Istri Sah, Tapi Yang Kedua (1)
" Papa. Pa.pa.," panggil Zea sambil mengangkat kedua tangannya.
Balita berusia satu tahun itu terus meronta dari dekapan sang ibu dan ingin beralih pada laki-laki yang duduk di sofa lain yang ada di hadapannya.
" Sayang, itu bukan Papa. Itu Om Haikal," Jelas Azrina pada sang buah hati. Entah ke yang berapa kalinya.
" Papa. papa. Hiks...." balita satu tahun itu terus merengek. Karena menurutnya laki-laki itu adalah ayahnya.
" Tidak, apa-apa. Berikan padaku," pinta Haikal mengambil alih Zea dari tangan Azrina.
Azrina hanya mematung melihat betapa bahagianya Zea di gendongan Haikal.
Ada rasa nyeri dalam hatinya saat melihat Anaknya memanggil Haikal dengan sebutan Papa.
Nak, papamu sudah meninggal. Seandainya kamu sudah mengerti. Batin Azrina.
Zea Shaqueena atau yang biasa di panggil Zea itu harus menjadi yatim di usianya yang saat itu baru enam bulan.
Kecelakaan telah merenggut nyawa sang ayah, Haidar Sami Fadil. Namun, karena ia selalu melihat wajah sang ayah pada Om nya, ia selalu berfikir itulah ayahnya.
Ya, Haikal Sami Fadil, itulah nama laki-laki yang kini sedang memangku Zea. Dia adalah saudara kembar dari Haidar. Mereka yang kembar identik membuat Zea selalu salah mengenali.
" Rin, ayo nikah saja sama Mas Haikal. Zea butuh sosok ayah yang bisa menemaninya siang dan malam. Sementara kamu sendiri tahu ada batasan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram kan?," Umi mengingatkan Azrina.
Azrina masih dilema. Ia selalu yakin mampu membesarkan anaknya sendiri. Namun, di saat seperti ini, saat sang anak sakit dan hanya ingin bersama laki-laki yang ia yakini sebagai ayahnya, Azrina merasa ia tak mampu menjalani ini seorang diri.
"Iya, nak. Bunda juga berharap kamu mau menikah dengan Mas Haikal. Demi Zea," ibu mertua menambahkan.
Orang tua dan kedua mertuanya selalu memintanya untuk menikah dengan saudara kembar dari ayahnya Zea dengan alasan Zea. Sejak masa iddahnya habis.
Mereka ingin Azrina turun ranjang. Ini tidak mudah bagi Azrina. Apalagi wajah keduanya hampir sama hanya rambutnya yang membedakan. Bagaimana kalau Azrina malah menganggap Haikal sebagai Haidar? Itu yang ia takutkan.
" Rin, Zea nya di tidurkan dimana?," tanya Haikal membuyarkan lamunan Azrina.
Haikal tahu sebenarnya Zea masih tidur dengan Mamanya. Tapi, ia masih tahu sopan santun untuk tidak seenaknya masuk ke kamar Azrina sekalipun hanya untuk menidurkan keponakannya.
" Di kamar aku mas." Azrina mengantarkan Haikal ke kamarnya di lantai dua.
Ia ingin mengambil alih Zea dan menidurkannya sendiri. Namun, Zea akan terbangun dan menangis. Seperti sebelumnya.
Akhirnya ia terpaksa mengizinkan Haikal masuk ke dalam kamarnya sekaligus kamar mantan suaminya.
Azrina mengantar sampai pintu. Ia tidak masuk ke dalam kamar, tak ingin berada satu ruangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Bisa ia lihat betapa lembutnya Haikal memperlakukan Zea. Pelan-pelan,di tidurkan ya Zea di atas kasur agar tidurnya tidak terganggu. Namun, nyatanya gagal. Zea bangun lagi dan tak ingin ditinggalkan.
Haikal melihat ke arah Azrina.
" Kalau mas tidak keberatan,.."
" Tidak. Aku tidak keberatan. Tapi, kamu..," Haikal seolah tahu apa yang akan di ucapkan Azrina.
" Aku bisa tidur di kamar tamu,"
Sungguh lucu interaksi keduanya. Tanpa menjelaskan ucapannya satu sama lain seolah mengerti.
" Maaf" ucap Haikal karena kehadirannya disana membuat Azrina harus tidur di kamar lain.
" Aku yang seharusnya meminta maaf karena merepotkan mas Haikal," Azrina merasa tak enak hati karena selalu merepotkan Haikal setiap sang anak sakit.
" Tidak apa-apa. Dia juga keponakanku."
Azrina pamit, ia segera pergi ke kamar tamu yang ada di bawah.
Ternyata kedua orangtuanya dan kedua mertuanya masih ada di sana.
" Rin, bagaimana?," tanya ayah mertuanya. Iapun ikut mendukung jika Azrina menikah dengan Haikal. Artinya ia tidak akan kehilangan menantu impiannya.
Azrina melangkahkan kakinya mendekati mereka. Ia pun duduk sebelum memberikan jawaban. Tak baik rasanya berbicara sambil berdiri.
Azrina mende_sah. " Jika Mas Haikal belum punya kekasih, dan mas Haikal bersedia tanpa paksaan, aku bersedia. Demi Zea," akhirnya, Azrina memutuskan untuk menyetujui saran mereka.
Namun, tentunya dengan syarat.
" Baik, kami akan membicarakan ini dengan Haikal," ayah mertua terlihat senang.
Setelah bercengkrama sebentar, mereka masuk ke dalam kamar masing-masing. Saat ini mereka sedang menginap di rumah Azrina yang merupakan rumah pemberian almarhum Haidar.
Rumah itu adalah rumah yang di hadiahkan oleh Haidar sebagai hadiah pernikahan mereka. Yang artinya, sudah hak milik Azrina.
...******...
Setelah Zea dirasa jauh lebih baik, Haikal dan kedua orang tuanya kembali pulang ke rumah mereka. Begitupun kedua orang tua Azrina.
" Mas, soal permintaan bunda untuk menikahi Rina, bagaimana?," tanya Bunda Nanda.
Bunda selalu memanggil Haikal dengan sebutan 'mas' sekalipun hanya ada mereka berdua.
Haikal yang yang sedang melihat ponselnya akhirnya meletakkan ponsel itu ke sakunya dan memiringkan tubuhnya melihat ke arah bundanya yang duduk di sofa yang sama.
" Bunda masih berharap aku menikahi Rina?,"
" Rina sudah setuju untuk menikah denganmu,"
" Benarkah?,"
" Tentu saja."
" Semudah itu?,"
" Apanya yang mudah. Bunda menunggu berbulan-bulan sampai dia bersedia menikah denganmu," Bunda berdecak kesal melihat Haikal menganggap mudah meminta Azrina menerima sarannya.
Haikal hanya nyengir. Ia lupa jika permintaan ini datang bahkan saat tanah kuburan sang kakak belum kering.
Kedua keluarga khawatir dengan kondisi Zea jika tumbuh tanpa keberadaan sosok ayah.
" Tapi, Rina memberi syarat," Bunda memanggil nama kesayangan sang menantu.
" Syarat?,"
" Ya, syarat. Katanya, selama kamu tidak memiliki kekasih dan kamu bersedia menikahinya tanpa terpaksa,"
Haikal diam. Ia berpikir keras tentang sesuatu.
" Bagaimana, mas?," tanya Bunda tak sabar karena Haikal tidak langsung menjawab.
" Apa kamu punya kekasih?,"
" Tidak,"
" Lalu kenapa kamu diam? Kalau kamu merasa terpaksa, jangan. Bunda tidak ingin Rina kecewa,"
" Baiklah. Aku setuju. Aku juga tidak tega saat keponakanku yang cantik itu selalu sedih setiap aku pergi dan tidak bisa tidur denganku" jelas Haikal membuat alasan yang tidak sepenuhnya benar.
" Alhamdulillah," Seru Bunda Nanda senang.
Akhirnya, pernikahan itu terjadi dua Minggu setelah Haikal setuju untuk menikah dengan Azrina.
Tanpa ada pesta pernikahan yang megah, pernikahan itu berjalan dengan lebih khidmat. Hanya tetangga dan kerabat dekat saja yang hadir di acara yang istimewa itu.
Haikal tak masalah saat ia harus menikahi Azrina tanpa adanya resepsi.Ia mencoba menghargai keinginan wanita yang kini sudah sah jadi istrinya itu.
Lagipula dia tidak suka berdiri lama di depan banyak orang. Jadi, tidak adanya resepsi pernikahan membuatnya terhindar dari di panjangnya ia di pelaminan.
" Ayo istirahat," ajak Haikal pada Azrina yang hanya mengangguk dan mengikuti langkah suaminya ke salah satu kamar yang ada di lantai dua.
" Kesini, Mas" ajak Azrina pada suaminya saat Haikal akan masuk ke kamar ia dan Haidar dulu.
Ya, Azrina mengajak Haikal masuk ke kamar sebelahnya yang awalnya akan ia jadikan kamar Zea. Bukan kamar Azrina dan Haidar.
Ceklek
Haikal terkejut saat kamar yang ia masuki sudah berubah penataannya.
Setahunya, kamar itu awalnya masih kamar kosong walaupun sudah ada kasur disana.
" Ini jadi kamar kita. Kalau mas tidak keberatan," jelas Azrina.
" Tentu, jika di rumah ini, ini kamar kita." Haikal sejujurnya merasa terharu karena Azrina memikirkan itu.
Ia awalnya khawatir jika mereka akan menempatkan kamar yang dulunya di pakai oleh adik kembarnya.
" Kalau aku mengajak pindah, bagaimana?,"
TBC
Istri Sah, Tapi Yang Kedua (2)
Haikal masih senyum-senyum sendiri saat mengingat jawaban Azrina saat ia mengajaknya pindah.
Aku seorang istri. Tentu akan pergi kemanapun Mas Haikal membawaku. Sekalipun pergi dari rumah ini.
Jawaban Azrina yang tanpa keraguan itu membuat Haikal semakin kagum pada mantan kakak iparnya yang kini sah menjadi istrinya.
Pantas, tidak butuh lama untuk Idar mencintai Rina. Batin Haikal.
Pernikahan Azrina dan Haidar pun bukanlah karena mereka saling memiliki rasa satu sama lain. Mereka pun di jodohkan seperti yang terjadi saat ini.
Namun, baik Azrina maupun Haidar sama-sama saling menerima dan memainkan perannya sebagai suami dan istri yang baik. Hingga tak butuh waktu lama cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya.
Haikal terpaku saat melihat Azrina keluar dari kamar mandi tanpa memakai khimarnya. Rambut yang biasa tertutup itu kini bisa ia lihat dengan jelas.
Jantung Haikal mulai tak baik-baik saja. Ada sesuatu yang muncul saat ia melihat istrinya yang membuka aurat di hadapannya.
Walaupun masih memakai daster rumahan yang pastinya longgar, namun itu cukup untuk membuat matanya tak berkedip.
Masya Allah, cantiknya istriku.
Pujian yang hanya bisa Haikal katakan dalam hatinya.
Azrina sendiri bukan tak menyadari tatapan kagum dari laki-laki yang berstatus suaminya.
Dari balik cermin, Azrina bisa melihatnya. Namun, Azrina berpura-pura tidak tahu karena ia pun gugup. Ia hanya melanjutkan aktivitasnya memakai lotion pada kaki dan tangannya.
" Mas mandi dulu ya," pamit Haikal yang hanya di jawab anggukan kepala oleh Azrina.
Ia harus segera mendinginkan tubuhnya yang mulai kepanasan.
Jika bukan karena ia masih malu dan gugup, ingin rasanya ia menerkam wanitanya yang sudah halal itu. Namun, Haikal tidak ingin terlalu gegabah dalam bertindak.
Azrina mungkin berstatus janda. Namun, masalah ranjang ia dan mantan suaminya bahkan hanya melakukan beberapa kali. Masih bisa di hitung jari.
Alasannya karena pekerjaan sang suami yang merupakan abdi negara membuatnya harus pergi ke pelosok negeri.
Mereka tinggal bersama di awal-awal pernikahan. Selanjutnya mereka melakukan LDR sampai kejadian naas itu terjadi.
Karena tidak lama kemudian, Azrina dinyatakan hamil dan tidak mungkin di ajak pergi ke pelosok.
Malam semakin larut, kini keduanya berada di atas ranjang yang sama. Mereka berbaring tapi, tidak bisa memejamkan matanya.
Aku ingin menawarinya, tapi malu.
Batin Azrina. Ia tahu suaminya sudah mulai berhas_rat. Tapi, tidak juga meminta haknya. Ingin menawarkan diri tapi ia malu luar biasa.
Aku ingin, tapi bagaimana caraku memintanya.
Haikal pun sibuk dengan pikirannya. Meminta malam pertama, apakah istrinya tidak akan menolak karena ia terlalu berani meminta?
Waktu dengan Bang Haidar, dia yang lebih agresif meminta. Astaghfirullah seharusnya aku tidak membandingkan mereka.
Inilah yang Azrina khawatirkan. Ada yang ia bandingkan antara laki-laki yang kini berstatus suaminya dan dia yang sudah tenang di alam sana.
" Mas..."
" Rin...."
Keduanya memanggil di saat bersamaan.
" Mas dulu..."
" Kamu dulu .."
Lagi-lagi mereka mengatakan di waktu yang bersamaan hingga membuat keduanya terkekeh.
" Mas dulu saja," ucap Azrina akhirnya.
" Mm,, soal malam ini," tiba-tiba lidah Haikal Kelu.
" Mas ingin meminta hak mas sebagai suami?," tanya Azrina tersenyum
" Kamu tidak keberatan?," tanya Haikal merubah posisi tidurnya jadi miring ke arah Azrina yang masih terlentang.
" Aku tidak mungkin menolak keinginan suamiku. Apalagi aku sedang tidak berhalangan," jelas Azrina yang mulai memerah wajahnya.
Ditatap dengan tatapan memuja oleh Haikal membuat Azrina sedikit salah tingkah.
Senyum menghiasi wajah Haikal saat mendengar ucapan Azrina.
" Tapi, sebelumnya aku ingin bertanya.,"
" Soal apa?,"
" Apa aku harus pakai KB atau mas yang pakai pengaman?,'
Ingin rasanya Azrina menenggelamkan dirinya ke dasar lautan. Ia tak pernah membahas hal seperti ini sebelumnya.
" Kamu sendiri inginnya bagaimana?," tanya Haikal.
Sebagai seorang laki-laki, ia tentu saja ingin memiliki anak sendiri. Namun, mengingat usia Zea yang masih kecil, ia pun tak ingin egois.
Zea masih minum ASI, jangan sampai ia merampas hak keponakan sekaligus anak sambungnya jika ibunya harus mengandung lagi.
Haikal memang tidak memahami tentang boleh atau tidaknya ibu hamil tetap menyusui. Namun, ia pikir itu cukup beresiko atau mungkin akan merepotkan bagi Azrina nantinya.
" Jika menunda sampai Zea lepas ASI bagaimana?," tanya Azrina hati-hati.
" Aku ingin meng-ASI-hi Zea sampai usia dua tahun."
" Baiklah. Aku pikir itu lebih baik." Haikal mengangguk-anggukkan kepalanya.
Azrina pun mulai memejamkan matanya karena ia pikir malam pertama tidak akan terjadi. Karena ia harus melakukan KB terlebih dahulu.
Pil KB pun ia tak memilikinya apalagi pengaman.
" Kamu tidak jadi melayaniku malam ini?," tanya Haikal dengan suara lemahnya.Ia sudah membayangkan hal yang iya-iya, apakah malam ini tidak akan kesampaian?
" Aku tidak punya stok pil KB, aku juga tidak punya pengaman," ucap Azrina sambil kembali membuka matanya.
" Kalau itu masalahnya, biar aku beli dulu ke apotek yang buka dua puluh empat jam,"
Haikal langsung beranjak dari kasur dan memakai celana panjang dan jaketnya. Tidak lupa memasukkan dompet ke saku celananya.
Dengan semangat ia langsung keluar kamar. Tidak ingin malam ini gagal.
Ceklek
Haikal kembali membuka pintu kamar, "Jangan tidur ya!," pinta Haikal sebelum akhirnya ia kembali menutup pintu kamar.
Azrina hanya tertawa melihat tingkah lucu suaminya.
"Mereka memang serupa, tapi tak sama. Aku harus ingat itu," monolog Azrina setelah kepergian suaminya ke apotek.
Wajah yang serupa itu, nyatanya memiliki kepribadian yang berbeda.
Satu jam kemudian, Haikal sudah kembali. Ia pun masuk ke dalam kamar dengan wajah berseri.
Saat ia masuk ke dalam kamar, ia bersyukur mendapati istrinya yang masih bangun dan sedang membaca buku.
" Mas pikir kamu sudah tidur, Dek,"
" Dek?," Azrina malah gagal fokus pada panggilan yang di ucapkan Haikal.
" Mas ingin punya panggilan sendiri, bolehkan?," tanyanya meminta persetujuan.
" Tentu saja. Kenapa tidak boleh?,"
Haikal hanya tersenyum.
" Jadi, kamu siap untuk malam ini kan?," tanya Haikal yang tak ingin ada kegagalan. Apalagi ia sudah mendapatkan lampu hijau. Belum lagi, Zea bahkan sudah mengungsi ke rumah mertuanya yang masih satu perumahan..
Mertuanya memang sangat pengertian.
" I_iya," jawab Azrina jadi gugup sendiri.
" Tapi, mas mau kamu minum pik KB saja. Aku tidak ingin memakai pengaman. Karena ingin merasakan sentuhan langsung tanpa penghalang apapun," ucapan frontal Haikal membuat wajah Azrina merah.
Blushhh
Azrina hanya meringis.
Setelah mematikan lampu, Haikal pun mulai naik ke atas ranjang. Ia menutupi tubuh keduanya dengan selimut dan mulai melakukan pemanasan. Hingga, akhirnya mereka sampai pada aktivitas inti mereka.
SKIP
Azrina bangun terlebih dahulu dan merasakan tangan kekar membelit pinggangnya.
Azrina terdiam mengagumi wajah suaminya yang ada di hadapannya.
Malam kemarin memang pengalaman yang berbeda karena dengan Haidar dulu, mereka selalu langsung ke inti. Jarang bermain-main dulu tidak seperti Haikal.
Astaghfirullah, lagi-lagi aku membandingkan mereka. Maaf. Maafkan aku.
Azrina mencoba mengenyahkan pikiran bodohnya yang masih membandingkan dua sosok yang berbeda itu.
Ingat Azrina!! Wajah mereka mungkin sama, tapi mereka sosok yang berbeda.
TBC
Istri Sah, Tapi Yang Kedua (3)
Tiga bulan sudah Haikal dan Azrina menjalani pernikahan. Sampai hari ini Azrina dan Haikal masih menempati rumah pemberian Haidar.
Haikal sendiri masih mencari rumah untuk mereka tinggali kedepannya. Berada di rumah itu membuat Haikal tak nyaman. Ia merasa seperti menumpang hidup pada sang istri.
Walaupun Azrina tak mempermasalahkannya.
" Mas sudah menemukan rumah yang sepertinya cocok untuk kita. Nanti pulang kerja mas ajak kamu melihatnya ya, dek," ucap Haikal setelah mereka selesai sarapan.
" Iya mas."
Azrina sebenarnya merasa mereka belum butuh rumah baru. Rumah ini saja masih bisa mereka manfaatkan.
Namun, ia tak ingin melukai hati sang suami yang ingin melakukan yang terbaik untuk anak dan istrinya.
" Kalau kita pindah, apa rumah ini sebaiknya di sewakan saja?. Kalau kosong takutnya malah cepat rusak karena tidak terurus." jelas Azrina.
Haikal diam sejenak sebelum akhirnya menyetujui pendapat sang istri.
" Ya, itu terserah kamu saja, Dek. Kalau kamu mau menyewakannya mungkin bisa mulai kamu cari penyewanya setelah kita sudah pindah ke rumah baru,"
Azrina mengangguk.
" Yayah.. Papa," ucap Zea memanggil Haikal yang tidak melihat ke arahnya.
Balita mungil itu sudah di ajarkan agar memanggil Haikal dengan sebutan ayah. Karena panggilan 'papa' adalah panggilan untuk Haidar. Haikal tidak ingin menjadi bayangan Haidar nantinya.
Namun, Zea masih suka memanggilnya papa. Haikal pun tak mempermasalahkan karena ia sadar anaknya masih kecil. hanya perlu waktu untuk terus membiasakan saja.
" Ayah. Ayo panggil ayah dulu, nanti baru ayah gedong," Haikal mengeja panggilan untuknya.
" Yayah. Yayah. yayah," panggil Zea dengan riangnya.
Haikal langsung mengambil Zea dan menggendongnya. Ia ciumi perut Zea yang semakin bulat membuat Zea tertawa renyah.
" I love you, cantiknya ayah," Haikal mencium pipi gembul Zea bertubi-tubi.
" Sudah mas, nanti terlambat bekerja," Azrina mengambil alih Zea.
Dengan berat hati Haikal memberikan Zea kepada Azrina. Ia sadar bahwa dia akan terlambat jika terus bermain-main dengan balita Gembul itu.
" Hati-hati di jalan. Jangan ngebut," pesan yang selalu Azrina sampaikan ketika suaminya akan berangkat bekerja.
" Insya Allah, sayang.Mas masih sayang nyawa. Mas masih mau melihat Zea tumbuh dewasa juga memiliki anak-anak manis lainnya,"
Azrina hanya tersenyum. Ia malu jika sudah membahas anak. Karena pikirannya tiba-tiba mulai kemana-mana.
" Jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Nanti malam saja kita langsung praktek ya," ucap Haikal menggoda istrinya yang semakin seperti kepiting rebus.
Azrina tak menanggapi godaan Haikal yang akan berbuntut panjang jika ia meladeninya.
Azrina langsung mencium punggung tangan Haikal dengan takzim.
Haikal pun mencium kening sang istri.
" Hati-hati di rumah. Nanti dandan yang cantik, kita sekaligus makan di luar saja. Jadi, kamu tidak perlu masak."
" Baik, mas,"
" Eh, jangan dandan. Kamu cuma boleh terlihat cantik kalau di depanku saja," ucapnya meralat perkataannya sebelumnya.
" Aku kan memang tidak suka dandan mas. Paling pakai bedak dan lipstik."
" Iya tapi, kamu tetap terlihat cantik, Dek. Mas nanti jadi malas ajak kamu keluar. Mas benci laki-laki lain mengagumi wajah mu," Suara Haikal terdengar lucu di indra pendengaran Azrina.
Laki-laki gagah itu terlihat seperti anak kecil yang merajuk.
" Ya, sudah. Nanti aku pakai cadar saja kalau mas takut," ucap Azrina asal.
" Ah, benar juga. Pakai cadar saja ya, sayang. Biar wajah itu hanya untuk mas seorang," Haikal kembali berbinar merasa mendapatkan solusi yang tepat
" Eh, ini seriusan?," tanya Azrina tak menyangka ucapannya ditanggapi serius.
" Tentu saja." Jawab Haikal yakin.
" Tapi, cadarku sudah aku simpan di gudang. Semenjak pandemi selesai, aku sudah tak memakainya, mas," jelas Azrina sebenarnya ia malas jika harus mengubrak-abrik kardus pakaian yang tak terpakai di gudang.
Dulu, saat pandemi ia lebih nyaman memakai cadar daripada masker. Karena itu ia punya stok yang cukup banyak sesuai warna kerudungnya.
Namun, setelah semua kembali normal, ia melepasnya lagi.
Azrina sendiri memiliki keyakinan bahwa memakai cadar itu mubah, yang artinya boleh. Jadi, ia tidak masalah jika kembali melepas cadarnya.
Namun, akan berbeda jika kini sang suami memintanya memakai cadar ke luar rumah. Artinya cadar baginya menjadi wajib karena itu adalah perintah suaminya.
Perintah suami wajib ia lakukan selama tidak melanggar syariat. Ya, Azrina akan melakukan sebagai bukti ketaatannya pada sang suami.
" Tenang, nanti mas yang beli."
Azrina akhirnya hanya mengangguk pasrah saja.
...******...
Sore harinya Haikal benar-benar mengajak istrinya melihat rumah yang akan ia beli.
Bahkan, Haikal membawa pulang satu lusin cadar dengan warna berbeda. Ia membeli yang kualitasnya bagus. Bahannya adem dan nyaman di pakai.
Azrina pun menerima dengan senang hati. Walaupun ia ingin mengomentari karena merasa suaminya membeli terlalu banyak. Namun, ia tak mau suaminya merasa tak di hargai.
Azrina akan membicarakan hal ini lain waktu saat mereka duduk bersantai berdua. Waktu yang menurutnya tepat untuk berbicara dari hati ke hati.
" Ini rumahnya. Bagaimana menurutmu, Dek?,'" tanya Haikal sambil menutup kembali pintu mobil saat istrinya sudah keluar dari mobil.
Zea ia ambil alih dari gendongan istrinya.
" Masya Allah, bagus mas. Halamannya juga luas," jelas Azrina terpukau dengan rumah yang cukup nyaman itu.
Rumah yang masih cukup dekat lokasinya dengan rumah orang tua Azrina namun, bukan di perumahan yang sama.
" Mari silahkan, Pak Haikal dan Bu Azrina," ajak Pak Daus, pemilik rumah.
Mereka pun berkeliling dan merasa cocok dengan rumah itu. Apalagi ada lahan di kanan kiri serta belakang yang bisa mereka manfaatkan untuk berkebun atau menambah bangunan jika mereka ingin memperluas bangunan.
" Dek, mas keluar dulu untuk mengangkat telepon ya," pamit Haikal meletakkan Zea di atas pangkuan Azrina.
Azrina sendiri kini ada ruang tamu di temani Bu Daus.
Merasa suaminya sudah terlalu lama, Azrina pergi menyusul. Ia ingin segera pergi makan malam di tempat yang kata suaminya tempat yang ia rekomendasikan.
" Aku sudah bilang jangan hubungi aku jika aku sedang tidak bersamamu kecuali darurat," ucap Haikal yang memilih mengangkat telpon di samping rumah.
Langkah Azrina terhenti saat mendengar suara suaminya yang terdengar geram dengan seseorang yang menelponnya.
"Aku hanya merindukanmu."
" Tolong hargai apa yang aku lakukan. Sampai jelas siapa ayah dari anak itu, kamu tidak punya hak apapun padaku. Sekalipun aku sudah menikahimu,"
Jeduarrr
" Jika tak percaya kenapa kamu menikahi ku?," ucapan seseorang di sebrang sana sekalipun tidak bisa Azrina dengar.
" Seharusnya kamu tidak bertanya. Kamu tahu aku terpaksa menikahimu,"
Deg
Lagi-lagi Azrina di buat terkejut dengan ucapan suaminya.
" jangan menggangguku lagi,"
Klik
Deg
" Sayang sejak kapan kamu disana?,"
Haikal terkejut saat melihat istrinya yang menggendong Zea yang sudah tidur ada di sana.
" Cukup lama sampai aku tahu bahwa suamiku punya istri lain selain aku,"
Deg
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!