Plak!
Sebuah tamparan mendarat tepat di wajah bagian kiri seorang gadis yang memakai seragam sekolah SMA miliknya. Saking kerasnya tamparan yang di dapat, kepala gadis itu sampai menoleh ke samping dan tubuhnya hampir saja terjatuh. Beruntung, ia segera menopang tubuhnya dengan cara sebelah telapak tangannya berada di dinding.
“Arghh!” Calista Felicia, gadis berusia 17 tahun itu kembali mengerang dengan kuat begitu rambut panjangnya yang terikat di tarik ke belakang oleh pria dewasa yang tak lain dan tak bukan adalah ayahnya sendiri. Rasa sakit dan pening itu mulai menjalar di kepala Calista hingga tak terasa cairan bening, keluar dari sudut matanya.
Calista membuka paksa kedua matanya dan menatap ayahnya yang terlihat begitu marah dengan wajah yang nampak memerah, tatapan Calista seolah mengatakan bahwa dirinya begitu sakit.
“Mau kamu apa sih sebenarnya, hah? Gak cukup kamu terus memfitnah Mama kamu, dan sekarang kamu juga mau membunuhnya, iya?”
“Dia bukan Mama aku, dia itu cuma pelakor!” Calista menyangkal ucapan sang ayah yang mengatakan bahwa wanita bernama Adzkia di hadapannya ini bukanlah mamanya, karena memang benar begitu kenyataannya.
Malik, selaku ayah Calista menikahi Adzkia empat tahun silam. Di mana saat itu, Farah, mama kandung Calista tengah sakit keras. Mendengar sang suami telah menikah lagi dan berbahagia di atas penderitanya, membuat Farah syok dan menghembuskan napasnya untuk yang terakhir kalinya.
Yang tak kalah menyakitkan adalah sejak kedatangan Adzkia, posisi Calista sebagai putri satu-satunya dan tercinta bagi Malik, tergeser begitu saja oleh Okta, gadis yang lebih muda 2 tahun dari Calista itu adalah putri Adzkia dari hasil pernikahan sebelumnya.
Semenjak kedatangan Adzkia dan Okta, hidup Calista seakan berbalik 180 derajat. Kasih sayang yang sebelumnya Malik berikan, kini tak lagi Calista dapatkan. Bahkan tatapan penuh kelembutan dan kasih sayang berubah menjadi tatapan penuh kebencian. Bagi Malik, Calista tak lebih dari seorang musuh yang harus disingkirkan.
Adzkia dan Okta tidaklah sebaik yang Malik pikirkan, di balik tatapan teduh dan sikap baik keduanya, ada iblis yang dengan mudahnya menghasut orang lain. Ibu dan anak itu selalu berusaha menyingkirkan Calista.
Berkali-kali Calista menjelaskan tentang kebusukan bahkan sampai menunjukkan rekaman yang begitu jelas ketika Adzkia tengah menganiayanya, namun berkali-kali itu pula Adzkia selalu bisa menyangkal, dan yang lebih parahnya, Malik mempercayai semua kebohongan Adzkia.
Calista yang baru saja pulang sekolah dan bahkan belum sempat mengganti pakaiannya, malah diajak bertengkar oleh Adzkia. Ibu tirinya itu menuduh Calista melakukan tindakan keji yang bahkan tak pernah ada dalam benaknya. Yaitu membunuh Adzkia dengan bukti sebuah pisau yang terdapat bercak darah dari goresan kecil di leher Adzkia.
Calista sendiri pun sangat mengerti bahwa itu adalah ulah Adzkia untuk memfitnah dirinya.
“Kenapa Kakak selalu bilang begitu? Mama bukan pelakor, Kak!” Okta, gadis berusia 15 tahun yang nampak memakai seragam sekolah SMP itu, saat ini terlihat berdiri di ambang pintu.
Okta berjalan beberapa langkah hingga berdiri tepat di depan Calista, Malik dan Adzkia. Okta nampak menundukkan kepalanya dan isakan kecil mulai terdengar.
“Apa sesulit itu menerima aku dan Mama, Kak? Kita sudah tinggal bersama selama empat tahun, tapi kenapa Kakak terus menjahati Mama dan aku?”
“Gue gak salah dengar? Menjahati? Gak usah playing victim deh lo. Kalian berdua yang selalu berusaha membunuh gue!” Emosi Calista meluap-luap mendengar Okta yang dengan mudahnya memutar balikkan fakta.
“Walaupun kita gak ada hubungan darah, tapi aku tetap menganggap kamu sebagai Kakak sekaligus sahabat. Mana mungkin seorang adik membunuh kakaknya?” Okta nampak berusaha meraih tangan Calista namun Calista dengan cepat menepisnya.
“Jijik banget gue dengar kata-kata lo. Kalian itu cuma pengganggu yang datang cuma buat menghancurkan hidup gue. Sampai kapan pun, gue gak akan pernah menerima kalian berdua.” Calista menatap Adzkia dan Okta secara bergantian. “Sampah!” lanjutnya yang membuat ketiga orang di dekatnya, seketika melebarkan matanya.
Terlihat Malik mengangkat tangannya dan hendak kembali melayangkan pukulan pada Calista, namun Adzkia langsung menahan tangan Malik.
“Jangan Mas! Cukup. Jangan sakiti Calista. Biar bagaimanapun juga dia tetap putriku.” Adzkia menengahi dengan air mata yang bercucuran membasahi wajahnya yang nampak keriput namun tetap terawat, tentu saja karena uang Malik.
“Kamu lihat Calista! Perempuan yang selalu kamu musuhi dan kamu fitnah ini, tak pernah menganggap kamu berbeda. Adzkia tetap menyayangi kamu walaupun kamu bukan anak kandungnya!”
Nampak sebuah kemarahan besar tercetak jelas di wajah Malik, mata nyalang itu menatap bengis putri kecilnya yang tanpa pernah ia tahu selalu terluka karena dirinya.
“Harus berapa kali aku bilang, itu cuma kedok dia!” Calista meninggikan suaranya dan menunjuk wajah Adzkia.
“Yang berkali-kali hampir mati itu aku Yah ... bukan dia ...” Suara Calista terdengar melemah, air matanya pun semakin deras mengalir. Ia benar-benar frustasi dengan keadaan ini, entah dengan cara apalagi yang harus ia lakukan untuk membuat Malik mempercayai ucapannya.
Sementara Adzkia terlihat membungkuk di kaki Calista. “Maafkan Mama sayang. Maaf kalau Mama belum bisa jadi Mama yang terbaik sehingga kamu seperti ini. Maaf Calista ....”
“Bangun sayang, jangan seperti ini, tidak pantas kamu sujud di kaki anak sialan ini!” Malik memegang kedua bahu Adzkia dan memaksa istrinya itu untuk bangun, namun Adzkia malah menolak.
Calista berdecih melihat wanita ular ini kembali berulah, Calista yang sudah tak tahan melihat sandiwara di depannya, memilih menendang wajah Adzkia dengan kaki yang masih terbalut sepatunya hingga hidung Adzkia nampak mengeluarkan darah.
“Mama!” pekik Okta yang begitu terkejut dan tak menyangka Calista akan berani membalas.
“Anak kurang ajar! Benar-benar anj*ng kamu Calista!”
Plak! Plak! Bugh!
Malik bukan hanya menampar, namun juga beberapa kali memukul dan menendang tubuh Calista yang sudah terjatuh di lantai. Sementara Calista hanya bisa meringkuk pasrah merasakan tubuhnya yang begitu sakit. Calista sedikit melirik dan melihat Adzkia dan Okta yang tengah tersenyum sinis padanya.
Puas menganiaya putri kandungnya, Malik beranjak masuk ke kamar Calista dan tak lama kembali dengan membawa koper berisi pakaian dan barang-barang Calista.
Setelahnya, Malik melemparkan begitu saja koper tersebut ke tubuh tak berdaya Calista. Dengan tanpa perasaan, Malik membangunkan tubuh Calista dan menyeretnya keluar dari rumah.
“Mulai detik ini, saya tidak mempunyai putri bernama Calista Felicia. Sebab dia sudah mati empat tahun silam bersama perempuan yang melahirkannya!”
Tak peduli Calista adalah darah dagingnya sendiri, Malik menghempas Calista begitu saja bahkan menganggapnya sudah meninggal. Setelahnya, ia menutup pintu dengan rapat, tak peduli dengan keadaan Calista di luar.
“Mama ...” Calista melontarkan satu kata dari bibir tipisnya yang nampak sedikit robek dan mengeluarkan darah. Calista terdiam merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya yang di penuhi luka dan lebam, namun ternyata ada yang lebih sakit, yaitu dada kirinya.
Calista terdiam membiarkan tubuh mungilnya di selimuti hujan deras di bawah langit yang nampak semakin gelap. Rambut panjang yang sebelumnya terikat rapi, kini sudah terurai dan basah. Pakaiannya pun nampak berantakan dan kotor di beberapa bagian.
Jgerrrrrrr!
Suara guntur menggelegar di tambah kilatan petir, mampu membuat Calista tersadar, ia menekuk kedua lututnya dan menutup kedua telinganya begitu petir kembali terdengar.
“Arghhhhhh! Berhenti!” Calista berteriak dengan keras namun suaranya mampu diredam oleh bisingnya hujan.
Rasa takut semakin menyerang Calista, gadis itu perlahan menggeser tubuhnya ke arah lain, berharap mendapat pertolongan entah dari mana.
“Mama tolong! Mereka bersisik, Ma ....”
Masih dengan keadaan menutup telinga dan kedua matanya dengan rapat, Calista membungkuk di tanah dan kembali berteriak sekeras mungkin.
“Pergi! Kumohon jangan ganggu aku ... Biarkan aku sendiri. Tuhan ... ini terlalu menyakitkan.” lirih Calista yang tak hentinya memohon pada sang pencipta.
Hujan yang sebelumnya merupakan hal yang paling Calista suka karena dapat menutupi air matanya, kini tak lagi sama. Mungkin hujan akan menjadi bagian dari hal yang paling Calista benci di hidupnya.
Sekian waktu terdiam, akhirnya Calista menegakkan punggungnya, wajahnya nampak linglung dengan bola mata yang bergerak ke kanan dan kiri. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Calista beranjak berdiri kemudian berjalan menjauh dari rumah yang menjadi saksi bisu penderitannya.
Tak peduli tatapan aneh yang di berikan orang di sepanjang jalan, bahkan kakinya yang terasa begitu sakit, tak Calista hiraukan. Ia tetap melangkah dengan sebelah tangan menarik kopernya.
Cukup lama berjalan hingga kakinya terasa begitu berat, Calista tiba di sebuah tempat yang menjadi peristirahatan terakhir bagi orang yang sudah tiada.
Calista terdiam menatap hamparan puluhan gundukan tanah, ia sama sekali tak merasakan takut akan kesendiriannya di pemakaman umum tersebut.
Gadis yang seluruh tubuhnya sudah basah kuyup itu masuk ke tempat yang begitu sunyi tersebut, pijakan kakinya berhenti tepat di sebuah nisan yang di tumbuhi rerumputan tipis dan bunga mawar yang nampak masih begitu segar.
Kakinya seketika terasa begitu lemas, hingga Calista terjatuh duduk tepat di pinggir makam Farah dan mengusap gundukan tanah itu dengan lembut, setelahnya Calista meregangkan kedua tangannya seolah tengah memeluk sang mama.
“Ayah jahat, ma ... ayah gak sayang Calista ... Calista benci ayah! Bawa Calista pergi, ma ....”
Calista tak hentinya mengeluarkan cairan bening dari matanya dengan tangan yang tak berhenti bergerak mengusap makam yang setiap hari ia datangi. Calista yang begitu rajin membersihkan makam Farah, membuat makam sang mama nampak sangat terawat.
Setiap sore, Calista akan datang dan menceritakan semua kegiatan bahkan sampai pertemanan, baik itu di sekolah maupun di rumah. Meski Calista tahu tak akan ada yang menanggapinya, namun ia tak peduli.
“Semenjak ada tante Adzkia dan Okta, ayah jadi berubah. Ayah gak pernah lagi menganggap Calista sebagai anak, bahkan ayah gak pernah melirik Calista sedikit pun. Ayah selalu membanggakan Okta, sementara Calista malah dikucilkan ....”
Dan sekarang, untuk pertama kalinya Calista menceritakan tentang kepedihan yang selama ini ia pendam. Calista tak sanggup melewatinya sendiri, ia butuh sosok Farah di sampingnya, menyemangatinya dan memeluknya seperti yang selalu ia dapatkan dulu.
“Ayah selalu meminta Calista berbuat baik ke tante Adzkia dan Okta, tapi ayah gak pernah sekalipun meminta hal yang sama ke mereka.”
Malik ialah satu-satunya keluarga yang Calista miliki, namun Malik juga yang menjadi penyumbang rasa sakit terbesar bagi Calista. Ayah yang seharusnya melindungi, malah menyakiti.
“Calista mau bertemu dan memeluk mama seperti dulu. Mama juga pasti kangen Calista, kan?” Calista menegakkan punggungnya kemudian bertanya dan menganggukkan kepalanya sendiri.
“Baiklah, Calista akan menyusul mama. Tunggu sebentar ya, ma!” Calista mengusap kasar wajahnya yang basah dengan kepalan tangannya yang nampak memerah.
Calista terlihat mengecup berkali-kali nisan bertuliskan nama sang mama. Setelah cukup lama berada di sana, Calista beranjak dari duduknya dan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah jembatan yang tepat di bawahnya terdapat sungai yang alirannya cukup deras.
Melihat keadaan sekitar yang begitu sunyi dan gelap gulita, serta tak ada satu pun orang berlalu lalang, Calista menjadikan ini kesempatan. Calista nampak menaiki penghalang besi dan berdiri dengan tangan yang masih berpegangan ke belakang.
“Selamat tinggal ayah, Calista akan bertemu mama. Semoga ayah bahagia hidup bersama tante Adzkia dan Okta!”
Dengan senyum yang mengembang sempurna, Calista melepaskan kedua tangannya.
Ngiiieeeeeetttttt! Bruk! Bugh!
“Arghh!”
Baru saja Calista akan melompat, ia malah dikejutkan dengan suara keras seperti benda terjatuh diaspal. Begitu menoleh, Calista melihat seorang pengemudi yang mengalami kecelakaan tunggal.
Melihat motor sport tersebut mengeluarkan sedikit percikan api, membuat Calista khawatir sekaligus bimbang, apalagi melihat pengemudi yang kepalanya masih tertutup helm itu tak bergerak sedikit pun.
Calista yang ingin mengakhiri hidupnya, harus mengurungkan niatnya dan memilih menghampiri pengemudi tersebut kemudian dengan susah payah menariknya menjauh dari motornya.
Dengan mengeluarkan seluruh tenaganya meski tak seberapa, Calista merengkuh tubuh tak berdaya pengemudi tersebut, namun sayang tubuhnya tak sekuat yang ia harapkan.
Bugh!
“Arghh!” Calista terpeleset dan seketika itulah ia mengerang dengan kuat. Tubuh kekar pengemudi tersebut terjatuh di atas tubuhnya hingga membuat rasa sakitnya bertambah.
Entah dapat dorongan dari mana, hingga Calista tak ingin menyerah begitu saja. Ia menarik napasnya dalam-dalam kemudian membangunkan tubuhnya, setelahnya ia melingkarkan tangannya di perut pengemudi tersebut dan kembali menyeretnya ke belakang.
Booommm!
Suara ledakan yang terdengar begitu keras, berasal dari motor sport tersebut. Beruntunglah Calista dan pengemudi yang di tolongnya sudah berada di posisi yang cukup jauh sehingga keduanya hanya terkena sedikit puing-puing kecil.
Dengan napas yang tersengal, Calista menghempaskan tubuh pengemudi tersebut hingga telentang di sampingnya. Rasa takut mulai menyerang Calista begitu melihat pakaian pengemudi itu mengalami sobek dan terdapat luka di mana-mana.
Calista memberanikan diri menundukkan punggungnya kemudian membuka helm, dan berapa terkejutnya Calista begitu melihat wajah laki-laki itu sudah di penuhi darah, hingga ia tak dapat melihat seperti apa rupa laki-laki itu.
“Tolong! Tolong!”
Calista terus berteriak namun sayang tak ada yang mendengarnya lantaran tempat itu begitu sepi.
“Mama, Calista harus gimana?”
Setelah menghabiskan waktu yang terbilang lama untuk sekedar berpikir, akhirnya Calista memilih menolong laki-laki yang wajahnya tak dapat ia lihat dengan jelas itu.
Baru berjalan beberapa langkah, Calista malah kehilangan keseimbangannya dan berakhir tersungkur di tanah.
“Awh shh!” Calista memegangi punggungnya yang terasa begitu sakit akibat tendangan sang ayah sore tadi, di tambah terjatuh, membuat rasa sakitnya meningkat berkali lipat.
Walaupun tubuhnya juga tidak dalam keadaan baik-baik saja, Calista tak ingin menyerah begitu saja. Melihat keadaan mengenaskan laki-laki itu membuat Calista tak tega hingga akhirnya ia kembali bangkit kemudian kembali mengalungkan lengan laki-laki itu di bahunya.
Meski sempat beberapa kali terjatuh hingga rok sekolahnya yang pendek sampai robek, Calista akhirnya tiba di sebuah klinik.
“T–tolong! Pak, bu dokter tolong ....” Calista segera masuk ke tempat tersebut dan memanggil siapa pun dengan suara lirihnya.
Melihat beberapa orang berlari ke arahnya, membuat mata Calista berbinar, namun kebahagiannya tak berlangsung lama karena kepalanya begitu pusing dan matanya terasa seperti berkunang-kunang.
Calista yang tak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri, akhirnya ambruk dan terjatuh ke lantai dengan mata tertutup.
Sementara itu, beberapa perawat segera bekerjasama untuk mengangkat tubuh kedua manusia yang tak berdaya itu dan membaringkanya di brankar. Setelahnya mereka membawa pasien baru mereka untuk segera di obati.
“Kaivan Adelard!” Salah satu perawat, menyebut satu nama begitu membuka dompet dan menemukan kartu Identitas laki-laki yang tengah terbaring di brankar setelah perutnya di jahit karena luka yang menganga cukup lebar.
“Kalau yang ini ada identitasnya gak?” tanya perawat yang lain dengan tangan menunjuk Calista yang juga terbaring tak sadar di brankar tepat di samping Kaivan.
Sementara dari arah lain, salah seorang perawat terlihat datang dan membawa sebuah koper yang baru saja ia ambil dari luar. “Ini kayaknya punya anak itu deh,” ucapnya menunjuk Calista.
“Seumuran ternyata,” timpal salah satu perawat dengan tangan memegang kartu pelajar Calista, kemudian berjalan pergi dan diikuti dua perawat yang lain.
...🦋🦋🦋...
“Shhh! Arghh!”
Kaivan yang sejak sekitar 2 jam lalu tak sadarkan diri, perlahan mulai menggerakkan kepalanya yang tertutup perban. Ringisan dan erangan Kaivan keluarkan begitu merasakan sakit pada sekujur tubuhnya.
Mata Kaivan perlahan terbuka, namun sepersekian detik kembali tertutup begitu cahaya lampu menyilaukan matanya. Kaivan mengangkat tangannya yang terdapat jarum infus dan kemudian ia gunakan untuk menutupi matanya.
Kaivan perlahan menggerakkan kepalanya dan tatapannya tertuju pada seorang gadis pemakai seragam sekolah yang masih menutup mata tepat di sebelahnya. Dahi Kaivan mengernyit begitu mencoba mengingat kejadian yang sebelumnya ia lalui.
Kaivan yang tengah berusaha mengendalikan motornya yang bermasalah, melihat Calista dari arah kejauhan. Merasa gadis itu seperti ingin melompat ke bawah, Kaivan tak mempedulikannya, karena berpikir itu bukanlah urusannya. Namun ia malah mengalami kecelakaan tunggal hingga membuat motornya terguling dan ia terseret beberapa meter.
Tak pernah Kaivan duga, ia malah di tolong dan di selamatkan oleh gadis yang ingin mengakhiri hidupnya. Sebelah tangan Kaivan terangkat dan terulur ke arah Calista, sudut bibir yang memerah dan membengkak itu Kaivan usap penuh kelembutan dengan ibu jarinya.
Sementara Calista, nampak perlahan membuka matanya, seorang laki-laki berwajah sayu dengan luka di beberapa bagian, menjadi pemandangan pertama begitu mata Calista terbuka sempurna. Sadar dengan apa yang terjadi, Calista segera membangunkan tubuhnya menjadi duduk. Matanya nampak bergerak keliling menatap sekitar.
Begitu Calista turun dari brankar dan hendak pergi, tangan kirinya yang juga terpasang infus, malah di tahan oleh Kaivan.
“Lo yang udah tolongin gue? Di mana dompet gue?” Kaivan mengeluarkan suara pelannya yang terdengar begitu lemah.
“Aku gak tau,” Calista membalikkan tubuhnya kemudian menjawab di iringi gelengan kecil.
“Gimana bisa lo gak tau, sedangkan lo yang bawa gue ke sini.”
Calista menunduk tak berani menatap mata Kaivan, ia kembali mencoba pergi namun Kaivan malah semakin mengeratkan cekalan tangannya.
“Lo mau ke mana? Pulang?”
Calista lagi dan lagi menggeleng. “Aku gak punya rumah,” lirihnya dengan air yang sudah menggenang di sudut matanya.
“Lo tinggal di panti asuhan? Atau kolong jembatan?” Kaivan dengan sabar bertanya dan kembali mendapatkan jawaban berupa gelengan.
“Lo gak bisu cewek aneh! Tinggal Jawab aja apa susahnya!”
Mendapat bentakan dari laki-laki, membuat Calista kembali mengingat sang ayah. Saat itu pula ia tak dapat menahan air matanya, hujan terus mengguyur wajahnya hingga membuat Kaivan berdecak kesal melihatnya.
“Aku mohon biarin aku pergi, aku gak tau dompet kamu di mana. Aku bersumpah bukan aku yang ngambil...” Kali ini Calista meminta dengan sangat, namun lagi dan lagi Kaivan menolaknya.
“Lo gak boleh pergi ke mana pun!” Kaivan menyisir penampilan Calista dari atas sampai bawah, seketika itulah alisnya dibuat saling tertaut. Otaknya seakan diajak berpikir mengapa gadis itu terlihat begitu kacau.
“Tidur lagi!” titah Kaivan yang sama sekali tak ingin dibantah, suaranya yang sedikit berat, dengan tatapan mata yang berubah menjadi tajam, membuatnya nampak begitu mengintimidasi.
Sementara Calista akhirnya memilih pasrah, ia kembali naik ke brankar dan merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lemas.
“Mau sampai kapan kamu pegang tangan aku?” Calista menggerakkan kepalanya dengan mata terangkat menatap Kaivan dan menegur laki-laki itu.
“Oh, sorry!” Kaivan melepaskan cekalan tangannya pada Calista, di saat itulah ia baru menyadari bahwa pergelangan Calista nampak membiru. Tidak mungkin akibat perbuatannya, sementara ia tak begitu kuat saat menggenggam pergelangan tangan Calista tadi.
“Tangan, kaki, muka lo kenapa bisa memar gitu? Di pukul siapa? Terus kenapa lo tadi mau lompat dari jembatan? Pasti lo mau bunuh diri, kan?” Tak ingin menunggu waktu, Kaivan langsung saja memberondong Calista dengan berbagai pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Calista membawa kepalanya menatap ke arah lain, ia sungguh tak memiliki kuasa untuk sekedar menjawab pertanyaan Kaivan.
“Arghh!”
Mendengar erangan laki-laki, Calista sontak menoleh dan mendapati Kaivan berusaha membangunkan tubuhnya. Calista yang tak ingin terjadi hal buruk, segera bangkit dan mendekat kemudian melingkarkan tangannya dan dengan sangat hati-hati membantu Kaivan.
“Gak expect rasanya bakal sesakit ini,” monolog Kaivan dengan napas yang terengah. “Duduk sini!” Kaivan menepuk sisi kanannya dan langsung dituruti oleh Calista.
“Gue Kaivan Adelard, nama lo siapa?” Kaivan menjulurkan tangan kanannya dan Calista menggapainya meski nampak ragu-ragu.
“Calista Felicia”
“Gue mau berterimakasih karena lo udah tolong gue. Oke Calista, setelah kita keluar dari sini, lo ikut dan tinggal bersama dengan gue!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!