NovelToon NovelToon

My Smart Hater

Kebencian Ini!

Namaku Maryam Dinata, aku tumbuh dari keluarga sempurna. Abbi yang penyayang dan Ummi yang sangat sangat shalihah lagi pengertian.

Dalam hidup ini, sungguh, tidak ada yang ku sesali. Semuanya berjalan sangat indah, lebih indah dari taman bunga dan lebih manis dari madu, begitulah aku menggambarkan hidupku.

Selain Ummi dan Abbi yang baik hati, aku juga memiliki saudara laki-laki yang sangat ku kasihi, namanya Hasan Dinata, sungguh, tidak ada yang bisa menandingi kebaikannya selain Kakak sepupuku yang saat ini merangkap menjadi istrinya, Kak Alkea Nissa De Lucca, wanita belasteran perpaduan Indonesia dan Thailand.

O iya, satu lagi. Selain Ummi, Abbi, Kak Hasan dan Kak Alkea, masih ada lagi anggota dalam keluarga kami, rasanya hariku terasa pahit tanpa menatap sosok manis itu.

Jangan berpikiran negatif, aku tidak sedang membicarakan kekasihku. Hehe, kalian penasarankan? Yaa, aku juga penasaran, entah kebaikan apa yang telah ku lakukan sampai yang Kuasa menganugrahkan kebaikan ini padaku. Maksudku, tentang keponakan menggemaskanku, Zhian Arsya Dinata dan Arshad Fikar Dinata, putra kembar Kak Hasan dan Kakak ipar cantikku, Alkea Nisa De Lucca.

Kata Ummi, jangan pernah sombong. Orang yang berlaku sombong itu tidak ada bedanya dengan Iblis yang menolak dan tidak mau bersujud pada Adam.

Ummi juga bilang, apa yang kita tanam maka itu yang akan kita tuai. Dan setiap kebaikan akan di balas berlipat ganda oleh Allah dengan kebaikan pula. Dan entah apa kesalahanku sampai aku sesial ini? Entah keburukan apa yang telah ku perbuat sampai aku mendapat cobaan sebesar ini? Jika aku bisa, rasanya aku ingin menenggelamkan diri di dasar samudra kemudian menghilang tanpa jejak, dan aku berharap semua ini hanya mimpi, sayangnya semua ini bukan mimpi.

Seandainya Agamaku tidak melarang bunuh diri, maka sudah di pastikan raga yang kotor ini pasti sudah tertimbun di dalam tanah tanpa ada noda yang mengotori wajah Ummi dan Abbi yang sangat ku kasihi melebihi nyawaku.

Dan inilah kisahku!

Cekrek.

Cekrek.

Puluhan wartawan sedang mengambil gambar Maryam yang saat ini berada di tempat tidur asing. Tentu saja tempat tidur itu asing baginya karena itu bukan kamarnya melainkan kamar seorang pria kurang ajar yang setengah jam lalu berdebat dengannya.

"Nona Maryam, bukankah anda dari keluarga baik-baik? Apa anda tidak memikirkan pendapat keluarga anda jika mereka sampai mengetahui anda menghabiskan malam dengan pria asing?"

Duar!

Bagai di sambar petir di siang bolong, sekujur tubuh Maryam bergetar. Ia menyembunyikan wajahnya di balik selimut putih yang saat ini menutupi tubuh polosnya, mata yang biasanya bersinar kini tak bisa menyembunyikan dukanya. Semua orang akan menatap Ummi dan Abbinya dengan tatapan hina lantaran berpikir tidak bisa membesarkannya dengan nilai-nilai agama.

Hancur lebur.

Begitulah gambaran Maryam tentang hidupnya, di bandingkan dengan pendapat orang lain tentangnya, Maryam lebih takut jika Ummi dan Abbinya membuangnya.

Hick, hick. Ujian macam apa ini? Apa aku sangat buruk sampai Ummi dan Abbi akan menceraikanku seperti anak ayam yang di ceraikan induknya? Gumam Maryam di dalam hatinya, ia masih menutupi wajahnya dengan selimut tebal agar media tidak mengambil gambarnya, ia ingin mengabarkan berita buruk ini secara langsung pada Ummi dan Abbinya karena ia tidak ingin media memperburuk keadaannya.

Dasar Iblis menjijikkan, aku pasti akan mencarimu, aku akan membalasmu sampai keneraka sekalipun. Maryam kembali bergumam dengan air mata yang tak sanggup ia tahan, kebenciannya membuatnya menangis pilu, menangis tanpa mengeluarkan suara membuatnya merasakan sesak luar biasa.

...***...

Dendam Ini!

"Maaf, silahkan keluar."

"Dan, tolong, jangan buat keributan."

"Kalian menerobos masuk tanpa izin, kami dari pihak hotel bisa menuntut kalian karena telah mengganggu kenyaman tamu kami."

Nampak jelas di indra pendengaran Maryam suara berat namun penuh karisma itu berusaha menghalau wartawan yang masih berkumpul di kamar 592, kamar yang menjadi saksi bisu betapa Maryam merasa sangat sesak.

Lima menit kemudian.

"Saya sudah mengamankan pintu keluar untuk Nona, jika Nona ingin keluar sekarang atau nanti, Nona bisa menghubungi nomor yang sudah saya tinggalkan di atas nakas."

Untuk sesaat Maryam mulai merasakan ketenangan, seandainya setiap pria sama seperti sosok yang bicara dengannya saat ini, maka ia tidak perlu melalui penghinaan sebesar ini.

"Aku tidak perduli dengan yang Nona lakukan di kamar ini, tugasku hanya memastikan tidak ada kerikil sekecil apa pun yang akan menghancurkan usahaku." Ucap pria itu lagi sambil menatap selimut yang masih menutupi tubuh Maryam.

"Te-terima kasih." Ucap Maryam gugup, sontak ucapan itu berhasil menahan langkah pria itu tepat di depan pintu, wajah tampannya mengukir senyuman setipis kulit bawang, dan di detik selanjutnya ia meninggalkan maryam sendirian, bergelut dengan pikiran menyakitkan yang berhasil membuat tangisnya pecah.

Perlahan Maryam mulai membuka selimut yang menutupi wajahnya, kecantikan yang ia miliki tenggelam dalam duka yang menyayat hati.

Kenapa hal ini terjadi padanya? Kenapa ia hidup jika ia melemparkan kotoran di wajah Ummi dan Abbinya? Kenapa ia tidak tiada saja sebelum kejadian buruk ini menimpanya? Kenapa dan Kenapa? Pikiran buruk itu tanpa sadar membuat tangan Maryam mencakar lengan putih mulusnya.

Huaaa.

Maryam berteriak, siapa pun yang mendengarnya akan merasakan kesedihan yang menyayat hati.

Hick.Hick.Hick.

Tangis Maryam kembali pecah, rasanya setiap dinding bangunan megah hotel bintang lima yang ia kunjungi kali ini bergetar merasakan duka mendalamnya. Seandainya ia bisa memutar waktu ia hanya ingin berada di kamarnya sembari bermain bersama keponakan menggemaskannya. Namun tidak, nasi telah berubah menjadi bubur dan tidak ada yang bisa ia perbuat untuk memperbaiki keadaan ini.

"Ummi maafkan aku, hick, hick."

"Abbi, maafkan aku dan jangan membenciku.

"Kak Hasan, Kak Alkea, tolong jangan tinggalkan aku, ini terlalu menakutkan untukku. Rasanya tiada jauh lebih baik dari pada menanggung rasa malu ini, hick, hick." Untuk kesekian kalinya Maryam meratapi nasib buruknya.

Ya Rabb, aku manusia kotor, maafkan aku karena tidak bisa menjaga diriku. Maafkan aku karena telah melakukan perbuatan yang sangat kau murkai. Batin Maryam sembari menatap bercak darah di seprai putih yang ia duduki, wajah cantiknya nampak pucat, mahkota yang harusnya ia jaga hilang karena kebodohannya.

Sementara itu di tempat berbeda, duduk seorang pria dengan tatapan setajam belati. Jemarinya mencengkram keras gelas kaca berisi minuman beralkohol. Gelas itu pecah membuat tangannya mengeluarkan darah segar.

"Tuan, tangan Tuan berdarah." Asisten berkaca mata itu dengan sigap menyodorkan tisu pada Tuannya.

"Biarkan saja, rasa sakit ini tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan kehilangan Dhafi.

Aku bersumpah akan menghukum jalangg itu dengan hukuman yang tidak akan pernah ia bayangkan walau dalam mimpi sekalipun.

Aku akan membuat hidupnya bagaikan di neraka sehingga ia akan meminta kematiannya." Tidak ada yang bisa menahan kemarah pria itu, setelah Dhafi tiada hidupnya hanya di penuhi kebencian saja, kebencian pada Maryam Dinata, dan dendam ini membuatnya menarik gadis itu ke atas ranjangnya. Menghina gadis itu dengan penghinaan yang akan membuatnya hancur berkeping-keping adalah tujuan hidupnya. Bukan hanya Maryam, keluarganya pun akan terpuruk sampai ke dasar jurang, dan itulah yang di inginkan Danish Eliyas Basyir, sosok kasar dan tak tersentuh.

...***...

Amarah Ummi!

Hahaha!

Suara tawanya bergema, entah apa yang membuat Danish bertingkah seperti Iblis. Apakah baginya lucu saat melihat orang lain menderita? Dimana hati nuraninya? Eits, jangan tanyakan itu. Karena nalurinya sebagai manusia telah mati tiga tahun yang lalu.

"Apa kau yakin sudah memerintahkan wartawan agar membuat beritanya viral?"

"Jika kau gagal, maka siap-siap menerima kematianmu." Dengan kuasanya Danish bisa melakukan apa saja. Jangankan membayar wartawan, ia bahkan sanggup menjungkir balikkan dunia orang yang telah berani mengusiknya.

"Saya melakukan seperti yang Tuan inginkan, saya yakin Nona Maryam..." Ucapan Leo tertahan di tenggorokannya, tatapan tajam Danish membuatnya merinding.

Seharusnya Leo tidak menyebut Maryam dengan panggilan Nona, karena satu kata itu terlalu berharga untuk sosok Maryam yang tak ubahnya seperti jalangg tak berguna, dan itu hanya pendapat Danish saja.

"Tuan tidak perlu khawatir, saya yakin keluarga wanita itu pasti sudah menyaksikan beritanya." Lapor Leo meyakinkan.

"Bagus, sekarang kau boleh pergi." Dengan santainya Danish berucap tanpa menatap lawan bicaranya. Ia penasaran perpecahan apa yang akan terjadi di mansion Dinata.

Sementara itu di tempat berbeda, Ummi Raina sedang menyiapkan kopi untuk suami dan putranya, hari ini hari minggu dan seperti biasa semua anggota keluarga akan berkumpul di ruang keluarga, duduk bersama dan saling berbagi cerita.

"Ummi, Ummi..." Alkea berlari sembari menuruni anak tangga, hampir saja ia terjatuh namun untungnya tangannya segera berpegangan pada pembatas tangga.

"Pelan-pelan sayang, bagaimana jika kau terluka?" Hasan yang melihat istrinya hampir terjatuh tanpa sengaja berteriak membuat Abbinya terkejut.

"Ummi, Abbi, apa kalian sudah melihat berita pagi ini?" Alkea menyalakan televisi, wajahnya pucat, ia shock dan tak pernah menyangka berita yang melibatkan Maryam menjadi headline utama.

Berita utama, seorang gadis muda di temukan di sebuah kamar hotel bintang lima, kuat dugaan mereka bukan pasangan menikah. Belum ada klarifikasi dari kedua belah pihak yang bersangkutan, namun kuat dugaan sosok di balik foto tersebut adalah adik dari pengusaha sukses pemilik Genius Group, Hasan Dinata.

Bagai di sambar petir di siang bolong, Ummi Raina langsung tumbang. Ia shock sampai tidak bisa menahan kejutan pagi ini.

"Ummi." Dengan cepat Hasan meraih lengan Ummi Raina, ketakutan mulai memenuhi rongga dadanya. Berharap apa yang di dengarnya pagi ini hanya kebohongan saja.

"Ada apa dengan Ummi?"

"Ummi tidak perlu memikirkannya, Abbi yakin itu hanya berita bohong untuk memecah belah keluarga kita." Abbi Shawn menuntun Ummi Raina untuk duduk di sofa.

"Bi, bagaimana jika beritanya benar? Apa yang harus kita lakukan? Maryam kita yang berharga, orang-orang akan menghinanya!" Ummi Raina meneteskan air mata, beliau membayangkan wajah putri manjanya tanpa dosa.

Enam jam berlalu sejak berita itu di tayangkan pihak media, keluarga Dinata terlihat tidak baik-baik saja. Mereka sedang menantikan kedatangan Maryam yang saat ini masih berada dalam perjalanan. Pucuk di cinta ulam pun tiba, Maryam memasuki rumah dengan wajah tak bersemangat. Otak cerdasnya sedang merangkai kata, ia berpikir keras bagaimana caranya menceritakan segalanya tanpa ada yang perlu di tutup-tutupi. Sesaat setelah melihat kedatangan Maryam, Ummi Raina bergegas menghampiri putrinya.

"Maryam, nak."

"Selama ini Ummi dan Abbi melakukan segalanya untukmu, tak pernah sekalipun kau melakukan hal yang akan membuat kami kecewa."

"Ka-katakan pada Ummi kalau semua yang Ummi dengar di media itu hanya berita bohong? Ayo jawab, Ummi ingin mendengar jawabanmu." Ummi Raina mendesak Maryam. Sayangnya, gadis itu tidak bisa berbohong, ia terdesak, jawaban apa yang harus ia berikan saat dirinya tidak punya jawabannya.

"Ummi, maaffff!" Lidah tidak bertulang, ucapan itu langsung terucap dari lisan Maryam tanpa beban. Karena itulah ia tidak berani melihat ekspresi kecewa Umminya.

Plakk!

Satu tamparan mendarat di pipi mulus Maryam, belum sempat gadis itu memberikan pembelaan, tamparan kedua kembali mendarat di pipinya.

Plakk!

Plakk!

Dan begitu seterusnya, hingga tamparan keempat Maryam tetap membisu dengan air mata yang tidak bisa berhenti menetes. Jika perasaannya saja kacau, lalu bagaimana dengan keluarganya?

"Ummi hentikan, lihat wajah putri kita, dia sangat menderita." Abbi Shawn memegang lengan Ummi Raina, menariknya mundur agar tidak menyakiti Maryam lagi.

"Lepaskan Ummi, Bi. Lepaskan!" Mendapat bentakan pertama dari istrinya setelah puluhan tahun bersama membuat Abbi Shawn mematung, beliau terkejut.

"Ini urusan Ummi dan Maryam, jadi jangan ada yang berani ikut campur." Tidak ada yang berani membuka suara setelah Ummi Raina memberikan titahnya.

"Maryam, apa kau tidak malu?"

"Apa kau tidak melihat Ummi dan Abbi?"

"Apa kau masih menganggap kami sebagai orang tuamu?"

"Dosa apa yang Ummi buat sampai harus mendengar berita buruk ini?" Ummi Raina mencengkram keras lengan Maryam. Untuk pertama kalinya amarah beliau meledak.

"Ummi tidak ingin melihat wajahmu!"

"Rasanya hidup Ummi sia-sia saja. Ya Rabb, kenapa kau tidak mengambil nyawaku saja sebelum peristiwa buruk ini terjadi." Ummi Raina meneteskan air mata tanpa suara, melihat Umminya menangis karena ulahnya membuat Maryam tercekik. Ia marah pada takdir, dan ia lebih marah pada pria kurang ajar yang telah berani mengambil kesempatan saat dirinya tak sadarkan diri.

Kau salah memilih berurusan denganku. Lihat saja nanti, aku pasti akan membunuhmu. Jika kau hanya menyakitiku, aku masih bisa menahan rasa sakit itu. Karenamu Ummi menangis, dan aku tidak akan pernah memaafkanmu untuk itu. Batin Maryam sembari menghadirkan wajah tampan nan dingin pria itu, pria kurang ajar yang telah menempatkannya pada posisi menjijikkan. Marah, sedih, kecewa, semua perasaan itu melebur menjadi satu, Maryam yang tidak bisa menanggung beratnya beban ini hanya bisa menatap punggung Ummi Raina yang semakin menjauhinya.

Maafkan Maryam karena telah mengecewakan Ummi. Alangkah baiknya jika Maryam tidak pernah terlahir, dengan begitu Ummi tidak perlu melalui penghinaan ini. Batin Maryam di tengah keputusasaannya menanggung amarah Umminya, dan di detik selanjutnya ia mulai kehilangan kesadaran.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!