"Akra, Gres, ayo liburan bareng!" Allegro mengatakan, club musik akan berkemah dipinggir danau Oazi, mereka akan menulis lagu baru liburan ini.
"Kalian akan menjadi orang pertama yang mendengarnya." Kata Andante menambahkan.
"Peralatanya sudah kami siapkan seminggu yang lalu, jadi jangan khawatir, ada 8 tenda besar, sedangkan kami hanya empat belas orang." Mereka berdua begitu semangat.
"Bagaimana, ya...," Aku berpikir sejenak. Gres pernah bilang akan kedesa neneknya untuk belajar merangkai bunga. Aku lebih memilih ikut denganya kalau diajak. Apa dia masih ingat?
"Aku akan melakukan sesuatu. Jadi, ma'af, aku tak bisa."
Gres menoleh. Sepertinya dia akan mengiyakan tawaran itu.
"Serius?" Andante menegaskan.
"Ya." Kataku sambil mengangguk.
"Yaaa...h." Allegro tampak sedih.
"Ya, sudah. Jangan sampai kesepian. Hubungi kami kapanpun. Ingat 'melodi pengisi hati'." Dia menunjuk moto mereka yang tersulam dengan benang emas ditas gitar yang tersandar dekat jendela bus.
Tak lama kemudian anak-anak mulai ramai. Aku memeriksa ponsel, 8 menit sebelum bus berangkat.
Anak-anak kelas kesenian masuk dengan beberapa buket dan peralatan yang tersembul keluar dari tas mereka. Mereka bicara dengan heboh tanpa memperhatikan jalan dengan baik.
Gres menjulurkan kakinya untuk menghalangi mereka, itu berhasil. Cewek pirang yang berjalan paling depan terjatuh. Beberapa goresan muncul dilayar ponselnya yang mendarat lebih dulu. Segera saja teman-temanya membantunya bangun. Mereka membersihkan lutut dan sikunya yang berdebu. Mereka menatap Gres dengan Geram.
"Apa sih masalahmu?" Tanya gadis itu mengepalkan tangan. Gres memasang ekspresi lugu dan menjawab dengan kalem.
"Tak ada, hanya bersenang-senang." Tanganya yang mengepal membuka dan melayang menuju pipi Gres. Gres memundurkan wajahnya beberapa senti,
hampir saja kena. Yang menampar sendiri setengah berputar akibat momentum dari gerakan itu.
"Kau baik-baik saja, dear?" Tanya Gres. Gadis itu semakin geram.
"Ah, begini, namamu Eldery, kan? Aku Gresen. Salam kenal." Dia menjulurkan tangan dan Dery menepisnya dengan kasar.
"Dery, hentikan! Ayo!" Seorang gadis lain mendorongnya agar gadis yang dipanggil Dery segera berlalu. Tiga anak lain dibelakanga mereka bersungut-sungut membenarkan.
Alleggro, berbalik menghadap kami sambil tersenyum.
"Hati-hati Gres, rumornya dia sudah mencampakkan selusin laki-laki dan menolak lebih dari dua puluh orang." Katanya. Gres menanggapinya dengan senyum miring.
Aku menyenggol kakinya,
"Fara bagaimana?" Tanyaku. Wajah Gres memerah. Dia berusaha menjawab, tapi kalimatnya tak terucap.
Fara adalah seorang murid cerdas meski terkesan lugu, pendiam dan tidak aktif. Karna itu, murid bengal seperti Gres sulit mendekat. Ya...walaupun sebenarnya Greslah yang enggan. Dia sepertinya sadar, tak ingin menulari Fara penyakit ke'nakalan'nya yang tidak diharapkan mewabah.
Fara sendiri tak pernah tau perasaan Gres yang sebenarnya, karna Gres tak pernah mengatakanya. Itulah hal istimewa dari Gresen. Dia berhasil menjaga gadis itu agar tidak dibully anak bengal yang 'sejenis' denganya. Akibatnya, Fara yang culun bisa tetap aman. Setidaknya begitu yang kutahu.
"Kau tau masalah yang sedang dihadapi club merangkai bunga, kan?" Fara adalah salah seorang anggota disana. Kabarnya banyak karangan bunga hilang dari galeri sekolah.
Gres sering mengatakan dia ingin masuk keclub yang sama dengan Fara. Mereka sudah kelas tiga. Gres ingin minimal Fara tau namanya sebelum mereka lulus. Dia sudah mengatakan itu lebih dari dua puluh kali seingatku.
Aku tertawa saat pertama kali mendengar idenya. Merangkai bunga? Berapa kalipun didengarkan tampaknya tidak cocok dengan Gres. Apalagi jika kalimat itu diucapkan sambil melihat wajahnya.
Aku membayangkan Gres diruang kesenian duduk diantara bunga-bunga yang berserakan, dengan pita dan gunting. Memilah-milah dan mengukur plastik mika dan sebagainya. Entah mengapa aku merasa...
Tak terucapkan.
Belakangan aku paham. Begitulah tekadnya untuk menghormati orang yang dia sukai.
Tak lama kemudian bus mulai penuh. Menurut jadwal, 5 menit lagi bus akan berangkat. Bus jadi berisik, semua orang bicara berbagai topik seputar liburan. Tiket pesawat, biaya hotel, tujuan vakansi, landdoll, taman bermain, hutan wisata. Dan berbagai tempat.
Aku mendadak menjadi iri. Pasti sangat menyenangkan bisa berkumpul dengan orang tua dan pergi liburan bersama. Sayangnya, orang tuaku sedang sibuk. Mereka baru pulang dua hari yang lalu dan sudah pergi lagi. Tak ada yang istimewa, selain satu hal yang tak terlewatkan, mereka selalu pulang dengan dua koper besar cucian.
Sopir bus mulai menyetir. Kami melewati jalanan yang sudah mulai ramai. Tempat hiburan buka lebih awal. Cafe, resto, karoke, dan game center, mengadakan berbagai promo menarik. Beberapa diantara tempat itu tampak baru dipugar. Walpaper dan iconya baru dan segar. Memikat para muda-mudi untuk menghabiskan waktu disana.
Kami berhenti dihalte dekat pertigaan. Rumah kami ada dibelokan sebelah kanan. Selain teman dekat, aku dan Gres juga tetangga idola. Jarak rumah kami tak lebih dari seratus meter.
Kami sering belajar bersama, makan bersama, main bersama, bertengkar, dan pergi bersama.
Sejak kakakku kuliah, aku lebih dekat dengan Gres daripada dengan siapapun, kecuali bi Ike, pembantu rumah kami yang suaminya ditugasi bunda merawat taman bunga plus merangkap sebagai sopir. Ditambah lagi aku dan Gres sama-sama sering ditinggal orang tua. Jadi kami semakin dekat satu sama lain.
Dia dan aku sudah berteman sejak smp. Nakal dan anti aturan. Jika ada hal yang paling sulit untuk ditularkan pada Gres, itu adalah mengerjakan pr. Tapi Gres adalah teman yang kuat, bisa dipercaya dan dapat diandalkan.
Kami berbelok kekanan dan mulai memasuki area perumahan yang berjajar rapi. Pohon ceri dan jambu air merekah merah dipintu masuknya.
"Apa yang akan kau lakukan liburan ini?" Tanya Gres begitu kami melewati sebuah rumah bercat biru tua terang yang begitu mencolok.
"Tak ada." Jawabku.
"Serius?" Dia menoleh dengan mata melebar. Apa dia masih ingat ceritanya dua minggu lalu?
"Ya."
"Begini, Akra." Dia berdehem.
"Bukanya sebaiknya kau sesekali jauh dari rumah." Aku mengerutkan kening.
Saran macam apa itu?
"Sudah sebaiknya kau memberikan waktu untuk bi Ike dan Pak Sabit tinggal berdua, kan. Berada diantara dua orang yang saling mencintai i.." Tampaknya Gres sedang kerasukan dewi cinta sinting. Kalau sudah begini lebih baik tak usah didengarkan.
"Apa rencanamu?"
"Belajar merangkai bunga didesa nenek!" Jawabnya sambil tersenyum lebar. Gres jadi dua kali lebih tampan dengan senyum itu.
Kota kami terkenal dengan karangan bunganya. Namun, meskipun begitu, bunga-bunganya didatangkan dari berbagai tempat. Desa nenek Gres adalah salah satu tempat dimana bunga-bunga itu berasal.
"Aku akan kerumahmu nanti sore. Siapkan kue enak untukku." Kata Gres sambil berjalan memasuki halaman rumahnya yang bercat oker. Bukanya diajak mampir malah disuruh.
Bi Ike sedang menjemur pakaian saat aku tiba. Setelah menata buku dan menganti pakaian aku menuju dapur. Aku melintasi setumpuk pakaian kering yang menggunung di meja setrika. Inilah sisi negatifnya jika ayah dan bunda pulang. Mengapa mereka tidak mengurus pakaian mereka ditempat kerjanya?
"Hati-hati, licin!" Ujar beliau. Aku melihat pengepel bertengger didahan Bugelvil putih yang berpilin membentuk gerbang dihalaman samping.
"Ya." Aku melirik rice cooker dan meja makan. Untunglah Bi Ike sudah menyiapkan makan siang. Meskipun begitu, tak mungkin aku memintanya menyiapkan kue untuk sore nanti. Jadi siang itu aku menghabiskan waktu tidur siangku yang berharga dengan membuat kue krim.
Dengan instruksi dari bi Ike aku mulai mengambil tepung, telur, mentega, mixer, dan beberapa alat yang diperlukan. Bi Ike bicara sambil menyetrika. Aku mendengarkan dengan teliti, semoga kueku seenak kue buatanya.
Aku memeriksa ponsel sambil menunggu kue matang. Banyak pesan masuk bersileweran di grup kelas. Semuanya memamerkan persiapan liburan mereka. Aku memeriksanya satu persatu dengan teliti. Ada sebuah pesan dari Gres disana.
Apa kuenya sudah matang?
Belum.
Kau sedang berkemas Gres.
Ya
Ada yang perlu ku bawa.
Kupikir tidak.
Mungkin Gres tak begitu yakin peralatan apa saja yang diperlukan untuk dibawa.
Bu Kiana bergabung. Beliau, memberitahukan peringatan penting dari kementerian pendidikan. Sebuah selebaran terposting, berisi larangan terhadap siswa-siswi yang belum berusia 20 tahun untuk tidak keluyuran setelah jam 10 malam. Beliau juga mengingatkan kami untuk mengerjakan tugas.
Tiga puluh menit kemudian. Aku meminta Bi Ike mencicipi kueku. Beliau langsung memintaku membuat banyak begitu aku bilang akan pergi bersama Gres kedesa neneknya. Bi Ike juga mengajariku membuat beberapa jenis kue baru yang belum pernah dia buat. Lembut dan enak. Cocok untuk orang tua seperti nenek Gres.
Aku menyelsaikan urusan memasak kue sementara bi Ike memasukan satu keranjang cucian lagi. Mesin langsung berdengung. Tampaknya baru selsai saat menjelang Maghrib.
Gres datang tepat saat aku mengantar satu nampan besar kue untuk pak Sabit dikebun belakang. Disana dia tampak duduk dengan santai diatas kursi bambu panjang. Angin sepoi-sepoi berhembus. Menebarkan hawa dingin yang segar ditambah aroma bunga yang mekar memenuhi udara.
Kami menghabiskan senja itu dengan bercerita berbagai hal. Pak sabit mengomentari betapa mubazirnya pesta tahun baru yang biasanya diadakan kota ini. Terompet yang bising dan kembang api yang membakar uang.
"Dulu, saat bapak kecil, kota ini masih sebuah desa kecil. Saat itu ada tradisi membakar lilin pada malam 27 Ramadan. Kurang lebih seperti pesta tahun baru sekarang."
"Tapi dalam kenyataan dan hakikatnya sama sekali berbeda. Mereka sebenarnya meniatkan memberikan penerangan bagi orang yang lewat. Mereka akan kerepotan jika harus memanggul beras zakat sambil membawa obor atau lentera lain. Ditambah lagi zaman dulu kan, orang-orang punya banyak anak." Kata pak sabit si tukang kebun.
"Jika lilin tidak ada, mereka membuat lentera dari bambu kecil yang diberi sumbu. Atau kayu Pinus yang dipotong kecil-kecil dan ditancapkan pada pohon pisang. Atau paling tidak menyalakan api unggun sekalian mengusir nyamuk ternak-ternak mereka." Begitu kata Pak sabit.
Pak sabit benar, ada begitu banya kesanangan sekarang yang memiliki arti tak jelas. Mungkin, jika generasi sekarang bisa merasakan bagaimana cara hidup dan keseharian mereka orang-orang dulu, banyak sisi baik yang bisa dihasilkan.
Awan senja yang mulai merah menghiasi langit dibarat. Gres menoleh ke arahku,
"Mana kameramu?" Biasanya aku selalu membawanya jika pergi kekebun belakang. Dari sini matahari tenggelam tampak begitu indah bersembunyi dibalik pegunungan.
"Dibawa kemarin." Jawabku.
"Apa?" Aku juga heran untuk apa orang tuaku membawa kamera tua begituan.
"Ya, kupikir kita bisa ambil beberapa gambar matahari tengelam. kalau begitu kau bisa pinjam kameraku untuk liburan besok." Kata Gres berbaik hati.
Hari semakin sore, aku dan Gres berkemas menyiapkan apa yang perlu dibawa. Kata Gres kami perlu membawa banyak mantel. Disana dingin meski siang hari. Kami juga memperkirakan peralatan yang akan diperlukan dalam belajar merangkai bunga.
Pita, selotip, mika, stepler, gunting, pisau, origami, dan beberapa barang lain yang entah berguna atau tidak.
"Bagaimana dengan persiapanmu?" Tanyaku.
"Sudah selsai. Akan kutambahkan kamera jika kau mau."
Gres meninggalkan rumahku saat gerimis mulai turun. Dia berpesan untuk menerima paket yang tadi dia pesan. Setelah menerima pakaian dari bi Ike, aku beranjak keatas. Mengisi koper dan memilah beberapa buku yang perlu dibawa.
Semakin malam hujan turun semaki deras, petir berdansa diangkasa. Aku melirik jam dimeja, 22.00. Paket itu belum datang. Aku menuju ponsel untuk menelepon Gress. Ada beberapa agensi yang tidak menerima pesanan lewat jam-jam tertentu. Singkatnya, tak ada pesanan yang diterima satu jam sebelum tengah malam. Dan pengiriman yang memakan waktu lewat tengah malam akan ditunda hingga keesokan paginya.
Hp-nya mati. Mungkin batrainya habis. Aku menghubungi nomor telepon rumahnya. Tak diangkat juga. Setauku salah satu telepon rumahnya terletak diruang tengah. Persis diatas meja diluar pintu kamarnya. Jika ada yang menelepon pasti terdengar sampai kekamar. Apalagi dia biasa tidur diatas sofa diruangan itu.
Tiga kali aku menelepon tak juga ada jawaban. Apa dia pulas sebegitunya. Mungkin saja begitu. Ditambah lagi tadi sore dia mengatakan hanya dia sendiri dirumah. Adiknya, Viana pergi kedesa pengasuh mereka yang diijinkan mudik. Begitu juga satpam dan sopir pribadinya. Pak kumis dan mbak orca.
Dengan setengah mengantuk aku menggeser kursi belajarku dan menempatkannya dipinggir jendela. Menatap pintu pagar dari jendela atas sambil mengawasi kendaraan yang melintas. Jalanan sudah sangat sepi. Dan hujan turun semakin deras. Dua puluh menit sebelum tengah malam. Aku memutuskan untuk menunggu hingga tengah malam tiba. Jika kurir itu tidak datang juga, aku memutuskan untuk tidur saja.
"Ting...Ting...Ting ...Ting..."
Aku membuka mata saat mendengar bel pagar luar berbunyi seseorang dengan mantel berhoodie tampak disana. Aku yakin paket yang dibawanya adalah pesanan yang dimaksud Gres. Aku bergegas turun.
Hanya beberapa langkah sebelum aku berbalik lagi kejendela, aku menyadari ada yang janggal. Kurir itu tidak mengendarai sepeda motor atau mobil pengiriman seperti biasanya. Sebuah mobil kuno, mungkin keluaran tahun 80-an, Tanpa logo tertentu seperti pada umunya. Jelas tidak dari perusahaan jasa kirim manapun.
Aku melirik jam dimeja kamar, 02.04. Waktu yang tidak memungkinkan. Aku turun kebawah menuju pintu depan. Entah mengapa, tapi aku berkeringat. Padahal udara dingin dan diluar hujan turun dengan deras. Hampir semenit aku berdiri mematung disana.
Ting...Ting...Ting...
Bel terdengar lagi. Kini persis di depan pintu.
Aku sudah berjanji pada Gres. Kalimat itu tiba-tiba terlintas di pikiranku.
Aku menepis kecurigaan dan cepat-cepat mendekat. Satu hal yang kusimpulkan saat memegang gagang pintu yang dingin, orang didepan sudah pasti bukan kurir. Dan siapapun dia pasti bukan orang baik. Aku tak mengerti mengapa aku berpikir begitu. Tapi aku yakin itu benar
Tak...tak...tak...
Suara sol sepatu itu...
Aku pernah mendengarnya disuatu tempat. Suaranya menjauh, itu artinya orang yang didepan sudah pergi. Aku membuka pintu dan melihat kotak sebesar box sepatu ada disana. Diletakan begitu saja dalam kantong kresek biasa.
Aku menerobos hujan menuju pagar depan. Pria berhoodie itu bergegas naik kemobil yang bagian depannya tampak sudah peyok. Dan melesat pergi. Mobil itu bukan mobil pengiriman manapun. Apa dia menabrak tukang kurir yang asli?
Aku tak bisa berhenti memikirkan pengirim paket itu. Yang paling kuingat adalah suara detak sepatunya. Detaknya tak asing. Mengingatkanku pada sesuatu. Aku mengingat-ingat, sayangnya sepertinya ingatanku berkabut. Hal yang lebih penting sekarang adalah aku tidur dan bangun lebih pagi.
Pagi itu hujan masih turun meski tak sederas semalam. Cahaya matahari mulai tampak dilangit. Kami diantar pak sabit keterminal. Dari sana kami harus naik bus kedesa neneknya Gres.
Hanya ada satu bus yang menuju desa neneknya Gres. Bus itu berangkat pagi, jam 08.00. Gres menjemputku begitu azan subuh selsai berkumandang. Ketika hari beranjak semakin cerah kami sudah ditengah perjalanan. Bi Ike memasukan banyak makanan dan minuman untuk bekal diperjalanan. Desa neneknya Gres terpencil. Hampir tidak diketahui siapapun. Jarang ditemui halte atau pasar nantinya.
Ada beberapa orang duduk didalam bus. Dua orang bermantel berada dibelakang sopir. Kursi didepan kami diduduki seorang ibu dan anak kecil dengan rambut dikepang dua, seorang nenek menatap jendela dikursi seberang dan dua orang lagi duduk dua kursi depanya.
Beberapa menit setelah meninggalkan terminal beberapa orang laki-laki naik dan duduk dikursi belakang. Mereka berbisik dan bercerita panjang lebar.
"Apa kau menerima paket semalam?"
Aku mengeluarkanya dari ransel.
"Ini yang kau pesan kemarin."
"Terimakasih, itu satu set peralatan merangkai bunga. Aku tak tau apa itu lengkap atau tidak. Aku akan menyuruh nenek memeriksanya." Kata Gres.
Aku menceritakan pada Gres tentang apa yang terjadi. Aku menceritakan berapa lamanya aku menunggu pesanan datang. Bukan hanya itu, aku juga menceritakan tentang penampilan kurir pengantarnya yang mencurigakan. Pakaian hitam berhoodie yang tidak mencantumkan logo jasa kirim agensi manapun. Bagian depan mobil yang peyok dan bergores-gores. Seperti baru menabrak sesuatu.
Aku mendeksripsikanya dengan serius dan sungguh-sungguh. Berharap agar Gres tertarik untuk memberikan detail atau hal lain yang dia tau seputar pesanannya, pengirimnya, atau agensi mana yang dia pakai. Tapi gres tidak terlalu mendengarkan sepertinya dia tidak terlalu peduli.
"Lihat Akra, anak itu sudah bikin ulah." Dia menunjukan layar ponselnya.
Adik Gres menonjok seseorang dihalte saat menunggu bus bersama bi Dise. Aku sudah maklum, adik Gres tidak terlalu berbeda darinya. Mereka sama-sama kuat dan berjiwa bebas. Meski tidak terlalu mirip, adalah takdir yang tepat menyatukan mereka dalam sebuah keluarga.
Tolong jangan beri tau ibu, ya! Si jongong itu yang cari gara-gara lebih dulu. Dia mencopet dompet bi Dise. Aku ingin merebut dompetnya. Eh, malah ketendang. Tulisnya. Memang tak ada yang bisa macam-macam dengan gadis itu. Dia kuat dan tangguh.
"Adikmu bisa diandalkan." Kataku sambil tersenyum.
Baiklah. Jaga bi Dise baik-baik. Tulis Gres
Gres membuka pesan yang lain. Wali kelas kami memosting sesuatu. Sebuah selebaran dari kementrian pendidikan, berisi larangan untuk pelajar yang berusia dibawah 20 tahun berada diluar rumah lewat jam 10.30 malam. Dia juga menegaskan agar jangan lupa mengerjakan tugas yang diberikan. Aku sudah membacanya kemarin.
Tapi, aku ragu apa peraturan baru itu berlaku juga didesa tempat neneknya Gres tinggal.
Begini...
Adik Gress nogol lagi. Pesan kali ini pendek dan lama baru disambung. Sepertinya dia sedang berpikir atau sedang ragu.
Ada apa?
Aku takut dia minta bayaran. Soalnya dua giginya lepas. Yang satu masih kami cari entah jatuh dimana.
Panggil polisi. Gres menanggapinya dengan malas.
Bahaya berlama-lama dengan pencopet. Apa lagi dia baru menyerangnya.
Kalau polisi tiba, bisa-bisa dia ditangkap. Katanya dia tak punya uang. Dua gigi lepas lalu dipenjara lagi, kan, kasian. Tulis Vania.
Gres menghela nafas, keningnya berkerut. Ternyata Vaina walau kasar tapi tetaap tidak tegaan.
Pangil polisi biar kalian lebih aman! Kalau parah biar polisi yang antar kerumah sakit. Lain kali kalau nendang orang coba yang hati-hati.
Aku tertawa membaca pesan Gres. Bagaimana bisa orang marah menendang orang lain hati-hati. Begitulah kami melewati perjalanan. Rumah-rumah yang memadat dan menjulang kini berkurang. Beberapa pohon dan perkebunan mulai terselip disana-sini. Aku mengambil banyak foto cantik. Sementara Gres masih sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menceritakannya padaku.
Beberapa pesan mulai masuk digrup,
"Grup musik menguopload foto. Mereka baru saja mendapat ikan pertama mereka." Aku menunjukan ya pada Gres.
Aku melihat Allegro mengangkat pancingan dengan senyum lebar. Andante dan lento memperlihatkan bait pembuka lagu baru mereka. Didepan mereka berserakan alat tulis dan berbagai instrumen musik. Presto dan largo mengangkat gelas kopi yang masih berasap dengan senyum lebar. Beberapa member lain tampak duduk berjajar dibibir danau. Mereka semua tampak bahagia.
"Kalau gak salah didesa nenekmu ada sungai kan, Gres?"
"Ya, apa kau juga pingin mancing?" Aku mengangguk.
"Mereka bisa dapat ikan besar. Padahal mereka ribut mainin musik."
Hari mulai meninggi saat kami benar-benar meninggalkan kota dan memasuki area perkebunan. Rumah-rumah hampir tak ada, sebagai gantinya banyak pepohonan tumbuh disepanjang jalan. Jaringan disini kurang bagus. Jadi kami makan kue dan bicara dengan beberapa penumpang lain.
Nenek yang dikursi seberang mengatakan dia baru saja pulang menebus obat diapotik seberang laut. Apotik langganannya didesa tutup katanya pemiliknya dan nakes disana sedang pelatihan. Ibu dan anak disana adalah cucu dan menantunya.
Anak kecil berambut hitam ikal yang ditunjuk dari tadi tak henti-hentinya menempel dijendela. Menyaksikan apa saja yang dilewati disepanjang perjalanan. Kata nenek itu usianya baru empat tahun. Dan sebentar lagi akan punya adik. Nenek itu terus bercerita panjang lebar. Beliau menjelaskan penumpang dibus itu satu persatu.
"Yang pakai mantel hijau tua dibelakang, anak si kepri. Anak kedua. Kuliah diluar. Yang lain sama juga. Yang disampingnya..." Nenek itu menunjuk, anak yang ditunjuk tersenyum dan mengangguk.
"Yang rambutnya jingrak itu temanya. Saat seusiamu dia pernah mencuri buah nona dirumah nenek. Mereka sangat lihai memanjat. Karna nenek tak bisa memanjat, nenek mencari kayu dan memukul mereka dari bawah."
Aku menginjak kaki Gres, mengisyaratkan padanya agar menyuruh nenek itu berhenti bercerita. Anak yang diceritakan sudah terlalu merona dibelakang.
"...lari kerumahnya. Rumahnya yang dekat pengkolan didepan pos ronda." Walaupun nenek itu bercerita dengan detail tetap saja kami tak tau kejadian sebenarnya seperti apa.
Karna nenek itu tak henti-hentinya menceritakan warga kampungnya satu persatu. Kami sudah tak sanggup mendengarkan. Gres mengambil alih cerita. Dia menceritakan pengalamanya saat dikejar anjing dan salah tiket hingga tersesat. Nenek itu senang dan mereka berdua tertawa bersama.
Aku risih sendiri ketika semua mata menoleh kearah kami. Bahkan spion tengah ditempeli mata juga.
Yang lebih parah lagi, cerita Gres lebih banyak bohongnya daripada benarnya. Membohongi nenek-nenek bukan hal terpuji. Tapi mungkin lebih baik dari pada mendengarkan si nenek menceritakan orang lain. Jadi kubiarkan saja.
Setengah jam setelah azan Zuhur, kami memasuki wilayah baru. Disini sangat indah. Pegununganya berbatasan langsung dengan pantai landai dibawahnya lautan terpampang luas. Pantainya ditumbuhi mangrov dan deretan nyiur berjajar menyertainya. Kami berpisah dengan si nenek, menantu, dan cucunya.
"Tempat tinggal kami disebelah sana. Ayo mampir makan siang." Nenek menunjuk rumah-rumah yang bertengger dilereng gunung. Tertata apik khas perumahan Eropa abad delapan belas.
"Terimakasih, n1ek. Tapi bus ini sepertinya hanya sebentar. Kami akan mampir lain kali." Aku dan Gres bergegas menuju mushola yang kata nenek itu ada diujung kampung pemukiman bawah. Tempatnya diujung kampung agak sulit diakses karna letaknya tidak ditengah.
Untuk kesana kamu melewati sebuah jembatan yang air sungainya telah menyatu dengan air laut. Disini kami bisa melihat lumba-lumba air panyau secara langsung. Gres dan aku berebut memotret Lumba-lumba itu yang sepertinya malu melihat kami bertengkar.
Kami hampir kelewatan waktu Zuhur karna mengambil gambar.
Mushola itu kecil dan nyaris tanpa dinding. Dari sana tak terdengar hiruk-pikuk dan debur ombak. Sangat tenang. Bertengger kokoh tepat dikaki gunung. Halamanya dihiasi berbagai jenis bunga yang ditata apik dan unik. Air mancur kecil menganak sungai disepanjang sisi kirinya.
Kita biasa melihat areal persawahan seperti permadani hijau. Lautan dibawahnya tampak seperti tikar biru yang bergulung-gulung.
"Apa ada pesan dari orang tuamu?" Tanya Gres. Saat kami selsai sholat.
"Itu...., sebenarnya kemarin aku mengabari ortuku sekaligus minta ijin."
"Jadi tidak diijinkan?"
"Tidak. Bukan itu. Mereka memintaku membawa...." Aku menunjukan selembar penuh pesanan yang...,
"Kau tau selera ibuku seperti apa." Gres tertawa.
"Apa ibumu minta dicarikan pakis liar lagi?"
"Bukan cuma itu. Tapi keladi daun jingga dan bambu keriting dan...aku lupa yang lain." Aku kembali mengecek pesananya.
"Jadi karna itu kau mematikan ponselmu?" Gres benar. Sebenarnya aku sedang kesal.
Mereka dan kakak sedang berlibur bersama. Sementara aku ditinggal bersama bi Ike.
Apa sih masalahnya pulang saat anak sedang liburan? Mereka malah memposting prosesi liburan mereka dan menitipkan dua puluh lima macam pesanan yang tak bisa dibeli dengan uang.
Ditambah lagi aku masih sakit hati mengapa dia disekolahkan di UK hanya karna bakat ice skatenya.
'Negara bersalju agar bakatmu tambah bermutu.'
Negara bersalju. Negara bersalju. Itu terus diulang-ulang. Faktanya dia belum pernah memenangkan kejuaraan skate tingkat internasional kecuali yang sekali dulu.
Huh, alasan saja. Kalau mau cari ice, cukup buka kulkas kan. Ngapain jauh-jauh ke Edinburg.
Tapi tak mungkin aku mengatakan semua itu pada Gres. Apalagi pada orang tuaku. Jadi lebih baik aku diam saja.
"Aku sedang kesal pada mereka." Jawabku singkat. Kami melanjutkan perjalanan. Menuruni undakan kecil kembali kepelabuhan.
"Itu bagus." Aku tercengang menatap Gres. Hampir saja aku memukul kepalanya.
"Setidaknya kau masih menganggap mereka keluargamu. Aku sudah melupakanya." Dia terus berjalan. Seolah-olah kata-kata itu begitu ringan.
Aku terdiam. Ya, aku tau bi Dise, pak prom dan mbak Orca itulah keluarga Gres. Hanya Vanialah yang menghubungkan dia dan orang tuanya. Gadis kecil itu yang meskipun sering ditinggal semaunya tetap sabar dan sayang pada mereka.
Kami memang menyedihkan.
Kami kembali kedermaga dan memilih salah satu warung. Karna banyaknya kuli pelabuhan dan bertepatan dengan jam makan siang, semua warung nyaris penuh. Kami membeli makanan dan makan diluar. Aku dan Gres memutuskan untuk duduk dibawah salah satu pohon kelapa beralaskan pasir dan bersandar pada pohonya yang melengkung.
Ombak yang teratur, kapal dan perahu, burung yang terbang melintas, mangrove, gunung tinggi dibelakang. Semuanya sangat indah ditambah angin pantai yang agak tenang siang itu.
"Eee...eee...eeeh..." Sebuah kelapa tiba-tiba menggelinding kearah aku dan Gres, hampir menabrak cawan China kecil tempat dimana sambal diletakan.
"Ma'af." Seorang anak yang tak mungkin lebih tua dariku mendekat. Dia memakai pakaian tanpa lengan dan celana panjang. Kulitnya terbakar matahari hingga berubah menjadi kecoklatan.
Pada pandangan pertama orang biasanya fokus pada rambut krebonya yang nyaris gimbal. Tapi, begitu melihat wajahnya, ternyata ada sesuatu yang lebih menarik disana. Sebuah luka terpahat dipipi kirinya. Memanjang nyaris sampai kedagu.
Kami sadar, ditatap seperti itu dia pasti sungkan. Mau bagaimana lagi, sulit mengalihkan pandangan darinya. Dia pergi begitu saja setelah mengambil kembali kelapa yang tadi sempat jatuh.
"Tunggu!" Seru Gres tiba-tiba.
"Kau menjatuhkan ini." Sebuah kalung dengan liontin indah tergenggam dijemarinya.
"A..." Dia meraba leher. "Terimakasih." Lanjutnya datar.
"Aku Gresen, ini temanku Akrael. Kami akan mengunjungi desa dibalik gunung itu." Gres memperkenalkan diri. Dia menjabat tangan anak itu dan memperhatikanya memasukan liontin itu kesaku celana.
"Begitu. Selamat liburan." Katanya singkat dia segera beranjak. Dia berlalu begitu saja bahkan tanpa menyebutkan nama.
"Siapa namamu? Kalau kau tinggal diwilayah ini kau bisa sesekali berkunjung. Kami akan ada didesa sebelah sana selama dua minggu." Aku yakin sebenarnya Gres ingin tahu apa cerita dibalik luka diwajah anak itu.
"Aku Krigri, panggil saja aku Krebo. Aku bekerja untuk kapal itu." Dia menunjuk sebuah kapal yang berlabuh tak jauh dari rimbunan pohon bakau. Dia berbalik dan berjalan menuju arah yang ditunjuknya.
Sepertinya Kribo tidak ingin bercerita lebih lanjut. Kami kembali mengangkat sendok.
"Jika kita tinggal hingga sore, mungkin kita bisa mengambil beberapa gambar matahari tenggelam." Gres menyanyangkan.
"Mungkin kita bisa melihatnya dari gunung itu. Sesekali berkemah disana juga bagus." Aku menambahkan.
"Jangan!" Kata Kribo yang telah berjalan beberapa meter. Aku nyaris tersedak mendengarnya tiba-tiba menyela. Dia diam ditempat. Sedetik kemudian dia berbalik dan menatap kami dengan serius.
"Jangan berkemah disana!" Aku dan Gres terdiam. Heran dan tak mengerti.
"Hanya untuk mengambil beberapa foto matahari tenggelam." Kata Gres
"Tidak! Jangan! Jangan pernah kesana!" Katanya tegas. Aku menatap Gres yang juga menatapku. Kami jelas penasaran. Gres membuka mulut untuk bertanya tapi Anak yang minta dipangil krebo itu cepat-cepat melanjutkan.
"Ma'af, bukan begitu maksudku." Katanya.
"Tapi, percayalah, Jagan pergi." Dia mengingatkanya lagi. Dia berbalik dan segera menghampiri kapal.
"Mungkin ada kejadian disana yang berhubungan dengan luka diwajahnya." Kata Gres.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!