"Lepas!"
"Nggak akan!"
"Aku mohon lepaskan aku! Aku nggak mau melakukan itu, Mas!" seru seorang gadis yang begitu ketakutan saat kekasihnya memaksa ingin melecehkan.
Hubungan mereka yang sudah bertunangan membuat Gilang meminta lebih pada Salsabila. Namun sejak awal Salsabila tidak menginginkan lebih dari pada berpegangan tangan. Entah mengapa gadis itu ragu akan ketulusan hati Gilang padanya.
Mobil berjalan ugal-ugalan. Salsabila berusaha menghentikannya dengan menarik tangan Gilang yang sedang memegang kemudi.
Gilang yang tau akan sangat berbahaya dan menyadari kawasan sepi memilih untuk menghentikan mobilnya tepat di atas jembatan.
"Diam!" sentak Gilang yang sudah dipenuhi emosi dan dorongan ingin memiliki Salsabila seutuhnya.
"Buka pintunya aku mau keluar!" sentak Salsabila tak kalah seru.
"Nggak akan! Ingat Sabil sebentar lagi kita akan menikah! Apa salahnya jika aku menginginkan lebih? Toh nantinya kamu akan menjadi istri aku 'kan?" tanya Gilang lalu perlahan mendekati Salsabila yang semakin terpojok menatap penuh ketakutan.
"Jangan konyol, Mas! Aku nggak mau sebelum ada kata ijab di antara kita. Jika kamu mencintaiku seharusnya kamu itu menunggu bukan memaksaku seperti ini!" Salsabila terus memberontak saat wajah Gilang semakin mendekat dan tubuhnya terus mengikis jarak.
"Kita sama-sama cinta, Salsabila. Kamu tunanganku dan hari pernikahan kita sudah ditetapkan. Hanya sekali agar aku semakin yakin jika kamu benar-benar mencintaiku, Sayang."
"Omong kosong! Aku tidak sudi, Mas!" Kedua mata Salsabila memerah bahkan air matanya sudah mengalir deras. Sungguh hari ini benar-benar sial untuknya. Kedua mata memancarkan ketakutan dan kebencian pada calon suami yang mengutamakan naffsu semata.
"Tolong! Tolong!" teriak Sabil sekencang mungkin.
"Diam Sabil! Aku akan melakukan semuanya dengan pelan. Aku mencintaimu, Sayang. Jangan menangis! Sungguh hanya sekali dan kita akan mengulangnya nanti di malam pertama pernikahan kita."
Gilang semakin mengikis jarak bahkan mengukung dengan posesif dan mengunci kedua tangan Salsabila hingga gadis itu sulit untuk memberontak.
Namun agaknya otak Salsabila bekerja dengan baik. Kedua tangannya tak mampu dia gerakan tetapi kedua kaki begitu lihai menendang tepat sasaran hingga lawan meringis kesakitan.
Bugh
"Awwhh... Sabil!"
Tak hanya satu kali, bahkan dia mengulanginya hingga Gilang melepaskan dirinya. Dengan kekuatan yang masih tersisa Sabil segera membuka kunci dan bergegas keluar dari dalam mobil.
"Mau kemana kamu, Sabil? Berhenti!" Gilang berusaha meraih tubuh Sabil tetapi gadis itu berhasil meloloskan diri. Sabil keluar dari mobil dengan tubuh gemetar dan langkah yang ia paksakan.
Menghindari Gilang yang akan meraih tubuhnya membuat Sabil memiliki kekuatan ekstra. Padahal tenaganya hampir habis untuk melawan Gilang tetapi diri yang tak ingin kembali pada pria itu membuatnya melangkah tanpa ragu.
"Tolong!" Sabil kembali meminta pertolongan. Berharap ada warga yang datang dan membantunya dari jeratan Gilang. Dia terus berlari menyusuri jembatan mencari jalan agar bisa bersembunyi dan terhindar dari pria itu.
Namun naas, bukan jalan keluar yang ia temukan tetapi sungai yang deras menyambutnya di depan mata. Kakinya terperosok pada jalanan yang licin usai hujan dan dia tak sempat berpegangan apapun.
Byurr
"Sabil!"
Gilang yang berada di ambang pintu mobil mendengar jelas suara teriakan dan air yang terdengar nyaring seperti kejatuhan sesuatu dari atas. Dia yakin jika itu Sabil.
Dengan tertatih Gilang turun dari mobil lalu melihat sungai dari pinggir jembatan. Benar saja Sabil terjatuh dan tubuhnya terbawa arus hingga terbentur batu besar.
"Astaga, Sabil! Ya Tuhan apa yang sudah aku lakukan?" Gilang bergegas pergi dari sana. Dia takut disalahkan dan menjadi tersangka. Gilang memilih untuk melarikan diri.
Sementara di bawah sana, jeritan dari seorang wanita membuat Khasafa yang sedang membidik suatu gambar di atas batu besar di tengah-tengah sungai mendadak diam. Hingga ia melihat seorang gadis terjatuh di depan mata.
"Astaghfirullah... Mati apa hidup itu orang?"
Kashafa melihat jelas seorang gadis yang terjun dari atas. Dia segera mendekat untuk memastikan keadaan gadis itu. Mencoba menolongnya dan mengangkat gadis itu ketepian.
"Ya Tuhan kepalanya berdarah. Gue harus cepat-cepat bawa dia ke rumah sakit. Bisa koit ini cewek kalau lama-lama nggak ditolong. Mana cakep lagi. Kan nggak lucu kalau loe gantiin hantu legendaris hantu jembatan Ancol."
Kashafa segera mengangkat tubuh gadis itu. Lebih dulu dia masukkan kamera ke dalam tas lalu melangkah pergi membawa gadis itu menuju mobilnya.
Keadaan sungai sehabis hujan membuat situasi sepi dan jalanan licin. Susah payah Kashafa menyelamatkan gadis cantik berambut panjang itu menuju mobilnya.
Kashafa melajukan mobil dengan kecepatan tinggi setelah berhasil membawa gadis yang ia temukan masuk ke dalam mobilnya. Hari sudah menjelang senja dan dia harus lebih dulu menyelamatkan gadis cantik yang ia temukan di sungai tadi. Entah sial atau keberuntungan.
"Lagian loe ngapain main-main di sungai sich? Beruntung ketemu gue bukan buaya." Kashafa melirik Sabil dari kaca mobilnya. Tak tega juga saat melihat kepala gadis itu terus mengeluarkan darah.
Sampai di rumah sakit terdekat Kashafa kembali mengangkat tubuh Sabil dan membawanya masuk.
"Sus tolong, Sus!" seru Shafa meminta pertolongan pada team medis.
Tak menunggu lama para tenaga medis pun segera membukakan pintu ruang IGD untuk segera menangani gadis itu.
Shafa menunggu di depan ruang tunggu. Pakaiannya kotor terkena darah dari gadis ia tolong. Dia memilih untuk duduk dulu memastikan gadis itu baik-baik saja baru dia akan berganti pakaian yang ada di dalam mobil.
Hampir satu jam menunggu dan Dokter akhirnya keluar dari ruangan IGD. Melihat itu Shafa segera berdiri mendekati.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Shafa dengan tatapan ingin tahu.
"Anda keluarganya?" tanya Dokter pada Shafa.
"Saya hanya pangeran pengangguran yang menolongnya, Dok. Dia saya temukan di sungai. Entah bidadari dari khayangan yang diutus Tuhan untuk menggoda saya atau dayang-dayang yang dikirim untuk menjadi jodoh saya."
Kashafa membuat Dokter menggelengkan kepala. Di saat genting begini masih bisa-bisanya Shafa mengatakan demikian.
"Maaf, Dok. Saya tegang jika berhadapan dengan seorang Dokter. Jadi begitu Dok. Saya hanya menemukannya di sungai," lanjut Shafa menjelaskan.
"Terjadi pendarahan di kepalanya. Kemungkinan juga pasien mengalami gagar otak. Saat ini beliau pun membutuhkan donor darah. Kebetulan stok di rumah sakit habis dan baru besok tersedia kembali sedangkan pasien harus segera mendapatkan pendonor darah sekarang. Jika tidak..."
"Darah saya saja, Dok!" sahut Shafa penuh percaya diri padahal tangannya gemetaran. Dia takut dengan jarum suntik tetapi tak ingin gadis itu mati.
"Apa golongan darah anda?"
"A, Dok. Silahkan!" ucapannya mantap.
"Baik, anda bisa ikut saya untuk kami periksa terlebih dahulu."
Kashafa menghela nafas berat. Kedua matanya terpejam kuat lalu kembali menatap Dokter yang sudah lebih dulu melangkah.
"Ya Tuhan kuatkan aku... Nggak lucu gue yang donorin terus gue juga yang mati gara-gara tremor sama jarum suntik."
Khasafa keluar dari ruangan dengan tubuh lemas. Perjuangan yang tak bisa dilupakan begitu saja setelah mendonorkan darah dan pagi ini dia baru sadarkan diri karena sempat pingsan. Sungguh perkara jarum suntik membuatnya panas dingin.
Sempat memaksa perawat yang bertugas karena tak yakin ingin meneruskan. Apalagi saat melihat kondisi dirinya yang mengeluarkan keringat.
Kashafa mencoba bertahan hingga pengambilan darah selesai dan perlahan tak sadarkan diri.
"Gimana kabarnya tuh cewek ya?" gumam Shafa lalu melangkah menuju mobil untuk lebih dulu mengganti pakaian pasien yang ia kenakan.
Usai mengganti pakaiannya Shafa lebih dulu melihat ponsel yang ternyata mati. Entah sejak kapan dan dia belum menghubungi orang rumah. Shafa berharap sang mamah tak mencari dan berpikir jika dia masih ada tugas.
"Sus pasien yang kemarin saya bawa itu dirawat di kamar nomor berapa ya?" tanya Shafa pada pihak medis yang bertugas di ruang IGD.
"Oh pasien cantik yang gagar otak? Beliau dipindahkan di lantai dua ruang mawar, Mas."
"Baik, makasih Sus." Kashafa segera melangkah ke ruang yang ditunjukan oleh pihak medis. Dia pun segera masuk dan melihat gadis yang ia selamatkan kemarin belum sadarkan diri. Kepalanya pun masih berbalut perban dan ada beberapa luka di kaki dan tangan.
Shafa melangkah mendekati lalu duduk di samping gadis itu. Dia menatap wajah polos gadis itu lalu mengingat-ingat kembali kejadian kemarin.
"Gue nggak tau nama loe siapa? Sorry kalau sampai saat ini gue belum hubungin keluarga loe. Gue sendiri juga baru sadar setelah melawan tuh jarum suntik. Bangun ya! Nanti biar loe gue bawa pulang. Eh tapi sebenarnya loe kemarin kenapa? Kok minta tolong? Ada yang jahat?"
Shafa menghela nafas setelah sadar jika dia berbicara sendiri. Dia terdiam lalu bersandar di tepi ranjang. Kepalanya masih pusing membuatnya memilih untuk beristirahat lagi. Tanpa sadar tak lama dari Shafa terpejam, Sabil sadarkan diri dan mulai membuka mata.
Suara ringisan dari Sabil membuat Shafa terjaga tetapi baru saja pria itu hendak mengangkat kepala tiba-tiba dia terpekik merasakan sakit di kepalanya.
"Auwwhh... Rambut gue! Eh kepala gue sakit. Lepas!" titah Shafa. Dia melirik gadis itu pun meringis merasakan sakit.
"Kepalaku sakit," keluh Sabil dengan tangan yang tertancap infus memegang kepala.
"Iya jangan ngajak-ngajak! Kepala gue jadi ikut sakit juga," ucap Shafa yang juga mengeluh akan cengkeraman gadis itu yang begitu kuat.
Perlahan gadis itu melepaskan cengkeraman tangannya dari rambut Shafa. Dia menatap pria yang ada di hadapannya dengan kedua mata berkaca-kaca. Ada rasa takut tetapi rasa penasaran jauh lebih besar.
"Sakit," keluhnya lagi. Dia memegang kepalanya dengan kedua tangan membuat Shafa mengangguk paham lalu memanggil Dokter.
"Nama loe siapa? Rumah loe dimana? Nama bokap sama nyokap loe siapa?" tanya Kashafa seraya menunggu Dokter datang.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Dia menatap Saka dengan tatapan polos lalu mengernyit merasakan kepalanya yang kembali sakit.
"Oke-oke gue paham. Sudah nggak usah diinget-inget! Tunggu Dokternya datang dulu." Tangan Shafa terulur tetapi tak menyentuh gadis itu. Dia kembali menarik tangannya lalu berbalik kemudian memijit kepalanya yang kembali pening.
"Gue lagi aja yang dibikin repot. Berasa nemuin Hacie... Mamah oh mamah... Sumpah ini cewek cakep tapi amnesia." Shafa menarik nafas dalam lalu menyingkir saat Dokter datang untuk memeriksa.
Setelah menunggu beberapa saat dokter pun menyelesaikan tugasnya dan Kashafa kembali berbicara pada Dokter tersebut mengenai kondisi gadis yang kini diam memperhatikan dengan wajah bingung.
"Bagaimana, Dok? Dia tidak mengenal dirinya sendiri."
"Maaf Mas sebaiknya jangan dipaksa untuk mengingat dulu. Sesuai yang saya katakan jika pasien mengalami gagar otak yang menyebabkan dia lupa ingatan."
"Amnesia, Dok? Berapa lama?" tanya Shafa memastikan.
"Untuk berapa lamanya saya tidak bisa memastikan. Bisa jangka waktu yang lama dan bisa juga singkat. Hanya saja kembali saya ingatkan untuk jangan dipaksakan pasien mengingat siapa dirinya dulu. Anda bisa melakukan itu secara perlahan, karena jika Anda terlalu memaksa justru akan berbahaya pada kondisi pasien."
"Baik Dok, saya mengerti." Shafa melirik gadis itu yang terus memperhatikan dirinya. Dia pun mengantar Dokter keluar ruangan lalu kembali mendekati ranjang pasien.
Shafa berdehem lalu duduk di sebelah ranjang. "Ehem... Gimana Hachie? Kepalanya masih sakit nggak?" tanya Shafa pada gadis yang kini mengerutkan keningnya.
"Hachie?"
"Ya, untuk sementara gue kasih nama loe Hachie. Dari pada nggak punya nama kan? Nanti bingung gue manggilnya. Ya sudah nggak usah dipikirin. Makan ya! Pasti lapar 'kan?" Shafa meraih nampan makanan yang sudah disediakan untuk gadis yang ia beri nama Hachie. Shafa berharap bisa secepatnya menemukan keluarga gadis itu,
"Ayo makan!" Shafa menyodorkan sendok pada Hachi. Tanpa diminta dia berinisiatif sendiri untuk menyuapi gadis itu. Melihat Hachie yang hanya diam memperhatikan membuat Shafa geregetan.
"Makan! Nggak usah malu-malu."
Perlahan gadis itu mendekat dan membuka mulutnya. Shafa pun tersenyum melihat Hachie alias Sabil menerima suapannya. Dengan telaten Shafa menyuapi gadis itu yang terlihat lahap.
"Baru ini gue tau orang sakit kelaparan," batin Shafa ingin tertawa.
Sementara di rumah besar keluarga Wiratama sedang ada keributan karena kehilangan putri satu-satunya yang sejak semalam tidak pulang. Bahkan mencoba menghubungi ponselnya pun tak bisa. Istri dari Pak Wiratama sejak semalam sudah menangis tak kunjung henti, sedang Pak Wiratama sedang menghubungi anak buahnya yang mencari tetapi belum ada titik terang.
"Coba tanya Gilang, Pah!"
"Sejak tadi Gilang belum bisa dihubungi, Mah." Pikiran buruk pada calon mantu mulai datang hingga suara ketukan dari pintu utama membuat beliau menoleh ke sumber suara.
"Gilang," Pak Wiratama terkejut saat melihat calon menantunya datang dengan penampilan yang lusuh.
"Pah..." Gilang terlihat pucat. Dia mendekati calon mertuanya lalu menyalami keduanya dengan wajah sendu.
"Maafkan aku, Pah. Aku salah karena tak bisa menjaga Salsabila," ucapnya dengan lirih.
" Apa maksud kamu?" tanya Pak Wiratama dengan Lugas sedangkan istrinya menatap penuh selidik. Jantung Ibu yang sejak semalam begitu mengkhawatirkan anaknya semakin berdegup kencang.
"Kemarin kami pergi ke pedesaan, Pah. Sabil mengajak Gilang kesana karena ingin melihat pemandangan yang asri di sana. Niat hati kami ingin mencari tempat untuk foto prewedding tetapi Gilang tak mampu menjaga Sabil saat dia meminta untuk turun ke sungai, Pah."
Gilang mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipi. Dia tak sanggup meneruskan kata-katanya membuat perasaan kedua orang tua Sabil semakin tak karuan.
"Lanjutkan, Gilang!" titah Pak Wiratama mendesak Gilang untuk meneruskan ucapannya.
"Sabil hanyut di sungai dan Gilang belum menemukannya, Pah."
"Apa?"
"Astagfirullah putri kita, Mas." Mamah dari Salsabila terjatuh di lantai saat mendengar kabar putrinya hilang. Wanita paruh baya itu kemudian tak sadarkan diri tepat di kaki sang suami.
"Mamah!"
Pak Wiratama segera meraih tubuh sang istri. Tak lupa memanggil Dokter untuk memeriksa kondisi sang istrinya.
Gilang masih diam disana. Dia sadar telah membuat kekacauan. Gilang pun memberikan tas milik Sabil pada Pak Wiratama. Dia menunduk masih dengan kedua mata yang memerah. Sebenarnya Gilang menyesal dengan apa yang terjadi dengan calon istri. Terlebih semuanya bermula karena ia yang khilaf.
Usai pergi dan mencoba menghilangkan jejak. Gilang kembali ke TKP saat sadar apa yang ia lakukan benar-benar salah dan berusaha untuk menolong Sabil. Namun saat ia sudah sampai di lokasi, Tak ia temukan keberadaan Sabil. Gilang pun mencoba mencari dengan meminta bantuan warga tetapi tetap tak juga mendapatkan hasil. Sampai pagi dia masih mencari, menyusuri sungai dan tak kunjung menemui tubuh Sabil.
Kini dia datang dengan wajah sedih dan penuh penyesalan tetapi tak berani mengatakan yang sebenarnya pada calon mertua.
"Maafkan Gilang, Pah!"
"Saya minta pada kamu. Tolong cari anak saya sampai ketemu!" titah Pak Wiratama yang begitu kalut karena kehilangan putri satu-satunya.
"Tapi Pah, Gilang sudah mencarinya bahkan meminta bantuan team SAR. Namun belum bisa menemukan dimana Sabil berada."
"Kamu harus tanggung jawab,Gilang! Bersamamu putri saya hilang. Sekarang kamu pergi dari sini! Cepat cari putri saya, dan bawa tubuhnya pulang hidup atau mati! Anak buah saya akan membantu kamu dalam pencarian. Dan jangan pernah kamu menemui atau datang kesini lagi jika kamu belum bisa menemui Sabil!" ucap Pak Wiratama dengan tegas. Beliau segera kembali ke kamar untuk melihat kondisi istrinya yang sejak tadi belum sadarkan diri.
***
"Sudah minum obat lebih baik loe tidur dech. Gue laper mau ke kantin dulu." Kashafa beranjak dari duduknya. Tugasnya mengurus gadis itu sudah ia kerjakan. Bahkan dia juga yang meminumkan obat. Kini giliran dirinya yang mencari makan karena sudah sejak kemarin siang belum ada makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya.
"Nama kamu siapa?" tanya Hachie pada Shafa yang hendak keluar kamar. Dia kembali menatap wajah gadis yang sejak tadi memperhatikan lalu bertumpu pada pinggir ranjang dengan kedua tangannya. Tatapan mereka terpaut lekat hingga membuat Shafa tau jika gadis yang kini bersamanya benar_benar linglung.
"Nama gue Kashafa panggil aja Shafa. Eh lebih bagus kalau loe panggil gue Bang Shafa. Biar sopan dikit, kayaknya usia loe masih lebih muda di bawah gue," jawab Shafa lalu beranjak dan meneruskan langkahnya.
"Bang Sat," panggil Hachie membuat langkah kaki Shafa terhenti. Dia memejamkan kedua matanya dengan kuat sebelum membalikkan tubuh menatap gadis itu.
"Loe itu amnesia bukan tuli. Apa iya kuping loe kemasukan banyak air? Yang ada kamera gue noh yang kemasukan air sampe mati. Nama gue Shafa! Kashafa anaknya Pak Regantara! Bukan Bang Sat! Duh Neng, Abang lier," keluh Shafa lalu melangkah pergi dari sana.
Sabar juga butuh tenaga ekstra dengan memberi banyak asupan di tubunya. Apalagi harus menjadi perawat dadakan seperti ini. Shafa segera membeli makanan dengan berbagai ragam.Setidaknya bisa untuk stok sampai malam kemudian kembali ke kamar dan memilih makan di sana.
"Eh loe kok belum tidur juga? Ngitungin cicak? Mana?" tanya Shafa pada Hachie yang masih membuka mata. Sampai ia kembali ternyata Hachie belum terlelap dan masih melihat langit-langit kamar.
"Kenapa? Mau?" tanya Shafa pada Hachie yang terus memperhatikannya saat makan.Shafa menyodorkan makanannya pada Hachie dan diterima. Gadis itu membuka mulut tanpa sungkan membuat Shafa terkekeh.
"Selain amnesia loe juga ngabisin jatah makan gue ya. Perasaan tadi sudah kenyang, Sampe bunyi Haaagghh... Astaga, berasal dari mana sich loe?" Kashafa menggelengkan kepala melihat gadis di hadapannya diam mengunyah makanan yang ia berikan.
"Enak?" tanya Shafa memperhatikan. Gadis itu pun hanya mengangguk dengan mulut yang sibuk.
"Masih lapar?" tanya Shafa lagi yang mendadak kenyang melihatnya. Dia hanya makan dikit-dikit selebihnya gadis itu yang melahap hingga habis satu wadah yang Shafa pegang.
Lagi-lagi hanya anggukan yang ia lihat membuat Shafa menarik nafas dalam."Ya Tuhan apa dosaku hingga engkau mempertemukan aku dengan gadis doyan makan ini?"
"Ya udah makan-makan! Abisin! Anggap di rumah sendiri ya, Neng Hachie. Nich gue bukain." Shafa membukakan wadah makanan agar Hachie lebih mudah lagi dalam memakannya.
***
Hampir seminggu Kashafa menunggu dan merawat Salsabila atau Hachie di rumah sakit. Kini saatnya dia membawa gadis itu pulang. Shafa pun merapikan semua barang-barang miliknya. Selama di rumah sakit Shafa mengerjakan pekerjaannya di sana tanpa meninggalkan Sabil.
Shafa tak tega terlebih Sabil yang masih banyak diam, tapi dengan bersama Shafa tau jika Sabil suka jajan. Seminggu gadis itu sudah menghabiskan uang Shafa hampir dua juta hanya untuk jajan.
"Ini makanan mau dibawa?" tanya Shafa saat melihat masih ada makanan yang belum dibuka. Baru beli semalam saat ia pergi ke indomei terdekat.
"Iya Bang," jawab gadis itu.
"Loe tau nggak? Gue berasa lagi momong anak paud. Jajan terus, kalau ditanya jawabnya cuma "Iya Bang" nggak ada yang lain? Masa' iya loe juga lupa kosakata."
"Nggak Bang," sahut Salsabila membuat gerakan Shafa terhenti. Dia melihat ke arah gadis itu yang diam memperhatikan tanpa membantu. Shafa kembali menarik nafas sepenuh dada saat kosa kata bertambah dan itu "Nggak".
"Gue kawinin juga loe!" ucap Shafa lirih lalu kembali membereskan laptop dan kameranya.
" Mau," jawab Salsabila membuat Kashafa terdiam, tepatnya tercengang dan kembali menoleh ke arah Salsabila.
"Ngaco loe! Sampe rumah kayaknya harus ngundang Pak Ustadz ini gue." Shafa menggelengkan kepala dan segera beranjak dari sana setelah semua sudah selesai ia kemas. Khasafa menoleh lagi ke arah Sabil lalu mengajaknya pulang.
"Ayo! Mau ikut nggak? Kan tadi loe denger sendiri kalau Dokter udah bolehin pulang. Ayo pulang! Biaya rumah sakit mahal, mendingan buat gue ngajak loe ke mall. Ayo Neng!" ajak Shafa dengan penuh kesabaran. Dia meraih tangan Sabil karena gadis itu tak kunjung jalan. Mereka pun melangkah keluar menuju mobil.
Namun Kashafa terkejut saat Sabil tiba-tiba merintih merasakan sakit di kepalanya. Baru akan masuk mobil untuk meninggalkan rumah sakit. Gadis itu sudah kembali sakit.
"Loe kenapa? Ingat sesuatu? Ayo masuk mobil dul! Kita pulang aja," ajak Shafa lalu membukakan pintu mobil tetapi Hachie enggan untuk masuk.
"Kenapa? Terus loe mau duduk dimana?" tanya Shafa saat melihat Sabil menolak dan memilih duduk di tempat lain.
"Astagfirullah... Loe itu bukan barang. Kenapa milih di bagasi?" Shafa memijit pelipisnya saat melihat Sabil memilih masuk ke dalam bagasi dan menutupnya sendiri.
"Berasa bawa pulang Tarzanwati..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!