NovelToon NovelToon

KEMBALINYA KESATRIA PEDANG HITAM

Adiyasa/Elang?

Adiyasa, pria muda yang ditemukan tewas oleh warga di sungai kumuh yang melintang di kota Jakarta, ia sedang ditangisi oleh keluarganya dan liang lahat sudah siap untuk menguburnya.

Namun, ada kejadian tak terduga saat pria berusia 18 tahun itu dipindahkan ke keranda, ia bangun dan mendapati tubuhnya terlilit kain putih.

"Dimana ini? Kenapa aku di sini?" tanyanya pada diri sendiri dan pertanyaannya itu berhasil membuat para pelayat terkejut.

Sebagian dari mereka ada yang berlari dan ada yang syok dengan membulatkan matanya melotot.

"A-Adi," lirih Mirah, ibunya yang berada tidak jauh dari keranda. Ia menutupi mulutnya, sangat tak percaya dengan apa yang dilihatnya, wanita berkerudung hitam itu pun jatuh dan tubuhnya yang terhuyung itu ditangkap oleh Kinanti, adik Adiyasa.

Sekarang, bukan hanya Mirah yang pingsan, juga ada Kinanti yang sudah berbaring berjejer di ruang tamu rumahnya yang sederhana.

Sementara itu, Adiyasa yang masih dalam keadaan terpocong itu hanya bisa heran, ia menatap semua orang yang sedang memperhatikannya, terlihat dari pakaiannya yang jauh berbeda dari kerajaannya di negeri sana.

Rambut yang cepak menggunakan peci, bagi wanita menggunakan hijab. Apa ini? Aku ada di jaman apa? Kenapa tubuhku terasa sakit sekali? Itulah yang ada di benaknya saat ini.

Ya, dia adalah Elang, kesatria pedang hitam dari kerajaan kuno. Ia terbunuh saat sedang tidur karena itu adalah kelemahannya.

Sekarang, Elang harus menerima takdirnya yang semula kuat tak terkalahkan, ya, walau akhirnya harus mati juga.

Tapi, apa mungkin kalau Elang adalah orang yang terpilih untuk memberantas ketidak adilan yang terjadi pada Adiyasa?

Sekarang, orang-orang yang berkerumun di rumah Adiyasa mulai membubarkan diri, terkecuali ustad yang awalnya akan membantu untuk memakamkan Adiyasa.

"Dia ibumu, yang melahirkan kamu, dia adikmu, dia dikenal sangat menyayangimu, kalau ayahmu, dia sudah tidak ada," kata pak ustad yang sedang membantu mengembalikan ingatan Adiyasa yang dikira hilang karena mati suri.

"Ibuku?" tanya Adiyasa yang sudah berpakaian lagi, ia merasa heran kenapa bisa memiliki ibu karena di kehidupannya yang dulu, ia adalah sebatang kara.

Tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, sentuhan lembut dari tangan hangatnya dan sekarang kehidupan sungguh berbalik. Terlebih lagi, ia melihat dinding yang terbuat dari semen.

Adiyasa pun bangun, ia mengetuk-ngetuk dinding itu menggunakan jari tengah yang ditekuknya. Pria yang terlihat bodoh itu juga melihat foto yang terpajang di dinding.

"Siapa dia?" tanyanya seraya menunjuk gambar dirinya sendiri.

"Ah, itu. Itu kamu, Nak Adi," jawab ustadz seraya menggaruk kepalanya yang gatal.

"Lihat di cermin, itu adalah kamu," lanjut ustad seraya memutar balikkan tubuh pria kerempeng itu untuk melihat ke kaca lemari pajangan.

"Kenapa dia kurus sekali? Memangnya dia tidak makan?" tanyanya lagi seraya menunjuk dirinya di pantulan cermin dan lagi-lagi pernyataannya itu membuat ustad ingin tertawa.

Kemudian, Mirah membuka mata dan segera memeluk putranya. "Adi, tolong jangan pergi lagi, Nak. Ibu nggak kuat kalau harus kehilangan kamu juga," tangisnya dengan air mata yang berderai membasahi bahu putranya.

"Jadi, begini rasanya dipeluk?" tanya Adiyasa dalam hati.

Lalu, Kinanti pun bangun, ia juga langsung memeluk kakaknya. "Abang, jangan bikin kami nangis lagi, Bang!" serunya seraya sesenggukan.

Dan Adiyasa hanya bisa diam, jujur, dalam hatinya ia merasa senang karena bisa merasakan kehangatan ini untuk pertama kalinya. Ya, walaupun sebenarnya sangat bingung setengah mati atas apa yang terjadi saat ini.

Apalagi mengenai keyakinan, ia juga tidak mengerti kenapa dua wanita itu mengenakan hijab bukan selendangnya.

Siang telah berlalu, sekarang, malam telah tiba dan Adiyasa sedang memperhatikan dirinya di pantulan cermin yang ada di kamarnya, kamar yang berukuran kecil.

"Astaga, kemana perginya otot-ototku?" tanyanya seraya tangannya mengusap lengannya yang lembek.

Tidak lama kemudian, pintu kamar terketuk, dia adalah Kinanti yang memanggilnya untuk makan malam.

Adiyasa mengikuti gadis remaja itu dan sekarang, Kinanti mempersilahkan kakaknya duduk di kursi lapuk yang ada di dapur.

Terhidang makanan sederhana yaitu tahu goreng, sambal kecap dan telur mata sapi yang sebenarnya itu semua adalah makanan kesukaannya.

Tapi, bagi Adiyasa yang sekarang adalah bukan, makanan itu tidak mengundang seleranya.

Sekarang, Mirah mengambilkan nasi untuk putranya dan Adiyasa hanya memperhatikan. Ia juga melihat cara ibu dan adiknya makan dengan tangan kosong.

"Sumpit?" tanya Adiyasa pada adiknya dan Kinanti menertawakannya walau mulutnya sedang penuh dengan tahu kecap.

"Nggak usah sok-sokan mau pakai sumpit, nih, pakai tangan aja, nikmat!" jawab Kinanti, ia terkekeh karena sebelumnya, Adiyasa sama sekali tidak pandai menggunakan sumpit.

Sekarang, Adiyasa mengambil air kobokan yang ada mangkuk plastik, pria tinggi kerempeng itu menenggaknya sampai habis.

Hal itu membuat Mirah dan Kinanti saling tatap, mereka mengira kalau ini adalah efek dari mati suri Adiyasa sehingga membuat otak pria itu kurang seperempat.

"Abang, ini bukan minum, ini kobokan, begini caranya," kata Kinanti seraya memperagakan cara mencuci tangan.

Setelah itu, Adiyasa pun mengikutinya. Ia juga memakan semua yang ada di meja tanpa sisa membuat Mirah merasa kalau stok berasnya akan cepat habis mulai dari sekarang.

Tapi, Mirah tetap bahagia karena putranya sekarang di sini. Selesai dengan makan, sekarang, Adiyasa kembali ke kamarnya, ia berolahraga seraya menunggu kantuknya datang. Adiyasa olahraga push up.

Sementara itu, Kinanti mengetuk pintu kamar ibunya. "Bu, Kinan mau tidur di sini, ya," rengeknya dan Mirah mengiyakan, ia memeluk putrinya yang sedang menceritakan kakaknya.

"Bu, ada yang aneh nggak sih, sama Abang?" tanya Kinanti seraya mendongak, ia menatap wanita yang hampir menua itu.

Mirah menarik nafasnya dalam, lalu, menghembuskannya kasar. "Kita harus bantu Adi buat dia ingat semua tentang dirinya," jawab Mirah.

Dalam hati, Kinanti juga ingin kalau Kakaknya mengingat kejadian naas yang menimpanya. Sekarang, Mirah mengajak Kinanti untuk tidur, supaya besok bisa beraktivitas kembali seperti sedia kala.

Esok paginya, Adiyasa yang sudah bangun lebih dulu itu sedang berlatih, ia menggunakan gagang sapu dan karena itu membuat sapu Mirah menjadi buntung.

Kinanti yang melihat itu pun menepuk jidatnya. "Abang, ini sapu satu-satunya kenapa jadi buntung?" tanya Kinanti dan Adiyasa tetap berlatih seolah menggunakan pedangnya.

Dan Adiyasa hanya diam saja, namun, Kinanti yang memperhatikan kakaknya itu memuji latihannya. "Wah, dalam semalam, banyak yang berubah, ya, Bang."

"Kamu berisik," jawab Adiyasa yang sedang mengatur nafasnya, ia berkeringat dan sekarang melakukan pendinginan setelah berolahraga.

"Dari makan cuma secimit, sekarang satu meja diabisin, dari cupu sekarang jadi suhu. Nanti, ajarin Kinanti pakai gagang sapu juga, ya, Bang," pinta Kinanti yang sedang duduk di kursi teras, ia tersenyum manis pada kakaknya dan sekarang, Adiyasa pergi meninggalkan adiknya itu ke kamar.

Ia merasa gerah, ingin mandi dan tidak melihat sungai. "Ini kenapa panas banget, ya? Apa matahari udah semakin dekat sama bumi?" tanyanya dalam hati.

Karya ini merupakan karya jalur kreatif

Linglung

Adiyasa masuk ke ruangan kecil yang biasa disebut kamar mandi dan di sana, ia melihat wc jongkok. "Sebenarnya apa itu? Kenapa sekarang semua terlihat aneh, atau aku ada di masa depan? Dan bagaimana aku harus menjalani hari-hari kalau banyak ketidaktahuan ini?" tanyanya pada diri sendiri.

Lalu, Adiyasa yang sudah bertelanjang dada itu memanggil adiknya. "Sssuut!"

Dan Kinanti yang sedang memakai lotion itu pun menoleh. "Apa, sih, sat sut sat sut!" ketus adiknya seraya memicingkan matanya.

Kemudian, Adiyasa mengatakan keluhannya dan Kinanti menggeleng, ia tidak habis pikir dan kembali ingat dengan perkataan ibunya untuk membantu kakaknya. Gadis yang sudah berseragam biru putih itu bangun dari duduk, ia tersenyum dan sekarang masuk ke kamar mandi.

Memperagakan caranya buang air besar dan saat ia melihat sikat gigi pun begitu. Sabun mandi dan juga shampoo.

Adiyasa/Elang itu sangat panda sehingga tidak membuat adiknya repot untuk menjelaskan berulang kali.

"Cepetan! Anterin Kinan sekolah, Bang!" kata Kinan yang sedikit sebal karena hari sudah semakin siang dan Adiyasa masih menggunakan kolor.

"Astaga, kenapa abang gue jadi lelet banget, ya. Mandinya lama, dia ngapain dulu, sih. Jangan-jangan tapa lah dia!" Kinanti menepuk jidatnya, menggeleng dan menarik nafas dalam.

"Abang, cepet!" teriak Kinanti seraya mengetuk pintu dan Adiyasa yang sedang memutarkan air di bak mandi itu segera membukanya.

"Apa, sih. Ganggu aja," jawab Adiyasa seraya keluar dari kamar mandi seraya mengusap rambutnya menggunakan handuk yang dikalungkan di lehernya.

Dan Kinanti yang mengikuti kakaknya itu mendorongnya supaya cepat. Gadis berambut pendek itu mengambilkan seragam putih abu, kaos kaki dan sepatu pria tinggi itu.

"Bang, mau sekolah nggak? Kalau Abang masih mau libur, sih, terserah, tapi, Kinan udah telat, nih," kesalnya dan Kinanti menghentakkan kakinya.

Sementara itu, Adiyasa terlihat sedang berpikir, apa? Sekolah? Dan bayangan para murid yang sedang berlatih ilmu bela diri dengan menggunakan pedang masing-masing pun terlintas membuatnya mengangguk.

"Tapi, aku udah lulus sekolah, kenapa sekolah lagi?" tanya Adiyasa seraya menatap adiknya yang sedang menahan tangis dan marahnya.

Dan setelah mendengar pertanyaan yang tak lucu dari kakaknya itu membuat Kinanti berteriak, "Abaaaaang! Nggak lucu bercandanya."

Mendengar teriakan itu membuat Adiyasa bingung, ia mengatakan yang sejujurnya, tapi, kenapa adiknya berteriak tidak terima. Sekarang, pria tampan yang terlihat cupu itu pun menuruti adiknya supaya berhenti menangis.

Dan adalagi kekesalan Kinanti saat tiba-tiba saja kakaknya tidak bisa mengendarai sepeda motornya.

"Ibuu!" teriak Kinanti yang sudah tidak tahan lagi dan ibunya yang bekerja di kantin sekolahan elite itu ternyata sedang mencemaskan anak-anaknya di rumah.

"Mereka udah berangkat sekolah belum, ya?" tanyanya dalam hati, wanita berambut pendek dan menggunakan topi koki juga celemek itu sedang membuatkan susu hangat untuk siswi yang memesannya.

Sementara itu, yang dipikirkan sedang dalam perjalanan dengan Kinanti yang mengendarai sepeda motornya.

Sekarang, keduanya sudah sampai di sekolahan dan mereka sekolah di sekolah yang sama.

Kedatangan keduanya menjadi pusat perhatian semua orang, ya, karena kabar Adiyasa meninggal sudah terdengar oleh sekolahnya dan sekolah lawan Adiyasa yang berada tepat di depan sekolahnya.

Dan saat itu, pintu gerbang hampir saja ditutup. Kemudian, Adiyasa dan Kinanti menengok ke belakang saat mendengar suara gadis cantik memanggil namanya.

"Adi!" teriaknya dari gerbang dan Adiyasa hanya diam saja.

"Jangan dekat-dekat sama dia, dia sumber masalah kamu, Bang!" ucap Kinanti yang sedang mengingatkan dan Adiyasa hanya diam, sekarang, pria itu mengikuti langkah adiknya membuat Kinanti kesal.

"Abang, kelas Abang ada di sana, emangnya Abang turun kelas, ya?" Kinanti menunjukkan gedung sekolah kakaknya yang berada di sebelah gedungnya.

Kemudian, Kinanti menepuk jidatnya lagi, ia tau kalau kakaknya masih hilang ingatan dan mana mungkin akan mengingat di mana sekolahnya.

Sekarang, Kinanti menyeret kakaknya, membawanya ke kelasnya dan setelah itu segera berlari ke kelasnya sendiri sebelum bel berbunyi.

"Tiba-tiba aja, aku harus bisa jurus seribu bayangan!" kata Kinanti yang sedang terengah dan sekarang ia sudah duduk di bangku sendiri.

"Kinan, kamu udah masuk sekolah?" tanya temannya yang duduk di belakangnya, "bukannya kamu lagi kemalangan?" lanjutnya lagi dan Kinanti tersenyum, baru saja ia akan menjawab dan guru sudah datang.

Sementara itu, di kelas Adiyasa, ia duduk di bangku milik ketua kelas dan itu membuat ketua kelas terpaksa duduk di bangku Adiyasa yang ada di paling belakang.

Semua murid memperhatikannya dan ada yang berbisik membuat Adiyasa merasa tidak nyaman.

Kemudian, tidak lama datang guru dan guru yang sebelumnya akan mengajak murid-murid untuk takziah ke rumah Adiyasa itu terkejut saat melihat pria itu sudah duduk di bangku paling depan dengan menatapnya.

"Jadi, kami semua kena tipu? Kamu bohong kalau meninggal dunia?" tanya guru itu dan Adiyasa hanya diam.

Ia tidak tau apa yang dibicarakan oleh wanita berbadan sintal itu.

Merasa tidak direspon, ia pun memberikan mata pelajaran dan setelah itu membawa Adiyasa ke ruang guru, guru itu juga memanggil ibunya yang ada di sekolah seberang.

Sekarang, keduanya duduk dengan memperhatikan guru tersebut. Mirah pun menjelaskan kalau anaknya mati suri, ia bangun saat akan dimasukan ke keranda, wanita itu juga meminta pengertian guru atas otak Adiyasa yang sedikit geser.

Memahami itu, sekarang, guru itu pun kembali mengajak Adiyasa ke kelas dan Adiyasa yang melihat pelajaran di bukunya itu menjadi pusing dan memilih untuk tidur di jam pelajaran.

Karena ulahnya, ia harus di pulangkan, mau dihukum dengan berjemur di lapangan pun tidak tega, pria kerempeng itu terlihat linglung.

Dan Adiyasa yang tidak tau jalan pulang itu terus berjalan kaki dengan punggung yang menggendong tasnya.

Sementara itu, kabar kebangkitannya dari kematian membuat berandalan yang bersekolah di sekolah elite itu ketar ketir.

"Sial, kalau dia buka mulut gimana?" tanya Arland pada sahabatnya, mereka sedang ada di belakang sekolah bersama gengnya dan Arland adalah wakilnya.

"Kalau dia buka mulut, seharusnya sudah dari kemarin, tapi, sekarang dia masih diam, bahkan nggak ngenalin Clara," timpal Raja, si ketua geng yang begitu terobsesi dengan Clara.

"Terus, kita harus gimana?" tanya Arland yang kemudian meminum minuman kaleng dingin.

"Kita harus singkirkan dia! Dia nggak boleh buka mulut atau kita akan terancam!" Raja bangun dari duduk, ia pergi untuk kembali ke kelasnya.

Dan benar saja, setelah jam sekolah selesai, Raja dan Arland menunggu Adiyasa di depan gerbang, namun, mereka tak menemukan yang dicari.

Walau begitu, tak menemukan Adiyasa maka Kinanti pun jadi, ia yakin kalau Adiyasa tidak akan diam saja mendengar kabar adiknya berada di tangan musuhnya.

Berhasilkah mereka?

Karya ini merupakan karya jalur kreatif.

Wah, Adiyasa Hebat!

Kinanti yang melihat empat pria di depan gerbang sekolah itu memilih bersembunyi di balik pohon besar yang ada di halaman sekolahnya. "Ngapain mereka? Apa nggak bosen bully aku sama Bang Adi?" tanyanya pada diri sendiri.

Tidak lama kemudian, ia melihat empat pria yang menunggangi kuda besi itu turun dari kendaraannya dan menunjuk ke arah belakang seraya memanggil nama Adiyasa.

"Wah, dia di sana," kata Miko seraya menepuk bahu Arland.

Ya, Adiyasa yang tidak tau jalan pulang itu sudah berjalan jauh, tapi anehnya kembali ke sekolah dan begitu seterusnya sampai tiga kali.

Sekarang, Adiyasa hanya diam saat melihat empat pria yang sedang berjalan ke arahnya. Dalam hati, pria linglung itu berpikir kalau empat pria tersebut adalah sahabatnya sebelum mati.

"Wooohhhh, lu sehat, Di?" tanya Arland seraya merangkul pria itu dan Adiyasa menurunkan tangan pria itu dari bahunya.

Pria tinggi dengan seragam putihnya itu merasa tidak nyaman setelah melihat senyuman licik dari ke empat pemuda itu.

Sekarang, Adiyasa meneruskan perjalanannya dan Raja menahan tas gendongnya dari belakang. "Udah berani lu sama gue?" tanyanya seraya menarik tas itu dan Adiyasa mengibaskannya.

Terlihat keren saat itu karena hanya mengibaskan tangan saja membuat Raja ikut berputar seperti tertiup angin.

Bruk! Raja terjatuh tengkurap di jalanan beraspal itu. "Aaakh!" pekik Raja yang kesakitan, kepalanya juga ikut pusing setelah dibuat koprol oleh Adiyasa.

Melihat itu membuat tiga teman Raja tidak tinggal diam. Dua dari mereka memegangi lengan Adiyasa yang dikira akan diam saja seperti biasanya.

Namun, sekarang, keadaannya berbalik, seorang Adiyasa yang kurus kerempeng bahkan bisa dikatakan gizi buruk itu hanya diam, ia tidak tau apa salahnya dan sekarang, Arland meninju perut tipis itu, kemudian, ia segera membalas dengan menendang dada pria itu.

Menggunakan dua musuhnya untuk melayangkan kakinya ke arah Arland.

"Kalian payah!" ucap Adiyasa setelah melihat Arland terpental dan sekarang, dua pemuda yang semula memegangi dua lengan Adiyasa itu merasa takut, takut akan menjadi sasaran empuk Adiyasa berikutnya.

"Ampun, Di. Kami cuma diajak sama Raja sama Arland," ucap keduanya seraya mengatupkan dua telapak tangannya, setelah itu pergi dengan menunggangi kuda besinya.

"Sialan, nggak setia kawan. Kita ditinggal, Ja!" kata Arland seraya membantu Raja yang masih menahan sakit, pria itu semakin membenci Adiyasa yang sudah berani melawan.

"Kalau kita nggak bisa ngalahin dia, kita ganggu ibunya!" kata Raja pada Arland dan sekarang, Arland mengajak sahabatnya itu untuk pulang lebih dulu.

Sekarang, Kinanti keluar dari persembunyian, gadis itu berlari dan langsung memeluk kakaknya. "Abang hebat, deh!" pujinya.

"Urusan kaya gitu mah, kecil," jawab Adiyasa seraya memberikan tasnya pada Kinanti.

"Bawa, ayo kita pulang!" ajak Adiyasa seraya berjalan mendahului adiknya.

"Bang, kita bantu ibu dulu!" teriak Kinanti yang masih berdiri di tempatnya membuat Adiyasa menghentikan langkahnya.

"Ah, iya. Aku punya ibu sekarang, dimana wanita itu?" tanyanya pada diri sendiri.

Lalu, Kinanti segera menyeret kakaknya untuk ke sekolah seberang jalan dan di gerbang sekolah sudah ada Clara, gadis keturunan Tionghoa yang sedari tadi memperhatikan Adiyasa.

Gadis cantik yang rambutnya dibiarkan terurai itu tersenyum manis menunjukkan gigi gingsulnya dan Adiyasa terpana akan kecantikannya.

Ia membalas senyum itu walau Kinanti terus menyeretnya dan saat itu. "Abang, jangan terpana, kita nggak selevel sama dia," ucap adiknya dan Adiyasa segera tersadar.

"Sepertinya, aku pernah lihat dia, tapi... di mana?" tanya Adiyasa dalam hati.

Sekarang, Adiyasa memperhatikan adiknya yang sedang membantu Mirah dengan duduk sila di salah satu meja kantin.

Melihat itu, Mirah pun segera menegurnya untuk turun dan Adiyasa menurut. Sekarang, ia berjalan keliling di sekolah elite itu dan tanpa di duga, ia bertemu dengan Clara.

"Adi, aku senang kamu baik-baik aja," ungkap gadis itu, ia tersenyum malu-malu dan Adiyasa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Oia, tumben kamu berani melawan Raja the geng? Tapi, aku suka, sih. Jadi, kamu sama Kinan nggak dibully," lanjutnya. Dan Clara sedikit kikuk karena yang diajaknya bicara lebih banyak diam.

"Bully? Apa itu?" tanya Adiyasa dan Clara menjelaskan panjang lebar membuat Adiyasa mengangguk mengerti.

Mendengar penjelasan itu membuat Adiyasa tau kalau sebelumnya ia memiliki musuh, tapi, Adiyasa bingung kalau sebelumnya adalah musuhnya orang-orang hebat, kenapa sekarang hanya beberapa cecunguk saja?

Tidak lama kemudian, sekarang, lengan Adiyasa ditarik oleh Kinanti. "Ayo, Bang!" ajak Kinanti dan Adiyasa pun menurut.

Sore harinya, Adiyasa yang bosan berada di rumah itu berkeliling kampung dan dia melihat lapangan yang ramai, ia pun pergi ke sana untuk melihat dan terlihat sebagian banyak orang sedang memperebutkan sebuah bola.

Lalu, Adiyasa berlari dengan cepat mengejar bola itu, ia mengempeskan bola karet itu dengan sekali injak.

Plak! Seseorang memukul kepala Adiyasa membuat Adiyasa merasa pernah mengalami hal serupa. Pria itu pun merasa pusing saat serpihan masalalunya kembali.

Terlihat seseorang memukulnya dari belakang mengunakan tongkat berwarna hitam dan saat itu pandangannya jadi gelap.

Dan Adiyasa tersadar saat dirinya sedang digotong oleh para pemain sepak bola itu untuk kembali ke tepi lapangan.

"Begooo, jangan masuk lapangan lagi! Awas lu!" kata si kapten dan Adiyasa tidak menghiraukan, justru, ia ingin mencari jati dirinya yang hilang.

"Aku seperti bukan aku? Kenapa aku ada di tubuh pria ini? Adakah maksud lain dari Sang Dewa mengutusku di sini?" tanya Adiyasa dalam hati.

Sementara itu, perginya Adiyasa membuat Mirah takut, ia akan selalu takut, takut Adiyasa pulang hanya tinggal nama seperti kejadian kemarin.

Mirah menyuruh Kinanti yang sedang belajar itu mencarinya dan Kinanti membuat pengumuman di mushola. "Pengumuman, pengumuman, bagi yang melihat Bang Adi tolong chat saya, biar saya jemput," kata Kinanti dan atas ulahnya itu membuat Mirah memijit kepalanya.

"Anak-anak ku random semua, sabar," ucap Mirah yang kemudian mengelus dada.

****

Kemudian, Kinanti mendapatkan pesan dari juragan yang mengatakan kalau Adiyasa ada di kebun mangga miliknya, dengan segera gadis remaja itu menyusul. "Ngapain Bang Adi di sana? Apa dia lupa juragan sangat pelit?"

Sesampainya di sana, Kinanti melihat Adiyasa yang ada di atas pohon sedang memakan mangga. Kinanti pun tersenyum kikuk pada juragan yang memegang gagang sapu, melotot ke arahnya.

"Semua yang dia makan harus dibayar!" ucap juragan seraya mengacungkan sapunya dan hap, Adiyasa mengambil gagang sapu itu, ia takut juragan akan melukai adiknya.

Dengan segera, Adiyasa mematahkan gagang sapu itu dan juragan menarik nafas dalam karena itu adalah sudah sapu ke lima yang Adiyasa patahkan.

"Sapu ada lima, bilang sama Mirah, cepat ganti rugi atau saya panggil polisi!" geram juragan dengan bersungut-sungut, hidungnya kembang kempis dengan tangan yang berkacak pinggang.

Melihat itu, Adiyasa menggunakan dua jari tangannya untuk dimasukkan ke hidung juragan. "Jangan membentak adik saya!" ucapnya dan juragan menangis karena kesakitan.

"Brengsek, mati suri bikin lu jadi songong, ya?" tanya juragan seraya berusaha melepaskan tangan Adiyasa dan tak semudah itu karena Adiyasa yang sekarang sangat kuat dan pemberani.

Karya ini merupakan karya jalur kreatif

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!