Memiliki paras wajah yang sangat cantik, tubuh yang diimpikan banyak wanita, kekayaan melimpah, keluarga harmonis dan juga disukai banyak orang.
Dicintai, disayangi dan didambakan.
Ia adalah pusat perhatian. Di mana pun dirinya berada, semua mata akan tertuju padanya.
Kehidupan yang sangat sempurna.
Terdengar seperti sebuah kemustahilan, namun wanita bernama Itta berhasil mendapatkan kehidupan sesempurna itu.
Lengkapnya Laquitta Grizelle, seorang gadis yang memiliki rambut cokelat kehitaman dan mata emerald.
"ITTA!"
Teriakan lantang itu menggema memenuhi lorong-lorong panjang yang sedang dilewatinya.
Sang pemilik nama 'Itta' menolehkan kepala, membuat rambut panjangnya bergoyang selama beberapa saat.
"Ini di penginapan, jangan berteriak, Luisa. Kau bisa menganggu orang lain dengan teriakkanmu itu!" peringat Itta.
Luisa yang kini berjalan di sampingnya tersenyum tidak bersalah dengan menampilkan deretan giginya. "Maaf, aku tidak akan melakukannya lagi."
Itta memutar bola matanya malas. Luisa terlalu sering mengatakan janji omong kosong. Beberapa saat lagi, mulut wanita itu pasti akan berteriak ini-itu.
"Kamu ke mana saja?! Aku mencarimu sejak tadi." Luisa mendumel kesal.
"Aku ke taman belakang yang ada di penginapan ini."
"Memangnya ada?"
"Ada, di belakang penginapan, tidak terlalu jauh dari lokasi utama penginapan. Tamannya sangat indah. Ada banyak bunga dan juga tempat duduk yang nyaman. Anehnya, taman itu kotor. Meski indah, taman itu dipenuhi daun-daun yang berguguran."
"Kenapa kamu tidak mengajakku?!" Luisa mendelikkan mata tidak terima sembari mencebikkan bibirnya.
"Kamu masih tertidur tadi," balas Itta.
Kemarin malam Itta dan Luisa menghabiskan malam mereka dengan alkohol sembari bernyanyi-nyanyi tidak jelas. Alhasil Luisa yang terlalu banyak minum, kini bangun kesiangan.
Berbeda dengan Luisa, Itta hanya mabuk sedikit. Wanita itu tidak meminum banyak alkohol, jadi ia masih bisa terjaga.
Namun, tetap saja kepalanya cukup pening karena alkohol itu. Karena itu, ia memutuskan meminum pereda alkohol, lalu setelahnya kaki Itta berjalan-jalan menyusuri penginapan ini dan menemukan taman yang cukup indah di belakang tempat penginapan mereka.
"Kamu tahu?" Jeda sejenak, kemudian Itta melanjutkannya. "Aku menemukan jalan rahasia di sana."
"Benarkah? Di mananya? Beritahu aku!"
"Nanti saja, sekarang kita ke luar cari makan dulu. Ini adalah hari terakhir kita menginap di tempat ini. Besok kita harus segera pulang."
Luisa sedikit mengerutkan bibir, sebelum akhirnya mengangguk terpaksa.
Libur semester sebentar lagi akan berakhir, karena itu mereka juga harus segera kembali dari penginapan menuju rumah masing-masing.
Liburan kali ini mereka habiskan dengan menginap di kota lain yang terkenal akan tradisinya. Nama penginapannya adalah The Luvury Riez.
Hubungan Luisa dan Itta memang sangat dekat. Beberapa kali pun Luisa tidur di rumah Itta.
"Ah, sebentar lagi waktu liburan akan selesai. Kita akan kembali ke kampus yang membosankan itu lagi," ucap Luisa, menghela napas tidak senang. "Kampus adalah tempat paling menyebalkan."
"Tidak juga," bantah Itta.
"Iya, itu menurut seorang Laquitta Grizelle, orang yang memiliki otak cerdas. Sedangkan, bagi orang sepertiku yang otaknya seperti semut, kampus itu sangat tidak menyenangkan!"
Itta terkekeh pelan. Kekehan kecilnya membuat orang yang tanpa sengaja melihatnya terpana akan kecantikannya.
"Sudahlah berhenti mengeluh," ucap Itta. "Sore nanti kita harus membereskan barang-barang kita sebelum pulang. Nah, lebih baik sekarang kita menikmati hari terakhir kita di sini dengan sangat menyenangkan!"
Waktu berlalu terasa cepat bagi mereka berdua. Hingga akhirnya malam datang. Sudah waktunya mereka membereskan barang-barang mereka sebelum keluar dari penginapan.
Malam yang diselimuti semilir angin sejuk dan rasa lelah yang membebankan membuat Luisa terlelap lebih cepat dari biasanya.
Seusai membereskan barang-barang mereka tadi, Itta dan Luisa merebahkan tubuh mereka di atas ranjang. Niat hati ingin menonton sebuah film yang sudah direncanakan dari siang tadi, kini gagal karena Luisa yang tidur duluan.
Itta melirik Luisa sesaat, kemudian beralih memandang langit penuh bintang.
Ia juga lelah, tetapi bintang malam ini terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Alhasi, Itta menunda waktu tidurnya.
Di tengah keterpanaannya terhadap keindahan malam itu, telinga Itta seperti mendengar sesuatu.
Wanita cantik itu memfokuskan pendengarannya sesaat. Dan, benar saja ada suara samar-samar di dekatnya. Suaranya seperti langkah kaki yang berjalan pelan.
Dipenuhi rasa penasaran, Itta memutuskan untuk mencaritahu sumber suara itu. Telinganya ia buka lebar-lebar.
Suara itu kian menjauh, tetapi Itta tidak menyerah. Ia berusaha mengikutinya.
Langkah kakinya tanpa sadar menuju taman di belakang penginapan yang ia temukan pagi tadi.
Taman itu menjadi gelap di malam hari. Keindahan yang Itta lihat saat pagi, saat ini menghilang begitu saja. Satu-satunya cahaya yang ada hanya sinar bulan yang menyorot.
Dapat disimpulkan, bahwa taman ini memang sudah lama tidak diurus. Sayang sekali padahal tamannya cukup indah.
Mata Itta menyipit begitu menyadari ada seseorang yang nampak di matanya. Orang itu memakai jubah hitam pekat sedangkan wajahnya ditutupi tudung dan masker.
Dia menyatu dengan gelapnya malam.
Itta tidak akan menyadari kehadiran orang itu jika seandainya ia tidak memfokuskan penglihatannya.
"Siapa dia?" gumam Itta.
Orang itu terlalu mencurigakan, mungkin akan lebih baik jika Itta melaporkannya pada pemilik penginapan ini.
Namun, belum sempat ia melapor, suara langkah kaki dari arah lain mengalihkan atensinya. Lantas, Itta langsung menyembunyikan dirinya di balik pohon.
Sesaat matanya mengintip demi melihat sumber suara.
Beberapa pria berjas hitam berlarian seperti sedang mengejar sesuatu. Lalu, mata Itta kembali menatap pria berjubah hitam tadi.
Kesimpulan yang didapatnya adalah para pria berjas itu sedang mengejar pria berjubah hitam.
Baiklah, sepertinya ini cukup berbahaya. Lebih baik Itta membalikkan badan dan kembali ke penginapan, menganggap semua yang ada di depannya ini tidak pernah ada.
Seandainya Itta ikut campur, mungkin nyawanya akan terancam.
Awalnya itulah yang Itta pikirkan. Akan tetapi, sebuah tangan besar membekap mulutnya, kemudian mengurungnya di dalam pelukan.
Itta meronta-ronta, berusaha melepaskan diri sekuat tenaga.
"Diam!" Suara tajam nan berat khas seorang pria berbisik di telinganya.
Itta berhenti meronta saat orang itu tidak lagi membekap mulutnya. Matanya menatap orang yang tengah menahan pergerakannya.
Sejenak Itta tertegun. Pria yang saat ini sedang mengurungnya ternyata adalah pria berjubah hitam tadi.
"Sejak kapan?" tanya Itta dalam hati.
Sedikit pun ia tidak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba saja orang itu sudah ada di dekatnya saja.
Itta kembali meronta-ronta di pelukan pria itu. Namun percuma saja, tenaga pria itu jauh lebih besar darinya. Meski telah meronta sedemikian rupa, Itta tetap tidak berhasil melarikan diri.
"Lepas!" ujar Itta.
"Tutup mulutmu! Suaramu hanya akan mengundang mereka!"
"Ka—"
Baru sepatah kata yang terucap, pria itu langsung membekap mulutnya lagi. Bersamaan dengan hal itu, para pria berjas hitam tadi mulai melangkahkan kaki ke arah mereka.
"Lihat! Mereka menuju ke sini gara-gara ulahmu. Aku akan membun*hmu jika mereka sampai menemukanku."
Sontak mulut Itta langsung terkunci rapat. Ia menahan napasnya, sementara dadanya berdegup sangat kencang.
Suara langkah kaki yang mendekat membuat Itta tanpa sadar merapatkan diri ke dalam pelukan pria itu.
Mendadak Itta terdiam begitu merasakan cairan kental jatuh ke lengannya. Ia pun menyentuh cairan itu, memeriksanya lebih teliti. Bau anyir menyeruak masuk ke indera penciumannya.
Ini darah, Itta yakin sekali.
"Kamu berdarah," gumam Itta pelan saat melihat darah di telapak tangan pria itu samar-samar.
"Diam!" desis pria itu. "Mereka semakin mendekat."
"Tapi, kau bisa mati kalau darahmu terus mengalir ke luar."
"Kalau kamu masih tidak mau diam, aku tidak keberatan membunuhmu sekarang juga."
"Aku tidak bisa diam saja melihat seseorang yang hampir sekarat."
Jelas saja pria itu semakin kesal dengan mulut Itta yang tidak bisa diam.
Ia berdecak malas. Pisau yang tadi disembunyikan di balik jubahnya, kini dikeluarkan dengan tujuan ingin membun*h wanita berisik di depannya ini.
Namun, kejadian tidak terduga membuatnya tercengang.
Tidak disangka, pisau kecil di tangannya tadi, kini sudah berpindah tangan. Pisau itu direbut paksa oleh Itta.
"Dengarkan aku, di dekat pohon besar paling ujung taman ada semak-semak yang cukup rimbun. Di semak-semak itu, carilah sebuah tombol rahasia. Tombol itu akan membukakan pintu jalan rahasia menuju luar penginapan. Kamu tenang saja, kamu bisa mempercayai aku. Aku menemukan jalan itu tanpa sengaja saat pagi tadi," jelas Itta cepat. Kemudian, ia melirik para pria berjas itu dari balik persembunyiannya. "Aku akan mencoba mengalihkan perhatian mereka. Kau pergilah dan obati lukamu segera!"
Itta tidak berniat mendengarkan balasan pria itu, ia langsung saja melesat dan menjalankan aksinya.
Pisau yang direbut Itta digunakan untuk menyayat lengannya sendiri hingga mengeluarkan cairan merah yang cukup banyak. Setelahnya, pisau itu dilempar asal, kemudian ia segera menghampiri para pria berjas hitam itu dengan tertatih-tatih.
"Tolong!" teriak Itta membuat semua pria itu membalikkan badan menatapnya. "Tolong saya! Tolong!"
Raut wajah Itta menampilkan ketakutan yang dalam dengan napasnya yang terus tersenggal. Darah yang mengalir dari lengannya semakin banyak.
"Ada apa, Nona?" tanya salah satu dari banyaknya pria berjas itu.
"Tolong saya! Tiba-tiba saya diserang sama orang yang nggak dikenal ketika saya lewat sini. Dia bilang, dia harus membunuh saya karena saya telah melihatnya. Tolong saya ... saya mohon ...." Itta menangis ketakutan.
"Tolong tenanglah, Nona, katakan bagaimana penampilan orang itu?"
"Dia memakai jubah dan masker hitam," jawab Itta.
Para pria berjas hitam itu saling melirik satu sama lain, lalu salah satu dari mereka kembali mengangkat mulut.
"Sekarang ada di mana dia?" tanya pria itu.
"Di sana!" Itta menunjuk arah berlawanan dari tempat pintu rahasia itu. Sengaja Itta mengelabuhi mereka, agar pria berjubah hitam tadi berhasil lari dengan selamat. "Dia lari ke sana tadi setelah memberiku luka di lengan ini."
Lengan Itta terangkat guna menunjukkan lukanya.
"Baiklah Nona, kami mengerti. Sekarang Nona pergilah ke tempat yang aman, kami akan mengejar orang itu."
Itta menganggukkan kepalanya patuh. Usai para pria berjas itu pergi menuju arah yang diberitahu Itta, wanita itu langsung menghembuskan napas lega.
"Untung nggak ketahuan," gumam Itta pelan.
Itta membalikkan tubuhnya, namun dahinya justru menabrak sesuatu. Pandangan Itta terangkat ke atas demi melihat benda yang telah ia tabrak.
Matanya melebar begitu mengetahui yang ditabraknya adalah pria berjubah hitam tadi. Secepat mungkin Itta membawa pria itu bersembunyi di balik pohon.
"Apa yang kau lakukan?! Kenapa tidak cepat pergi? Bagaimana jika mereka melihatmu?" Pertanyaan beruntun disertai nada panik ke luar dari bibir Itta.
Namun, yang ditanya malah diam saja. Lelaki itu tidak mengucapkan apapun walau hanya sepatah kata.
"Cepat pergilah sekarang sebelum ada orang yang melihatmu!" ucap Itta lagi.
"Kenapa?"
Pertanyaan dari pria itu membuat Itta mengerutkan keningnya. "Apanya yang kenapa?"
"Kenapa kamu menolongku?"
"Tidak ada alasan. Apakah butuh alasan untuk menolong seseorang? Cepat pergilah!" ucap Itta. Beberapa kali ia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada para pria berjas. "Oh, tunggu sebentar. Lebih baik kita obati luka di tanganmu dulu. Jadi seandainya kamu bertemu dengan mereka lagi, setidaknya kamu bisa menggunakan tanganmu untuk mengangkat senjata."
Itta merobek bagian bawah gaun tidur berwarna putih salju yang saat ini digunakannya. Kain itu digunakan untuk membalut luka di tangan sang pria dengan hati-hati.
"Buka jubahmu," ujar Itta tiba-tiba.
Pria itu mengangkat alisnya. "Untuk apa?"
"Aku tahu ada luka di bagian dadamu, biar aku obati."
"Obati saja luka di telapak tanganku."
"Tapi, lukamu yang di dada juga berbahaya."
"Oh, ya?" Senyum miring tercetak di bibir pria itu. "Baiklah, kalau kita bertemu lagi, kau harus mengobati dadaku ini."
"Apa?"
Pria itu tidak menjawab pertanyaannya, dia hanya meraih tangan Itta lembut. "Lenganmu juga berdarah."
"Tidak apa-apa. Ini terluka karena aku menggoresnya sendiri."
"Untuk mengalihkan perhatian mereka? Memangnya harus?"
"Itu akan membuat mereka semakin mempercayai kebohonganku."
"Kutanya sekali lagi, kenapa kamu menolongku?" Mata pria itu menatap Itta dalam.
"Aku benar-benar menolongmu tanpa maksud apapun."
"Baiklah, aku mengerti." Seringai tipis muncul di bibir sang pria di balik masker hitam yang menutupinya.
Pria itu membungkukkan tubuhnya di depan Itta sembari memegang lembut tangan Itta. Sontak Itta terkejut bukan main. Masker hitam yang menutupi wajah pria itu dilepas.
Di bawah sinar bulan yang megah, pria itu menjilati darah yang mengalir dari lengan Itta, menciptakan sensasi merinding yang belum pernah Itta rasakan selama ini.
Kemudian, wajah pria itu mendekati wajah Itta, hampir tak ada jarak sampai-sampai hidung mereka saling beradu.
Mata indah yang diterangi sinar bulan dan wajah sempurna meski terlihat samar-samar karena tidak ada lagi penerangan selain bulan.
Mata lelaki itu seperti memancarkan keindahan malam, membuat Itta tidak dapat mengalihkan pandangannya. Tanpa disadari ia menahan napasnya, sementara dadanya berdegup tidak karuan.
"Mari kita bertemu lagi dan obati luka di dadaku ini," bisik pria itu sembari memaksa tangan Itta menyentuh dadanya yang dibalut jubah hitam. Pria itu mengangkat tangannya yang lain untuk mengusap bibir merah alaminya Itta. "Saat kita bertemu lagi, akan aku pastikan kau menjadi milikku. Seutuhnya. Selamanya. Hanya milikku seorang."
Kakinya berjalan terseok-seok melewati pintu besar berwarna cokelat, sedangkan tangannya memegang dada, berharap dapat menahan darah yang merembes keluar.
Tubuhnya hampir ambruk jika saja tidak ada orang yang menahannya.
"Adyan!" seru seseorang. "Apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa seperti ini?"
"Berisik! Bisakah kau mengobati lukaku dulu lalu bertanya, Arvin?!" kesal Adyan.
Pria yang bernama Arvin itu terkekeh pelan. "Itu hanya sebatas formalitas saja Tuan Adyan Abercio. Mungkin saja jika aku bersikap peduli padamu, maka kau akan menaikkan gajiku."
"Cih! Jangan harap!"
"Sungguh kejam."
Adyan merotasikan matanya malas mendengar ucapan dramatis Arvin. Pria itu melepas jubah dan masker hitamnya, kemudian melempar asal. Dengan cekatan tangan Arvin menerima lemparannya.
"Seseorang cepatlah kemari!" Teriakan Arvin mendatangkan seorang pria berbadan kekar yang memakai jas hitam.
"Ada apa, Tuan?" tanyanya.
"Cepat bakar jubah dan masker ini. Setelah itu, bereskan seluruh kekacauan yang dibuat Adyan, mengerti?" Arvin menyerahkan jubah dan masker hitam.
"Mengerti, Tuan!" Pria di depan Arvin mengangguk patuh.
"Kalau begitu cepat pergi!" usir Arvin, sebelum akhirnya dia juga pergi menyusul sang teman, yang juga merupakan atasannya.
Mulut Arvin menganga tatkala melihat kondisi ruangannya. Tempat yang semula rapi dan bersih kini menjadi berantakan karena ulah Adyan. Pria itu mengobrak-abrik meja Arvin. Belum lagi darah yang mengalir dari tubuh Adyan semakin mengotori ruangan Arvin.
"Kau membuat ruanganku berantakan, sialan!" Arvin memijit pelipisnya pening.
"Kau terlalu lama. Lukaku akan semakin parah jika tidak segera ditangani," balas Adyan.
"Lukamu akan semakin parah jika kau terus bergerak." Arvin berjalan ke arah Adyan, menyuruh temannya itu agar diam di tempat. Untungnya dia bisa sedikit perihal pengobatan karena sering melihat tunangannya mengobati pasien. "Kau di situ saja, biar aku yang urus. Kau hanya bisa menyusahkanku saja."
"Apa?! Beraninya kau berkata seperti itu!"
Ucapan Adyan diabaikan begitu saja. Arvin mengambil perban dan beberapa obat, lalu mulai mengobati luka Adyan. Pertama dadanya, lalu kedua pelipis Adyan. Hingga sampailah pada luka di bagian telapak tangannya.
Belum sempat Arvin membuka kain yang melilit tangan, Adyan segera menjauhkannya.
"Ada apa?" tanya Arvin bingung.
"Yang ini tidak perlu."
Arvin mengangkat salah satu alisnya. "Kenapa? Kita harus mengganti perban itu secepat mungkin."
"Kubilang tidak usah! Apa kau tidak mengerti ucapanku?!" Mata Adyan menatapnya tajam.
"Ah, baiklah. Terserah kau saja." Arvin mengangkat kedua bahunya tidak peduli. "Aku akan menyuruh pelayan membersihkan ruangan ini. Kau tunggu di sini saja."
Kedua kaki Arvin melangkah pergi keluar ruangan, meninggalkan Adyan di ruangan ini sendirian.
Usai kepergian Arvin, Adyan mengangkat tangannya yang dililit kain. Darah mulai merembes keluar hingga kain putih itu berubah menjadi merah, namun Adyan tidak mempedulikannya.
Dia masih ingat betapa lembut dan penuh hati-hatinya wanita itu mengobatinya. Saat itu wajah cantiknya terlihat di kedua mata Adyan walau terganggu gelapnya malam.
Sebuah senyum kecil terukir di wajah sempurna pria itu. Perlahan-lahan ia menempelkan bibirnya ke tangannya sendiri, menciumnya sembari mengingat perlakuan lembut sang wanita.
...—————•••—————...
Esoknya, tatkala sore mulai menyapa hari, Itta dan Luisa menaiki kereta untuk pulang ke kota asal mereka.
Itta menatap jendela kereta yang menampilkan pemandangan luar. Fokusnya tercuri, berkeliaran ke sana ke mari memikirkan kejadian malam tadi.
Benaknya mempertanyakan mengenai tindakannya menolong pria tidak dikenal itu.
Seharusnya saat itu Itta memakai logika, bukan hanya hati. Dari penampilan pria itu saja sudah sangat mencurigakan, tetapi Itta malah menolongnya. Awalnya mungkin ia berniat mengabaikan, tetapi begitu melihat darah dari pria itu, secara tidak sadar Itta menolongnya.
"Ada apa, sih? Kau memikirkan apa?" Luisa di sampingnya bertanya heran. "Kau juga tidak memberitahuku alasan tanganmu diperban."
"Ini bukan masalah besar."
"Jangan berbohong!"
"Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas saat kemarin malam, lalu pecahan kaca itu menggores tanganku." Itta terpaksa berbohong, sebab kalau Luisa mengetahui kebenarannya, wanita itu pasti akan mengoceh memberi nasihat terus.
"Astaga! Ceroboh sekali!" Luisa menggelengkan kepalanya tak percaya.
Setelah berjam-jam melakukan perjalanan hingga malam kembali datang, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
Kedua wanita itu mengedarkan pandangannya, mencari-cari orang yang datang menjemput.
Tanpa sadar Itta terus mengembangkan senyumnya, tidak sabar ingin segera bertemu keluarganya. Ia sangat merindukan keluarga kecilnya.
"Berhenti tersenyum. Kau membuat wajah orang yang ada di sekitar kita jadi merona," ujar Luisa, menghentikan senyuman Itta.
"Aku?"
"Iya, siapa lagi memangnya?"
"Kenapa aku?"
Luisa berdecak sebal. "Sejak tadi kau selalu menjadi pusat perhatian. Mereka terpesona dengan senyumanmu!"
"Mungkin hanya perasaanmu saja, aku tidak secantik itu."
"Kau tidak ingat berapa pria yang datang dan meminta nomor handphone-mu?"
"Jangan berlebihan. Yang meminta nomorku hanya sepuluh orang."
"Apa? 'Hanya' sepuluh orang? Sepuluh orang dalam waktu setengah hari itu banyak, Itta!"
Luisa akui, Itta memang sangatlah cantik. Namun, mampu menarik sepuluh orang dalam waktu setengah hari terlalu luar biasa menurutnya.
Setiap kali Luisa berada di dekat Itta, maka dirinya bagaikan debu tipis.
"Ah, itu Kakakku!" Telunjuk Luisa mengarah pada seorang pria tampan di ujung sana. "Aku pulang duluan, ya?"
"Iya."
Luisa langsung melesat pergi menuju Kakak laki-lakinya.
Di sisi lain, Itta menggeret kopernya menuju kursi panjang yang tersedia di dekat stasiun. Matanya berpendar mencari keberadaan Ayahnya atau mungkin supir keluarganya. Namun, meski 30 menit telah berlalu, tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka.
Kekhawatiran tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam hati. Ia meremaskan botol minum di sampingnya dengan gelisah.
"Maaf, Nona?"
Suara itu spontan membuat wajah Itta menoleh ke samping.
Keterkejutan nampak di wajahnya tatkala menyadari benda yang diremas ternyata bukan botol minuman, melainkan tangan seseorang. Secepat kilat ia melepaskan tangan itu.
"Maaf, maaf!" ucapnya malu sambil menundukkan kepala.
Pipi dan telinga Itta bersemu merah. Ia menyelipkan sejumput rambutnya, pertanda bahwa dirinya sedang salah tingkah.
Pria di sampingnya tertawa kecil, semakin membuat Itta menahan malu.
"Nona lucu sekali," kekehnya.
"Maaf," cicit Itta. "Aku tidak sengaja."
"Tidak apa-apa." Pria itu melebarkan senyumnya, lalu mengulurkan tangan. "Namaku Ezi Killian. Kalau Nona?"
"Aku Laquitta Grizelle." Itta membalas uluran tangannya.
"Nama yang bagus. Bolehkah kupanggil dengan nama Griz?"
Itta berpikir sejenak. Selama ini tidak pernah ada seorang pun yang memanggilnya dengan sebutan Griz. Namun, sepertinya itu bukan ide yang buruk.
"Iya, silahkan, Tuan Ezi Killian." Wanita cantik itu membalas senyuman Ezi.
"Panggil saja aku Ezi."
Kemudian, keduanya berbincang dengan cukup akrab. Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di dalam lubuk hati Itta. Bahkan, ia merasakan sesak tanpa sebab yang jelas.
Karena itu, Itta memutuskan untuk berpamitan dan segera pulang menggunakan taxi online yang dipesannya.
Dalam perjalanannya menuju rumah, Itta tidak henti-hentinya memanjatkan harap. Ia ingin segera pulang, memastikan bahwa tidak ada hal buruk yang terjadi.
Taxi itu berhenti di depan gedung mewah milik keluarga Grizelle. Itta berjalan cepat menuju pintu besar rumahnya. Namun, ia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Perasaannya makin kacau tak karuan, perpaduan antara takut, cemas dan khawatir.
Ia meneguk ludahnya sendiri. Tangannya perlahan meraih gagang pintu dan membukanya.
Pemandangan pertama yang dilihat sama seperti biasanya. Namun, anehnya sesak di dada Itta tidak berkurang, melainkan bertambah.
Itta melangkahkan kakinya lagi. Baru beberapa langkah, ia dibuat membeku saat melihat salah satu bodyguard di rumahnya tergeletak di lantai dengan darah yang mengucur di bagian kepala.
Wanita itu membekap mulutnya sendiri. Kakinya berjalan mundur. Setetes air mengucur begitu saja melewati pipi.
Teringat dengan kedua orangtua serta adiknya, Itta segera berlari mencari mereka.
Sepanjang dirinya berlari, Itta melihat banyak pelayan yang sudah tidak bernyawa lagi. Rasa takut dalam dirinya semakin menjadi.
Seluruh sel saraf pada tubuhnya mendadak tak berfungsi. Ia terduduk di lantai. Linangan air mata semakin bertambah deras.
Itta menemukan keluarganya.
Ia berhasil.
Berhasil menemukan keluarganya.
Hanya saja ... Papa, Mama dan adiknya tergeletak penuh darah di sekujur tubuh.
Bau anyir darah terasa sangat pekat. Itta dapat melihat luka di perut Mamanya. Seolah ada seseorang yang menusuk-nusuk perut itu berulang kali hingga sang korban tewas. Selain itu, bola matanya dicukil dengan kejam.
Mata Itta bergerak ke arah tempat Papanya terbaring kaku. Terdapat lubang besar pada dada Papanya. Bagian kepala sang Papa pecah, sehingga seluruh isi dalam kepalanya bergerak keluar. Lalu, Kaki kanan sang Papa dipotong menjadi beberapa bagian.
Bahkan, adiknya yang baru berumur satu tahun pun tak dapat lepas dari kekejaman ini. Anak kecil itu dibun*h dengan menusukkan pisau tajam pada kepalanya.
Tanpa perlu memastikan, Itta sangat sadar kalau keluarganya telah merenggang nyawa.
Sesak, pedih, amarah, dan berbagai perasaan negatif lainnya bercampur menjadi satu. Tatapannya menjadi kosong. Seluruh dunianya hancur seketika.
Saat itu pula ... kehidupan seorang Laquitta Grizelle yang sempurna selama 20 tahun telah berakhir hari ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!