NovelToon NovelToon

HIRAETH (Kerinduan)

Kecewa

Sakit hati akan sebuah kebohongan dan pengkhianatan, mungkin sudah sering orang lain rasakan. Bahkan karena merasakan rasa sakit itu, orang banyak yang merubah sikap dan perilakunya. Bahkan karena rasa sakit hati itu, mampu merubah jiwa seseorang menjadi gelap dan sulit untuk disentuh. 

Akankah rasa sakit itu juga mampu merubah sikap seorang gadis bernama Irene? Gadis cantik, namun karena penampilannya yang terlalu biasa saja. Membuat kecantikannya tertutup oleh kacamata dan rambut yang selalu di kuncir olehnya. Kadang Irene menguncir rambutnya dua sisi, terkadang hanya menguncir satu seperti buntut kuda. 

Irene berjalan menelusuri lorong sekolahnya, pelajaran telah usai sejak satu jam yang lalu. Gadis itu sengaja pulang belakangan, karena hari ini ia ingin menemui sang kekasih yang sedang mengikuti kegiatan ekskul futsal. 

Dengan senyum di wajah yang tidak pernah pudar, gadis itu terus berjalan menuju ruangan tempat berkumpulnya anak-anak futsal. 

Beberapa langkah lagi ia akan tiba di ruangan tersebut. Namun langkahnya terhenti saat gendang telinganya menangkap suara yang begitu familiar. Irene memperlambat langkahnya, dengan hati-hati ia menajamkan indra pendengarannya agar dapat lebih jelas apa yang sedang dibicarakan. 

"Terus bagaimana dengan Irene. Kalau loe masih berhubungan sama si Nancy, White?" 

[Deg…]

Jantung Irene seketika berhenti berdetak, dadanya pun terasa mulai sesak. Kedua matanya mulai berembun, jika gadis itu berkedip maka air matanya akan jatuh. Perlahan Irene kembali menajamkan pendengarannya saat suara familiar itu kembali berucap. 

Pria bernama White yang diketahui sebagai kekasih Irene itu pun terkekeh. 

"Loe 'kan tahu, kalau gw nerima cintanya si cupu itu karena terpaksa. Itu juga Nancy yang minta, dia bilang kasihan sama si cupu itu yang selalu mengharapkan cinta gue. Asal kalian tahu nih, ya! Selama gue pacaran sama dia, jujur aja gue jijik banget harus berpura-pura bucin sama si cupu itu. Irene itu, gue ibaratkan sebagai pelampiasan gue aja. Kalau gue lagi ribut sama si Nancy," White berkata sambil tertawa kecil. 

"Jujur aja, gue dan Nancy sangat nyesel udah kenal sama dia. Asli, hubungan gue sama Nancy jadi sering keganggu semenjak dia hadir dalam hubungan gue dan Nancy. Gara-gara si cupu itu juga kadang hubungan gue dan Nancy sering tidak baik," tambah White dengan perasaan kesal saat mengingat momen bahagianya bersama Nancy jadi terganggu karena Irene. 

Semua yang ada di ruangan itu pun tertawa mendengar penuturan White. Entah ada berapa orang di dalam sana. Yang jelas Irene dapat dengan jelas mendengar apa yang baru saja dikatakan White. Sakit, tentu. Hancur, lebih dari itu. Mungkin saat ini Irene sudah tidak ada harapan lagi terhadap sosok White. Sosok yang sudah dikira rumah kedua olehnya, setelah rumah pertama yang dimiliki kini telah berubah menjadi neraka. 

"Hahaha… ternyata loe brengsek juga ya, White. Parah loe cuma jadiin si Irene pelampiasan loe aja," cetus si A

"Kalau gue jadi si Irene, gue bakalan nonjok muka loe. Kalau perlu gue aduin loe ke orang tua gue," sahut si B. 

"Eh, ngomong-ngomong soal orang tua. Memangnya Irene punya orang tua? Yang ambil rapot saja dia sendiri," celetuk si A lagi seraya tertawa. 

Irene semakin merasakan sakit kala mereka semua mengejeknya dengan membawa kedua orang tuanya. Air mata sudah tidak dapat dibendung lagi. Irene membekap mulutnya dengan kedua tangannya saat ia hendak mengeluarkan sesak dalam dadanya. 

"Sepertinya dia sudah dibuang sama kedua orang tuanya. Malu punya anak kaya dia. Secara penampilannya udah kaya upik abu," celetuk White yang membuat semua yang ada di dalam ruangan itu tergelak terbahak-bahak. 

Cukup! Irene mengepalkan kedua tangannya, pria itu sudah sangat keterlaluan terhadap dirinya. Irene tidak habis pikir kalau White akan berkata seperti itu. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Irene dibandingkan dengan dikhianati pasangannya. Hal ini terjadi karena White  termasuk orang terdekat Irene yang sudah begitu dipercaya oleh gadis itu. Saat mengetahui fakta bahwa dirinya sudah dikhianati, maka kepercayaan terhadap pria itu saat ini sudah mulai luntur.

Perasaan sedih, kecewa, dan marah yang kini sedang dirasakan Irene akibat dikhianati oleh White. Seharusnya Irene menyadarinya sejak awal, kalau seorang pengkhianat itu memiliki dua muka yang terlihat baik di depannya, namun memiliki sifat berbeda saat di belakang dirinya. 

Karena rasa sakit itu, Irene ingin White tahu kalau dirinya tidak lemah dengan apa yang telah dilakukan oleh pria itu. Irene menghapus air matanya dengan kasar. Lalu ia pun akhirnya keluar dari persembunyiannya. Membuat semua yang ada di ruangan tersebut terkejut saat melihat kedatangan Irene dengan mata sembab dan sangat terlihat kacau. 

"I-Irene," White langsung berdiri dari duduknya saat melihat kedatangan gadis yang sedang dibicarakannya oleh kelima temannya. 

Irene berjalan cepat menghampiri White dan….

[Plak…] 

Sebuah tamparan sukses membuat wajah White menoleh dengan kasar. Jejak telapak tangan Irene tercetak jelas di wajah putih pria itu. Semuanya tercengang melihat apa yang telah dilakukan oleh Irene. Bahkan mereka bisa melihat aura kemarahan dalam diri Irene. White memegang pipinya yang ditampar oleh Irene. Tatapan matanya menyorot tajam pada gadis yang ada di hadapannya itu. 

"Kamu…," 

"Kenapa? Masih kurang?" potong Irene yang terlihat begitu marah. 

White bergeming dengan rahang mengeras. 

"Loe benar-benar brengsek, White!" teriak Irene. 

White kembali tercengang mendengar ucapan Irene, baru kali ini White mendengar Irene berkata sarkas seperti itu. Tanpa ia sadari kalau Irene sudah mendengar obrolannya bersama kelima temannya  di ruangan itu. 

"Loe pria terbrengsek yang pernah gue kenal. Selamat loe udah berhasil bikin gue sakit hati atas apa yang udah loe ungkapkan tadi di hadapan mereka. Gue gak habis pikir sama loe, kenapa loe tega ngecewain gue. Tega loe ngelakuin hal ini ke gue. Apa salah gue, White?" Irene kembali berteriak. 

[Deg…] 

White tersentak mendengar ucapan Irene. White bergeming, ia baru menyadari kalau gadis dihadapannya ini sudah mengetahui semuanya. Irene mendengar semuanya, pikir White. 

Irene tertawa miris dengan air mata yang terus mengalir di wajahnya. Namun dengan cepat ia menghapusnya dengan tangannya secara kasar. 

"Gue pikir rumah kedua yang selama ini  gue singgahi tidak akan sama dengan rumah pertama. Tetapi nyatanya, kedua rumah itu sama-sama telah berhasil membuat diri gue hancur!"  lirih Irene dan tatapan kekecewaan pada sosok White.

Irene menatap lekat mata hazel milik White. "Terima kasih. Karena akhirnya loe mau jujur, walau gak langsung di hadapan gue. Terimakasih atas luka yang udah loe kasih ke gue hari ini. Terimakasih juga untuk waktu loe selama satu tahun ini yang udah jadiin gue bahan pelampiasan loe, disaat loe sedang gabut dan sedang bertengkar sama pacar loe itu." tambah Irene dengan suara lirih yang tercekat oleh sesak. 

Irene menghela nafasnya kasar. "Loe masih pacaran sama Nancy 'kan? Hubungan loe sama dia juga terganggu karena adanya gue kan? Kalau begitu gue gak akan pernah mengganggu hubungan kalian berdua lagi.  Karena mulai hari ini kita bukan siapa-siapa lagi. Anggap kita gak pernah berhubungan apapun, anggap saja kita adalah murid yang hanya beda kelas dan gak pernah kenal sama sekali. Sekali lagi gue ucapin terima kasih, karena loe udah berhasil bikin gue masuk ke dalam permainan loe bersama Nancy," 

Tanpa berkata lagi, Irene langsung meninggalkan White dan kelima temannya itu. White masih bergeming, entah kenapa mendengar semua ucapan Irene hati White merasa begitu nyeri. Hingga tanpa sadar White mengangkat tangannya dan menyentuh dada kirinya, tubuhnya pun langsung terduduk di kursi dengan begitu kasar. Membuat kelima temannya terkejut dan langsung memegangi bahu White.

"White, loe gak apa-apa?" tanya si A sedikit khawatir pada temannya itu. 

White tidak menjawab, pandangannya terlihat kosong. Semua ucapan Irene masih terngiang di pikirannya, bahkan White merasa kalau Irene masih terus menatapnya dengan sorot mata yang begitu tajam. White mulai tersadar dari diamnya saat salah satu temannya menepuk pundaknya. 

White mengusap wajahnya kasar, ia masih bingung harus bagaimana. Bukankah seharusnya ia senang, kalau pada akhirnya Irene tahu yang sebenarnya. Bukankah memang seharusnya Irene tidak pernah hadir dalam kehidupannya. Hingga hubungannya dengan Nancy baik-baik saja dan pasti gadis itu juga akan merasa senang, kalau akhirnya hubungan mereka tidak ada gangguan lagi. 

Semenjak White berpacaran bersama Irene, sering kali Nancy memandang remeh pada Irene. Nancy juga selalu mengatakan pada teman sekelasnya, kalau Irene merebut  White dan sangat terobsesi pada kekasihnya itu. Hingga tidak jarang kalau Irene sering terkena bullying oleh teman-temannya Nancy  setelah pulang sekolah, dan itu semua tanpa sepengetahuan White.

Luka

Hujan pun turun dengan derasnya. Irene menangis diantara turunnya air hujan yang kini sudah membasahi seluruh tubuhnya. Gadis itu melangkah berat menuju rumah yang terbilang cukup sederhana. Irene menghentikan gerakannya saat hendak membuka handle pintu rumah.

Tangisnya kembali pecah saat indera pendengarannya mendengar kegaduhan dari dalam sana. Bahkan terdengar suara benda yang pecah akibat dilempar atau dibanting sengaja oleh pelaku. Tubuh mungil itu semakin bergetar, ia kembali menangis. Menertawakan kehidupannya yang memang sudah sangat hancur, tanpa Irene sadari beberapa tetangga menatapnya iba.

Tubuh gadis itu begitu dingin dan terlihat mulai pucat, ia pasrah saat hujan deras mengguyur tubuhnya. Dengan langkah beratnya ia berjalan masuk ke dalam rumah.

Seorang pria dan wanita yang diketahui mereka adalah kedua orang tua Irene menatap ke arah gadis itu saat pintu terbuka. Irene menundukkan kepalanya saat tatapan tajam penuh kebencian dari sang ibu menatap dirinya. Namun berbeda dengan sang ayah yang saat ini sedang menatap nanar pada putrinya itu.

“Irene, kamu baru pulang nak?” tanya sang ayah dengan lembut.

Irene mengangguk tanpa menatap wajah sang ayah.

“Tidak perlu sok lembut sama anak itu. Lebih baik kamu pergi dari sini dan urus istri serta anak-anakmu itu!” bentak sang ibu pada ayahnya.

Irene semakin menundukkan kepalanya saat mendengar suara yang sangat membuatnya takut. Suara yang setiap harinya selalu menyisakan rasa sakit dan trauma dalam dirinya.

Thomas menatap kesal pada Luciana. “Apa aku salah bersikap lembut pada putriku, heh?”

Pertanyaan Thomas berhasil membuat Luciana geram, sampai ia mengepalkan kedua tangannya.

“Apa kau lupa siapa dia? Dia adalah…”

“Luciana!” bentak Thomas dengan suara begitu keras.

Bahkan Irene sampai menutup telinganya karena saking takut akan suara Thomas yang berteriak membentak sang ibu.

“Apa?” tantang Luciana yang seakan tidak takut pada Thomas.

Thomas mengepalkan kedua tangannya, rahangnya pun kembali mengeras.

“Kau,” Thomas menunjuk Luciana dengans atu jarinya.

“Jangan pernah bicara macam-macam pada Irene, ingat itu!” Thomas kembali berujar dengan penuh penekanan.

Irene yang masih berdiri di depan pintu dengan posisi pintu terbuka pun terkejut saat merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya. Irene berjingkat dan menoleh, menatap nanar saat tahu siapa yang telah berada disampingnya.

"T-Tante," lirih Irene.

Suara Irene yang masih dapat didengar Thomas dan Luciana pun menoleh ke arah Irene.

Luciana berdecak saat melihat siapa yang berdiri di sebelah Irene. “Jalang rumahan,” umpatnya dengan pelan, tapi masih dapat didengar Thomas.

“Jaga bicaramu, Luciana!” geran Thomas.

Mendengar itu Luciana hanya mendelik tak suka pada pria itu.

“Sayang, tolong kamu bawa Irene ke rumah. Nanti aku akan menyusul,” uhar Thomas pada sang istri.

Wanita yang berdiri di sebelah Irene pun mengangguk.

Wanita bernama Anita itu tersenyum pada Irene. "Ikut Tante ke rumah, yuk!” ajak wanita itu dengan penuh kelembutan.

Luciana yang mendengar nada bicara Anita pada Irene pun mulai jengah, wanita itu menatap sinis pada keduanya.

“Bawa saja dia, tapi ingat kalian tetap tidak akan bisa membuat anak tidak guna ini berlama-lama di rumah kalian!” ketus Luciana.

Thomas langsung menatap tak suka pada wanita itu. “Sebaiknya kamu diam, Luciana!” ujar Thomas yang hanya dibalas dengan dengusan kesal dari Luciana.

Irene pun mengangguk lirih, ia sudah tidak sanggup lagi untuk mengeluarkan suara. Tubuhnya sudah sangat lemah, bahkan wanita yang mengajak Irene ikut dengannya rela tubuhnya sedikit basah karena wanita itu merangkul tubuh Irene.

Thomas pun ikut keluar dari rumah Luciana yang bisa dikatakan bukan rumah, tetapi neraka. Thomas membantu Anita dan Irene untuk masuk ke dalam mobilnya.

Setibanya di rumah, wanita itu membantu Irene membersihkan tubuhnya. Sementara Thomas izin kembali ke kantor karena masih harus mengurus beberapa dokumen. Anita menatap iba pada gadis yang ia tolong itu. Tanpa sengaja wanita itu menyentuh bekas luka yang ada di punggung Irene. Luka yang sepertinya belum lama dibuat.

"Apakah ini sakit?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.

Irene menggelengkan kepalanya. "Bahkan aku lupa akan rasa sakitnya, Tante." jawab lirih Irene.

Wanita itu mendekap mulutnya dengan satu tangannya. Tanpa berkata lagi, ia pun keluar dari dalam kamar mandi. Wanita itu menangis, sungguh ia tidak sanggup melihat Irene menderita seperti itu. Cukup lama wanita itu menangis, hingga akhirnya ia mengusap air matanya dengan sangat kasar.

Wanita itu bergegas beranjak dari dapur dan segera mencari kotak obat P3K. Setelah menemukan kotak tersebut, segeralah ia bawa ke dalam kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat melihat Irene sudah keluar dengan handuk yang melilit di tubuhnya.

Wanita itu tersenyum kaku. "Sini, duduklah!" pinta wanita itu.

Irene hanya menurut dan tidak membantah. Setelah melihat Irene duduk, wanita itu pun langsung mengobati luka yang masih basah yang ada di punggung Irene. Ada beberapa luka cambukan di punggung gadis belia itu. Dengan tangan sedikit gemetar, wanita itu mengolesi salep pada luka tersebut.

"Siapa yang melakukan ini, Ren?" tanya wanita itu.

"Mama," jawab Irene dengan lirih.

Wanita itu menghentikan gerakannya sejenak, matanya terpejam saat mengetahui siapa pelakunya. Setega itu seorang ibu menyiksa putrinya sendiri.

"Kenapa Irene gak pernah cerita sama Tante? Bukankah Tante sudah pernah bilang pada Irene, kalau…"

"Irene tidak ingin merepotkan orang lain," potong Irene dengan suara terkesan datar dan dingin.

Wanita itu menghela nafasnya. "Tapi aku bukan orang lain, aku ibumu juga!" ucap lirih Anita.

Irene tersenyum miris. "Ibu tiri," jawabnya membenarkan ucapan wanita itu.

Wanita itu pun memejamkan matanya sejenak. "Iya, aku adalah ibu tirimu. Tapi aku sangat menyayangimu, seperti aku menyayangi putri kandungku sendiri." jawab wanita itu seraya tersenyum getir.

Malam ini Irene terpaksa menginap di rumah wanita yang diketahui sebagai ibu tirinya. Wanita bernama Anita itu adalah istri kedua dari sang ayah. Anita memaksa Irene untuk menginap di rumahnya, awalnya Irene menolak. Akan tetapi setelah sang ayah menghubungi Anita dan berbicara pada Irene. Akhirnya gadis itu pun menurut dan mengiyakan apa yang dipinta sang ayah. Ayah bernama Thomas, dan sang mama bernama Lusiana. Ayah Irene memutuskan menikah lagi disaat sang mama sedang berada di puncak kejayaannya. Ya, mamanya Irene adalah wanita pekerja keras yang gila bekerja.

Mungkin itulah salah satu alasan mengapa ayah Irene memilih menikah lagi. Mungkin karena kesibukan sang mama membuat sang ayah merasa kesepian dan memilih menikahi Anita. Anita sendiri adalah mantan kekasih ayah Irene saat dulu maaih duduk di bangku sekolah menengah atas. Pikir Irene dalam lamunannya.

Ketika Thomas menikahi Anita, wanita itu sudah berstatus seorang janda anak satu. Usia anak Anita terbilang cukup jauh dengan Irene, usia mereka hanya berjarak lima tahun. Karena saat itu Anita menikah di usia dua puluh tahun. Satu tahun menikah Anita sudah melahirkan putranya dan Anita menjadi janda saat usianya menginjak usia 33 tahun. Empat tahun menjadi janda dengan anak tunggal bernama Julian Reksa Samudera, hingga akhirnya Tuhan mempertemukan Anita dan Thomas.

Saat Thomas meminta Anita menjadi istri keduanya, Anita sempat menolak. Namun setelah mendengarkan alasan Thomas mengajaknya menikah, membuat Anita kembali memikirkan ajakan pria itu. Anita merasa begitu iba pada kehidupan rumah tangga Thomas. Bukan hanya memikirkan hal itu, Anita lebih memikirkan nasib putri semata wayang Thomas yang sering mendapat perlakuan kasar dari istrinya itu.

Namun nyatanya Irene sangat kecewa pada keputusan sang ayah saat mengetahui sang ayah menikah lagi. Saat pertama kali Thomas membawa Anita dan putranya yang sudah berusia 17 tahun ke rumah mereka, Irene langsung menatap keduanya dengan penuh kebencian. Irene yang berusia 12 tahun saat itu sangat paham apa yang terjadi pada kedua orang tuanya.

Perasaan Khawatir

Dari pernikahan Thomas dan Anita, menghasilkan satu orang putra bernama Calandra Putra Thomas. Saat ini Calandra  baru berusia empat tahun, dan sayangnya hari ini anak itu sedang tidak berada di rumah. Karena sedang diajak oleh omah dan opahnya (kedua orang tua Anita)  untuk menginap dirumah mereka, beruntung Calandra bukan tipe anak yang sering uring-uringan jika berjauhan dengan sang ibu. 

Semenjak Calandra lahir Irene selalu bersikap dingin terhadap Anita dan kedua putranya. Bahkan Irene enggan memanggil Anita dengan sebutan Bunda dan kakak untuk putranya Anita. 

Anita mengulum senyumnya sambil mengaduk susu coklat yang sedang dibuatnya. Lalu ia membawanya menuju lantai dua dimana kamar Irene berada. Anita sengaja menyiapkan kamar untuk Irene, walaupun Anita tahu Irene  tidak akan pernah tinggal dengannya. Tetapi wanita itu kekeh meminta Thomas untuk membuatkan satu kamar untuk anak gadisnya itu. 

Anita mengetuk pintu kamar Irene, dan tidak lama gadis itu pun membuka pintu tersebut. Irene membiarkan Anita masuk kedalam kamar, dan dirinya sendiri kembali duduk di kursi meja belajar. 

"Tante membuatkan susu untukmu. Ayo, diminum dulu!" Anita menyodorkan gelas yang berisikan susu tersebut pada Irene.

Irene menatap gelas berisi susu coklat kesukaannya, lalu berganti menatap Anita yang masih menampilkan senyumnya. 

"Tolong Tante letakkan saja di meja, dan terima kasih. Aku akan meminumnya nanti," jawab Irene. 

"Perutku masih sangat kenyang," tambah Irene. 

Anita tersenyum dan mengangguk. "Tapi jangan sampai lupa, karena kalau sudah dingin rasanya pasti tidak enak." 

Irene hanya mengangguk menanggapi ucapan Anita. Lalu Anita meletakkan gelas itu di atas meja belajar Irene. Anita mengusap lembut kepala Irene dengan senyum yang tidak pernah luntur. 

"Belajarlah dengan giat, bulan depan kamu sudah mulai tryout kan?" tanya Anita. 

Irene cukup tercengang mendengar pertanyaan ibu tirinya itu. Bagaimana Anita bisa tahu kalau bulan depan adalah jadwal Irene untuk ujian kelulusan? Apakah Anita tahu dari Thomas? Tapi, Irene tidak pernah membicarakannya pada sang ayah, bahkan berbicara sekedar perihal sekolah pun tidak pernah. 

Anita membaca gelagat kebingungan dari wajah Irene. Anita pun tersenyum lebar, ia tahu kalau Irene pasti bingung bagaimana ia bisa tahu. 

"Saat sedang ingin mengeringkan tas dan buku-bukumu, Tante tidak sengaja membaca selembaran dari sekolah yang ada di dalam tas kamu. Maaf ya, Tante lancang sudah membacanya!" ucap Anita yang merasa begitu bersalah. 

"Tidak apa, Tan. Kalau Tante sudah tahu ya, sudah mau dikata apa lagi!" celetuk Irene. 

Keheningan sejenak melanda keduanya, sebenarnya Anita sangat ingin mengajak Irene untuk berbincang lama layaknya seorang putri yang sedang curhat pada sang ibu. Namun itu hanya khayalan belaka, Anita tahu batasannya. Ia tidak mungkin memaksakan Irene untuk melakukan itu. Itu pasti membuat Irene tidak nyaman dengan dirinya. 

"Kapan putra Tante akan pulang ke Jakarta?" tanya Irene.

Anita mengerjapkan matanya, ia pikir Irene tidak ingin berbicara lagi adanya. Sebab tadi dirinya hendak berbalik untuk kembali ke dalam kamarnya. Namun mendengar pertanyaan Irene membuat Anita urungkan niatnya kembali ke kamar. 

"Reksa akan kembali bulan depan. Mungkin setelah kamu selesai ujian sekolah. Sedangkan Calandra baru besok pagi diantar oleh omanya," jawab Anita. 

Irene menganggukkan kepalanya, lalu gadis itu kembali diam. Anita pun memilih untuk kembali ke kamar. 

"Tante balik ke kamar dulu. Kalau kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa panggil Tante. Jika Tante ketiduran, kamu bisa membangunkan Tante." ucap Anita sebelum ia benar-benar meninggalkan kamar Irene. 

Irene mengangguk. "Iya," jawabnya datar. 

Anita tersenyum dan berjalan keluar dari kamar Irene. Saat diluar Anita menghela nafasnya sambil menutup pintu kamar Irene. Wajahnya seketika berubah murung, dengan langkah berat ia pun segera menuju lantai bawah. Anita yakin kalau suaminya akan pulang ke rumah ini. 

Mengingat tadi ia sempat menghubungi sang suami, dan menyampaikan protesnya atas sikap sang suami yang selalu ribut dengan istri pertamanya. Anita berpesan untuk tidak selalu bertengkar dengan Lusiana. Anita hanya tidak ingin pertengkaran mereka berimbas pada kondisi mental Irene. 

Benar saja, baru saja menapaki anak tangga saat menuju lantai bawah, Thomas sudah masuk ke dalam dan sedang melepas sepatunya. 

"Bang," panggil Anita pada Thomas. 

Thomas tersenyum melihat wanita yang ia cintai. "Apakah Irene sudah tidur?" tanya Thomas. 

"Belum, dia sedang belajar." jawab Anita seraya menyalimi tangan suaminya. 

"Untuk sementara waktu biarkan Irene tinggal di sini," ujar Thomas. 

Anita mengangguk. "Untuk selamanya juga tidak apa-apa, Bang. Aku malah sangat senang jika Irene tinggal disini. Biar aku ada temannya juga kalau kamu dan Areksa sedang bekerja. Tapi yang menjadi masalah itu, apakah Irene mau tinggal selamanya disini?" jawab Anita dengan suara agak lirih di akhir ucapannya. 

Thomas tersenyum lebar seraya mengusap lembut kepala sang istri. "Maafkan Irene, ya! Karena masih belum bisa menerima dirimu, dia hanya butuh waktu saja." ucap Thomas mencoba menenangkan hati istri keduanya. 

Anita tersenyum dan mengangguk. "Abang sudah makan? Kalau belum aku siapkan makanan untuk Abang," tanya Anita.

"Tidak perlu, tadi Abang sudah makan bersama tim divisi. Kamu buatkan Abang teh manis hangat saja," tolak  Thomas dengan halus. 

"Ya, sudah! Aku ke dapur dulu buatkan  Abang minuman," balas Anita. 

Sementara itu di dalam kamar Irene kembali menangis di dalam kamar mandi. Ia tidak mungkin menangis di dalam kamar, karena ia tahu kamarnya tidak kedap suara. Rasa sesak atas perlakuan White terhadapnya benar-benar membuat hatinya hancur dan terluka. Ia pikir White akan menjadi rumah keduanya, ia pikir White akan selalu memberikan ketenangan dan kedamaian dalam hidupnya. Namun semuanya itu sirna, karena nyatanya orang yang sangat  dipercaya oleh Irene telah membuatnya terluka dan hancur. 

Cukup lama Irene menangis dan duduk di dekat bak air, hingga tubuhnya terasa begitu lemah. Kepalanya terasa begitu pusing, dan tiba-tiba saja pandangannya mulai buram. Setelah itu Irene tidak ingat apapun, karena ia sudah tidak sadarkan diri. 

Anita dan Thomas pun naik ke lantai dua, mereka segera menuju kamar. Namun entah kenapa Anita merasakan sesuatu yang mengganjal dalam dirinya, Thomas mengerutkan dahinya saat melihat raut wajah sang istri begitu gelisah. 

"Kau kenapa, hmm?" tanya Thomas seraya menyentuh pundak Anita. 

"Ah, a-aku tidak apa-apa. Hanya saja aku merasa ada sesuatu yang tidak enak. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba saja tidak tenang," jawab Anita. 

"Reksa," gumam Anita dalm hatinya. 

Anita segera bergegas mencari ponselnya, Thomas hanya memperhatikan apa yang dilakukan oleh istrinya itu.  Anita terlihat menghubungi putranya yang sedang berada di Palembang. 

Setelah menghubungi putranya dan berbicara sebentar, Anita sedikit merasa lega. Namun dirinya masih bingung seperti ada sesuatu yang terasa sesak. Thomas duduk di sebelah Anita, lalu mengusap punggung istrinya itu. 

"Sudah, sebaiknya kamu istirahat. Ini pasti efek karena kamu sedang lelah," ucap Thomas. 

Anita berkali-kali menghela nafas gusarnya. "Gak, Bang! Ini kok semakin gak enak aja perasaan aku. Aku kayak lagi khawatir sama…." seketika ia teringat, mata Anita sedikit membesar. 

Wanita itu menatap ke arah Thomas. "Irene, Bang." Anita langsung berdiri dan berjalan kelua tanpa menghiraukan pertanyaan Thomas. 

"Irene kenapa, sayang?" tanya Thomas dengan suara agak keras. Pria itu masih terlihat begitu bingung. 

Dengan terpaksa Thomas mengikuti kemana istrinya pergi. Anita berkali-kali mengetuk pintu kamar Irene, namun tidak ada jawaban dari dalam. 

"Mungkin dia sudah tidur," ucap Thomas saat mendekati istrinya. 

Anita menggeleng dengan kuat. "Sebaiknya kita masuk, firasatku gak enak Bang!" jawab Anita. 

Thomas menghela nafasnya. "Ya sudah, buka saja!" 

Anita menekan handle pintu kamar putrinya yang tak terkunci, saat Anita sudah masuk ke dalam kamar, wanita itu  mengernyitkan dahinya saat melihat kamar tersebut kosong. Begitupun juga dengan Thomas, lalu ia menatap ke arah Anita. 

"Kemana Irene?" tanya pria itu. 

"Tadi ada di dalam kamar saat kamu pulang. Mungkin dia ada di dalam kamar mandi," Anita menjawab sembari melangkah menuju kamar mandi. 

Anita mengetuk pintu kamar mandi, berkali-kali mengetuk tidak ada jawaban dari dalam sana. Anita terlihat semakin khawatir, terpaksa ia membuka pintu kamar mandi yang beruntungnya tidak terkunci dari dalam. 

"Irene," pekik Anita 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!