NovelToon NovelToon

My First Love Story (Janji)

Bab I Seruni

Wonokitri, 10 Agustus, 2010

Seruni masih duduk di bangku sebuah warung yang sudah tutup. Hujan deras tak menghalanginya untuk terus menunggu disana. Niatnya sudah bulat. Rinai hujan yang turun dan pecah menghantam atap memercik ke wajahnya. Tubuhnya sedikit basah, jaketnya yang tipis tak mampu memberi kehangatan, tapi Seruni tetap bergeming disana. Terlalu takut dan lelah untuk kembali kerumah.

Malam itu Seruni menunggu seseorang menjemputnya, menunggu dia yang berjanji akan menyelamatkannya dari lubang neraka yang tak pernah rela melepaskan Seruni dari jeratnya.

"Tolonglah aku Tuhan, sekali ini saja aku ingin pergi yang jauh."

Hujan makin deras, titik titik yang jatuh terdengar seperti suara lemparan kerikil di atap. Sudah dua jam dia menunggu disana. Tangan gadis belia itu keriput karena basah dan kedinginan. Bibirnya pucat. Tas pakaian yang ia bawa pun basah luarnya. Seruni membuka tas tersebut dan memeriksa apakah pakaian yang dibawanya basah atau tidak. Syukurlah masih kering, ia mengambil kantung plastik yang disimpan di saku jaketnya. Melapisi susunan paling atas pakaiannya agar tidak basah oleh air hujan yang mungkin menembus tas nya.

"Bagas, kamu bakal datang kan gas. Kamu udah janji kan sama aku?"

ia bertanya pada dirinya sendiri. Berharap jawaban yang dinantinya datang di depan matanya sekarang. Tidak salah kan berharap? Katanya keajaiban itu ada, makanya kali ini Seruni menutup matanya dan berharap saat membuka mata nanti orang yang ditunggu sedari tadi muncul dihadapannya.

Seruni membuka matanya pelan.

"Ah belum datang ya, lama banget sih kamu Gas." gerutunya dalam hati. "Nggak papa deh, aku coba sekali lagi."

Seruni kembali menutup matanya, kali ini ia fokus mendengarkan suara hujan yang turun. Merasakan angin yang dinginnya sampai ke tulang. Dia selalu menyukai suasana ini, gelap malam yang pekat dan dingin. Entah kenapa Seruni tidak takut, ia bahkan merasa tenang. Seperti merasa ia bisa sembunyi di dalamnya. Tidak ada yang melihat, mengolok, memukulnya, tidak ada yang menemukannya.

Seruni memeluk tubuhnya sendiri, seperti yang selama ini ia lakukan. Bersiap membuka matanya, berharap seseorang muncul dihadapannya. Yah, benar hanya hujan dan genangan air yang ia lihat. Seruni mulai kehilangan harapan. Apakah dia benar benar akan datang dan menjemputnya?

Kebetulan desa tempatnya tinggal ini cukup sepi saat malam hari. Apalagi hujan begini, makin jarang ada yang lewat. Bahkan warung tempatnya menunggu itu saja sudah tutup sejak jam 9 tadi. Sekarang mungkin sudah jam 12 lewat. Ia mengerang.

"Apa benar kamu bakal datang Gas?" kecewa mulai menyergap hati Seruni, harapannya mulai pupus sedikit sedikit.

"Hei anak sialan ngapain kamu disitu hah!"

Seruni menoleh. Ah tidak, dia sangat kenal suara itu. Kenapa Bagas tidak datang menjemputnya? Kenapa laki laki sial itu yang duluan menemukannya. Perasaan Seruni campur aduk. Kesedihan, marah, kecewa, dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ia bergegas mengangkat tas nya dan lari dari warung tempatnya menunggu itu. Menerabas hujan deras yang bercampur dengan airmatanya. Tubuhnya lelah, kakinya perih tapi ia terus berlari.

"Seruni berhenti, dasar bocah setan, habis riwayatmu kalau nanti aku tangkap!" pria itu berseru.

Seruni mendengar cacian itu samar. Jalanan licin tak mampu mencegahnya untuk kabur. Ia berusaha sekuat tenaga membawa tubuh dan tasnya pergi dari sana. Namun sayang sekali tangan kekar itu berhasil menangkap kerah jaketnya. Tak mau kalah, Seruni memberontak semampunya.

"Lepasin aku pak, aku mohon." air matanya menetes.

"Jangan ngawur kamu, bajingan bikin susah aja."

"Pak aku capek, aku mau pergi. Aku nggak bakal nyusahin bapak lagi."

Seruni masih berusaha memberontak dari cengkraman pria itu. Kesal melihat kelakuan Seruni, ia melayangkan tamparan keras ke wajah gadis itu. Membuatnya limbung dan jatuh ke permukaan jalan yang basah hingga tak sadarkan diri.

Malam itu, Seruni kembali ke lubang neraka. Sembari bertanya mengapa orang begitu mudah mengucap janji dan mengingkarinya.

...Halo semua, ini karya pertamaku. Cerita ini akan dibuat dengan alur maju mundur, jadi semoga kalian tidak bingung dan bisa menikmatinya yaa...

Bab II Pagi Hari

*Wonokitri, Januari 200*7

Seruni Pov

Pagi di desa ini selalu dingin, embun yang tebal dan pekat menyelimuti rumput serta pohon yang tinggi menjulang. Saking tebalnya embun disini kadang sampai terlihat seperti awan yang jatuh ke bumi. Cantik sekali. Desaku ini terletak di dekat gunung Bromo. Kalian tahu? Gunung Bromo itu terkenal dengan bunga edelweisnya dan padang pasir yang luas sekali. Namanya pasir berbisik. Menarik sekali kan? Dan di pagi yang dingin begini sudah pasti yang paling enak adalah bergulung dalam selimut. Tapi mana bisa aku begitu.

"Runi bangun nduk. Sudah pagi, waktunya sekolah. Mandi sana." ibu membangunkan ku dengan lembut.

"Dingin bu, males ah." aku menjawab sambil merapatkan selimutku sampai ke kepala.

"Ealah, kapan toh memangnya disini nggak dingin? Yang malas mandi itu kambing nduk." ibu belum menyerah. Sambil terkekeh tangannya mulai menggelitiki tubuhku agar lebih cepat bangun

"Ah ibuuu, geliii." aku menggeliat karena ibu memasukan tangannya kedalam selimut dan menggelitiki pinggangku.

"Ya makanya ayo bangun, kamu belum shalat subuh juga."

"Iya, iya aku bangun." sambil beringsut aku duduk di tepi kasur. Masih mengumpulkan nyawa yang baru masuk seperempatnya saja. Wangi nasi goreng yang ibu masak menerobos tirai kamarku, memaksa hidungku menghirupnya lebih dalam lagi. Hmm harumnya. Masakan ibu memang yang terbaik.

Aku bergegas pergi ke kamar mandi, menyalakan kran air dan mulai menyiram badanku.

"Ya Allah ini tiap hari namanya mandi air es,"

Terlalu dingin, aku tidak sanggup mandi berlama lama. Usai berwudhu dan memakai handuk, aku bergegas keluar kamar mandi. Kulihat ibu sedang menggoreng pisang dan jemblem. Kalian tahu jemblem? Itu adalah olahan singkong yang di parut dan diisi gula merah di dalamnya, kemudian di goreng sampai kecoklatan. Rasanya manis dan gurih. Gorengan itu akan aku bawa ke sekolah lalu ku jual disana.

Dari belakang ku lihat tubuhnya semakin kurus, beberapa kali terbatuk. Aku yakin ibu sangat lelah. Kudatangi pelan pelan dan ku peluk ibu dari belakang.

"Ada apa nduk, peluk peluk segala?" tanya ibu.

"Nggakpapa bu. Uang jajan hehe." canda ku.

Padahal aku ingin memeluknya lebih lama, ibu yang selalu ramah dan ceria meskipun tubuhnya terlihat makin ringkih dan menyedihkan. Beberapa kali ku minta ibu untuk lebih banyak beristirahat, ibu akan mengiyakan sambil tersenyum atau bercanda. Tanpa pernah benar benar melakukannya.

Usai shalat, aku bersiap siap. Ku pakai seragam sekolah, aku mematut diri di depan cermin. Ku sisir rambut ku yang sudah tumbuh hingga atas punggung, lalu ku ikat satu seperti ekor kuda. Aku menggoyang goyangkan kepala ku ke kiri dan kanan, membuat rambutku mengikuti gerakanya. Kata ibu rambutku cantik sekali, lurus, tebal dan hitam legam. Bahkan kalau terkena sinar matahari, rambut ku ini akan sedikit berkilau. Iya dong aku kan mirip ibu makanya aku cantik. Biasanya aku menjawab begitu. Sebenarnya aku tidak peduli juga, mau cantik atau tidak. Bagiku yang penting tubuh ini bisa kugunakan dengan baik juga sudah cukup.

"Runi sudah siap belum?" ibu menyeruku dari luar.

"Sudah bu, sebentar lagi selesai."

Aku bergegas ke dapur, menyiapkan sarapan yang sudah di masak ibu dan bekal yang akan ku bawa. Nasi goreng masih mengepulkan uapnya yang harum. Ku susun gorengan pisang dan jemblem di dalam keranjang, siap untuk dijual.

"Bu ayo sarapan sama sama."

"Sudah kamu makan duluan, ibu mau siap siap kerja."

"Ayo toh temanin aku, aku suapin ya. Aaaaa"

"Sudah ah, cepat makan nanti kamu terlambat."

"Ya makanya, ayo makan sama aku. Ibu tega biarin aku makan sendiri? Nanti aku sedih loh." jawabku mendramatisir.

"Halah, iya sudah ini ibu makan." ibu beringsut duduk di samping lalu menyendok nasi goreng ke piringnya.

"Gitu dong, hehe." aku tersenyum sumringah.

Bukannya apa, tapi aku sangat suka saat makan berdua dengan ibu. Aku akan memuji masakannya yang selalu enak menurutku, sedikit menggoda dan bercanda dengannya. Aku paling suka saat menemani ibu, karena aku yakin jika aku terus bersamanya seperti ini, ibu tidak akan merasa kesepian.

"Kita sama sama terus ya bu."

Setelah selesai, aku bersiap untuk berangkat. Sampai di ruang tamu, ku lihat seorang pria tengah tidur dengan dengkuran seperti singa. Napasnya menguarkan bau alkohol yang tengik menyengat.

"Bapak macam apa ini?" tanyaku sinis.

Tak ingin memperdulikannya lebih jauh, aku langsung keluar rumah. Berjalan kaki ke sekolah. Menembus pagi yang dingin, mengumpulkan semangatku yang mungkin sedang melayang diantara embun pagi atau burung yang berkicau dan berterbangan

Bab III Bagas Pijar Dikara

Perjalanan ke sekolah adalah hal yang seru untuk Seruni lakukan setiap harinya, karena desanya ada di daerah pegunungan maka ia akan melalui turunan yang cukup curam. Sepanjang perjalanan dia akan bersenandung kecil, menyapa orang yang dia kenal atau para pekebun yang bersiap berangkat kerja. Mayoritas penduduk disini menggantungkan mata pencahariannya dengan hasil berkebun sayur. Seperti, kubis, kentang, wortel, daun bawang, dll. Karena di tanam di daerah pegunungan yang dingin dan subur, sayur dari sana biasanya lebih berkualitas dan segar. Ibu Seruni bekerja di kebun seorang juragan. Kalau hari libur Seruni suka ikut membantunya.

Seruni masih duduk di bangku SMP saat itu, ia anak yang ceria dan berpikiran positif, selain itu Seruni sangat perhatian pada siapapun, bahkan ia kadang dia lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.

Seruni POV

"Dinginnya."

Aku memasukan tangan kedalam saku jaket, sementara tangan sebelahku membawa barang dagangan

"Runi!"

"Eh Dayu. Kok tumben pagi pagi udah berangkat?"

"Iya, aku belum ngerjain semua PR ku. Nanti aku lihat punyamu yah hahaha." jawab Dayu

"Wah dasar, jadi kamu berangkat cepat cuma mau nyontek aja ya." aku bersungut mendengar jawabannya.

"Iya dong. Nggak boleh pelit, kamu bilang kalau pelit kan kuburannya sempit."

"Culas kamu yu, aku nggak bisa bilang gitu ke kamu soalnya kalau meninggal kamunya pakai Ngaben nggak di kubur." jawab ku sambil bercanda.

"Hahaha iya juga ya. Jadi boleh ngga aku pinjam PR mu Run, atau kalau nggak boleh kamu ajarin aku deh. Sumpah PR kemarin susah banget soalnya."

"Kenapa nggak ke rumah aja kemarin? Kan bisa kerjain sama sama?"

"Aku harus latihan nari kemarin Run, jadi malam banget baru bisa ngerjain PRnya."

"Oke oke. Kamu liat aja deh ntar. Nanti pas istirahat aku jelasin ya." jawab ku

"Makasih Seruni Sandyakala

Dayu Adisatya Nirmala. Teman baikku dari jaman masih sekolah dasar. Dayu adalah anak yang cantik dan baik hati, dia jago olahraga dan sangat lincah. Sifatnya yang menonjol adalah pembelaannya terhadap keadilan. Ia tidak suka melihat sebuah penindasan, tanpa ragu Dayu akan melawan itu jika terjadi di depan matanya. Kami berjalan berdua ke sekolah. Beberapa kali aku berpapasan dengan teman kerja ibu di kebun, dan juga anak anak yang lain. Sampai akhirnya kami bertemu segerombolan anak laki laki dan perempuan yang berjalan bersama, mungkin sekitar 6 orang. Aku kenal mereka semua.

Disana, ada seseorang yang mampu menyita perhatianku untuk hanya tertuju padanya. Tubuhnya agak kurus dan cukup tinggi jika dibandingkan anak anak seusianya dengan kulit kuning langsat dan rambut pendeknya yang bergelombang. Matanya ikut tersenyum saat ia tertawa menampilkan sederet gigi yang rapi dan bersih. Di keramaian pagi ini, mataku langsung menangkapnya saat kulihat dari ujung jalan.

Namanya Bagas Pijar Dikara, anak pindahan dari kota Malang. Ayahnya punya usaha di sana yang katanya sekarang sedang di kelola saudaranya dan ingin mengembangkan perkebunan sayur yang baru ia beli disini. Baru pindah saja sudah seterkenal ini. Dia mudah bergaul, usil, banyak tingkah, sering sok keren, tapi banyak akalnya. Semua yang ia lakukan bisa menarik perhatian, bukan tipe anak baik baik yang menuruti pasal aturan sekolah. Tapi juga bukan anak yang anak merokok sembunyi sembunyi di wc sekolah atau mencoba ikut ikutan minum alkohol di warung malam. Ya, dia anak SMP yang suka cari perhatian.

Dan aku, aku yang suka memperhatikannya dari jauh. Dari sudut yang tidak terlalu ramai, dari tempat yang mungkin tidak terlihat olehnya. Aku terlalu takut untuk menyapanya, meskipun kami duduk di kelas yang sama. Tidak siap dengan segala risiko yang mungkin ku hadapi. Aku mencoba berhenti memperhatikannya. Jangan sampai dia menganggapku aneh karena menatapnya sefokus ini.

"Eh lihat itu si Runi."

"Bawa jualan apa dia hari ini?"

"Paling bawa singkong goreng."

"Pantesan kulitnya cokelat kayak kulit singkong."

"Hahahaha." mereka tertawa.

Hei aku dengar loh kalian bicara apa, kalian tertawa karena candaan itu? Ya ampun jelek sekali selera humor kalian. Aku menggerutu dalam hati. Tapi menahannya agar tak keluar dari mulutku. Jujur aku tidak mau cari masalah.

"Hehh. Kalian pikir lucu? Dasar kampungan." Dayu sudah menyiapkan umpatan untuk membalas mereka.

"Ya kan kita emang tinggal di kampung. Wleee." sahut mereka tak mau kalah

Ya benar juga sih.

"Ya tinggal di kampung bukan berarti norak gitu. Kalian pikir kalian lebih hebat dari Runi? Dia sudah belajar bisnis dari kecil loh. Kalian aja masih minta jajan sama orang tua."

"Udah Yu, kamu jangan terlalu dekat Runi nanti kamu bau apek kayak singkong." sahut salah satu dari mereka. Disusul tawa oleh yang lain.

Aku mencuri pandang ke arah Bagas, ia terlihat menatap balik ke arahku dan menggigit bibirnya, berusaha menahan tawa karena olokan temannya tadi. Sial, pagi pagi begini hatiku sudah campur aduk saja rasanya.

"Heh Dasar ya kalian!" Dayu sudah bersiap mengambil ancang ancang untuk menghajar mereka. Secepat mungkin ku tangkap tangannya.

"Yu udah yu. Kita duluan aja ke sekolah."

"Nggak bisa Run, mereka udah keseringan begini." bantah Dayu

"Udah nanti PR nya nggak selesai." aku mencoba beralasan.

Dayu melunak, mungkin membayangkan lari lapangan 10 kali putaran kalau PR nya tidak di kumpul nanti sepertinya cukup berat dan melelahkan. Ia tidak mau.

"Awas nanti kalian ngejekin orang lagi." ancam Dayu.

"Nyenyenye."

Kuseret Dayu menjauh, aku tidak ingin pagi pagi sudah mual meladeni kebiasaan membully yang mereka lakukan. Melihat mereka semua tertawa. Termasuk Bagas. Meskipun tawanya tak selebar yang lain, hatiku sedikit perih.

halo semua cerita ini fiktif saja ya. Jika ada kesalahan dalam penuturan dan penggambaran lokasinya saya minta maaf dan tolong dikoreksi. Saya usahakan untuk mencari refrensi lebih baik lagi. Jangan lupa like dan komen ya. See you on the next chapter

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!