"Selamat pagi Ardi, kau bergadang?"
Seorang pemuda sederhana dengan rambut coklat dan mata yang sama telah menyapa sosok pria di depannya, tidak seperti dirinya yang bersemangat pemuda yang dia ajak bicara terlihat masih mengantuk dengan mata seperti panda serta pakaian yang sedikit tidak rapih.
"Pagi juga Udin."
Menguap.
Dipanggil namanya dengan salah pemuda berambut coklat jelas memberikan keluhannya.
"Jangan panggil aku Udin, namaku Saefudin seharusnya kau mengawalinya dengan S."
"Terlalu panjang, Udin lebih mudah diucapkan."
Merasa kalah argumentasi Udin ataupun Saefudin mendesah pelan. Mereka sudah bersama sejak tahun pertama SMA dan hubungan mereka cukup dekat hingga bisa dipanggil sebagai teman terpercaya.
"Terserah kau saja."
"Jadi kenapa kau menunggu di luar sekolah, seharunya kau sudah ada di kelas sejak tadi?"
Pemuda dengan rambut coklat segera menatap Ardi dengan pandangan berbinar, dia membusungkan dadanya dengan percaya diri yang membuat siapapun tidak akan merasa nyaman olehnya.
"Hehe aku mengaku saja, aku sebenarnya belum mengerjakan PR, cepat berikan catatanmu... ras lainnya pasti akan memandang manusia lemah jika aku tidak mampu mengerjakan PR, jadi kau harus menolongku."
"Jangan menggunakan hal semacam itu sebagai alasan!" teriak frustasi Ardi namun jelas hasilnya gagal.
"Cepatlah, aku akan tamat jika tidak mengerjakannya."
Dengan berat hati Ardi memberikan buku catatannya di tempat yang jauh dari siswa lainnya. Meski Ardi seorang yang terlihat seperti seorang yang menghabiskan hari-harinya dengan bermain game dia tetap orang yang mampu menyelesaikan tanggung jawabnya di sekolahnya.
"Nomor satu sampai sepuluh ini selalu membuatku pusing, akhirnya bisa terselesaikan juga."
"Itu artinya tidak ada yang bisa kau kerjakan."
"Ayolah, aku tidak pandai dengan matematika."
Ardi menatap ke bawah dimana para siswa dan siswi yang mengenakan blazer sama dengannya mulai berdatangan, di antara mereka yang paling mencolok adalah gadis dengan telinga hewan dan juga para peri yang terlihat seperti elf pada umumnya.
Informasi yang terjadi pada bumi telah disebarkan luaskan hingga tidak menjadi rahasia umum lagi. Meski begitu, bagi siapapun yang hidup di era sekarang akan selalu menjadi pemandangan menakjubkan bisa hidup dengan ras yang jelas bukan manusia.
"Apa kau menyukai mereka juga Ardi, kenapa tidak mengambil satu untukmu?"
"Aku hanya ahli menaklukkan wanita di game bukan di dunia nyata, sekarang aku telah menyelesaikan rute yang paling sulit dimainkan siapapun."
"Haha kau masih bersemangat, pantas saja kau bergadang.. jadi gadis 2D mana yang kau taklukkan?"
Ardi menunjukkan konsol yang selalu dia bawa yang mana itu menampilkan seorang gadis dengan rambut merah tergerai sampai pinggul yang dihiasi kepangan melingkar yang terlihat elegan dan luar biasa.
"Tampilannya seperti game RPG."
Apa yang dikatakan Udin sebagai tanggapan cepat.
"Dia adalah seorang kesatria yang melindungi desanya, aku di sini berperan sebagai pria menyedihkan yang dikirim ke dunia lain dan akhirnya diselamatkan olehnya."
"Hm, lalu dimana bagian tersulitnya?"
Ardi memucat saat Udin menanyakan hal demikian.
"Dia gadis Tsundere, aku selalu salah mengambil rute dan akhirnya berakhir dibunuh olehnya."
"Mustahil gadis secantik ini ternyata seorang sadistis, yah.. karena kau sudah menyelesaikannya kurasa kau bisa tidur nyenyak malam ini."
Ardi mengambil catatannya sebelum berjalan di lorong bersama Udin yang terlihat gembira karena pekerjaannya sudah selesai, kelas mereka berada di paling ujung dan kursi duduk mereka berada paling belakang saling bersebelahan.
Beberapa orang terlihat saling mengobrol tanpa mempedulikan kedua orang ini sampai mereka dikejutkan oleh kemunculan orang-orang berseragam hitam dengan kacamata yang sama. Awalnya Ardi tidak memperdulikannya namun saat pria berjas itu mengelilingnya dia tampak terkejut.
"Kau bernama Ardi."
"Benar, apa ada yang terjadi?"
"Kami diminta untuk membawamu bertemu dengan bos, sebaiknya kau menurut atau kami harus memaksamu pergi?"
"Ugh, aku yakin tidak melakukan kejahatan apapun."
Jika hanya memberikan contekan jelas itu bukan sebuah kejahatan serius. Semua orang di kelas mulai saling berbisik satu sama lain.
"Ardi, kau tidak seharusnya ikut dengan mereka," kata Udin khawatir.
"Tidak masalah, aku yakin orang yang dibilang Bos bukan sesuatu yang harus ditakutkan."
Begitulah mereka meninggalkan kelas tersebut.
"Hoh, ternyata kau lebih tampan dari yang aku bayangkan."
Yang menunggu Ardi adalah seorang wanita dengan rambut hitam sebahu dengan pakaian formal layaknya seorang pegawai kantoran pada umumnya, yang membedakan hanyalah ada pada aksesoris tambahan yang merupakan mantel angkatan laut yang di tanggalkan di bahunya serta topi putih menempel di atas kepalanya.
Seharusnya ini adalah ruangan kepala sekolah satu-satunya di tempat ini.
"Anu, dimana kepala sekolah dan kenapa aku dipanggil ke sini?" tanya Ardi kebingungan.
Wanita dengan mata ungu amnesty tampak memilah-milah kata-katanya sebelum menjawab, jika dia bilang bahwa dia telah membunuhnya maka Ardi tidak akan terkejut, pasalnya sosok do depannya terlihat penuh intimidasi seolah keluar dari seorang yang telah berperang cukup lama di medan perang.
"Kami memintanya untuk pensiun lebih awal dengan tawaran ia akan mendapatkan kompensasi masa pensiun dua kali lipat."
Ardi ingat bahwa kepala sekolah tidak terlalu tua untuk mengambil hal seperti itu.
"Soal diriku, namaku Risa seperti yang kau lihat aku kepala sekolah yang baru dan kebanyakan orang memanggilku Bos, kau bisa memanggil apapun yang kau suka, aku tidak mempermasalahkannya."
"Anda seorang perwira tinggi?"
"Bisa dibilang begitu namun pekerjaanku sekarang berbeda, ini alasanku kenapa aku memanggilmu?"
Yang ditunjukkan oleh Risa adalah sebuah proyeksi yang menunjukkan data siapa saja yang telah berhasil menyelesaikan berbagai game simulasi cinta. Ardi bisa menemukan dirinya berada di paling atas dengan nama gamenya sendiri yang bernama Mr. panda.
"Ya ampun namamu terdengar lucu bukan."
"Ugh, aku ingat ada beberapa game galge yang mengharuskan untuk online agar mendapatkan reward tapi tidak aku sangka pemerintah memiliki data yang sebegitu akurat."
"Ini semua karena terlibat misi yang sedang aku jalani, kau tahu game ini?"
Itu adalah game yang sebelumnya Ardi tunjukkan pada Udin, seorang wanita target penaklukan yang begitu sulit untuk diselesaikan.
"Hanya kau satu-satunya yang mampu menyelesaikannya, selamat."
"Apa hubungannya dengan ini semua?"
Semakin lama Ardi memikirkannya semakin sulit untuknya mengetahui segalanya, dia tidak pernah ikut kompetisi atau hal lainnya hingga dia bisa dipanggil secara khusus hingga mendapatkan hal seperti ini.
Risa memberikan tiga foto pada Ardi yang ketiganya diambil dari tiga lokasi berbeda.
"Bandung, Surabaya dan Yogyakarta, apa kesamaannya?"
"Itu menjadi reruntuhan, apa itu karena serangan monster."
"Benar sekali, banyak orang yang menjadi korban namun satu hal pasti semua ini menunjukkan bahwa manusia adalah ras yang paling lemah di antara ras yang ada di bumi saat ini, untuk mengatasi hal ini aku membentuk tim bernama Dating Game Simulation untuk menanggulanginya, kau mungkin tidak mengerti tapi cara ini paling efektif untuk membuat satu orang menjadi orang terkuat di ras manusia... Paling tidak membuat kita manusia tidak diremehkan."
"Dengan cara apa?"
"Membuat para roh kuat untuk menyukai seseorang, jika mereka bisa mencintai manusia, manusia yang memiliki hubungan dengan mereka akan menjadi memiliki kekuatan yang sama, tentu saja hal seperti itu sulit dilakukan kecuali oleh seorang sepertimu."
"Konsep roh dari dunia lain memang berbeda tapi apa menurutmu hal itu benar-benar bisa dilakukan."
"Jangan khawatir, kami punya informan yang dapat dipercaya, masuklah."
Risa memanggil seseorang untuk masuk ke dalam ruangan, ini bukan pertemuan pertama bagi Ardi sendiri karena yang masuk adalah wali kelasnya yang merupakan seorang wanita dari ras peri dengan rambut pirang panjang.
"Bu guru Fern...kenapa Anda?"
"Hehe kamu terkejut kan Ardi, gurumu ini juga merupakan anak buah komandan Risa, aku dikenal sebagai sang mawar tidak tersentuh."
Dengan dada sebesar itu pria jelas berusaha ingin untuk menyentuhnya, namun tidak bisa.
Kepribadian Fern adalah ceria dan jahil, dia akan menutup sebelah matanya selagi berfose imut layaknya seorang idol.
"Ada apa Ardi kamu terkejut?"
"Tidak sama sekali, aku pikir ibu berasal dari organisasi gelap atau sebagainya."
"Mana mungkin aku terlihat seperti itu, kemarin kamu lupa membawa ini ke rumah."
"Apa itu?"
Yang diberikan oleh Fern adalah surat persetujuan pernikahan ke KUA.
"Tolong jangan menunjukan hal seperti itu pada muridmu."
Risa tertawa.
"Jadi kau sudah mulai lebih dulu untuk menaklukkan roh pertama, kau benar-benar berbakat."
"Apa maksudmu? Bu Fern adalah peri.. dia bukan roh."
"Tidak, Bu guru ini sebenarnya roh juga Ardi, aku dikenal sebagai Dryad jika di dunia asalku.. mungkin telinga ini terlihat seperti elf tapi aku benar-benar bukan peri."
"Sekarang itu mengejutkan, selain Bu guru yang sebenarnya berumur 150 tahun tetapi bertingkah sebagai ABG."
"Ara, Ara, aku jadi malu."
Risa berdeham sekali untuk membahas sesuatu yang lebih penting.
"Aku akan menjelaskannya setelah kalian berciuman, cobalah untuk melakukannya."
"Ba-baik, serahkan padaku."
"TUNGGU, ITU?"
Sebelum Ardi dapat menolak, bibirnya sudah lebih dulu bersentuhan dengan bibir milik Fern, itu terasa lembut dan segar seolah Ardi merasakan sensasi embun pagi di tubuhnya.
Setelah beberapa lama akhirnya mereka saling berpisah.
Ardi terkadang memang sering mengobrol dengan wali kelasnya namun untuk mencapai hubungan seperti ini, dia bahkan sama sekali tidak memikirkannya.
"Kau melakukannya tanpa sadar karena sering berurusan dengan wanita virtual, kemampuanmu adalah membuat seseorang jatuh cinta."
"Jangan bercanda untuk mendapatkan seorang wanita 3d aku jelas tidak mungkin bisa."
"Tapi kenyataannya tidak seperti itu.. Fern?"
"Baiklah."
Cahaya hijau menyelimuti telapak tangan Fern lalu memunculkan sebuah tunas pohon dan ketika Risa meminta Ardi melakukan hal sama, dia mampu melakukan hal sama.
"Ciuman sama dengan kontrak roh, saat mereka jatuh cinta dan melakukanya hasilnya akan jadi seperti ini."
Ini tidak normal namun semenjak dunia berubah, sihir dan lainnya dianggap normal, hanya manusia dari bumi saja yang tidak bisa menggunakannya menjadi manusia menjadi ras terlemah.
"Dengan ini semuanya sudah jelas bukan, aku mengandalkanmu Ardi."
Ardi yang dimaksud segera melontarkan keluhannya, dia ingat hanya ingin menjalani kehidupan biasa, pulang ke rumah seperti biasa dan bahkan sehari-harinya hanya diisi dengan permainan game.
"Tunggu sebentar, sejak kapan aku menerimanya, membuat roh jatuh cinta dan juga menyelamatkan dunia, ini terlalu berlebihan. Aku hanya seorang siswa pada umumnya tidak mungkin aku terlibat hal-hal seperti ini."
"Sayangnya kau tidak bisa menolaknya, ini bukan kau menerima atau tidak, namun tidak ada jalan lagi, kau sudah membuat gurumu jatuh cinta apa yang buruk dengan situasi seperti ini?"
"Tentu saja buruk."
Sebagai pemuda sehat cukup buruk ditatap penuh harapan oleh wanita secantik Fern.
"Kamu harus menerima keadaan Ardi, jika merasa sulit kamu bisa bersandar di dadaku ini."
Ardi mengernyitkan alisnya melihat betapa santuinya guru ini.
"Di luar sana setiap harinya ada manusia yang terbunuh, apa menurutmu kita tega untuk membiarkan mereka begitu saja... Di dalam hati mereka, begitu merindukan sosok pahlawan dan kini saat pahlawan itu muncul dia menolak untuk menyelamatkan mereka, apa menurutmu hati mereka tidak akan terluka?"
Penyampaian Risa sedikit lebay yang membuatnya seolah hanya bermain-main kata dengan Ardi, kendati demikian apa yang dikatakannya sesuai fakta yang terjadi.
Ketika Fern meletakan tangannya di bahu Ardi, akhirnya dia menyerah.
"Kamu perlu mulai terbiasa dengan kondisi ini, aku tidak akan memberikan misi untuk beberapa hari ke depan namun kalian berdua harus lebih mempererat hubungan kalian, semakin kuat hubungan maka semakin kuat pula kemampuanmu ke depannya."
"Hah?"
"Mulai sekarang kalian akan tinggal bersama, aku sudah menyiapkan rumah baru untuk kalian tinggali."
"Bagaimana dengan orang tuaku?"
"Mereka setuju saja, aku memberikan banyak uang untuk mereka dan kurasa mereka akan bulan madu atau sebagainya dalam waktu dekat."
"Orang tuanku malah menjualku."
Meskipun masih bingung Ardi memilih untuk segera keluar dari ruangan kepala sekolah dan kembali ke kelasnya, Udin yang penasaran bertanya ke arahnya dengan panik.
"Kau baik-baik saja Ardi, tidak ada bagian tubuh yang hilang."
"Sebenarnya apa yang kau pikirkan saat aku pergi?"
"Kau mungkin terlibat masalah hukum atau sebagainya, misalnya kau memainkan game dewasa padahal masih di bawah umur."
"Jika hanya hal itu bisa ditangkap, semua siswa SMA tidak akan aman untuk menjalani hidup."
"Kau benar juga, paling tidak satu siswa pasti menyembunyikan majalah dewasa di kamarnya."
"Itu kau!"
Beberapa saat kemudian Fern masuk ke dalam kelas dan mengajar seperti biasanya, bel sekolah hari itu terasa cukup lama membuat Ardi benar-benar tidak bersemangat, dia menemukan bahwa orang tuanya telah mengirimi pesan berlibur bertepatan saat dia keluar sekolah.
"Ada apa Ardi?"
"Orang tuaku sekarang tidak ada di rumah, mereka mengusulkanku untuk tinggal di rumah berbeda selama mereka pergi."
"Orang tuamu sampai segitunya, apa mereka ngebet ingin buat adik untukmu."
"Adik jidatmu, kurasa aku akan ambil jalan ke sini."
"Baiklah, sampai nanti di sekolah."
"Yah."
Mereka berpisah tepat di persimpangan jalan, rute rumah baru telah dikirimkan ke ponsel Ardi dan seharusnya itu lebih dekat dari sekolah dibandingkan rumah miliknya.
Ardi menemukan sebuah rumah mewah cukup bagus dengan gerbang tinggi serta kolam air mancur di tengah halamannya, jika ada yang kurang maka itu hanyalah seorang pelayan yang biasa ditemui di komik-komik manga atau sebagainya.
Ada sebuah mobil terparkir di garasi yang menunjukkan bahwa Fern sudah lebih dulu tiba di sana, jika hubungan mereka bukan guru dan murid jelas pulang bersama tidak bisa terelakkan.
Dia menekan bel dan masuk setelah tidak ada yang menjawabnya.
"Maaf, aku sedang memasak.. kamu bisa pakai lebih dulu kamar mandinya."
Ardi cukup terkejut melihat bahwa Fern tengah berada di dapur mempersiapkan makan malam, ia bahkan belum sempat mengganti pakaiannya dan hanya menutupinya dengan celemek.
"Ada apa?"
"Seharusnya ibu tidak usah memaksakan diri, aku bisa menyiapkan makananku sendiri."
"Itu tentu saja tidak boleh, kita sudah menjadi suami istri seharusnya aku melakukan tugasku dengan baik."
"Sejak kapan kita sudah menikah?" teriak Ardi namun diabaikan begitu saja.
"Malah dikacangi."
"Di rumah panggil namaku, oke."
Ardi memilih menyerah dan melihat bahwa semua barang bawaannya juga sudah dikirim ke rumah ini.
"Risa benar-benar membuatku gila," apa yang dia gumamkan dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!