NovelToon NovelToon

Putri Mafia

Lelucon Finansial

Entah bagaimana, dengan kilatan cahaya aneh, aku tiba-tiba saja berada dalam dunia novel.

Bukan sebagai pahlawan super atau petualang berani, tapi sebagai karakter figuran dengan peran yang entah kenapa sangat kocak.

Aku adalah seorang putri dari mafia, kok iso?

Suasana tiba-tiba berubah ketika pelayan dengan penuh seriusnya mengetuk pintuku.

"Non, disuruh turun, makan malam bareng," ucapnya seolah-olah itu adalah hal yang lumrah.

Aku, dengan cepat seperti badut dalam pertunjukan sirkus, membuka pintu dengan ekspresi sok sopan.

"Makasih ya, mbak," ucapku dengan serius seolah-olah aku adalah putri seorang mafia sehari-hari.

"Iya, sama-sama, non," jawab pelayan dengan kikuk, seolah takut mencelakakan karakter figuran ini.

Dia menundukkan kepalanya, dan tanpa alasan yang jelas, aku juga ikut menundukkan kepalaku.

Semakin ia menunduk, semakin dalam pula aku menundukkan kepala, seolah berlomba-lomba menciptakan pertunjukan tunduk yang epic.

"Kamu ngapain?" tanya kak Candra, sosok ganteng yang terlihat seakan-akan selalu siap berpose untuk sampul majalah fashion.

Aku dan si pelayan, yang entah darimana munculnya, secara bersamaan menoleh ke arahnya.

Sayangnya, si pelayan lebih memilih untuk menundukkan kepala dan menghilang tanpa jejak.

"Ngapain tadi?" tanya kak Candra.

"Tadi mbaknya nundukin kepala, jadi aku ikut-ikut aja," jawabku, mencoba menjelaskan situasi aneh yang baru saja terjadi.

Kak Candra, yang seolah-olah sedang mengikuti audisi untuk menjadi model maskot permen karet, terlihat seperti sedang menahan tawa dengan setengah hati.

Matanya berkaca-kaca, dan seolah-olah dia sedang berjuang untuk tidak meledak dalam tawa.

Aku terus berusaha mempertahankan ekspresi seriusku, meskipun di mataku, kak Candra terlihat seperti sedang menahan eek.

Apakah dia akan terus bertahan atau akhirnya meledak dalam tawa?

Aku menunggu dengan antisipasi, menyadari bahwa kehidupan di dunia novel ini benar-benar penuh dengan kejutan kocak yang tidak terduga.

"Ayok turun," ajak kak Candra dengan nada dingin, seolah-olah cuaca di sini memang selalu dingin.

Aku hanya melongo, seakan-akan pertama kali melihat manusia ganteng tapi sengklek di dunia novel.

Sengklek atau tidak, tetap saja dia terlihat menarik dengan pose eksperi cool-nya.

Aku mengikutinya dengan langkah gontai, bertanya-tanya apakah semua anggota keluarganya akan se-hipster dan se-misterius kak Candra.

Saat aku sampai di meja makan, ternyata sudah berkumpul seluruh anggota keluarga. Ada Deddy bernama Arham, yang entah kenapa aku bayangkan seperti seorang pemain gitar di band indie.

Kakak pertama, Leon, yang tampaknya sibuk memainkan ponselnya dengan sangat antusias, dan kakak kedua, si dingin nan eksperi cool, Kak Candra.

Sementara itu, aku diperkenalkan sebagai Putri Halisa.

Sambil merenung, aku mencoba mencerna betapa anehnya kehidupan di dunia novel ini, di mana setiap orang sepertinya memiliki aura misteriusnya sendiri.

"Ayo makan," ucap Deddy, dengan semangat yang sedikit memecah keheningan.

Semuanya mengangguk seperti anak kucing yang tahu bahwa saat makan adalah waktu paling dinanti-nantikan.

Kak Leon, dengan wajah yang terlepas dari layar ponselnya, menyimpan gadget-nya.

Kami duduk di sekeliling meja makan dengan penuh eksistensi, namun makan dalam diam.

Seakan-akan keheningan ini adalah cara kami berkomunikasi di dunia novel yang tak terduga ini.

Suasana makan seperti diacuhkan, dan aku hanya bisa memperhatikan ekspresi misterius di wajah keluarga mafia ini.

Sambil menyantap hidangan, pikiranku melayang-layang, mencoba memahami lebih dalam tentang dunia ini.

Aku hanya seorang karakter figuran, tapi rasanya ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.

Apakah aku akan terlibat dalam intrik mafia atau mungkin jatuh cinta pada salah satu kakak-kakak tampan ini? Well, inilah dunia novel yang aneh.

Kami selesai makan, dan seperti keluarga mafia yang penuh misteri, kami langsung berkumpul di ruang keluarga.

Aku, seorang karakter figuran yang baru saja terperangkap dalam dunia novel ini, hanya bisa duduk di pojok sofa seperti tikus yang takut dimakan kucing.

Sejenak, aku merasa seolah-olah sedang menjadi bintang reality show ala mafia.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Leon dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

Semua mata dalam ruangan seketika tertuju padaku, seolah-olah aku adalah artis utama di acara ini.

Aku merasa seperti sedang diinterogasi oleh detektif-detective keren ala mafia.

"Ada masalah di sekolah barumu?" tanya Deddy dengan nada serius, mencoba meredam ketegangan.

Aku hanya memutar mata dan menjawab, "Enggak ada sama sekali," sambil menyajikan senyuman yang sepertinya lebih mirip senyuman kuda dari pada manusia.

Semua anggota keluarga menatapku dengan tatapan penuh selidik, seakan-akan mereka bisa membaca pikiranku yang sedang bergejolak.

Aku berpikir, apakah mereka menyadari bahwa aku bukan putri yang asli?

Mungkin mereka berpikir, "Ini putri mafia kita, ataukah hanya figuran yang kebingungan?"

Suasana tetap tegang, tapi ada kekocakan di dalamnya.

Aku terus berharap bahwa kehadiran absurdku di dunia novel ini bisa menambahkan sentuhan kocak pada kisah serius keluarga mafia ini.

Hanya waktu yang akan memberi tahu apakah aku akan menjadi elemen kocak yang dibutuhkan ataukah hanya menjadi bahan tertawaan keluarga mafia.

"Oh iya, Daddy lupa. Nanti Deddy transfer," tawanya.

Suasana sejenak terhenti, seolah-olah semua orang sedang menunggu bagaimana kelanjutan lelucon finansial ini.

"Ya elah, ngomong dong kalau galau karena kurang uang," ejek Kak Candra, memberikan komentarnya dengan nada sinis yang memancing gelak tawa dari anggota keluarga yang lain.

"Nanti Kakak tambah," ucap Kak Leon, sambil tertawa ngakak, memberikan saran yang terkesan lebih absurd dari pada situasi awalnya.

Ruangan penuh dengan tawa, seolah-olah keluarga ini adalah keluarga yang terobsesi dengan lelucon mengenai uang.

Aku hanya duduk di pojok sofa, mencoba menyelami dinamika keluarga ini yang penuh kekonyolan.

Entah apa yang membuat mereka tertawa seceria ini di tengah suasana serius seorang mafia.

Mungkin inilah yang membuat dunia novel ini begitu unik, di mana segala sesuatu bisa berubah menjadi bahan guyonan, bahkan ketika berbicara tentang uang dan transaksi keluarga mafia.

"Kamu kelamaan di asrama jadi aneh, tahu enggak," komentar Deddy tiba-tiba, menciptakan ketegangan dalam ruangan.

Aku hanya menatapnya bingung, seolah-olah baru kali ini mendengar bahwa keanehanku bisa dicium oleh anggota keluarga mafia ini.

"Aneh gimana?" tanyaku seperti orang linglung, mencoba mencari tahu lebih lanjut.

"Ya, aneh aja. Tampak lebih pendiam gitu. Padahal kamu tukang lawak," jawab Kak Candra, dengan wajah serius yang mendadak membuatku merasa seperti bocah yang ketahuan menyelinap ke dapur tengah malam.

"Hah?" bengongku, mencoba mencerna pernyataan absurd mereka.

Seketika, semuanya langsung tertawa, seolah-olah aku baru saja melakukan pertunjukan lawak spontan yang sangat kocak.

Aku merasa seakan-akan menjadi bahan tertawaan mereka.

Tanpa daya, aku langsung berlari menuju kamar, karena sudah tidak tahan lagi dengan kekacauan ini.

Sialnya, di tengah perjalanan, aku hampir saja jatuh di tangga.

Untungnya, kejadian itu tidak berakhir seperti adegan sinetron India, dengan guling-guling dan musik dramatis.

Aku hanya bisa berharap bahwa besok pagi, semua ini akan menjadi bagian dari kenangan lucu di dunia novel ini.

"Kamu enggak papa?" panik Deddy sambil berdiri, diikuti oleh kedua kakakku yang juga bersiap-siap menghampiriku.

Aku, dalam kepanikan, berteriak sekuat tenaga, "Enggak papa!" seolah-olah sedang memberikan pengumuman penting di tengah malam.

Aku langsung ngacir ke kamar dengan kecepatan luar biasa, seolah-olah sedang berpartisipasi dalam lomba lari cepat.

Saat tiba di depan pintu kamar, aku menutupnya dengan suara yang menggelengar, seolah-olah itu adalah suara pintu gerbang neraka yang baru saja tertutup.

Mungkin akan lebih baik jika aku bisa mengunci pintu, tapi sepertinya itu tidak ada di opsi dalam dunia novel ini.

Di dalam kamar, aku duduk di pinggir tempat tidur, mencoba menyusun kembali pikiranku yang kacau.

Aku berpikir, 'Apa yang sedang terjadi? Kenapa aku jadi pusat perhatian? Kenapa semuanya begitu kocak dan aneh?'

Sambil mencerna pertanyaan-pertanyaan itu, aku hanya bisa berharap bahwa esok pagi akan membawa kejelasan dalam petualangan absurdku di dunia novel ini.

Bukan Sundel Bolong

Pagi ini, rumah ini terasa sepi dan sunyi seperti adegan film horor yang sedang melibatkan hantu yang malas.

Aku duduk di meja makan, mencoba bersahabat dengan sepiring nasi dan lauk yang tampaknya juga kesepian.

"Mungkin ini saatnya aku mulai berbincang dengan sayuran," gumamku, mencoba menciptakan suasana akrab di meja makan.

Setelah menerima bekal dengan kehadiran yang sangat minim dari anggota keluarga mafia, aku melangkah keluar rumah dengan perasaan sepi dan bercampur aduk seperti smoothie buah yang tidak tercampur rata.

Naik ke dalam mobil, aku disambut oleh Mang Demon, si sopir dengan senyuman misteriusnya.

"Sampai di sekolah, ya, Mang," ucapku dengan penuh semangat, seolah-olah pergi ke sekolah adalah pilihan yang sangat menyenangkan.

"Makasih, Mang, pintunya dibukakan dengan begitu penuh gaya."

"Sama-sama, non," jawab Mang Demon sambil tersenyum misterius.

Aku berpikir, 'Mungkin dia adalah makhluk setengah manusia, setengah demon yang menyamar sebagai sopir. Tapi hei, dalam dunia novel, siapa tahu?'

Aku berjalan di koridor sekolah dengan penuh kepercayaan diri, menyadari bahwa banyak mata yang melirikku.

Tentu saja, aku tahu aku cantik kok, menyilaukan seperti matahari di tengah padang pasir.

Kulit glowing, rambut sepanjang air terjun, semuanya lengkap dengan aura yang membuatku seperti bintang pop yang berjalan di tengah sekolah.

"Put? Udah ngerjain PR belum?" tanya Beno, seorang pria yang diakui kegantengannya, tapi ya, tidak ganteng-ganteng amat. Dia juga sahabat dekat si antagonis, Kenzo.

"Udah," ucapku dengan sikap rendah hati, sembari menundukkan kepalaku seperti layaknya ratu yang memberi hormat pada subyeknya.

Karena di sebelahnya, ada Kenzo, si antagonis tampan dan bergelimang harta tujuh turunan. Aku tidak ingin menyinggung perasaan hati para pengagumnya.

"Lo nakutin dia, goblok," kata Revan, teman mereka, sembari menempeleng kepala Beno.

"Apa sih?" kesal Beno.

"Mana PR mu?" pinta Beno kemudian dengan ekspresi seriusnya.

Sebenarnya, dalam hatiku, aku hanya ingin menggerutu, tapi apalah daya, aku adalah makhluk baru di sekolah ini.

Sebagai penjelmaan kepolosan, aku membuka tasku dengan penuh semangat, tanpa menyadari bahwa nantinya akan ada kekacauan hebat yang melibatkan cemilan.

Seketika itu juga, banyak jajan-jajan yang tumpah dari dalam tasku, seolah-olah tas itu adalah portal ke dunia lezat yang menggoda.

Semua orang di sekitar terdiam, tercengang melihat berbagai macam camilan yang bertebaran di lantai.

Mereka menatapku seperti aku baru saja membuka pintu menuju alam semesta permen.

Aku langsung panik dan tanpa berpikir panjang, aku segera mungutin semua jajanan yang tercecer dan kumasukkan lagi ke dalam tas.

Seakan-akan aku sedang bermain permainan ketangkasan di tengah-tengah koridor sekolah.

Sambil mencari buku matematika yang entah keberadaannya di mana, aku akhirnya menemukannya dan tanpa melihatnya dengan seksama, aku langsung memberikannya pada Beno.

"Ini, deh," ucapku singkat, sambil berharap bahwa tindakanku yang agak kacau ini tidak menciptakan impresi aneh di antara teman-teman baru di sekolah.

Sedetik kemudian, aku mendengar banyak gelak tawa menggema di sekitar koridor sekolah.

Ketiga orang yang berada di hadapanku, termasuk Beno, tampaknya sedang berjuang keras menahan tawanya, sambil mempertahankan ekspresi cool mereka.

Padahal, di mataku, mereka terlihat seperti orang-orang yang sedang berjuang menahan sesuatu yang jauh dari kesan cool, lebih mirip menahan berak.

"Aku duluan," pamitku, mencoba menyusun langkah dengan sikap yang berusaha terlihat santai.

Aku berjalan dengan kepala sedikit menunduk, seolah-olah berharap menemukan harta karun uang receh di lantai.

Sesampainya di dalam kelas, aku langsung duduk dengan sikap yang mencerminkan kekacauan pagi ini.

Jam pelajaran dimulai, dan aku belajar dengan malas-malasan.

Sebenarnya, jiwa dan semangatku sudah seperti orang tua renta yang baru saja pulang dari pekerjaan berat.

Bayangkan saja, usiaku yang sebenarnya 25 tahun, kini terjebak dalam tubuh anak 16 tahun.

Sudah lama selesai sekolah, dan sekarang harus merasakan kembali bangku sekolah, bukan lagi sebagai guru, tapi sebagai murid.

Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, jam istirahat.

Aku baru saja bersemangat ingin membuka tutup bekalku, tetapi rencanaku langsung digagalkan oleh seseorang yang seolah-olah tiba-tiba muncul dari bayangan.

"Ikut makan di kantin aja," ajak Bimo.

Aku memandangnya heran, seolah-olah bertanya dalam hati, 'Bimo, punya mata enggak sih? Kan aku udah bawa bekal, ngapain aku ke kantin?'

"Aku di kelas aja," jawabku dengan suara kecil, seolah-olah volumenya bisa dikecilkan sedemikian rupa agar tidak terdengar.

Namun, nampaknya usaha itu sia-sia karena Bimo, seakan-akan pikiranku bisa dibaca, langsung menarik tangan ku dengan semangat luar biasa.

"Enggak ada penolakan," ucap Revan dengan tegas, sembari mengambil bekalku dan membawanya menuju kantin, sebagai wujud aksi heroik menyelamatkan bekalku dari kepemilikan sahku.

Bimo yang masih bersemangat menarik tanganku, seolah-olah aku adalah sapi yang diajak berjalan keliling kandang.

"Jalan," ucap Kenzo sok cool, sambil berjalan tanpa beban.

Padahal, ya, dia enggak bopong kulkas atau apa pun yang bisa dianggap berat.

Aku hanya bisa mengikuti kekacauan ini dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan terkejut, berharap bahwa petualangan kantin ini tidak akan berakhir dengan kehilangan seluruh persediaan bekalku.

"Duduk," perintah Kenzo seolah-olah dia adalah seorang presiden yang memberikan instruksi pada bawahannya.

Padahal, oi, dia enggak tahu apa bapakku seorang mapiah?

"Gue pesen dulu," ucap Revan, sambil berlalu ke arah penjual makanan.

Revan dan Bimo pergi memesan makanan, dan tentunya, mereka tidak lupa memesannya juga untuk bos besar mereka, Kenzo.

Aku hanya diam, sembari membuka bekalku yang isinya jadi terasa seperti tumpukan batu bata di hadapan kemegahan pria-pria ini.

Tiba-tiba, aku merasa punggungku seolah-olah bolong, padahal aku bukan sundel bolong.

Ya, ternyata banyak haters yang tak suka aku duduk di sebelah Kenzo.

"Bawaannya kayak pake laser mata aja, sih," gumamku dalam hati, berusaha bersikap biasa saja meski punggungku terasa seperti sedang jadi objek perhatian di pameran seni kontemporer.

Di tengah kekacauan ini, aku berharap pesanan makanan mereka cepat datang, bukan hanya untuk memberikan alasan buat berhenti memandang punggungku, tapi juga agar aku bisa fokus pada bekalku tanpa harus melibatkan diri dalam drama kantin yang aneh ini.

"Aku makan duluan ya," ucapku tanpa menunggu jawaban dari Kenzo dan tanpa menunggu kedatangan Bimo dan Revan.

Langsung saja aku memulai santapanku, seolah-olah aku sedang mengikuti lomba makan cepat di tengah kantin yang penuh drama ini.

Baru saja menyuap mulut dengan nikmat, tiba-tiba aku merasakan panas di punggungku.

Awalnya, kupikir itu karena pandangan penuh kecemburuan dari orang-orang di sekitar.

Ternyata, kenyataannya, punggungku benar-benar kena kuah bakso.

"Put, lo enggak papa?" heboh Bimo yang baru saja muncul dengan Revan, seolah-olah menonton adegan drama melekat di kulitku.

Kenzo langsung menguncangkan badanku dengan ekspresi serius, tapi aku masih terus mengunyah makananku seolah-olah tak tahu bahwa ini adalah drama yang serius.

"Enggak, enggak. Santai aja," jawabku dengan santai, sambil mencoba menyelamatkan wajah di tengah kekacauan ini.

Mungkin ini salah satu momen tak terduga yang membuatku terkenal di dunia novel ini.

Sambil tetap cool, aku merasa bakso di punggungku sebagai tanda penghargaan atas kesabaran dan semangatku dalam menjalani kekonyolan ini.

Dipalak

"Obatin dulu," ucap Kenzo dengan wajah serius.

Ia menarik tanganku, tetapi langkah kami terhenti oleh kemunculan seorang gadis cantik jelita dengan mata yang berkaca-kaca, padahal, seingatku, dimatanya enggak ada kaca.

Aku merasa seperti sedang terperangkap dalam adegan drama romantis, tapi dengan sentuhan komedi absurd.

"Hiks... hiks... maafin gue. Gue enggak sengaja," ucapnya dengan nada bergetar, sambil memegang tangan Kenzo.

Aku melihatnya sekilas dan cepat-cepat menundukkan kepalaku.

Nyatanya, di depanku adalah si protagonis yang selalu menjadi rebutan para cogan berduit.

Aku langsung mikir, 'Aduh, ini dia yang selalu jadi penyebab drama dan masalah di sekitar.' Mana kalau nangis suaranya hiks hiks hiks lagi.

"Aku enggak mau kena masalah sama dia," bisikku pelan pada diri sendiri.

Namun, teriakan suara beledek yang tiba-tiba muncul menambahkan nuansa kocak pada adegan ini.

"Lo apain Kiara?" teriaknya, seolah-olah berada di tengah-tengah pertunjukan opera sabun yang tak berujung.

"Tanya aja ke cewek lo?" ketus Kenzo dengan ekspresi serius.

Wajahnya yang ganteng di mata orang, tapi di mataku kelihatan seperti orang penanggih hutang.

Aku bahkan bertanya-tanya apakah dia pernah mencoba senyum dalam hidupnya.

"Dia apain lo?" tanya Gemma.

Ya, Gemma. Tokoh protagonis yang ganteng, baik hati, suka menabung, tapi dia bukan tipeku.

Sosok yang selalu tampil sempurna di mata banyak orang, tetapi di hatiku, dia seperti botol saus tomat yang tergeletak di sudut dapur, bagus tapi jarang terpakai.

"Gue enggak sengaja numpahin kuah bakso di cewek ini," tunjuk Kiara padaku, "terus Kenzo marah," lanjutnya.

Aku merasa seakan menjadi bahan stand-up comedy hidup karena Gemma yang tampaknya tertarik dengan kisahku yang klise ini.

Aku menundukkan kepalaku karena Gemma Gemma ini melihatku dengan penuh perhatian.

Seakan-akan aku adalah bintang dalam drama sehari-hari yang harus diobservasi.

Tiba-tiba, Bimo, si hobi tari tambang, malah menarik tanganku dan membawaku ke UKS bersama dengan Revan.

"Lah, bos kalian di tinggal?" tanyaku setelah setengah perjalanan.

Aku merasa seperti karakter dalam film komedi yang kehilangan naskah dan tak tahu harus kemana.

Mungkin UKS adalah tempat teraman di dunia novel ini, atau setidaknya itu yang kuduga.

Ketika sampai di UKS, suasanya tenang seolah berada di alam.

"Obati dia. Dia kena kuah bakso," ucap Bimo dengan nada dingin, sedingin es batu.

"Baik," ucap dokter tersebut, seolah-olah baru saja menerima tugas penyelamatan dunia.

"Hm," timpal Revan.

Keduanya keluar, meninggalkan aku dalam genggaman nasib di tangan sang dokter perempuan.

Dokter perempuan itu memandangku dengan serius, seakan-akan aku adalah kasus medis yang sangat mendesak.

Aku merasa seperti pasien utama dalam sebuah episode drama medis yang tayang setiap hari di televisi.

"Kamu siswi baru?" tanya dokter dengan ekspresi seperti baru saja menemukan unicorn hidup di UKS.

"Iya," jawabku pelan, mencoba tidak menimbulkan kepanikan lebih lanjut.

"Kenapa?" tanyaku, sambil mempertimbangkan apakah aku memasuki sebuah cerita horor atau hanya sekadar sketsa komedi absurd.

"Oh, enggak papa," ucap dokter, memandangiku seolah-olah aku adalah contoh hidup dari Murphy's Law yang berjalan dengan sempurna.

"Kamu olesin ya obatnya ke lukamu biar enggak berbekas," ucapnya sembari memberiku salep.

Aku menerimanya dengan ekspresi senang, berpikir bahwa ini mungkin satu-satunya keuntungan di dunia novel ini.

"Ini gratis kan?" bisik hatiku dalam hati, bersiap-siap untuk sebuah twist tak terduga.

"Dan ini kamu ganti baju ini," ucapnya sembari memberikanku seragam sekolah baru.

Aku meraih seragam itu dengan rasa ragu, seakan-akan menunggu dokter menyuguhkan tagihan besar di bawah bantal tempat tidurku.

"Ini... gratis juga, kan?" gumamku dengan nada curiga, dalam drama komedi yang berusaha mencari akal di tengah-tengah kekonyolan.

"Kalau kamu dibawa sama mereka, artinya gratis," ucap sang dokter sambil tersenyum misterius.

Dia yang dimaksud adalah Bimo dan Revan. Ternyata ada untungnya juga memiliki teman sekelas seperti mereka.

"Kamu istirahat di sini saja," ucap sang dokter, menunjuk tempat tidur di ruang UKS.

"Baik," ucapku sambil pura-pura sedih, padahal hatiku melompat kegirangan karena tidak harus belajar di kelas.

Aku bobok cantik di UKS, menganggapnya sebagai bonus tak terduga dari petualangan gila ini.

Aku bangun dari tidurku seolah-olah aku adalah putri salju.

Dan ketika aku membuka mataku, kupikir aku melihat kurcaci. Tapi mereka semua kelihatan ganteng.

"Loh, kalian ngapain di sini?" tanyaku bingung.

Ya, mereka adalah Kenzo, Bimo, dan Revan.

"Jagain lo," jawab Kenzo dengan suara dingin yang membuatku tiba-tiba merinding.

"Lo tidur lama banget sih," ejek Bimo.

Entah mengapa, sejak pertama bertemu dengannya, dia adalah orang yang paling menjengkelkan.

"Nih makan, bos yang beliin," ucap Revan sembari menyodorkan makanan.

Aku langsung menerimanya.

"Makasih."

Setelah itu, aku langsung makan seperti orang kelaparan, seakan-akan baru keluar dari hibernasi panjang.

"Kok kayak gini ya, lebih enak daripada di kamar sendiri," gumamku sambil menyantap makanan dengan lahap.

Tiba-tiba, aku mendengar suara dari samping. Setelah kulihat, ternyata ada Kiara dan empat pangdrannya sedang bercanda tawa.

"Balik kelas yuk," ajakku setelah selesai makan.

Mereka bertiga tampak bingung melihatku? Apa? Kenapa? Ada yang salah?

"Beneran mau ke kelas?" tanya Revan sok perhatian.

"Iya," jawabku.

Aku turun dari ranjang, dan tiba-tiba terdengar suara perempuan.

"Lo udah mendingan?" tanya Kiara dengan raut sedihnya.

"Iya, udah mendingan kok," jawabku sambil menunduk.

Padahal mah, sejujurnya, aku cuma ogah lihat dia aja.

"Maaf ya, lo jangan dendam ke gue. Gue enggak sengaja," ucapnya sederamatis mungkin.

"Iya, enggak papa kok." Aku tersenyum manis, berpikir untuk menyusun skenario balas dendam yang epic, seperti mengganti pasta gigi Kiara dengan wasabi.

Aku berjalan keluar dari UKS diikuti oleh tiga cecunguk.

Aku enggak mau beraul sama mereka, tapi kalau aku tunjukin rasa enggak suka, pasti mereka bakalan mulai membuly aku.

"Put?" panggil Bimo.

"Apa?" tanyaku balik.

"Lo punya duit enggak?" tanyanya tiba-tiba.

Aku langsung berhenti. Nah kan, dia mau malakin aku ya?

Kalau aku enggak kasih, apa dia bakalan bikin aku babak belur? Tapi kalau aku kasih, entar mereka ngelunjak.

"Ini," ucapku sambil memberikan seluruh uang yang ada di sakuku.

Aku berharap dengan memberikan uang, mereka nggak akan merepotkan aku lebih lanjut.

Semoga saja ini cukup untuk membeli ketenangan dari 'ancaman' mereka.

"Lo pindah sekolah karena di bully ya?" tebak Revan.

Siapa coba orang sinting  yang berani bully anak mafia? Cari mati itu namanya.

"Enggak kok," jawabku.

"Makasih uangnya," ucap Bimo tanpa dosa.

Dia memasukkan ke dalam saku celananya, dan aku hanya bisa menghela napas panjang.

Dan kami kembali ke kelas dan mulai belajar lagi. Rasanya aku pengen nangis. Padahal pengen hip-hip hura-hura tapi enggak jadi karena di palak.

Revan, yang tiba-tiba memandangi tembok seolah-olah menemukan petunjuk kehidupan di sana, berkata, "Tau enggak, tembok ini sebenernya bisa jadi guru terbaik kita."

Bimo yang sudah mendengar ucapan Revan langsung menyahut, "Emangnya isi kepala lo udah kayak buku pelajaran ya? Gue pikir cuma bisa nyimpan lagu dangdut doang."

Mereka ketawa ngakak, seolah-olah enggak ada dosa sama sekali, padahal di depan mereka ada guru yang sedang mengajar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!