#1
Flash Back
20 tahun yang lalu.
“Gob*log kamu, apa yang kamu kerjakan berbulan bulan di rumah itu?”
“Saya sudah berkeliling rumah ini setiap hari tuan, bahkan membongkar lantai dapur, memeriksa di setiap sudut gudang dan kamar dan menjelajahi setiap dinding di belakang lukisan, tapi sama sekali tak ada petunjuk mengenai letak laboratorium Profesor Ricky.”
Brak!!!
Profesor Hardiman menggebrak meja kerja nya, sia-sia ia menggaji anak buah terbaiknya, nyatanya dia pun tak berhasil menemukan dimana Profesor Ricky menyembunyikan Laboratorium tersebut.
“Bakar saja rumah itu!!! Dengan begitu kemungkinan kita bisa menemukan letak Laboratorium, jadi lebih mudah.” Perintah Profesor Hardiman tanpa perasaan sama sekali, benar-benar sudah di butakan oleh limpahan materi dan kekuasaan.
“Laksanakan Tuan.” Jawab pria itu tanpa bantahan.
Maka malam itu, terjadilah kebakaran besar di rumah Profesor Ricky, kilatan si jago merah Menyambar-nyambar, kepulan asap hitam nan tebal mengepul di udara, bahkan membuat siapapun yang mencium kepulan asap tersebut, akan merasakan sesak.
Sementara itu di rumah Kevin…
“Pa … bangun.” Gadisya membangunkan Kevin, tapi yang di bangunkan justru hanya menggeliat dan kembali memejamkan mata.
“Iiiiihh … Papa!! Bangun!! Ada bau asap nih …”
Mendengar penuturan sang istri, Kevin gegas membuka mata. “Hah? Bau asap Mah?” Tanya Kevin ketika tubuhnya sudah duduk dengan tegap.
“Iya … ini bau asapnya menyengat sekali.”
Seiring dengan kesadarannya yang mulai sempurna Kevin pun membenarkan pernyataan sang Istri. “Ah… iya, kamu benar sayang … aku akan memeriksa suasana di luar.”
Gadisya mengangguk, ia menyambar jubah tidurnya kemudian mengikuti langkah Kevin keluar ruangan.
“Permisi Tuan … ” salah seorang Security datang dari pintu depan menghampiri Kevin dan Gadisya.
“Ada apa Pak Jun?” tanya Kevin ketika melihat wajah Pak Jun tampak pucat pasi.
“Rumah Profesor Ricky terbakar … “
“Apa??!!”
Kevin dan Gadisya berseru secara bersamaan.
“Ma … amankan anak-anak … aku akan memeriksa keadaan di luar.” Instruksi Kevin.
“Iya Pah … “ Gadisya bergegas menaiki tangga ke lantai atas, ada Luna dan Naya di atas, sementara Daniel dan Darren menginap di rumah Andre dan Bella.
Gadisya mulai gelisah, memikirkan bagaimana cara menyampaikan kabar pada Naya, pasti gadis kecil itu terpukul sekali, sementara dirinya bahkan belum mengetahui bagaimana kabar kedua Orang Tua Naya.
Sepanjang sisa malam itu, Naya tak henti menangis, terlebih ketika Kevin dan Gadisya menyampaikan bahwa kedua orang tuanya tak berhasil diselamatkan.
Pagi harinya datang seorang Pria yang mengaku sebagai adik kandung Profesor Ricky, dan Naya membenarkannya karena gadis kecil itu langsung memeluk pria bernama Radika tersebut.
“Naya mau ikut Om?” tanya Radika
Gadis kecil itu hanya bisa mengangguk, dan sejak saat itu Naya dan Radika menghilang tanpa kabar, setelah sebelumnya menitipkan segala sesuatu berkaitan dengan proses pemakaman dan penyelidikan kasus kebakaran yang menewaskan Profesor Ricky.
Kevin dan Gadisya sempat curiga pada Radika, karena pria itu terkesan lari dan menghindari penyelidikan, padahal seharusnya dia berada di garda terdepan demi mengupas tuntas, serta mencari tahu siapa dalang di balik tewasnya Profesor Ricky.
Tapi segala macam kecurigaan itu lenyap berganti dengan kecemasan, manakala melihat perubahan tingkah putera sulung mereka, semenjak Naya dibawa pergi Om nya, Daniel terlihat muram, bahkan ketakutan ketika melihat peristiwa kebakaran, makan dan minum tak berselera, bahkan cenderung lebih pendiam, padahal biasanya dia selalu cerewet dan ceria ketika bermain bersama adik-adiknya.
Dua tahun berlalu sejak kebakaran, sikap Daniel mulai kembali walau tak seutuhnya, tapi setidaknya hal itu membuat kedua orang tuanya berhenti merasa cemas.
Rumah Profesor Ricky pun diambil alih oleh Pemerintah Kota, karena tidak adanya ahli waris yang mengakui kepemilikan rumah tersebut. Kevin melalui pengacaranya mengajukan surat permohonan untuk membeli rumah tersebut, kemudian merenovasinya kembali seperti sedia kala. Entahlah, tapi firasatnya mengatakan ada sesuatu yang belum terpecahkan dari misteri terbakarnya rumah tersebut. Kebakaran yang menewaskan kedua orang tua Naya, dan merenggut senyum bahagia dari wajah Daniel.
Flashback End.
.
.
Di masa sekarang.
Pete Cafe, di suatu senja.
Sepasang muda-mudi itu duduk saling berhadapan di sudut Cafe yang sedang sepi. Hanya minuman ringan yang mereka pesan benar-benar tak ingin makan apapun karena memang tak berniat ada di sana dalam waktu lama.
“Kamu yakin?” Tanya gadis cantik berambut sebatas telinga tersebut.
“Hmmm … aku sudah memiliki seseorang yang tersimpan dalam hatiku sejak lama.” Jawab Daniel mantap, tak pernah ingin menambah kisah baru hingga berujung perasaan makin tak menentu, karena dirinya sudah terlalu merindu.
“Aku pun sama, walau pada awalnya aku ingin menawarkan sebuah perjanjian padamu.”
“Perjanjian hanya akan membuatku terlihat pengecut dan plin-plan.” pungkas Daniel, karena ia tak pernah ingin mempermainkan kaum Hawa.
“Baiklah, deal ya… aku pun tak akan hadir di acara pertunangan besok siang.”
Daniel mengulurkan tangannya, tanda setuju. “Deal.” Jawabnya yakin.
Keputusan sudah mereka sepakati, karena masing masing tak ingin menyakiti sang pemilik hati.
.
.
Hari pertunangan.
Papa Kevin kembali menarik nafas, bahkan sang istri pun jadi curiga dengan sikap Papa Kevin. “Papa kenapa sih?” Bisik Mama Gadisya.
Tapi Papa Kevin hanya tersenyum sembari menggenggam tangan sang Istri. “Tolong jangan marah pada Daniel, jika acara malam ini tak berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan.” Tutur Papa Kevin.
“Papa ngomong apa sih? Mama gak ngerti loh.”
Mereka kini tengah berada di Villa mewah milik Profesor Hardiman, karena rencananya pertunangan Daniel dan Carissa akan di selenggarakan di tempat itu.
“Pa … Abang belum bisa di hubungi.” Ujar Luna panik, gadis bergaun merah maroon itu sebelumnya tampak mondar-mandir di halaman Villa di temani Nathan sang kekasih.
“Kamu Yakin sayang??”
“Yakin Mah … lihat log panggilanku, sudah lebih dari 30 kali aku menghubungi Abang, tapi dia sengaja mengabaikan nya.”
Bahkan Nathan juga mengutus anak buahnya untuk memeriksa apartemen Daniel. “Di Apartemen Daniel juga tidak ada Pa.”
Mendengar penuturan Nathan dan Luna, Mama Gadisya semakin panik, “Gimana ini Pah? Kita bisa malu di depan keluarga Profesor Hardiman.”
“Mama masih ingat apa yang tadi Papa katakan?” Bisik Papa Kevin sekali lagi.
Sementara Luna dan Nathan saling pandang.
“Kalian tenang saja, semua aman terkendali.” Tutur Papa Kevin pada Luna dan Nathan.
Sementara itu, dari pihak Profesor Hardiman, Pria yang berusia lebih dari setengah abad itu pun nampak menahan amarah, ia pun baru mendapatkan kabar dari pihak EO bahwa, Carissa tiba-tiba menghilang.
“Panggilkan Nick!!”
“Tapi tuan, Nona pergi bersama Nick…” Bisik sang Ajudan.
“Apa?!” tanya Profesor Hardiman geram, ia benar-benar malu, karena ulah Putri tunggalnya.
Emosi Profesor Hardiman semakin memuncak, kali ini Carissa benar-benar menguji rasa sabar nya, bertahun-tahun ia merencanakan pertunangan ini, hingga akhirnya Kevin setuju, tapi di hari H putrinya justru berulah.
“Tapi sepertinya putra Dokter Kevin pun belum terlihat.”
“Iya … kamu benar,”
Profesor Hardiman menatap Keluarga Kevin yang juga baru saja tiba di lokasi acara, jika saja tak ada kepentingan terselubung, malas sekali berurusan dengan keluarga Geraldy dan keturunannya. Seperti yang ia selidiki sejak lama, keluarga Geraldy tak akan pernah membiarkan ada musuh berkeliaran di sekitar mereka, karena itulah selama ini Profesor Hardiman, berkamuflase sebaik mungkin agar tak menjadi objek penyelidikan Agent AG.
#2
Tiga minggu kemudian.
Pria muda itu keluar dari rumah mewah yang ia tinggali selama menjalankan tugas sebagai Direktur muda di kantor cabang Hotel milik keluarganya, sang putra mahkota kerajaan Geraldy ini memiliki alasan khusus kenapa sampai rela menjadi Direktur di kantor cabang, alasan yang membuatnya terpaksa menjadi anak pemberontak.
“Kamu yakin akan melakukan ini?”
Suara adik sepupunya terdengar melalui handsfree yang kini terpasang di telinga kanannya, karena ia tengah bersiap menjalankan mobilnya menuju lokasi yang menjadi tujuannya kini.
“100 persen yakin.” Jawab Daniel penuh keyakinan.
Daniel sedang melakukan panggilan dengan Danesh, adik sepupunya, beberapa minggu sebelumnya, Danesh mengenalkannya pada olahraga yang sangat memacu adrenalin, dan kini ia ingin mencobanya sendiri, karena pada saat itu ia melakukannya dengan didampingi adik sepupunya tersebut.
Si mata hijau ini memang sangat menyukai hal-hal gi la yang cukup memacu adrenalin, selain itu semua bagian dari pekerjaannya, Danesh memang terlalu menyukai tantangan. Karena itulah, ketika muda ia sering melakukan hal-hal yang dianggap orang tuanya sebagai kenakalan.
“Tapi kamu baru 2 kali mencobanya, aku rasa terlalu berbahaya jika kamu mengulanginya kali ini.”
“Aku akan meminta helikopter berhenti tepat di atas Hotel.”
“Tapi kita tak bisa memprediksi dan membaca arah angin… dan … ”
tut
tut
tut
Daniel mematikan sambungan teleponnya, ia mengabaikan semua peringatan dan kekhawatiran adik sepupunya tersebut, kemudian memacu mobilnya menuju lokasi pendaratan pesawat.
Satu Jam kemudian ia sedang dibantu seorang petugas pemandu memakai jumpsuit, serta memasang ransel berisi parasut, serta peralatan lainnya agar tetap aman ketika aksinya berlangsung di udara.
Klik… alat pengaman terakhir terpasang sempurna, sang pemandu bahkan berkali kali mengulang peringatan yang sama dengan adik sepupunya, termasuk menawarkan bantuan untuk mendampingi ketika mengapung di udara, tapi semua bagai angin lalu.
.
.
Di sebuah kamar, seorang gadis muda tengah bersolek di depan cermin, bukan dandanan mewah, sekedarnya saja agar wajahnya terlihat segar. Karena dia seorang guru yang akan berhadapan dengan para siswa-siswi, bukan model yang berjalan diatas catwalk.
Tok
Tok
Tok
“Mila…”
Suara sang ibu membuatnya berpaling sesaat dari cermin, “Iya ma…”
Mila berjalan ke pintu, kemudian memutar anak kunci, “ada apa ma??” Tanyanya ketika pintu terbuka.
“Sarapan sudah siap, mama sama papa mau langsung berangkat,” Pamit sang mama.
“Iya ma,”
“Jangan lupa jemur cucian.”
“Iya ma,”
“Iya … iya aja, jangan kayak kemarin, jemur baju gak di buka dulu lipatan yang menggumpalnya, wassalam kan bajunya bau, dan gak kering, mana musim hujan angin.”
Mila hanya mendengar malas penuturan sang Mama, sudah banyak kali Mama nya mengulang apa yang baru saja beliau katakan. Tapi Mama tetap lah seorang Ibu, mengulang ulang hal itu seakan sudah menjadi tradisi, jadi Mila hanya pasrah mengikuti keadaan adalah jalan ninja nya.
“Jemuran panjang untuk sprei, jemuran merah untuk celana panjang, jemuran oren untuk baju kamu…”
“Bukan oren Ma… tapi coklat.”
“Lho lho kok isok? Mama gak pernah beli jemuran warna coklat?”
“Yang dulu warnanya oren, udah berubah jadi coklat kelamaan kena sinar matahari Ma.” protes Mila.
“O … gitu yah? kok Mama gak pernah merhatiin,” Timpal Mama Miran tanpa rasa bersalah. “Wis embuh lah, pokok nya gitu.”
“Iya Ma …”
“Kalau ada apa-apa minta tolong Bi Wati, atau Mak Susi.
“Iya Ma … ”
“Jangan lupa minta tolong Mas Jono, buat ganti atap jemuran, nanti Mama yang kasih uang ke Mas Jono, buat belanja bahannya.”
“Iya Ma … “ lagi lagi Mila menjawab ucapan panjang sang Mama dengan kata singkat sejuta makna tersebut.
“Iya Iya terus dari tadi?”
“Trus Mila harus jawab apa Mama? ntar kalo Mila jawab yang lain, Mama ngomel.”
“Ya jawab apa gitu, gak kreatif amad, dari tadi cuma kopi pasta.”
“Bukan Kopi Pasta Ma … tapi Copy Paste.”
“Oh ngunu yo? Tapi kan kalo pake istilah makanan, Mama gampang inget nya.” Seloroh Bu Miran nyengir, “Eh iya … baju kamu gak sopan, cepet di tutup!!!”
Mila menatap tubuhnya yang masih berbalut hotpants super pendek, serta tanktop tipis yang menutupi kain penutup dada, membuat tubuh jangkung semampai nya terlihat semakin indah, “gak sopan apa sih Ma, kan Mila masih di kamar, lagian kamar juga udah ketutup rapat.”
“Kamu itu, dibilangin Mama mesti senengane ngeyel terooss … “
“Iya Ma … iya … ” mila kembali menjawab dengan kalimat sakti nya, sementara tangannya menyambar jubah tidur guna menutupi tubuhnya yang masih tertutup kain apa adanya.
Mila mengikuti langkah kaki sang Mama, mengantar kepergian Mama Miran hingga ke depan pintu, kemudian naik ke lantai dua untuk melakukan tugas wajibnya sebelum pergi mengajar
.
.
Kita kembali ke udara.
Hembusan angin kencang menerpa wajah dan tubuhnya, tapi tak terlalu dingin karena ia sudah memakai pakaian lengkap sebelum melayang di udara. Kedua kakinya terus bergerak gelisah, begitupun kedua tangannya.
Petugas pemandu menyerahkan helm full face, kemudian memeriksa kembali semua alat pengaman yang menempel di tubuh Daniel.
Ketika mereka telah sampai di ketinggian ideal, petugas itu mengangguk tanda bahwa Daniel sudah bisa beraksi, lampu pengaman pun sudah berubah warna menjadi hijau, setelah semula berwarna merah.
Daniel berdiri di pintu Kabin pesawat, tangan kanannya berpegangan pada handle pintu, sekali lagi Daniel menarik nafas, kemudian melompat. Tubuh Daniel melayang di udara bagai kapas tertiup angin kencang, telentang, menelungkup sembari terus menukik ke bawah, kembali tentang dengan kedua tangan menyanggah kepala serta kaki kanan ditumpuk pada kaki kirinya, seolah-olah tengah berbaring nyaman diatas kasur angin.
Debaran jantungnya tak beraturan, aksinya kali ini memuat adrenalinnya berpacu kencang, ia sungguh merasa lepas bebas bagai burung-burung yang terbang mengarungi angkasa. Pantas saja Danesh gemar melakukan hal-hal ekstrim yang memacu adrenalin, rupanya sensasinya sungguh tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Daniel menyudahi aksi isengnya, ia kembali menelungkup, kemudian menarik tuas di bagian bawah ransel.
Sraaagg … Bluuub … seketika sebuah parasut lebar memayungi tubuh Daniel, ia merasa ada kekuatan besar yang menahan tubuhnya agar tetap melayang dengan aman di udara. Daniel menatap pemandangan kota surabaya dari angkasa, barisan gedung tinggi serta deretan rumah warga, terlihat dari angkasa, dan jangan lupakan gerombolan awan putih yang berarak di angkasa, indah memancarkan megahnya ciptaan Tuhan.
Dari tempatnya mengudara, ia melihat lambaian bendera merah di rooftop sekaligus helipad, bangunan tinggi tersebut adalah bangunan Twenty Five Hotel, Daniel kembali menarik tuas di kedua sisi tali agar bisa mendarat dengan selamat, tapi sesuatu tak terduga terjadi, perubahan arah angin membuat parasut kembali mengudara, bahkan Daniel kembali mengudara entah ke arah mana, satu satunya hal yang bisa ia lakukan hanya menahan tuas, agar ia bisa mendarat darurat di tempat yang aman serta tak perlu mempermalukan dirinya sendiri, lebih dari itu ia pun masih ingin hidup panjang, ia bahkan belum menikah dan merasakan apa yang sering orang sebut sebagai ‘Surga dunia’.
Tiupan angin terus berhembus kencang, bahkan kini membawanya semakin jauh dari tempat seharusnya ia mendarat, setelah hampir 30 menit mengudara, tiupan angin kencang mulai reda, kini Daniel lebih panik daripada sebelumnya, karena dari tempatnya melayang ia melihat tak ada lapangan atau bangunan tinggi untuk dia mendarat darurat dengan aman. lebih parahnya lagi parasutnya kini mulai menukik karena tak ada lagi angin kencang yang membawanya.
Dan
Brug
“Aaaaaaa …”
.
.
Nah loh bang Daniel nyusruk kemana? ke atap rumah siapa? apa ini karma karena kabur dari pesta pertunangannya sendiri?
#3
Sepeninggal kedua orang tuanya, Mila menuju lantai atas guna melaksanakan tugas maha penting yang sudah Mama Miran amanatkan. Sebenarnya Mila adalah seseorang yang cukup santai dalam kehidupan sehari harinya, bicara pun ceplas ceplos jika sedang ada di rumah, tapi jangan ditanya ketika ia tengah di depan kelas, galaknya bisa membuat para Siswa-Siswi nya berpikir puluhan kali untuk bisa mangkir dari mengerjakan pekerjaan rumah.
Mila Menatap angkasa, semilir tiupan angin lembut terasa di kulitnya, selama puluhan tahun usianya, langit inilah yang selalu ia lihat, karena ia tak pernah menyambangi Ibukota provinsi Jawa Timur. Banyak sekali alasan yang dikemukakan orang tuanya, jika Mila mengatakan keinginannya jalan-jalan ke Surabaya. padahal secara materi Mila sudah punya cukup finansial jika hanya sehari dua hari menginap di Ibukota provinsi tersebut. Tapi ya sudahlah, Mila memilih jadi anak patuh, jika sudah saatnya pasti akan terkabul juga keinginannya menyambangi ibu kota Surabaya atau ibukota Jakarta sekalipun.
Mila mulai mengklasifikasi jenis pakaian sesuai dengan warna jemuran yang akan ia pergunakan, jika tak berharap do’a kebaikan dari sang Mama, Mila sebenarnya enggan menuruti hal-hal remeh semacam ini.
“Eh … ada Bu Mila.” Suara Jupri menyapa pendengaran Mila, Jupri adalah tetangga sekaligus murid Mila di SMU tempat ia mengajar.
“Jadwal Ibu masih jam 10 nanti.” Jawab Mila santai.
“Tapi Ibu Guru kan gak boleh terlambat.”
“Ibu gak akan terlambat, lihat saja nanti, ibu pasti sampai sekolah tepat waktu, justru kamu yang harus bergegas.”
“Aku kan jago ngebut Bu.”
“Motor butut kamu, bisa ngebut di kecepatan berapa Jupri … baru tarik gas aja udah keluar asap item nya.”
“Et dah Bu Mila apal bener sama motor saya.”
Mila berbalik, kemudian melotot menatap seringai di wajah Jupri, “Berangkat sekarang atau ibu telepon Emak kamu?” ancam Mila, ia tak punya pilihan lain demi kebaikan salah satu anak muridnya tersebut.
Jupri yang terkejut mulai panik, jika sudah berkaitan dengan Bu ErTe alias Emak Jupri, ia tak berkutik, Emaknya bisa bawa golok tukang jagal jika Jupri terlambat atau menolak pergi ke Sekolah. “I … Iy … Iya Bu … Siap … Saya berangkat sekarang.” Jawab Jupri terbata.
Tengah konsentrasi mengerjakan tugasnya, tiba-tiba Mila dikejutkan dengan suara teriakan dari atap rumahnya, “Aaaaa …”
Brugh
Kejadian itu begitu cepat, hingga Mila tak sempat menghindar, ketika sebuah beban berat menimpa tubuhnya, beberapa saat Mila merasa pusing karena kepalanya membentur lantai, dan pandangannya buram untuk beberapa saat.
Pelan-Pelan Mila mendapatkan penglihatannya, ia belum menyadari apa gerangan yang menimpa tubuhnya, tenaganya tak cukup kuat untuk menggeser beban berat tersebut, dari atas tubuhnya.
Daniel pun sempat kehilangan kesadaran sesaat, entah dimana ia mendarat kini, pelan pelan ia menggerakkan kedua tangannya untuk melepas helm yang membuat nafasnya sedikit pengap, netranya terbelalak, ketika sepasang mata indah itu menatapnya selama beberapa detik sebelum …
“Aaaaa … “
Plak !!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Daniel, bahkan setelah mendapat tamparan Daniel, belum mampu mengalihkan pandangannya dari wajah Mila.
Plak !!!
Kali pipi kiri Daniel yang menerima tamparan, barulah ia tersadar, “eh … Maaf.” Daniel pun bangkit, karena menyadari tubuhnya sudah membuat gadis itu terhimpit.
Daniel kembali terpaku, sekujur tubuhnya berdesir hebat, karena kedua matanya disuguhi pemandangan yang selama ini hanya pernah ia lihat sekilas di gambar atau video.
Kini bagian depan tubuh Mila terpampang sempurna didepan Daniel, hamparan kulit cerah bersih dengan dada yang membusung kencang membuat darah Daniel berdesir hebat, “Dasar MESUM !!!”
Plak !!!
Plak !!!
Dua buah tamparan sekaligus Daniel terima, membuat Daniel tersadar, kemudian memalingkan wajahnya, sementara Mila cepat cepat menutup kembali bagian tubuhnya yang terekspos, ia merutuki kecerobohannya karena tadi membantah perkataan sang Mama. Dan kini hendak di taruh dimana mukanya, mendadak Mila merasa jijik karena ada seorang pria menel*anjangi tubuhnya, walau hanya bagian atas, tapi tetap saja sudah ada lelaki yang melihat sebelum suaminya kelak.
“Maaf.” Ucap Daniel lagi, ia tak berani menoleh, takut hal-hal yang tidak diinginkan terlihat lagi, walau sebenarnya Daniel mulai penasaran. (lho … lho … lho …😅 efek kelamaan jomblo)
Tubuh keduanya masih tertutup parasut sementara Mila meringkuk, harga dirinya sebagai Wanita tercoreng sudah, malu tak terkira, “Siapa kamu?” tanya Mila sinis.
“Daniel?”
“Daniel siapa?”
“Ya namaku Daniel.”
“Iya … tahu namamu Daniel? Daniel siapa, kamu pikir kamu siapa? Selebritis? Anak pejabat? atau anak Presiden?” sembur Mila kesal.
Daniel terdiam, kini ia pun bingung harus bagaimana menjelaskan situasinya, pasalnya ia benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi, dan sepertinya gadis di hadapannya benar-benar marah dengan apa yang baru saja terjadi. Ya iyalah siapa yang tidak marah mendadak kejatuhan sial semacam ini.
“Daniel … saudara kembar Darren.” jawab Daniel polos, tak biasanya ia membawa-bawa nama saudara kembarnya tersebut.
“Hah … ngaku-ngaku saudara kembar Darren, Darren tuh ganteng, keren, sayang keluarga, istrinya cantik, anaknya lucu menggemaskan, lha kamu … ish dilihat dari sudut manapun tak ada mirip-miripnya dengan Darren, pake ngaku-ngaku saudara kembar Darren.”
Daniel tersenyum miring, belum tahu saja gadis ini, seperti apa blangsaknya kelakuan Darren beberapa tahun lalu.
“Gak percaya ya sudah, gak penting, sorry … dimana jalan keluar, aku mau pulang.” jawab Daniel, malas menanggapi.
“Pulang?!!” seru Mila kesal, ia membuka parasut yang menutupi kepalanya, wajahnya kesal, rambutnya awut awutan, dan yang terpenting pria ini sudah melihat tubuhnya, “Tanggung Jawab!!”
“Apa? tanggung jawab? aku pegang tubuhmu saja gak doyan, bisa mendadak Imp*ten setelah ijab qobul.” Daniel berteriak tak terima, karena mendadak diminta bertanggung jawab menikahi anak gadis orang, padahal ia jauh-jauh lari ke Surabaya karena menolak bertunangan dengan gadis yang tidak ia cintai. Dan sekaran?? apa kata Dunia? Daniel sang putra Mahkota Geraldy … menikah karena tragedi pendaratan darurat.
Prok !!
Mila menepuk tangan nya sendiri satu kali. “Hei … pria mesum, pikiranmu kejauhan, tuh lihat …” Mila menunjuk atap jemuran yang kini ambruk setelah tertimpa tubuh Daniel, bahkan beberapa bagian genteng dan atap rumah ikut ambruk.
Tapi Daniel tak peduli, ia lebih dari mampu mengganti kerusakan tersebut, yang menjadi fokusnya kini adalah panggilan yang baru saja tersemat untuknya. “Apa kamu bilang? Mesum?”
“Kalau gak mesum apa namanya?” Balas Mila tanpa takut. “Bilang nya aja langsung Imp*ten, tapi liatnya sampe gak berkedip, dasar buaya mesum !!!”
“Buaya … ?? Yak … !!! aku pria baik-baik jangan sembarangan bicara.”
“Mana buktinya kalau kamu pria baik-baik, kamu sengaja ngintipin aku kan? sampai merosot dari atap karena terpesona, sukurin !! kualat itu namanya !!”
Wajah Daniel memerah, entah kenapa ia merasa dipermalukan, padahal seharusnya ia merasa untung karena melihat sesuatu yang tak boleh dilihat, eh … Astaghfirullah. (maap Bang, othor khilaf 😁🤣)
“Milaaa … !!!”
Terdengar sebuah panggilan dari lantai bawah.
“SIAPA YANG BERANI NGINTIPIN KAMU??!!”
Suara itu menggelegar laksana petir menyambar, Mila terdiam, sementara Daniel tak kalah terkejut, firasatnya mengatakan masalah ini akan berbuntut panjang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!