Terlihat dari luar jendela di lantai dua rumah bergaya rustic, seorang gadis remaja dengan rambut sebahu lurus berwarna cokelat tampak sedang merasa kacau. Dalam benaman kepala menghadap jendela, ia menangis tanpa suara. Benar-benar sial, pikirnya. Ia tak tahu apa sebab orang yang ia sayangi bisa sampai setega itu memutuskan hubungan mereka secara sepihak.
Gadis itu lalu bangun dari tempatnya dan pergi ke samping tempat tidur, dirinya masih gagal untuk move on. Membuka laci nakas lalu mengambil sebuah kertas usang berwarna peach dengan stiker hati di setiap sisi kertasnya.
Gadis yang bernama Ana ini meraba surat di tangannya dengan perasaan bercampur aduk. Sedih, kesal, bingung, marah, dan rindu menjadi satu. Melihat kembali kenangan manis yang ada diantara mereka.
Foto yang terdapat pada surat tersebut menjadi saksi bahwa ia pernah sangat teramat bahagia bersama laki-laki itu. Air mata yang sedari tadi menggenang di iris mata biru itu kini mengalir deras, seiring dengan kenangan menyayat hati yang terlintas di dalam benak.
Setibanya Ana di depan kelas Richard, ia langsung menghampiri dan menarik Richard dengan muka masam keluar kelas.
"Kenapa akhiran ini kau sangat dingin padaku? Kenapa akhiran ini kau seperti sangat membenciku? Jika aku punya salah, katakan. Jangan dipendam. Apa gunanya aku sebagai kekasihmu," sambar Ana setelah mereka sudah berada di luar kelas.
Richard yang baru saja dihujani banyak pertanyaan, segera menghentakkan kuat tangannya dari Ana sambil memberikan tatapan yang datar namun menusuk. Ia lalu bersandar di dinding. "Sederhana saja. Karena kau itu sial, kau membuatku hidup dalam penderitaan. Mengenalmu hanyalah sebuah penyesalan. Dan, jangan mengusik kehidupanku lagi, aku ... membencimu, Ana."
Pernyataan yang barusan dikeluarkan Richard seketika membuat dada Ana terasa sesak. Rasanya seperti dihujami oleh banyak jarum tepat pada dada kirinya. Sakit ... sakit sekali mendengar hal itu keluar dari mulut Richard.
"Ta-tapi kenapa?" Dengan suara bergetar menahan tangis, Ana berusaha untuk tetap tegar dan meminta penjelasan.
"Tidak usah tanya kenapa!" Kebencian bersinar di mata Richard.
Ana tersontak ke belakang. Lelaki di depannya benar-benar berubah. Richard terlihat sangat menakutkan.
"Aku akan pindah ke Texas. Jadi...," Richard menarik napas sejenak. Entah kenapa perpisahan ini membuat lelaki itu merasa cukup tertekan. "Hubungan kita cukup sampai di sini." Setelah mengatakan itu, Richard pergi meninggalkan Ana sendirian yang tengah menahan gejolak panas dalam relung hatinya.
Itu adalah pertemuan terakhir mereka. Karena setelah pertemuan itu, Richard tak pernah muncul di hadapan Ana lagi.
Mengingat kejadian satu tahun lalu hanya membuat Ana semakin sakit. Sudah cukup. Ia harus bisa melupakan Richard dan segala masa lalunya bersama Richard.
Tidak jadi, Ana malah kembali memikirkan kenangannya yang lain bersama Richard. Dirinya yang plin-plan memang tak bisa diajak bekerja sama.
Kemudian, terlintas sebuah pertanyaan di kepala Ana. "Apa yang membuat Richard memutuskanku begitu saja?" Bahkan saat itu dirinya sangat sedih dan bingung akan perubahan sifat Richard yang tidak seperti biasanya. Dan kenapa pula Ana dituduh membuat hidup orang menderita. "Memangnya apa yang sudah kuperbuat hingga membuatnya jadi seperti itu?"
Bersambung
...----------------...
Selamat datang di karya pertama saya! Jangan lupa untuk memberi dukungan serta kritik dan saran yang membangun.
Selamat membaca✨️
Tahun 2015 - Desa Bibury, Inggris.
Siang ini, semilir angin berembus santai menggantikan sang mentari untuk memenuhi setiap sisi dan sudut di desa ini. Puluhan burung-burung juga turut menambah kekosongan langit biru di desa ini. Pohon-pohon serta tanaman yang adapun juga turut melambai-lambaikan batangnya, seolah sedang menari menikmati indahnya pemberian Tuhan yang luar biasa.
Meskipun desa ini jauh dari kota dan kehidupan warga di desa ini jauh dari kata modern. Namun, para warga tak memusingkan hal itu.
Disetiap pekan sekali desa ini mengadakan konser jalanan yang dipimpin oleh para lelaki tua yang berusia sekitar 50 tahun ke atas. Memainkan lagu-lagu khas era80-an dengan menggunakan alat musik seperti; harmonika, flute, biola, gendang, dll.
Desa ini kebanyakan dihuni oleh para lansia atau keluarga yang sekadar ingin liburan atau menyegarkan kembali pikiran. Menyewa sebuah rumah yang sudah tak terpakai atau sekadar disewakan oleh pemiliknya.
Rumah-rumah yang mengelilingi Bibury ini bergaya eropa klasik, yang sebagian besar terbuat dari bangunan kayu dan batu alam. Sangat estetik dan menenangkan. Apalagi terdapat sungai Coln yang terletak di tepi desa.
"Ana, hari ini kau mau ikut kakak ke taman tidak?" tanya Loi sembari memasukkan perlengkapan piknik ke dalam keranjang rotan berwarna krem muda.
Ana dan keluarganya saat ini sedang berada di kampung halaman, tempat tinggal neneknya untuk liburan.
Karena tidak ingin adiknya terlarut dalam kegalauan putus cinta, maka sang kakak—Elois Benessa—berniat mengajak Ana piknik sekalian menyegarkan pikiran agar adiknya tidak stres terus-terusan. Walaupun selama liburan di kampung halaman Ana malah merasa tertekan, karena terus teringat kisah cintanya bersama Richard.
Ana mengetuk-ngetukkan telunjuk serius ke dagu sambil menjawab sang kakak. "Tidak ah, aku malas."
"Jika aku ikut ke taman, kau harus mentraktir aku," sambungnya dengan senyum menyeringai yang sama sekali tak menyeramkan itu ditujukan pada sang kakak.
"Pfft! Aku sudah menyiapkan semua perlengkapannya. Kau mau ditraktir apa lagi bocah," jawab Loi.
"Ya apa saja, es krim mochi mungkin? Terserah ... yang penting aku ditraktir."
"Dasar anak ini ... makanya pintar lah lalu ikut lomba, 'kan nanti bisa dapat uang. Kalau sudah dapat uang nanti kau bisa beli apa yang kau mau tanpa minta ditraktir olehku lagi. Jangan malah urus hal-hal yang tidak penting seperti pacaranmu itu," sindir Loi.
Loi memejam frustrasi terhadap adiknya yang satu ini. Sungguh manja dan tak bisa diharapkan. Dasar beban.
Ana mendengkus sebal. Terlihat sekali bahwa dia tak terima perkataan kakaknya.
Apa?! Dia pikir aku ini cicit Einstein kali yang punya iq tinggi. Jangankan ikut lomba, bakatku saja aku tidak tahu. Ya Tuhan, sebenarnya aku ini dikaruniakan bakat apa? Aku sangat frustrasi. Bosan hidup jadi beban. Batin Ana.
Ana memanyunkan bibirnya dengan wajah yang kesal lalu naik ke atas kamar. Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya di tangga pertanda dia sedang kesal dan tak bersemangat.
"Kenapa kau ke atas? Apa kau tak mau ikut aku?"
"Aku mau ganti baju dulu sekalian berdandan. Siapa tahu nanti bertemu pangeran muda tampan yang jatuh dari atas langit." Ana sedikit berteriak dari atas.
Entah apa yang dipikirkan Ana saat ini, tapi tadi malam ia sempat membaca salah satu cerita di komik online yang alurnya sungguh sangat diidam-idamkan oleh Ana.
Bagaimana tidak, bayangkan saja kau tiba-tiba bertemu dan terlibat kisah cinta yang rumit dengan pangeran yang tersesat. Pangeran dari dunia antah berantah itu kemudian mengajakmu hidup bersama di tempatnya berasal. Kedengarannya memang menggelikan dan sedikit tidak masuk akal, tapi begitulah cerita yang Ana baca. Pangeran tersebut akan memberikan segalanya untukmu. Bak putri raja benar-benar dimanjakan. Hidup bahagia dalam istana, punya anak unyu-unyu, sungguh nikmat sekali hidup ini jika Ana menjadi wanita itu.
Loi yang mendengar penuturan Ana tadi lantas mengkerutkan wajahnya.
"Ya ampun...," Loi berdecak. "Richard benar-benar sudah membuat adikku gila," gumam Loi sambil menggelengkan kepalanya.
Bersambung...
Saat cahaya matahari menembus horden kamar Ana, gadis berusia tujuh belas tahun itu mengernyitkan wajahnya sambil membalikkan badan demi menghalau cahaya silau pada wajah.
BRAK!!
"Aww...!"
Ana bangun tepat saat badannya menyentuh lantai lalu segera menuju ke kamar mandi untuk menyegarkan pikiran serta badannya.
Karena deringan ponsel yang terus mengganggu dirinya sejak kemarin, Ana jadi tidak bisa tenang untuk tidur. Akibatnya, dia baru bisa tidur jam tiga dini hari.
"Kesialan macam apa ini?!"
"Aku lebih suka kehidupanku yang biasa."
Berulang kali Ana meraung di dalam kamar mandi. Berulang kali juga ia mengatakan kalimat yang sama dengan nada yang keras ditemani air mata yang mengalir. Sungguh dirinya tengah ditimpa kesialan.
Hari ini suasana hatinya benar-benar kacau. Andai saja kemarin dia tidak ikut Loi untuk piknik di taman desa Bibury, mungkin dia tak akan pernah dapat teror. Ya ... semua itu hanyalah perandaian, karena kenyataan sudah tak bisa dihindari.
Tok, tok, tok...!
"Hey, Ana, ada apa denganmu? Berisik tahu." Loi yang sedang mengerjakan laporan keuangan kantor di kamarnya merasa terganggu.
Kamar mandi yang sering mereka berdua gunakan berada di tengah-tengah dua kamar sebagai sekat. Kamar mandinya pun juga tidak terlalu kedap suara. Itu sebabnya bising yang diciptakan Ana bisa terdengar sampai ke kamar Loi.
Loi sebenarnya merasa bersalah. Bukan tanpa sebab, tapi ia berpikir kalau saja dirinya tak mengajak Ana, hal seperti itu tidak akan terjadi, bukan. Penyesalan memang selalu ada di akhir, dan kita akan menyadari itu ketika sudah terkena dampak buruknya.
"Iya, iya. Maafkan aku. Emosiku sedang tidak stabil," jawab Ana sedikit lantang dari dalam kamar mandi. Sepertinya anak itu sudah sedikit membaik.
Loi menghela napas. "Kalau begitu cepat. Aku ingin mandi juga setelah pekerjaanku selesai."
...----------------...
Hari ini adalah hari dimana Loi dan Ana akan pulang ke rumah mereka di kota Gloucester setelah seminggu liburan di kampung halaman, desa Bibury. Orang tua mereka tak ikut karena masih ingin menetap di rumah nenek Josephine, sosok ibu dari ayah Ana.
Seharusnya hanya Loi yang pulang karena kantornya berada di kota, sedangkan Ana akan pindah ke sekolah asrama putri di Bibury. Namun, setelah melihat Ana yang selalu tampak murung di kamarnya membuat kedua orang tuanya jadi tak tega meninggalkan Ana di asrama. Di kota jugalah terdapat sahabat-sahabat Ana. Setidaknya masih ada hal yang membuat kedua putri bungsu mereka kembali ceria.
Pagi, siang, dan sore hari pun telah berlalu. Di sinilah Loi dan Ana. Mereka saat ini tengah makan malam di meja makan. Suasana sangat hening, hanya ada suara sendok dan garpu yang berdentingan berebut satu sama lain untuk mengambil makanan di sebuah piring.
Mereka tiba di rumah tepat pada pukul tujuh malam. Makanya sepulang dari rumah nenek, mereka langsung menyiapkan makanan dan makan malam saja. Toh, mereka juga sudah sangat lelah dan perut sudah minta untuk diisi.
"Ana apa kau ba—"
"Iya, kau tak perlu cemas," potong Ana pada kakaknya. Ana tersenyum. "Tidak apa-apa, lupakan saja masalah itu. Kalau pun nanti aku tiba-tiba hilang, itu artinya aku telah dimutila—"
Ctak!
Loi memukul jidat mulus adiknya itu menggunakan sendok bekas makan yang tadi dia pakai. "Apa yang sedang kau bicarakan hah!? Jangan sembarangan ya, Ana. Nanti kau aku rebus, mau?!" galaknya dengan mata melotot.
Ana meringis sakit sambil meraba jidatnya yang ia yakin sudah memerah. Bahkan menurut Ana, kakanya lebih psikopat dibanding lelaki itu. "Aku hanya bercanda tahu!" seru Ana tak terima.
Loi menatap Ana tidak percaya. Malas sekali meladeni adik labilnya itu.
Loi lalu menuju tangga berniat ke kamarnya untuk tidur. Saat di pertengahan tangga, ia berbalik ke arah Ana yang masih melahap makanannya. "Kau jangan lupa cuci piring. Aku sudah sangat lelah apalagi besok sudah masuk kantor. Kau, 'kan masih libur."
Ana mengiyakan dengan dehaman.
...----------------...
11.15 p.m
Ana masih terjaga dalam tidurnya. Dengan gaya terlentang di atas kasur, gadis itu menatap kosong ke langit-langit kamarnya. Ia kembali mengingat momen buruk saat pertama kali bertemu dengan sosok lelaki misterius.
Ana tidak tahu jelas rupa lelaki itu karena dia memakai pakaian yang serba tertutup hingga wajah. Tapi, entah mengapa Ana merasa akrab dengan orang itu saat mendengar suaranya. Sosok misterius tersebut sangat mengingatkan dirinya dengan mantan pacarnya, Richard.
"Itu tidak mungkin! Richard, 'kan sedang berada di Texas." Ana merasa dirinya mungkin sudah gila setelah ditinggal Richard setahun yang lalu.
Ana kemudian mencari posisi ternyaman untuk tidur. "Mengapa sangat sulit melupakan dirimu." Setelah menggumamkan kalimat itu, Ana menarik selimut dan matanya perlahan terpejam.
Dua hari sebelumnya....
"Kakak, ayo belikan aku mochi! Sepertinya toko itu juga menjual mochi!" Tunjuk Ana pada salah satu toko kue kecil di pinggir jalan.
"Bisa santai saja tidak? Lama-lama kau yang aku jual." Loi menggeram karena adiknya bertingkah seperti anak balita yang tidak tahu malu.
"Berikan aku uang. Katamu tadi mau mentraktirku," kata Ana.
"Sejak kapan aku bilang begitu? Parah sekali kau memfitnahku," ujar Loi sambil mengeluarkan selembaran uang sebesar 10 pound dari dalam dompet kulitnya dan memberikannya pada Ana.
"Terima kasih kakakku tercinta dan tercantik sealam semesta!" Ana mengambil uang tersebut lalu segera berlari ke toko kue yang lebih mirip minimarket. Ia lalu masuk menelisik area dalam toko tersebut untuk mencari kulkas, tempat biasa ditaruhnya es krim serta camilan dingin lainnya.
Ana lalu bergegas memilih beberapa varian mochi dingin kesukaannya lalu mendadak dirinya ditabrak seseorang hingga membuat mochi ditangannya jatuh dan bergelinding di lantai. Untungnya toko kue ini lumayan sepi, sehingga tidak menjadi bahan tontonan orang-orang yang sedang lewat.
"Maaf karena sudah menghalangi jalanmu." Ana tertawa canggung. Dalam hati, gadis itu menyalahkan si penabrak karena seharusnya dialah yang meminta maaf.
Tidak menunggu respon orang di depannya, Ana segera merapatkan blazer abu bercorak kotak-kotaknya, kemudian berjongkok memungut mochinya yang berserakan.
Sedangkan orang di depan Ana sepertinya sedang menunggu. Sadar akan hal itu, Ana lantas menghadap ke orang tadi lalu tiba-tiba saja ia ditarik paksa ke pojok belakang toko dan lehernya ditahan menggunakan belati yang sudah pasti tajam.
Ana bersumpah jika orang di depannya saat ini adalah orang tidak waras. Lelaki itu memiringkan kepalanya aneh lalu kembali semakin memajukan belatinya.
Hal ini membuat Ana hanya bisa terdiam mematung dan berdoa dalam hati tanpa berani sedikit pun untuk melawan. Karena jika dia bergerak sedikit saja, sudah dipastikan kulit lehernya akan tergores.
Lelaki itu tak berbicara sepatah katapun. Hanya sibuk menyeret Ana pergi sambil menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Bahkan Ana sudah hampir hilang dibawa kabur oleh lelaki ini, jika saja Loi tidak datang dan membawa orang-orang di sekitar taman untuk membantu menyelamatkan dirinya.
"Sialan, aku tidak bisa membunuhmu hari ini," lirih lelaki itu dengan tatapan yang tajam dan menusuk.
"Ka–kau ingin mem–membu-nuhku." Nada suara Ana bergetar karena ketakutan. Sedangkan lelaki di depannya baru sadar jika ucapan lirihnya ternyata terdengar.
Dengan segera, lelaki itu menarik kembali belatinya dan langsung pergi secepat mungkin sebelum orang-orang menangkapnya. Sedangkan Ana yang baru saja mengalami kejadian tersebut, merasakan bahwa hidupnya setelah ini tak akan tenang dan damai lagi.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!