Whhhuuuuuggggghhhh dhhaaaassshhh..
Plllaaaakkkkk plllaaaakkkkk...
Blllaaaaaaaaaarrrrrrrrrrr!!!!
Dua orang tua muda tersurut mundur beberapa tombak ke belakang. Keduanya ngos-ngosan mengatur nafasnya yang memburu. Puluhan jurus beradu ilmu beladiri, membuat keduanya terlihat kelelahan.
"Kau sudah mulai lumayan juga, Airlangga. Kau bisa membuat ku sampai lelah seperti ini. Hebat juga kau..", ucap lelaki tua berjanggut putih panjang itu sembari mengusap peluh yang membasahi dahinya yang keriput.
"Ini semua karena ajaran guru. Jika bukan karena ketelatenan guru mengajari saya yang bodoh ini, mana mungkin saya bisa menguasai ilmu beladiri setinggi ini?", ucap si pemuda tampan bertubuh tegap berpakaian bangsawan dengan mahkota kecil berhias permata yang baru saja berusia sekitar 16 tahun ini menghormat pada sang lelaki tua.
"Tapi ingat untuk tetap waspada. Jangan sampai terpecah perhatian mu saat bertarung melawan musuh.."
Selepas berkata demikian, si lelaki tua berjanggut putih panjang itu melesat cepat kearah si pemuda tampan itu sembari mengayunkan tongkatnya. Si pemuda tampan yang dipanggil dengan nama Airlangga ini dengan cepat berkelit lincah menghindari hantaman tongkat kayu gurunya.
Namun tiba tiba saja tubuh lelaki tua itu menghilang dan dalam sekejap mata kemudian sudah muncul di samping Airlangga sambil menyodokkan tongkatnya ke arah pinggang sang murid.
Dhhhuuuuuuggggg!
Aaauuuuggggghhhhh!!!
Airlangga yang tidak siap dengan serangan cepat itu, langsung jatuh tengkurap ke tanah sembari menyusruk rerumputan. Bajunya pun langsung kotor penuh rumput dan lumpur. Melihat hal itu, lelaki tua berjanggut panjang itu terkekeh kecil.
Hehehehe..
"Makanya jangan sampai lengah. Ingat, lawan mu bisa menggunakan segala cara untuk menjatuhkan mu. Kau harus lebih waspada..", ucap guru Airlangga ini sambil mengelus jenggotnya yang panjang.
"Guru main curang dengan menggunakan Ilmu Langkah Dewa Kilat. Kalau tahu Guru akan memakai ilmu itu, aku pas..
Plleeeetttaaakkkk!
Aduhhh, kenapa guru memukul kepala ku?", Airlangga belum menyelesaikan omongannya saat gurunya memukul kepala nya dengan ujung tongkat kayu nya.
"Makanya aku bilang waspada, jangan sampai lengah..
Ini sudah siang. Waktunya kita makan. Ayo pulang ke rumah..", ucap lelaki tua berjanggut panjang itu sembari melangkah meninggalkan tempat itu. Airlangga sambil mendengus lirih karena sedikit kesal dengan ulah gurunya itu, mengelus kepala nya yang benjol pun segera mengikuti langkah sang guru sambil bersungut-sungut kesal.
*****
Ratu Gunapriya Darmapatni termangu menatap lembaran daun lontar yang ada di telapak tangannya. Ada rasa yang tak bisa terungkapkan di mulut ratu cantik yang memiliki nama gadis Mahendradatta ini. Namun, bagaimanapun juga, sebagai keturunan langsung dari Makutawangsawardhana, dia juga memiliki kewajiban untuk menjaga tetap tegaknya dinasti Isyana di Bhumi Medang Kamulan.
Dulu dia begitu marah dengan keputusan ayahnya Sri Maharaja Makutawangsawardhana saat mengirimkannya ke Kerajaan Dalem Bedahulu agar menjadi simbol kekerabatan Dinasti Isyana atas dinasti Warmadewa di Balidwipamandala. Dia bahkan bersumpah untuk tidak akan menginjak Tanah Jawadwipa lagi saking marahnya pada sang ayahanda.
Akan tetapi dia akhirnya menyadari bahwa keputusan sang ayahanda untuk mengirimkannya ke Pulau Bali bertujuan untuk menyebarkan Dinasti Isyana agar tetap lestari sebagai penguasa Bhumi Jawadwipa yang dihormati meskipun harus bercampur dengan Dinasti Warmadewa yang menjadi penguasa pulau ini.
Setelah menikah dengan Dharma Udhayana salah seorang pangeran dari Dinasti Warmadewa, nyatanya kehidupan Ratu Gunapriya Darmapatni justru malah bahagia. Dari pernikahan nya dengan Prabu Dharma Udhayana, tiga orang putra telah dia lahirkan sebagai calon penerus tahta Kerajaan Bedahulu yang juga memiliki hak atas tahta Kerajaan Medang Kamulan di Jawadwipa.
Putra sulungnya yang juga merupakan calon utama penerus tahta Kerajaan Bedahulu, Airlangga merupakan putra kesayangannya. Meskipun Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu juga menjadi permata hati nya akan tetapi Airlangga lah yang paling dia sayangi.
Nawala daun lontar yang baru saja Ratu Gunapriya Darmapatni terima, datang dari Kerajaan Medang Kamulan. Surat itu datang dari sang kakak, Prabu Dharmawangsa Maharaja Medang Kamulan di Wuwatan, yang isinya meminta agar salah satu putra Mahendradatta dijodohkan dengan putri bungsu dari dua putri yang dia miliki.
Asal diketahui bahwa putri sulung Prabu Dharmawangsa telah menikah dengan Prabu Jayabhupati, Penguasa Kerajaan Galuh Pakuan. Ini adalah strategi politik yang dilakukan oleh Prabu Dharmawangsa untuk membendung meluasnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya kala itu yang menjadi ingin menjadi penguasa nomor satu di wilayah Nusantara.
Sedangkan sang putri bungsu dari dua bersaudara itu, Galuh Sekar, yang juga merupakan yang paling cantik diantara mereka berdua, seyogyanya nanti akan menjadi pewaris tahta Kerajaan Medang Kamulan. Namun Prabu Dharmawangsa tidak ingin ada pihak lain yang masuk dalam kekerabatan Dinasti Isyana hingga dia memutuskan untuk menyurati saudara kandung nya yang ada di Bedahulu agar bersedia menjodohkan putra mereka dengan Galuh Sekar.
"Kita harus menerima permintaan ini, Ratu ku..
Darah Wangsa Isyana harus tetap lestari sebagai penguasa Bhumi Jawadwipa. Terlebih lagi, putra kita Airlangga telah berusia 2 windu. Sudah cukup umur untuk menjadi calon penerus tahta Kerajaan Medang Kamulan.
Aku tahu bahwa dia adalah putra kesayangan mu, Dinda Ratu. Akan tetapi, dengan pernikahan ini selain menjaga tegaknya kekuasaan Dinasti Isyana, juga akan memberikan kehormatan besar bagi Dinasti Warmadewa karena salah satu keturunannya menjadi penguasa Pulau Jawa. Aku sangat mendukung rencana ini ", ucap Prabu Dharma Udhayana sambil tersenyum simpul.
"Aku tahu itu, Bli Prabu..
Berat rasanya berpisah dengan Airlangga. Rasanya baru kemarin dia bermain di pangkuan ku dan sekarang aku harus merelakan dirinya untuk pulang ke tanah leluhur ku", ucap Ratu Gunapriya Darmapatni sembari menyeka air mata yang mulai keluar dari sudut matanya yang indah.
"Dharma seorang ksatria adalah menjadi penjaga kehormatan leluhur nya, Dinda Ratu..
Relakan lah dan berdoalah kepada Hyang Dewata Yang Agung, dia selalu ada dalam lindungan Nya", ucap Prabu Dharma Udhayana sambil tersenyum penuh arti. Ratu Gunapriya Darmapatni pun menghela nafas berat sebelum ikut tersenyum.
Sementara di sisi barat Kerajaan Bedahulu, tepatnya di pesisir pantai barat, seorang pemuda tampan sedang asyik memacu kuda putihnya melintasi tepi pantai yang berpasir putih. Melihat dari pakaian nya, bisa dipastikan bahwa ia adalah seorang bangsawan. Beberapa perhiasan emas dan mutiara nampak menghiasi tubuhnya termasuk sebuah mahkota berhias permata kecil di dahi yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pangeran.
Di tepi tebing bukit batu yang menjulang di tepi pantai, sang pemuda tampan itu, Airlangga, menghentikan langkah kaki kuda nya. Di sebelah tebing bukit batu ini terdapat sebuah puri kecil yang indah. Beberapa orang nampak sedang duduk di puri kecil itu seperti sedang membicarakan sesuatu. Kesana lah sang pemuda tampan itu menuntun kudanya.
Setelah mengikat tali kekang kudanya di samping kanan puri kecil yang indah ini, sang pemuda tampan itu segera berjalan masuk ke dalam puri. Beberapa orang pun langsung menghormat pada sang pemuda tampan itu sedangkan seorang lelaki tua dengan pakaian brahmana nampak mengangkat tangan kanannya sebagai tanda restu sambil tersenyum simpul pada sang pemuda.
"Paman Mapatih Gunadharma...
Ada hal apa yang membuat mu mengunjungi tempat pembelajaran ku? Bukankah aku masih belum diketahui memiliki hak atas tahta Kerajaan Bedahulu?", ujar pemuda berparas tampan itu segera.
Yang disebut sebagai Mapatih Gunadharma itu, seorang lelaki tua dengan tampang yang licik, segera tersenyum lebar sembari menghormat pada sang pemuda tampan.
.
"Gusti Pangeran Airlangga salah paham...
Hamba kemari bukan untuk mencari masalah dengan Gusti Pangeran. Akan tetapi hamba diutus kemari oleh Gusti Ratu Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Darmapatni untuk menyampaikan berita gembira untuk Gusti Pangeran. Pamanda Gusti Pangeran Airlangga, Prabu Dharmawangsa di Tanah Jawadwipa, berkenan untuk mengambil menantu Gusti Pangeran. Itu artinya, kelak Gusti Pangeran Airlangga lah yang kelak akan menjadi raja di Kerajaan Medang meneruskan Dinasti Isyana sebagai penguasa Bhumi Nusantara ini", ucap Mapatih Gunadharma itu segera.
Pangeran muda itu segera menghela nafas berat. Sekalipun ia pernah mendengar kasak kusuk tentang dirinya sebagai anak haram Ratu Gunapriya Darmapatni dari lelaki lain saat datang ke Kerajaan Bedahulu akan tetapi dia di rawat oleh Prabu Dharma Udhayana sejak lahir. Dia tahu bahwa alasan mengapa dia tidak segera diangkat menjadi putra mahkota Kerajaan Bedahulu berhubungan dengan desas desus itu. Banyak orang di Bedahulu menaruh perasaan tidak suka dengan pemerintahan Ratu Gunapriya Darmapatni yang berasal dari keluarga Dinasti Isyana di Kerajaan Medang Kamulan hingga mereka sengaja menebar kebencian terhadap pemerintahan Ratu Gunapriya Darmapatni dengan menggaungkan fitnah kejam ini.
Alasan lain mengapa ibunya Ratu Gunapriya Darmapatni memilih untuk menyetujui pernikahannya dengan putri Prabu Dharmawangsa pun pasti juga berkaitan dengan hal itu. Akan tetapi sebagai anak yang patuh kepada orang tua dan demi masa depan adiknya Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu, Airlangga pun langsung mengangguk mengerti.
"Aku tidak keberatan dengan perintah dari Biyang Ratu Gunapriya Darmapatni, Paman Mapatih.
Guru Maharesi Batara Satyaguru...
Kiranya sudah cukup pembelajaran yang guru berikan kepada murid. Jika kelak Dewata Yang Agung memberikan kesempatan kepada kita untuk berjumpa kembali, mohon guru tidak melupakan saya sebagai murid pertapaan ini", Airlangga segera membungkuk hormat kepada orang tua yang dia sebut sebagai Maharesi Batara Satyaguru itu setelah usai berbicara.
"Bijaklah dalam berucap dan membawa diri, Nakmas Pangeran..
Dewata Yang Agung pasti akan selalu melindungi semua langkah mu di Bumi Jawadwipa. Kau masih muda, langkah mu masih sangat panjang. Aku percaya kecerdasan mu akan selalu menjadi keunggulan mu dalam semua hal", ucap Maharesi Batara Satyaguru mengakhiri petuah bijak nya. Airlangga mengangguk mengerti mendengar nya.
Hari itu juga, Airlangga pulang ke Kotaraja Bedahulu. Saat hari menjelang malam, sampailah ia dan rombongannya di Istana Kotaraja Bedahulu. Kedatangan nya langsung disambut gembira oleh Ratu Gunapriya Darmapatni.
Pada malam hari nya, Ratu Gunapriya Darmapatni memberikan banyak petuah bijak untuk sang putra pertama yang akan meninggalkan negeri itu untuk selamanya. Berbagai macam petunjuk dan sebuah keris pusaka diberikan oleh Ratu Gunapriya Darmapatni kepada Airlangga.
"Ingat putra ku...
Saat kelak kau mewarisi tahta Kerajaan Medang dari Kakang Prabu Dharmawangsa, kau harus menjadi raja yang adil dan bijaksana, mampu mengayomi rakyat dan menyejahterakan kehidupan mereka. Seorang raja adalah wakil dewa di dunia. Setiap tindakan raja harus berdasarkan kebenaran", ucap Ratu Gunapriya Darmapatni sembari tersenyum tipis.
"Ananda mengerti, Biyang Ratu..", jawab Airlangga sambil menghormat.
Malam itu menjadi malam terakhir Airlangga tinggal di Bedahulu. Karena sejarah telah mencatat bahwa semenjak malam itu, Airlangga tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di Bumi Balidwipamandala.
Ayam jantan berkokok lantang bersahutan menandakan bahwa pagi telah menjelang tiba di Kotaraja Bedahulu. Para penduduk Kotaraja yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Bedahulu ini pun mulai bergerak untuk melanjutkan kehidupan yang sempat terhenti kala malam menjelang tiba. Semuanya kembali melanjutkan cita dan mimpi yang mereka miliki untuk meniti jalan kehidupan yang lebih baik.
Airlangga sejenak menatap ke arah Ratu Gunapriya Darmapatni dan Prabu Dharma Udhayana yang berdiri di pintu gerbang istana bersama kedua adiknya Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu. Ada perasaan tidak rela meninggalkan tanah kelahirannya itu. Namun janji seorang ksatria pantang untuk diingkari. Dia menganggukkan kepalanya sekali sebelum mulai memacu kuda tunggangannya bersama rombongan pengantar dari Istana Kotaraja Bedahulu.
Untung saja cuaca hari ini cerah. Tanpa halangan yang melintang, tepat pada saat tengah hari rombongan itu sampai di Pelabuhan Gilimanuk. Sebuah kapal besar telah menunggu kedatangan mereka di dermaga pelabuhan. Beberapa orang prajurit dengan cepat memindahkan barang bawaan rombongan itu ke dalam kapal. Itu termasuk barang seserahan pernikahan yang dibawa dari Istana Bedahulu.
"Semuanya sudah siap, Gusti Pangeran", ucap nahkoda kapal besar yang akan menjadi pemimpin perjalanan laut Airlangga ke Bumi Jawadwipa. Airlangga mengangguk mengerti.
"Paman Mapatih Gunadharma..
Aku haturkan banyak terimakasih atas bantuannya selama ini. Mohon untuk selanjutnya, dukunglah Dhimas Marakata Pangkaja agar dia pantas dan layak untuk dijadikan sebagai penerus tahta Kerajaan Bedahulu. Airlangga pamit, mohon doa restunya.."
Usai berkata demikian, Airlangga pun segera melangkah menaiki tangga menuju geladak kapal jung ini. Bersama dengan 20 orang prajurit pengawal pilihan dan 15 anak buah kapal, Airlangga memulai perjalanan nya menuju ke Pulau Jawa.
Mapatih Gunadharma pun terus memperhatikan kapal jung besar itu yang mulai mengecil di cakrawala langit barat. Sebuah senyuman licik pun segera tersungging di bibirnya sebelum dia meninggalkan Pelabuhan Gilimanuk untuk kembali ke Istana Kotaraja Bedahulu.
Dua hari terapung di atas lautan, rombongan Airlangga akhirnya tiba juga di Pelabuhan Hujung Galuh yang menjadi pelabuhan terbesar di wilayah timur Kerajaan Medang. Untung saja, selama perjalanan mereka lancar-lancar saja tanpa ada rintangan yang berarti. Meskipun sempat di hantam badai sebelum memasuki Pelabuhan Hujung Galuh, namun nyatanya mereka berhasil juga berlabuh dengan selamat.
Airlangga sejenak mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Hiruk pikuk kehidupan pelabuhan dengan kesibukan para kuli panggul dan para saudagar menjadi pemandangan yang biasa ditempat ini. Jauh lebih ramai jika dibandingkan dengan Pelabuhan Gilimanuk.
Perlahan, Airlangga melangkah menuruni anak tangga kapal. Begitu menjejak dermaga, sebuah suara serak dengan nada tinggi terdengar dari belakang Airlangga.
"Wah siapa ini?!
Berani sekali berlabuh tanpa ijin dari ku..!!"
Airlangga pun langsung menoleh ke arah sumber suara. Sesosok laki-laki paruh baya bertubuh gempal dengan wajah penuh bekas luka dan kumis tebal nampak berdiri disana bersama dengan beberapa orang lelaki berwajah sangar dan tampilan menyeramkan.
Dia adalah Benggol. Orang orang Pelabuhan Hujung Galuh ini mengenalnya sebagai seorang pemalak dan pembuat onar yang sering mengganggu para pedagang asing maupun saudagar kaya yang berlabuh disini. Selain berwajah seram dan memiliki kepandaian ilmu beladiri, Benggol nyatanya adalah sanak saudara dari Syahbandar Pelabuhan Hujung Galuh, Mpu Tanu, hingga para petugas keamanan di pelabuhan Hujung Galuh pun enggan berurusan dengan nya dan cenderung membiarkan sikap Benggol yang sering bertindak diluar batas kemanusiaan. Bukannya takut pada Benggol, tapi mereka malas berurusan dengan Mpu Tanu yang terkenal sangat melindungi keluarganya.
"Bukankah ini adalah pelabuhan terbuka yang bebas dari pajak dan ijin milik Kerajaan Medang, Kisanak?
Kenapa aku tidak pernah mendengar tentang ijin dari mu sebelumnya?", jawab Airlangga sambil mengelus dagunya.
"Bebas pajak kata mu?!
Hehehehe, sepertinya orang asing seperti mu belum pernah sekalipun menjejakkan kaki di pelabuhan Hujung Galuh ini jadi pantas saja tidak tahu apa aturan yang berlaku disini. Heh pemuda bau kencur, buka lebar-lebar telinga mu. Daerah ini adalah wilayah kekuasaan Benggol, Si Tangan Besi.
Cepat berikan aku sepuluh kepeng perak sebab jika tidak, kau tanggung sendiri akibat nya..!!", lelaki bertubuh gempal dengan kumis tebal itu mengepalkan tangannya erat-erat di depan wajah Airlangga sembari mendelik kereng pada pemuda tampan itu.
"Kalau aku menolak?", ucap Airlangga tanpa kenal takut.
"Huh, berani juga kau rupanya. Kalau begitu, jangan menyesali apa yang sudah kau lakukan.
Bocah-bocah, hajar dia!!", Benggol segera menggerakkan tangannya sebagai isyarat kepada para pengikutnya untuk bergerak. Empat orang lelaki bertubuh kekar dengan wajah sangar itu pun segera mengepung Airlangga dari berbagai arah. Tanpa menunggu lama, mereka berempat pun segera menerjang maju ke arah sang pangeran dari Bali ini.
Seorang lelaki bertubuh kekar dengan bekas luka di dagu, dengan cepat melayangkan pukulannya ke arah kepala Airlangga.
Whhhuuuuuggggghhhh!
Sang pangeran muda ini segera berkelit menghindari hantaman tangan lelaki itu dengan bergerak ke arah samping kiri. Lalu dengan cepat ia memutar tubuhnya sembari melesakkan sebuah tendangan cepat kaki kiri ke arah pinggang lawannya.
Bhhhuuuuuuggggh..
Oooouuuuuuggggghhhhh!!
Kerasnya tendangan pangeran muda yang bertubuh kekar itu membuat si lelaki berwajah sangar tadi seketika tersungkur menyusruk lantai dermaga pelabuhan. Dua orang kawannya yang melihat hal itu pun segera melompat maju ke arah Airlangga sambil melayangkan tendangan dan hantaman dari dua sisi yang berbeda.
Whhhuuuuuggggghhhh whhhuuuggghhhh..
Dengan cepat, Airlangga menjejak tanah dengan keras lalu melenting ke udara sambil berputar cepat hingga dua serangan lawan yang mengincar kepala dan pinggangnya pun hanya menghantam udara kosong saja. Dari atas, Airlangga mendarat turun tepat di atas pundak kedua penyerangnya dan dengan cepat melayangkan kedua lengan nya ke arah kepala mereka.
Dhhaaashh dhhaaaassshhh...
Aaauuuuggggghhhhh!!!
Raungan keras tertahan terdengar dari mulut kedua anak buah Benggol ini setelah hantaman lengan kiri kanan Airlangga menghajar wajah mereka. Keduanya segera terjungkal dengan wajah lebam dan satu gigi rompal.
Asal tahu saja, Airlangga telah di didik oleh Maharesi Batara Satyaguru dengan berbagai macam ilmu silat yang merupakan bekal nya sebagai seorang pangeran dan ksatria. Selain ilmu tata pemerintahan dan ilmu agama yang mumpuni, Airlangga cukup cerdas menyerap ilmu silat yang diajarkan oleh guru nya. Meskipun belum sempat tahap akhir, namun Airlangga cukup mahir dalam bertarung dengan tangan kosong maupun dengan senjata.
Pengikut Benggol yang terakhir langsung mencabut golok di pinggangnya sebelum melesat ke arah Airlangga. Dengan penuh nafsu membunuh, dia segera mengayunkan senjatanya ke arah leher sang pangeran muda.
Shhhrrrreeeeettttth!!!
Airlangga merendahkan tubuhnya menghindari sabetan golok milik lawan. Dia juga segera membuat gerakan memutar dengan kaki kanan nya menyapu pijakan lawan. Si pengikut Benggol pun segera melompat untuk menghindari serangan balik Airlangga. Dia lolos dari sergapan cepat Airlangga akan tetapi tidak secepat itu.
Begitu serangannya berhasil di hindari, Airlangga membanting tubuh nya ke arah lawan dan melayangkan hantaman cepat kearah lawan yang baru saja menginjak tanah.
Bhhhuuuuuuggggh..
Aaaarrrgggggghhhhh!!
Pekik tertahan terdengar dari mulut pengikut Benggol yang harus terjungkal usai menerima hantaman keras sang pangeran muda. Melihat para pengikut nya dijatuhkan dengan mudah oleh Airlangga, Benggol mendengus dingin sembari melompat maju ke arah pemuda tampan itu usai mencabut pedang yang ada di pinggangnya.
"Mampus kau, keparat..!"
Sembari memaki-maki Airlangga, Benggol membabatkan pedang nya ke arah Airlangga. Pertarungan sengit antara mereka pun segera terjadi.
Para prajurit dari Kerajaan Bedahulu yang sedang menurunkan barang bawaan mereka dari Balidwipamandala, menghentikan pekerjaan nya begitu banyak orang berlari menuju ke arah pertarungan sengit antara Benggol dan Airlangga. Orang-orang yang penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi ini karena sering mendapat penindasan dari Benggol, benar-benar berharap agar Airlangga bisa memberi pelajaran pada pembuat onar ini.
"Bli Jelantik,
Kemana Gusti Pangeran Airlangga? Kenapa tidak ada di dalam kapal?", tanya seorang prajurit yang memanggul peti kayu dari atas geladak kapal jung pada seorang lelaki bertubuh kekar dengan kumis tipis yang merupakan pimpinan para prajurit pengawal dari Kerajaan Bedahulu. Namanya adalah Jelantik.
Seketika itu juga, Jelantik tersadar akan hal itu. Dengan cepat kecemasan melanda hati nya setelah ia menghubungkan antara kabar hilangnya Pangeran Airlangga dengan pertarungan sengit yang menjadi tontonan bagi para pekerja di Pelabuhan Hujung Galuh.
"Kau dan kau, ikuti aku...", ucap Jelantik segera. Ketiganya pun segera bergegas menuju ke arah pertarungan yang menjadi tontonan bagi para warga Pelabuhan Hujung Galuh ini. Setelah menerobos kerumunan orang yang menonton, apa yang menjadi kekhawatiran Jelantik pun terjadi.
Nampak Benggol telah menerima beberapa pukulan dan tendangan dari Airlangga. Beberapa bagian wajah nya nampak bengkak dan lebam. Meskipun sudah dibantu oleh para pengikutnya, namun kepandaian ilmu silat milik Airlangga bukanlah lawan yang sepadan dengan kemampuan beladiri yang mereka miliki.
Memang, semenjak menginjak usia remaja, Airlangga gemar sekali menuntut ilmu. Gurunya saja sampai kewalahan menghadapi pangeran muda ini karena rasa ingin tahunya yang tinggi. Karena itu, walaupun baru saja menginjak usia 16 tahun, pangeran muda ini telah menguasai ilmu silat yang cukup tinggi kendati masih belum bisa dikatakan sebagai seorang jagoan dunia persilatan. Karena itu, mudah saja baginya untuk menghajar si pemalak seperti Benggol dan kawan-kawan.
Bhhhuuuuuuggggh bhhhuuuuuuggggh..
Auuuggghhhhh!!
Benggol meraung keras setelah dua tendangan beruntun menghajar punggung nya. Pemalak yang sangat meresahkan masyarakat di sekitar Pelabuhan Hujung Galuh ini langsung terjungkal menyusruk dermaga pelabuhan. Wajah nya pun semakin terlihat buruk akibat luka parut pada dahi dan pipinya yang tergores kayu kayu lantai dermaga.
Bersamaan dengan itu, sepasukan prajurit datang bersama dengan Mpu Tanu sang kepala pelabuhan Hujung Galuh.
"Hentikan semua ini ..!!"
Benggol segera menoleh ke arah Mpu Tanu. Begitu melihat kerabatnya itu datang, sebuah seringai licik terukir di wajahnya. Segera ia bangkit dari tempat jatuhnya dan berjalan dengan terpincang-pincang ke arah Mpu Tanu.
"Paman Tanu Paman Tanu..
Bajingan itu sudah menganiaya ku. Lihatlah bagaimana ada luka di wajah dan kepala ku. Kau harus memberikan keadilan untuk ku..", rengek Benggol seperti seorang anak kecil. Mpu Tanu mendengus keras mendengar omongan Benggol dan langsung menatap tajam ke arah Airlangga.
"Kau yang memukuli keponakan ku?!"
"Dia sendiri yang memancing keributan. Aku hanya membela diri saja", ucap Airlangga tanpa rasa takut sedikitpun.
Phhuuuiiiiiihhhhh..
"Bocah kemarin sore, besar sekali nyali mu ya? Ini adalah wilayah kekuasaan ku, Mpu Tanu, kepala pelabuhan Hujung Galuh. Semua yang terjadi di tempat ini, harus melalui ijin ku dan aku tidak mengijinkan siapapun orang nya bertindak kasar pada keponakan ku ini", ucap Mpu Tanu penuh kesombongan.
"Jadi apa aku harus diam saja saat dia memalak ku, Pak Tua?", tanya Airlangga kemudian.
"Sedikit uang yang keluar, tentu tidak akan memberatkan semua orang. Yang lain juga tidak keberatan menyerahkan sedikit uang nya untuk keponakan ku.
Benar bukan?", Mpu Tanu mengedarkan pandangannya pada semua orang yang menonton apa yang sedang terjadi. Mereka semua nampak sedikit menunduk seperti memiliki ketakutan tersendiri pada lelaki tua berpakaian serba mewah ini.
Beberapa orang bercaping bambu yang tertarik dengan keributan yang sedang terjadi, ikut mendengarkan semua omongan Mpu Tanu. Salah seorang diantara mereka langsung menggeram keras sembari mengepalkan tangannya erat-erat.
"Sebagai pejabat negara, tidak sepantasnya kau bersikap seperti itu, Pak Tua. Kau tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat hanya karena membela seorang kerabat yang telah berbuat kesalahan.
Jika aku yang menjadi atasan mu dalam tata pemerintahan Kerajaan Medang ini, aku sudah pasti akan mencopot mu dari jabatan mu sekarang ini", ucap Airlangga dengan tegas.
Hahahahahahahaha...
"Mencopot ku dari jabatan ku?
Tak satupun orang yang berani untuk mencopot ku dari kedudukan ku ini, bocah tengik! Bahkan Gusti Adipati Mapanji Garungwangi, Adipati Hujung Galuh saat ini pun akan berpikir seribu kali untuk melakukannya.
Sekarang, enyahlah kau ke neraka!!"
Mpu Tanu memutar telapak tangan kanan nya dan sebuah cahaya kuning redup dengan asap putih tipis tercipta di telapak tangannya. Lalu secepat kilat dia menghantamkan nya ke arah Airlangga.
Whhhuuuuuggggghhhh...
Saat itulah, sesosok bayangan berkelebat cepat kearah serangan cepat ke arah serangan Mpu Tanu dan memapak nya dengan tapak tangan kanannya yang berwarna merah menyala seperti api.
Blllaaammmmmmmm...!!!
Ledakan dahsyat terdengar. Mpu Tanu tersurut mundur beberapa langkah ke belakang dan menatap ke arah sesosok lelaki paruh baya bertubuh tegap yang kini berdiri di depan Airlangga. Mata Mpu Tanu langsung melebar kala mengetahui siapa orang yang berdiri di hadapannya.
"Jika aku yang ingin mencopot kedudukan mu, apa masih tidak bisa?!", ucap lelaki paruh baya bertubuh tegap itu sembari menatap tajam ke arah Mpu Tanu.
"Eh eh Gus-Gusti Senopati Cakrajaya..
Bu-bukan begitu maksud hamba. Tadi tadi itu hanya bercanda. Mohon tidak diambil hati..", kata Mpu Tanu penuh dengan ketakutan. Lelaki paruh baya yang merupakan salah satu dari beberapa perwira tinggi prajurit Kerajaan Medang yang kondang dengan kesaktiannya.
"Kau begitu jumawa dengan kekuasaan yang kau miliki dan sewenang-wenang terhadap orang yang tidak bersalah. Aku akan menemui Adipati Hujung Galuh untuk meminta pertanggungjawaban dari semua tindak-tanduk mu ini", lemas dengkul Mpu Tanu mendengar penuturan Senopati Cakrajaya. Dia hampir saja terduduk lemas andai saja Benggol tidak segera menahan tubuhnya.
"Anak muda, kau sepertinya bukan orang dari Tanah Jawadwipa ini. Darimana asal mu? Dan kemana tujuan mu?", Senopati Cakrajaya mengalihkan pandangannya pada Airlangga.
Mendengar pertanyaan dari orang yang yang telah membantu nya, Airlangga segera menjawab pertanyaan itu dengan sopan,
"Saya datang dari Kerajaan Bedahulu di Pulau Bali. Saya datang kemari atas perintah dari Biyang Ratu Gunapriya Darmapatni,
Untuk memenuhi permintaan Gusti Prabu Dharmawangsa..."
"Dari Kerajaan Bedahulu?
Jangan-jangan kamu adalah orang yang akan menjadi suami Gusti Putri Galuh Sekar?", tanya Senopati Cakrajaya yang tidak bisa menyembunyikan lagi rasa keterkejutannya.
Belum sempat Airlangga menjawab, Jelantik melangkah maju mendekati Airlangga dan Senopati Cakrajaya. Dia segera menghaturkan sembah pada Airlangga sebelum berbicara.
"Beliau memang Pangeran Airlangga, putra sulung Gusti Prabu Dharma Udhayana dan Gusti Ratu Gunapriya Darmapatni, penguasa Kerajaan Bedahulu. Beliau datang ke Tanah Jawadwipa untuk dinikahkan dengan Gusti Putri Galuh Sekar, Gusti Senopati...", sahut Jelantik segera.
Mendengar penuturan Jelantik, semua orang terkejut bukan main. Tak hanya Senopati Cakrajaya, Mpu Tanu dan Benggol benar-benar tidak menduga bahwa orang yang hampir mereka celakai adalah calon menantu dari Raja Kerajaan Medang Kamulan.
Keduanya segera berlutut dan menyembah pada Airlangga.
"Ampuni kami Gusti Pangeran...
Kami benar-benar tidak tahu jika berhadapan dengan calon menantu dari Gusti Prabu Dharmawangsa. Kami benar-benar bodoh. Mohon ampuni kami...", ucap Mpu Tanu segera.
"Gusti Pangeran...
Silahkan beri jawaban untuk mereka. Saya tidak akan ikut campur dalam urusan ini", ucap Senopati Cakrajaya sembari menatap ke arah Airlangga. Semua orang pun langsung ikut menatap ke arah pangeran muda dari Nusa Bali ini. Berbagai pertanyaan muncul di benak semua orang tentang apa yang akan di lakukan oleh Airlangga untuk membalas kesombongan Mpu Tanu dan Benggol.
Hemmmmmmm...
"Aku datang ke Pulau Jawa ini bukan untuk mencari musuh atau menciptakan musuh akan tetapi aku ingin membangun sebuah hubungan baik dengan semua orang.
Mereka berdua menjadi angkuh dan sombong, itu karena tidak mengenal ku juga tidak mendapatkan pengawasan dari atasannya. Jadi jika ingin membenahi sikap mereka, maka harus ada pihak yang bertanggung jawab. Kali ini aku akan mengampuni mereka berdua tapi jika di lain waktu mereka kedapatan berbuat seperti ini lagi, aku pasti akan menjatuhkan hukuman berat untuk mereka", ucap Airlangga dengan tegas dan penuh kewibawaan.
Semua orang pun langsung mengagumi sikap pengampun sekaligus kewibawaan nya.
"Terimakasih atas pengampunan nya, Gusti Pangeran..
Kami berjanji tidak akan berbuat seperti ini lagi. Terimakasih Gusti Pangeran, terimakasih..", ucap Mpu Tanu sembari bersujud kepada Airlangga diikuti Benggol dan kawan-kawan nya.
Selepas drama ini selesai, Senopati Cakrajaya bersama para prajurit Medang Kamulan yang menyamar pun segera mengawal rombongan pangeran muda dari Nusa Bali ini. Mereka meninggalkan pelabuhan Hujung Galuh hari itu juga agar secepatnya sampai di Kotaraja Wuwatan yang ada di sebelah barat.
Kebetulan saja saat itu tugas Senopati Cakrajaya sudah rampung. Dia baru saja mengantarkan utusan dari Negeri Gurun ( Lombok saat ini ) yang baru saja bertemu dengan Prabu Dharmawangsa di Kotaraja Wuwatan. Saat itu, Prabu Dharmawangsa memang sedang giat menjalin hubungan baik dengan negeri negeri tetangga Kerajaan Medang untuk membendung meluasnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya dari Suvarnabhumi atau Pulau Andalas yang sedang berada di puncak kejayaannya sebagai negeri maritim besar di wilayah barat Nusantara.
Sebagai penerus dari Balaputradewa yang terusir dari Kerajaan Mataram Kuno, Sri Marawiyottunggawarman ingin merebut kembali tanah leluhur nya yang kini telah menjadi kekuasaan Dinasti Isyana. Dia banyak memberikan dukungan kepada para pemberontak di Tanah Jawadwipa terutama di sekitar wilayah Galuh Pakuan dan Kerajaan Medang agar mereka membuat kekacauan dengan harapan bisa melemahkan kekuatan dua kerajaan terbesar di Tanah Jawadwipa ini agar mudah untuk menguasainya.
Menyadari rencana besar dari Raja Sriwijaya ini, Prabu Dharmawangsa pun tidak tinggal diam. Dia pun menjalankan politik kekerabatan untuk memperkuat diri. Saat itu, dia menikahkan putri sulungnya dengan Prabu Jayabhupati penguasa Kerajaan Galuh Pakuan agar kedua kerajaan ini bisa bekerjasama saat serangan Sriwijaya datang. Strategi ini cukup berhasil membuat Sriwijaya yang semula begitu gencar melakukan pendekatan pada Galuh Pakuan, memilih berganti taktik dalam upaya menaklukkan Kerajaan Medang.
Kembali pada perjalanan Airlangga, selepas meninggalkan Pelabuhan Hujung Galuh, mereka semua terus bergerak menuju ke arah barat, menyusuri sisi selatan Sungai Kapulungan. Menjelang senja hari tiba, mereka tiba di sebuah hutan lebat yang bernama Hutan Tarik.
"Pangeran Airlangga..
Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan lagi perjalanan kita. Lihatlah, matahari sudah hampir terbenam di ufuk barat. Kita terpaksa harus bermalam di sini", ujar Senopati Cakrajaya sembari menunjuk ke arah langit barat yang nampak telah memerah sebagai tanda bahwa sebentar lagi malam akan segera tiba. Para kelelawar yang terbang kesana-kemari mencari mangsa pun juga menjadi penanda bahwa tak lama lagi dunia akan menjadi gelap gulita.
"Kau benar, Gusti Senopati..
Sebaiknya kita bermalam saja di tempat ini. Tak baik jika memaksakan diri untuk meneruskan perjalanan dalam keadaan gelap", jawab Airlangga segera. Dia segera melompat turun dari kudanya begitu juga dengan Senopati Cakrajaya. Para pengikut mereka pun segera mengikuti langkah sang pimpinan.
Jelantik segera menyuruh bawahannya untuk mengumpulkan kayu kering sebagai bahan baku api unggun untuk menghangatkan badan dari dinginnya udara malam itu. Sementara beberapa lainnya menyiapkan makanan kering yang sudah dipersiapkan sebelumnya sebagai bekal untuk perjalanan jauh. Begitu juga dengan para pengikut Senopati Cakrajaya.
Senja dengan cepat digantikan oleh malam. Suara jangkrik dan belalang terdengar bersahutan seakan bernyanyi di tengah keheningan malam Hutan Tarik. Beberapa kali terdengar suara burung hantu yang bertengger di ranting pohon besar di atas tempat bermalam rombongan Airlangga.
Malam itu, Senopati Cakrajaya mencoba untuk menyelami kepribadian Airlangga dengan banyak mengutarakan pertanyaan sembari berdiang menghangatkan tubuh dari udara dingin yang menusuk tulang. Sang pangeran muda itu dengan ramah dan sopan menjawab pertanyaan-pertanyaan Senopati Cakrajaya. Dari situlah, perwira tinggi prajurit Kerajaan Medang ini bisa memahami perwatakan dari calon suami Putri Galuh Sekar ini.
Tiba-tiba saja, Senopati Cakrajaya menghentikan omongannya saat dia mendengar suara ranting kering patah diinjak oleh sesuatu. Hutan Tarik menyimpan banyak sekali hewan buas karena keasriannya. Tak hanya harimau Jawa, bahkan serigala dan babi hutan pun masih banyak di tempat itu.
Kreeekk kleeekkhh...
Suara dahan kering patah terinjak ini semakin lama semakin mendekat. Senopati Cakrajaya pun segera memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk bersiap menghadapi segala sesuatu. Suasana tegang pun seketika menyelimuti seluruh tempat itu.
Dari arah selatan, sesosok bayangan melangkah mendekati tempat itu. Ternyata itu adalah seorang pertapa dengan diiringi oleh 5 orang anak muda yang sepertinya adalah murid-murid nya.
Nampak wajah mereka yang sedikit kuyu menandakan bahwa mereka baru saja melakukan perjalanan jauh. Raut wajah lega pun langsung terlihat dari wajah semua orang yang ada di tempat itu melihat kemunculan mereka.
"Berhenti di situ!
Siapa kalian semua dan mau apa malam-malam begini keluyuran di tengah hutan?", hardik Jelantik sembari menatap tajam ke arah mereka.
"Permisi Kisanak..
Mohon maaf jika kedatangan saya dan murid-murid saya mengganggu kenyamanan kalian semua beristirahat. Aku Begawan Bagaspati. Ini murid-murid ku, Wanabhaya, Waringin, Narashima, Sakri dan Rungkat. Kami sedang dalam perjalanan pulang ke tempat tinggal kami di lereng Gunung Penanggungan. Kami kemalaman di jalan. Mohon kiranya dapat mengijinkan kami untuk ikut berdiang menghangatkan badan", ucap pertapa paruh baya itu segera.
Mendengar ucapan permohonan dari seorang pertapa itu, Senopati Cakrajaya menoleh ke arah Airlangga. Melihat Airlangga mengangguk tidak keberatan, Senopati Cakrajaya pun segera angkat bicara.
"Silahkan saja Begawan.. Masih banyak tempat di sini..
Kalau kalian mau, masih ada beberapa makanan kering yang bisa digunakan untuk mengganjal perut", ucap Senopati Cakrajaya sembari mempersilahkan rombongan itu untuk duduk bersama mereka.
Begitu mendengar omongan Senopati Cakrajaya, Begawan Bagaspati dan kelima orang muridnya itu segera duduk di depan api unggun. Sepertinya mereka benar-benar kedinginan karena udara malam di Hutan Tarik begitu dingin malam hari itu.
"Kalian ini darimana? Kenapa sampai kemalaman di tempat seperti ini?", tanya Senopati Cakrajaya sembari melirik ke arah mereka berenam.
"Sebenarnya, kami baru saja pulang dari acara pernikahan anak saudara seperguruan ku di Kambang Putih, Kisanak..
Di sana terjadi keributan besar karena ulah seorang pendekar yang ingin mempersunting anak dari saudara seperguruan ku itu. Dia membawa sejumlah besar pendekar untuk mengacaukan pernikahan itu hingga terjadi pertarungan sengit antara mereka.
Aku terpaksa harus menyelamatkan nyawa para murid ku karena mereka masih belum cukup kemampuan beladiri untuk menghadapi para pendekar dunia persilatan itu hingga sampai di tempat ini. Itulah cerita sebenarnya, Kisanak..", ucap Begawan Bagaspati sembari menghela nafas berat.
Senopati Cakrajaya melirik ke arah para murid Begawan Bagaspati dan memang benar beberapa bekas luka dan lebam masih menghiasi wajah dan tubuh mereka. Meskipun demikian, mereka tetap semangat menyantap makanan kering yang diberikan oleh para prajurit Bedahulu.
"Kalau begitu, beristirahat lah dengan tenang disini Begawan..
Urusan penjagaan, biar aku dan orang-orang ku yang melakukannya. Kalian semua pulihkan saja tenaga kalian", balas Senopati Cakrajaya sembari tersenyum tipis. Begawan Bagaspati pun mengangguk mengerti.
Namun ketenangan di tempat itu tidak berlangsung lama. Saat malam mulai merangkak naik pada puncaknya, tiba-tiba saja terdengar suara yang langsung membangunkan semua orang yang bermalam di tempat itu.
"Rupanya kalian bersembunyi disini ya?!!!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!