan suara untuk bertanya kembali, pegangan pria itu pada lengannya mengendur lalu ia kembali tak sadarkan diri dengan wajah menahan sakit.

Viviane lekas menarik tubuhnya dari si pria dengan gerakan kikuk. Menelan ludahnya gugup, kemudian kembali membersihkan luka. Viviane membalutnya menggunakan pita rambut miliknya yang cukup panjang. Selang beberapa lama Daisy kembali dengan penawar racun dan kabar bahwa waktu makan malam telah tiba, raja dan ratu memintanya untuk makan malam bersama. Maka dari itu, Viviane  tidak memiliki pilihan lain selain bergegas meminumkan penawar racun yang di bawa Daisy kepada pria asing itu, memastikannya terbungkus selimut tebal, kemudian pergi kembali ke  istana. Ia berjanji akan kembali keesokan pagi. Meski suaranya mungkin tak terdengar oleh si pria.

...****...

Sepeninggal sang princess dua bayangan yang tadi mengawasi merangsek masuk ke dalam pondok. Memperhatikan tubuh yang terbaring dengan mata yang tertutup sempurna. 

Jonah mengambil tempat duduk di meja makan kayu yang ada di ruangan itu dengan posisi tidak jauh dari ranjang. Sedangkan Barran tetap berdiri kaku. 

Jonah  tertawa mengejek. Mungkin sang princess tertipu, tapi mereka yang mengenal pria itu sejak lama tentu saja tidak.

“Nicholas, berhentilah  berpura-pura!” sentak Jonah mulai kesal.

Pria yang merasa di sebut namanya langsung membuka matanya dan mendecakan lidah. “Apa sih? Kan sudah kubilang jangan mendekat?” katanya dengan kening berkerut sebal.

“Kau benar-benar gila. Aku pikir kau mati tadi,” omel Jonah.

“Well, Kapan lagi bisa dirawat wanita secantik itu.” Nicholas mendesah menatap langit-langit yang tertumpah cahaya dari lampu minyak. Otaknya kembali memutar bayangan-bayangan wajah sang princess di sela-sela kesadarannya yang masih tertinggal. Rambut merahnya, dada ranumnya yang menempel padanya dan harum tubuhnya seperti bunga peony. Memabukan seluruh inderanya.

Apa yang dikatakan rumor yang ia dapat setibanya di negeri ini tentang keluarga kerajaan Bellerick sepenuhnya benar, terutama tentang keindahan-keindahan keturunan raja. Hari ini ia memiliki kesempatan untuk memastikannya sendiri, dan itu bukanlah hal yang sia-sia. Ada bayaran berharga dibalik luka ditubuhnya.

“Gila,” umpat Jonah, sementara Barran tidak berani berkomentar apa-apa.

“Tapi racunnya lumayan kuat. Aku bisa saja mati jika wanita itu tidak memberikan penawar.” Nicholas mengingat bagaimana tubuhnya terasa tercabik dan perutnya terkocok ketika racun mulai mengalir ke pembuluh darahnya. Rasa yang sama sekali tidak menyenangkan untuk dirasakan kedua kali.

Nicholas mencoba duduk. Selimut yang menutupi tubuhnya jatuh ke paha. Pikirannya kembali memutar kejadian saat gadis berambut merah merobek bajunya, itu cukup memalukan untuk Nicholas.

“Apa jadinya jika dia tidak membawa penawar racunnya?” tuntut Jonah tak habis pikir.

“Maka aku akan mati di pangkuannya,” ucap Nicholas lagi tanpa beban dilengkapi senyuman lima jari.

“Sinting,” umpat Jonah sekali lagi. Dia mendengus ke arah sahabatnya yang telah dikenalnya sejak di akademi militer.

“My lord, kami menemukan jalan masuk rahasia ke istana Bellerick.” Barran, pengawal setia Nicholas menginterupsi keduanya.

“Jalan masuk?”

“Ya. Itu sebuah terowongan di pinggir hutan. Princess dan pelayannya masuk melalui tempat itu,” ujar Barran menjelaskan.

“Kurasa terowongan itu bisa kita gunakan untuk menyusup kedalam istana." Jonah ikut menimpali. 

Istana Bellerick memiliki tembok tinggi dengan benteng-benteng yang dilengkapi prajurit bersenjata lengkap. Akan sulit melawan jika mereka hanya mengandalkan jalan utama. Mereka harus memiliki jalan alternatif lain untuk menyerang dari dalam.

“Pakai ini. Kita harus pergi sekarang.” Jonah melemparkan jubahnya sendiri pada Nicholas yang bertelanjang dada.

“Kenapa buru-buru. Aku bahkan belum menanyakan nama gadis itu.”

“Duke Wilde ada disini, dia meminta kita bertemu,” ujar Jonah dengan wajah serius.

“Paman?” Senyum di wajah Nicholas pudar ketika Jonah mulai menyebutkan orang yang memiliki nama belakang yang sama dengan miliknya. Ekspresinya menggelap seolah nama itu adalah hal yang paling enggan dia dengar di hari yang menurutnya menyenangkan ini. 

“Bukan kah masih ada beberapa hari sebelum rencana dilaksanakan?”

“Ya, tapi kaisar meminta duke menyelesaikan urusan Bellerick secepatnya. Karena tidak tahan dengan godaan tambang emas Bellerick. Selain itu kaisar ingin memusatkan pertempuran di selatan Helias, keberadaan pemberontak mulai terendus,” Jonah berujar dengan raut wajah serius. 

“Apa kita juga?”

“Tidak, mereka berhasil memakan umpan.” 

“Bagus.”  Nicholas menyeringai. Rencananya mulai menunjukan kemajuan, tapi sebelum fokus ke sana, mereka harus menyelesaikan urusan di tempat ini. Berakting jadi anjing penjaga yang baik, sebelum balik menggigit tuannya. “Lalu dimana pamanku sekarang?” 

“Duke menunggu Anda di penginapan, My Lord,” Lapor Barran.

Paman Nicholas  saat ini menjabat sebagai jenderal kekaisaran, jika dia sudah datang ke tempat ini, maka sudah pasti jalan yang ditempuh tidak dengan jalan damai.

...****...

Keesokan paginya, ketika langit dilukis oranye dari matahari yang baru setengah terbangun, Viviane sudah berjalan melalui terowongan  bawah tanah, yaitu jalan rahasia yang menghubungkan istana dan hutan Philea. Jalan itu sepertinya sudah ada sejak puluhan tahun lalu dibuat oleh nenek moyang Bellerick.

Viviane berjalan sendiri melewati lorong-lorong yang gelap, berbekal dengan obor kecil ditangan. Ia sengaja meninggalkan Daisy agar pelayannya itu dapat meyakinkan orang-orang bahwa sang princess tidak ingin diganggu hingga siang. 

Kali ini gadis itu tidak membawa busur dan panahnya dan juga tidak mengenakan pakaian berburu. Ia hanya mengenakan gaun sutra warna salem dengan balutan jubah coklat yang menyembunyikan rambut merahnya. Tidak ada waktu untuk berdandan karena ingin secepatnya memeriksa keadaan pria yang terluka di pondok.

Viviane sampai di ujung terowongan yang ditutupi tanaman merambat. Membuat mulut terowongan tak terlihat dari luar.  Ia keluar tepat di pinggir hutan yang letaknya tidak jauh dari pondok. 

Tangannya yang lain menenteng keranjang rotan berisi pakaian, obat-obatan, beberapa potong roti dan camilan. Setidaknya ia ingin menebus kesalahannya karena melukai pria yang telah menyelamatkan hidupnya.

Sesampainya di pondok sesuatu membuat Viviane terkejut. Pria yang terluka semalam, tidak ada di sana. Dipan kayu nya kosong. Selimut terlipat dengan rapi. Viviane berlari keluar pondok, memeriksa sekitar, kalau-kalau masih ada jejak yang tersisa. Sayangnya, Pria itu tidak di temukan di mana-mana. Si penyelamat pergi  tanpa sempat Viviane menyampaikan rasa terimakasih atau sekedar menanyakan namanya.

...Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!