NovelToon NovelToon

Menikahi Pembantuku

Awal Yang Pahit

GLEGAR!!

Suara kilat bersahutan di angkasa, membuat gemuruh panjang yang menggetarkan kaca jendela. Malam sudah larut dan belum ada tanda-tanda kalau hujan deras akan berhenti.

BRAK!!!

Seorang pria tegap melemparkan sebuah koper ke luar rumah. Koper usang itu cukup besar dan berat. Ia memang memasukkan semua baju dan barang-barang istri sah beserta anaknya ke dalam koper itu.

“Pa, please!! Kenapa kamu begini??!” Renggek seorang wanita, ia tersungkur di bawah kaki lelaki itu sambil memohon agar tidak diusir dari kediamannya sendiri.

Seorang gadis kecil juga menangis di sampingnya, berdiri terisak sambil membawa boneka teddy bear kesayangannya. Gadis itu terus menangis karena ayahnya begitu menakutkan.

“Pergi kau!! Aku jijik menatap wajahmu juga wajah buruk rupa anak itu!” Pria itu menendang sang wanita sampai ia terjungkal ke belakang. Ia menghina wajah dari darah dagingnya sendiri. Gadis tadi semakin terisak, ia mengusap tompel besar pada pipi yang sudah ada semenjak dia lahir. Sebuah kecatatan yang membuat wajah cantiknya menjadi buruk rupa.

“Elenora adalah anakmu, Theo!!” Renggeknya, namun pria itu tetap membuang muka. Tak sudi lagi melihat keduanya.

"Aku bilang pergi!!" Theo melemparkan uang di depan wajah sang istri.

"Tapi rumah ini adalah rumahku, Mas!! Perusahaan dan juga semua aset adalah milikku!! Kamu tak ada hak untuk mengusir kami!! Semua yang kamu nikmati ini adalah milik keluargaku! Warisan orang tuaku!" serunya dengan tegas.

"Hahaha ... siapa bilang?? Aku sudah membalik nama semua aset perusahaan dan juga rumah ini menjadi namaku," jawabnya penuh tawa. Membuat mata sang istri membulat sempurna, jadi selama ini sang suami telah menipunya mentah mentah?

Dari dalam rumah seorang wanita cantik bersama dengan putrinya datang. Ia menyeringai, seakan mencemooh kondisi mengenaskan sahabatnya yang mirip dengan kucing kehujanan.

“Teganya kamu, Sarah!! Aku menganggapmu sebagai sahabatku! Temanku sejak kecil!! Bahkan orang tuaku menyekolahkanmu sampai lulus kuliah!! Kamu yang hanyalah anak seorang pembantu bisa menjadi seperti saat ini tak lain karena andil mereka!" Tamara bangkit, ia menunjuk nunjuk ke wajah wanita jahanan bernama Sarah. Tamara ingin mencakar wajah wanita itu dengan kuku jarinya.

Sarah adalah anak pembantu di kediaman keluarga Subroto, semenjak kecil Tamara berteman karib dengan Sarah karena mereka seumuran. Tamara meminta orang tuanya menyekolahkan Sarah di tempat yang sama, sekolah untuk para kaum elit. Siapa yang mengira sahabatnya itu tidak tahu balas budi dan justru menikamnya dari belakang. Sarah selalu iri dan menginginkan milik Tamara, termasuk suaminya.

"Yank, Sarah takut." Sarah bersembunyi di balik punggung lebar Theo. Dengan nada manja ia mencari perlindungan dari suami Tamara.

"Jangan berani menyentuh Sarah!" Theo menghempaskan tangan Tamara yang hendak mencakar wajah Sarah.

Wanita itu tersungkur di bawah kaki suaminya. Hatinya begitu hancur. Malam ini menjadi titik balik kehidupannya. Suami yang ia cintai membawa pulang selingkuhan yang tak lain adalah sahabat yang ia sayangi. Suka duka selalu Tamara bagikan pada Sarah, bahkan saat ia curhat mengenai suaminya yang sering pulang malam dan selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Bodohnya Tamara, Sarah bahkan sudah memiliki putri yang hampir seusia putrinya. Itu berarti mereka berselingkuh di belakang Tamara semenjak awal, bahkan mungkin jauh sebelum mereka menikah. Mungkinkah semua ini adalah sandiwara mereka berdua untuk menguasai semua harta milik keluarga Tamara?

"Di mana hati nuranimu, Mas?? Aku istrimu!! Nora adalah anakmu! Bagaimana mungkin kamu tega mengusir kami di tengah hujan deras seperti ini?" Tangis Tamara di bawah kaki Theo, mengharapkan sebuah kesempatan setidaknya bagi anaknya untuk bermalam. Hujan memang sangat deras malam itu, dan udara sangat dingin. Anak kecil tak mungkin sanggup menahannya.

“Lepaskan kakiku, dan cepat pergi dari sini!!” Namun suaminya jauh lebih memilih untuk mengabaikan anaknya sendiri.

“Kumohon, Mas!! Biarkan kami berdua tinggal semalam saja, hujan sangat deras.” Iba Tamara, ia sudah hancur malam ini, namun demi putrinya tercinta, Tamara rela membiarkan harga dirinya semakin diinjak injak oleh kedua iblis ini.

“Pergi, kesabaranku ada batasnya!! Berhentilah merengek dan pergi dari sini! Aku sudah memberikan sejumlah uang di dalam koper untukmu dan Nora!! Aku juga akan memberikannya uang tiap bulan sebagai kompensasi atas darah yang mengalir dalam darahnya!!" bentak Theo lagi.

"Betul, suru dia kemari setiap bulan. Mengemis uang saku seperti diriku dulu mengemis pada keluargamu." Sarah terkekeh.

"Kamu tidak pernah mengemis pada keluargaku, Sarah!! Papa dan Mamaku iklas memberikan semua uang bulanan saat menyekolahkanmu dulu!! Hatimulah yang sangat busuk dan picik!" Tamara bangkit, ia menggandeng anaknya bangkit.

“Mama ... dingin!! Mama!!" Nora merenggek, ia menggigil pilu, membuat hati Tamara kian terasa sakit seperti di remas remas.

“Karma itu nyata!! Suatu saat kamu akan menuai karmamu, Mas!" Tamara menatap tajam pada suaminya lalu pada Sarah.

"Kamu begitu jahat, Sarah! Air susu kamu balas dengan air tuba!! Sampai mati pun aku tak akan pernah memaafkanmu!!" tandas Tamara.

"Iihh ... takut hlo aku. Tapi memangnya kenapa kalau kamu tidak memaafkanku?? Apa kamu pikir aku peduli?? Hahaha ... dasar wanita bodoh tak berguna. Kebodohanmulah yang membuatmu kehilangan segalanya. Jangan salahkan aku, aku kan hanya berusaha bertahan untuk hidup." Sarah menertawakan Tamara.

"Ayo kita masuk saja! Tak perlu meladeni ucapannya!" Theo menggandeng Priscillia dan Sarah masuk. Putri Sarah itu sempat menoleh pada Elenora dan menjulurkan lidahnya.

BLAM!!

"Mas!! Mas Theo!! Huhuhu ...!! Buka pintunya Mas!! Ini rumahku!! Rumah orang tuaku!!" Tamara merasa sangat terluka, ia begitu kecewa karena kebodohannya telah membawa nasib buruk menghampirinya. Bahkan ia tak berdaya saat tadi suaminya memaksa Tamara menandatangani surat yang tak lain adalah surat cerai. Dia ditipu dengan mengatakan bahwa itu adalah kontrak kerja Sarah yang baru di perusahaan.

"Pergilah!! Sebelum aku minta Pak Yono untuk mengusirmu!" teriak Theo dari dalam rumah. Yono adalah satpam yang bekerja di rumah milik Subroto dan kini menjadi rumah milik Theo.

“Hiks ... Mama, kenapa Papa dan Bibi Sarah menjadi sangat jahat kepada kita?” tanya Nora, ia mendekati tubuh Tamara yang tersungkur di kaki pintu. Bocah itu masih terlalu kecil untuk mengetahui hal apa yang menimpa kedua orang tuanya.

“Maafin mamamu yang bodoh ini, Nak.” Tamara mengelus wajah Nora, ia tersenyum dalam tangisannya. Mencoba mengayomi hati anaknya, tak ingin menambah kesedihan dalam hati putrinya.

“Ayo kita pergi dari sini, Nak!” Akhirnya Tamara bangkit, ia menutup kepala Nora dengan tudung jaket. Tamara tahu jaket kain itu tak akan bisa menyelamatkan tubuh Nora dari rasa dingin, namun hanya perlindungan itu yang mereka punya saat ini.

Tamara cepat-cepat menarik kopernya, menembus hujan deras, langkahnya yang menderap cepat melalui jalanan becek membuat rok panjangnya kotor. Tamara tak peduli, yang penting ia bisa segera keluar dari kawasan perumahan, mencari tempat berteduh untuk mereka. Kasihan balita itu, dia bisa masuk angin kalau tidak segera mengeringkan bajunya.

"Nyonya!!" Suara teriakan membuat Tamara menoleh.

"Pak Yono?"

"Nyonya mau ke mana? Biar saya carikan kendaraan?" Satpam yang sudah bekerja lama di rumah itu merasa kesal juga, namun ia tak berkutik karena ia pun di gaji dari kantong milik Theo sekarang.

"Hiks ... saya tidak tahu lagi mau ke mana, Pak," isak Tamara. Pak Yono menjadi kasihan, namun tak punya kekuatan juga untuk membalasnya.

"Ke rumah saya saja, Nyonya. Ini alamatnya, tak jauh dari sini. Naik taxi saja. Kasihan Non Nora sudah kedinginan." Pak Yono hanya bisa memberikan tumpangan sementara sebelum Tamara bisa mendapatkan tempat tinggal.

"Makasih ya, Pak."

"Saya yang seharusnya berterima kasih. Saya juga mau minta maaf, Nyonya. Saya tak bisa membantu apa pun." Pak Yono hampir menangis, ia masuk bekerja di kediaman ini saat Tamara duduk di bangku SMA, ia tahu semua perjalanan hidup Tamara sampai ia menikahi Theo dan kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan. Semasa hidup, mendingan orang tua Tamara banyak memberikan bantuan pada Yono dan rekannya yang lain. Ia merasa begitu berhutang budi pada Tamara.

"Sekarang lekas pergi, Nyonya. Saya harus kembali sebelum Tuan sadar saya keluar."

"Baik, Pak."

Tamara menuju ke alamat yang ditunjukan oleh Yono. Ia tak membawa apa pun selain koper yang dilemparkan oleh sang suami. Sepanjang perjalanan Tamara meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.

"Lebih baik kamu menjadi orang jahat, Nora. Supaya kelak tak ada yang menginjak injak martabat dan harga dirimu." Tamara mengelus rambut basah putrinya. Setelah mengucapkan hal itu dalam hatinya, Tamara kembali meneteskan air matanya dan terisak sendu. Menangisi takdir yang begitu pahit dan kelam.

...— BERSAMBUNG —...

Perjalanan Hidup

Perjalanan hidup yang dialami oleh Elenora tidaklah mudah. Ketika Theodore Jahyadi memutuskan untuk menceraikan Tamara Subroto dan mengambil alih semua aset dan perusahaan milik mendiang Tuan Subroto, dari situlah awal mula penderitaan Nora berawal.

"Dasar buruk rupa!" Saat SD, Nora mengalami pembullyan karena ia memiliki tompel besar di area pipi bawah mata. Tompel yang sudah ada semenjak ia lahir. Tompel itu seakan tumbuh besar hingga ukurannya mengikuti tumbuh kembang usia Nora juga.

Seorang bocah pria mendorong wajah Nora hingga terjatuh ke belakang dan Nora pun menangis. Nora tan tahu kenapa dia harus dibenci hanya karena punya tanda lahir yang cukup mencolok di wajahnya.

"Jangan ganggu Nora!" Seorang bocah lelaki memasang badan untuk Nora, dia adalah Arga, putra bungsu Pak Yono.

Arga mendapat tugas dari sang Ayah untuk menemani Nora masuk ke sekolah barunya. Bocah pria itu melaksanakan tugasnya dengan baik. Nora sangat menyukai Arga, ia berharap bisa terus berteman dengan Arga.

Hari demi hari pun berlalu dengan cepat, Arga dan Nora tumbuh menjadi remaja yang mulai mengenal arti cinta dan juga patah hati. Tanpa terasa keduanya sudah menjadi bocah SMP. Nora yang mendapatkan mens pertama di jenjang ini pun mulai mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta.

Nora menyukai Arga, baginya Arga adalah pahlawan yang selalu membantunya mengatasi masalah. Hanya Arga yang mau menjadi temannya. Arga adalah cinta pertama Nora. Nora bertekat untuk menyatakan cintanya sepulang dari sekolah. Ia mencari keberadaan Arga, biasanya Arga selalu nongkrong dengan teman temannya di taman belakang sambil menunggu eskul basket.

"Hei Erga!! Kamu pacaran ya sama si burik??" tanya seorang teman di taman belakang. Mereka menyebut Nora si Burik, panggilan yang diberikan pada gadis itu karena memiliki tompel besar di bawah matanya.

"Tidak!! Siapa bilang??" Arga bergeleng.

"Halah, ngaku saja!! Semua orang juga tahu kalau kamu selalu pulang dengan si Burik."

"Itu karena rumah kami bersebelahan dan Ayahku menyuruhku memberikan tumpangan."

"Makanya kalian pasti pacaran kan?! Arga dengan si Tompel." Goda mereka.

"Tidak!! Aku juga benci padanya!! Siapa yang mau berpacaran dengan gadis jelek sepertinya?? Kalau bukan karena ayah aku juga tidak sudi memberikan tumpangan saat pulang sekolah!" Arga yang malu menyangkal godaan para seniornya di tim basket. Saat itu ia tidak menyadari kalau Nora mendengar semuanya dari balik dinding.

Air mata Nora tumpah keluar, rasanya menyakitkan. Jatuh cinta pertama dan juga patah hati pertama. Nora pikir Arga tulus mau berteman dengan Nora. Nora pikir semua perhatian Arga bukanlah karena paksaan namun karena murni sebuah persahabatan. Ternyata Nora salah, Arga hanya berpura pura baik saja.

"Memangnya apa yang aku harapkan?" Nora tersenyum kecut. Ia pun kembali ke rumahnya hari itu dengan berjalan kaki, tidak membonceng sepeda Arga.

Arga celingukan karena Nora tidak ada di bangku penonton untuk melihatnya bermain basket, dia juga tidak membonceng pulang ke rumah seperti biasanya.

...****************...

Satu bulan kemudian.

"Nora!! Uhuk ... Uhuk... Nak?" Tamara terbatuk batuk, ia mencari air di sisi meja namun tak berhasil menemukannya. Lalu tanpa sadar Tamara terjatuh dari tempat tidur.

"Mama!!" Nora kaget saat mamanya jatuh. Kesehatan wanita itu semakin menurun semenjak dua tahun belakangan. Dokter memvonis Tamara mengidap kangker lambung stadium empat. Kesempatan dan harapan hidup Tamara semakin kecil mengingat kangkernya sudah menjalar sampai ke paru paru.

"Haus, Nak." Tamara berujar, Nora bergegas mengambil air setelah membantu Tamara kembali ke kamar. Keduanya tinggal di sebuah rumah kecil tak jauh dari rumah Pak Yono. Tamara hanya mengontrak saja karena dulu ia bekerja di sebuah pabrik roti yang gajinya tidak seberapa. Bekerja sampai mati pun tak akan cukup untuk membeli rumah.

"Ini, Ma. Minum pelan pelan." Nora memegangi gelasnya.

"Anak ku, Sayang. Maafin mama ya, sudah membuatmu menjadi begitu sengsara." Tamara menangis, ia mengelus wajah putrinya dengan lembut. Tangan Tamara begitu kurus seperti tulang berbalut kulit, ia menyesali nasibnya yang begitu pahit hingga terlarut dalam stress berlebihan. Siapa sangka radang lambung karena stress bisa menjadi pemicu kangker yang kini menggerogoti tubuh dan kehiduppannya.

"Tidak, Ma. Tidak. Mama adalah hal terindah yang Tuhan berikan untuk Nora. Justru Nora yang ingin meminta maaf, Ma. Gara gara Nora terlahir buruk rupa, Papa sampai tidak mau mengakui Nora sebagai anaknya dan mengusir mama."

"Bukan, Nak! Bukan gara gara kamu. Semua ini gara gara Jlang sialan yang telah merebut papa dari mama." Tamara menangis, ia memeluk Nora dengan erat.

"Hiks ... hiks ..." Nora sudah tahu ceritanya, Tamara menceritakan semuanya. Kalau wanita bernama Sarah bersekongkol dengan Papanya merebut semua harta warisan dari kakek Nora.

"Jangan hidup menjadi orang baik, Nak!! Kebaikan kadang disalah gunakan dan menjadikan kita lemah. Hiduplah dengan sekuat tenaga hingga disegani banyak orang, meski pun itu artinya kita harus menjadi jahat sekali pun." Tamara memberikan wejangan pada Nora. Nora mengangguk paham.

Tak ada kebaikan di dunia ini yang bisa ditawarkan padanya dengan cuma cuma. Bahkan Arga pun hanya memberikan kebaikan palsu. Kebaikan dari Pak Yono juga semata mata sebagai balas budi belaka karena sang kakek pernah membantunya. Bila saja hal itu tak pernah terjadi, belum tentu Yono akan membantu mereka.

"Nora mengerti, Ma." Nora mengenggem tangan Tamara dengan erat sambil menangis sesunggukan. Tamara menceritakan semuanya pada sang putri. Siapa Sarah, siapa Theo ayahnya, dan juga tentang putri mereka Priscillia yang seumuran dengan Nora.

Setahun kemudian, tepat saat Nora lulus SMP, Tamara pun mangkat. Tak ada setetes pun air mata yang jatuh dari mata merah nanar Nora. Dendam menyelimuti hatinya, luapan amarah membuat Nora begitu membenci dunia dan juga keluarga sang ayah yang menghancurkan hidupnya, hidup ibunya.

"Nak," tukas Yono saat melayat. Ia menepuk pundak Nora ya masih berdiri tegap di depan pusara sang ibu. Begitu kuatnya tekat Nora hingga ia bahkan tidak berpindah mulai dari jenasah di masukkan sampai liang lahat tertutup sempurna.

"Ayo pulang, Nak. Kamu belum makan apa pun dari kemarin." Yono mencoba menghasut Nora, begitu pula dengan istrinya Almaira.

"Iya, Neng. Ayo pulang, nanti Bibi masak apa yang Neng Nora suka."

Namun Nora tak bergeming, ia membisu, tak menjawab satu pun ajakan mereka. Hatinya mengeras seperti batu, kokoh bagaikan karang.

"Coba bujuk Nora Arga. Kalian berteman sejak kecilkan?" Yono meminta putranya.

"Ibu dan Bapak pulang dulu. Bapak harus bekerja. Kamu temani Neng Nora,"!Pamit Almaira. Arga mengangguk.

Arga menghampiri Nora. Ia melirik ke arah gadis yang sudah ia kenal semenjak SD. Bila di lihat dari sisi kanan, Nora akan terlihat sangat cantik karena tompelnya tak terlihat.

Arga menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia bingung harus memulai dari mana. Hubungan mereka mendadak menjauh setahun lalu. Arga tidak tahu apa salahnya hingga Nora mendadak tidak lagi membonceng sepedanya berangkat dan pulang sekolah.

"Ehem ... aku ikut berduka cita ya." Arga mencoba memecahkan keheningan siang itu. Namun Nora diam saja.

"Apa kamu marah sama aku, Ra? Setahun ini kamu sama sekali tak pernah membalas sapaanku, kamu juga bahkan tak menegurku. Memangnya apa salahku?" tanya Arga. Kali ini Nora menoleh, ia matap Arga, sungguhkah pemuda ini tidak tahu kenapa?

"Aku tidak marah padamu, Ga. Memangnya siapa aku sampai harus marah kepadamu. Lagi pula, bukankah hal baik bila kita berjauhan. Kamu tak akan pernah merasa malu lagi berjalan dengan gadis jelek sepertiku."

"Siapa yang malu?? Aku tidak malu kok." Arga menyangkal ucapan Nora.

Nora berdecih dalam hati, lantas apa yang di dengarnya saat di belakang sekolahan itu salah?? Arga mengatakan kalau dia malu dan hanya menuruti apa kata orang tuanya, bukan benar benar tulus berteman dengan Nora.

"Aku tahu kamu sedih. Namun hari sudah hampir sore. Ayo kita pulang!" Arga menarik tangan Nora, namun gadis itu langsung menghempaskannta.

"Pergilah, Ga. Aku ingin sendiri." Nora mengusir Arga, hati Arga mulai kalud saat Nora menghempaskan tangannya. Penolakan Nora entah mengapa membuat hati Arga seperti tertancap oleh pasak yang sangat besar. Menohok sampai ke ulu hati.

"Sudahlah!! Dasar menyebalkan!" Arga pergi, ia tak ingin merasakan denyutan menyakitkan di dalam dadanya lagi. Pemuda yang baru saja beranjak ke bangku SMA itu menyangkal perasaannya dan berlalu pergi. Sesekali ia menoleh, berharap Nora mengejarnya, namun Arga salah, Nora tetap diam saja dan membuat Arga kesal.

"Aku akan membalas dendam pada mereka, Ma. Meski pun harus meminjam kekuatan dari iblis dan bahkan menjadi iblis itu sendiri:" Nora mengepalkan tangannya di samping tubuh. Hari itu Nora bertekat untuk menjadi semakin kuat dan kuat. Dia akan membalas dendam pada keluarga Jahyadi yang telah menghancurkan hidupnya.

...****************...

Tunjangan Bulanan

Sarah membuka lemari kaca di walk in closet miliknya. Berisi puluhan tas branded dengan harga selangit. Dulunya semua ini milik Tamara, namun Sarah telah menambahkan banyak koleksi dan membuang yang tidak ia sukai.

Tak hanya tas branded, ada banyak mantel bulu mahal, dress dari perancang terkemuka, perhiasan dengan berlian, dan juga sepatu sepatu kulit yang mahal. Sarah tengah melihat lihat koleksinya untuk dikenakan di makan malam perusahaan.

Seorang pelayan datang, mengabarkan sebuah berita yang membuat Sarah berhenti memilih pakaian, pelayan berbisik membuat Sarah harus mengulangi lagi pertanyaannya. “Siapa yang datang katamu?”

“Nona Nora,” jawab pelayan dengan ragu. Ia takut kalau majikannya marah bila ia menyebut Nora dengan panggilan nona selayaknya tuan di rumah ini.

“Siapa?”

“Nora, Nyonya.”

“Mau apa gadis itu kemari?” gumam Sarah bertanya tanya, hampir dua belas tahun nama gadis itu tidak terdengar, mendadak ia datang lagi ke rumah ini. Mungkinkah ia datang bersama dengan Tamara?

“Apa dia bersama ibunya?” Sepertinya Sarah belum tahu kalau Tamara sudah berpulang ke rahmat Ilahi.

“Tidak, Nyonya. Dia datang sendirian.”

“Apa Tuan Theo sudah tahu?” tanya Sarah.

“Tuan besar ada di ruang tamu menemui gadis itu, Nyonya.”

“Aku akan menyusulnya, kamu pergilah.” Usir Sarah. Pembantu itu langsung menganggukkan kepala dan pamit pada Sarah.

“Siapa, Ma?” Priacillia yang dari tadi berbaring di ranjang sang ibu sambil membaca majalah fashion mulai tertarik dengan pembicaraan antara ibu dan pembantunya.

“Elenora Jahyadi, anak papamu dengan istri pertamanya. Kamu masih ingatkan?”

“Ah ... si tompel?” Priscillia mengingatnya. Dulu mamanya sering membawa Cilia bermain dengan Nora. Ia mengatakan kalau Cilia harus berpura pura baik dan mau berteman dengan Nora. Padahal dulu Cilia sangat membenci Nora karena punya segalanya sementara dia tidak. Sekarang semuanya terbalik, Cillia punya segalanya sementara Nora tidak.

“Iya, mau apa dia datang kemari?!” Cillia menaruh kembali majalahnya dan bangkir berdiri, ia langsung bersemangat untuk mengikuti mamanya ke bawah.

“Entahlah.” Sarah mengangkat bahu, dia juga ingin tahu.

Keduanya menuruni anak tangga melingkar menuju ke lantai satu. Anak tangga pualam yang begitu mewah menunjukan betapa berjayanya keluarga Jahyadi.

Sarah menuju ke ruang tamu, tempat suaminya duduk dengan tenang mengamati Nora anaknya yang sudah bertahun tahun tidak bertemu.

“Wah Wah … lihat siapa yang datang?!” sergah Sarah. Nora menoleh, ia melihat nenek sihir yang telah menghancurkan hidup mamanya. Namun Nora belum punya kekuatan untuk membalas dendam. Ia menahan diri untuk stay on plan.

“Ternyata kakakku tersayang.” Sahut Cillia karena Nora tak kunjung menjawab. Nora menatap adik tirinya, gadis seumurannya itu terlihat sangat cantik dan terrawat, berbeda dengan dirinya yang semakin hari semakin kumal karena kondisi ekonomi yang berat. Kulit tangannya bahkan mengelupas karena mencuci banyak piring di restoran, atau kakinya yang pecah pecah karena berdiri terlalu lama saat melayani pelanggan warung. Semua Nora lakukan demi membantu biaya pengobatan ibunya yang sungguh besar.

“Mau apa kamu datang kemari, Nora?” tanya Theo, selama apa pun ia menatap Nora, tetap saja ia memiliki kebencian karena anak itu terlahir dengan wajah buruk rupa. Tompel besar bersarang pada pipi kirinya dan membuatnya terlihat sangat buruk.

“Untuk menagih janji,” ucap Nora tegas.

“Janji?”

“Mama bilang Papa akan memberikan uang tunjangan bulanan padaku. Aku ingin melanjutkan SMA, jadi aku butuh uang tunjangan.” Nora tak mengindahkan keduanya, ia menatap lurus pada Theo. Sorot matanya sama persis dengan mata Theo saat menginginkan sesuatu, membuat Theo semakin kesal karena Nora benar benar keturunannya. Ia tak bisa menyangkalnya.

“Hahaha … setelah sekian lama akhirnya kamu datang untuk meminta uang. Ternyata harga diri ibumu bisa habis juga,” ledek Sarah, akhirnya momen di mana Nora mengemis padanya semakin dekat.

“Benar. Mama bilang kalau aku bisa bersekolah bila menemuimu.” Angguk Nora.

“Mamamu sudah kehabisan uang??” tanya Sarah.

“Aku tidak bicara pada Tante! Aku bicara pada papaku.” Nora menoleh pada Sarah dengan mata yang menyorot tajam. Membuat Sarah sangat kesal, Nora mengingatkannya pada sosok sahabat masa kecil yang selalu mengalahkannya dalam hal apa pun.

PLAK!! Sarah menampar pipi Nora.

“Yang sopan kalau ada orang tua bicara denganmu!” sergah Sarah kesal.

Nora merasakan pipinya terasa sangat perih dan panas. Namun ia tak menangis, air matanya sudah habis. Jangankan untuk menangis, bahkan ia tak lagi bisa tertawa. Ia hanya akan tertawa saat dendamnya sudah terbalaskan.

“Sudahlah! Berapa tunjangan yang kamu minta setiap bulan?” Theo tak ingin menjilat ludahnya sendiri.

“Ijinkan aku bersekolah di tempat yang sama dengan Priscillia,” jawab Nora.

“Itu sekolah elit, perlu nilai tinggi untuk masuk ke sana bila berasal dari sekolah di luar yayasan!” cemooh Sarah.

Nora mengeluarkan lembar kelulusannya dengan nilai sempurna di setiap mata pelajaran yang diujikan. Ia menunjukkannya pada sang ayah. Membuat Theo manggut manggut.

“Baiklah, aku akan memberikan uang tunjangan padamu. Bersekolahlah di tempat Priscillia sekolah,” ujar Theo.

“Eh … tapi Pa?” Cillia langsung protes, dia tak ingin semua orang di sekolahan mengenali gadis buruk rupa ini sebagai saudaranya.

Bisa hilang pamornya sebagai primadona sekolahan bila sampai ketahuan kalau mamanya sebenarnya hanya istri ke dua dan Nora adalah pewaris perusahaan keluarga Subroto.

“Kenapa?” tanya Theo.

“Aku tak mau semua orang tahu kalau si jelek ini saudaraku!! Nanti tak ada yang mau bermain denganku.” Priscillia manja manja pada papanya.

“Nora punya nilai yang bagus, sementara nilaimu sangat buruk. Dia bisa membantumu di sekolahan, jadi jangan terlalu bersedih, Okay?” Theo sangat menyayangi Cillia sampai membuat hati Nora eneg melihatnya. Kasih sayang yang dulu ia idam idamkan, sekarang, jangankan menerimanya, berharap saja tidak.

“Baiklah, tapi kamu harus bersih bersih di sini bila ingin mendapatkan uangnya.” Sarah melipat tangannya di depan dada.

“Apa??” Nora kaget, nenek sihir ini tak henti hentinya ingin menyiksa Nora.

“Kenapa? Kamu keberatan?? Asal kamu tahu ya, sekolah tempat Priscillia menimba ilmu sangat mahal! Bersih bersih saja belum bisa dibandingkan dengan biaya yang akan kami keluarkan untukmu!” seru Sarah.

Nora berdecih dalam hati. Semua harta yang berkembang dan dinikmati oleh keluarga ini berasal dari kakek dan neneknya. Tapi wanita bgst ini justru memintanya bekerja untuk mendapatkan uang dari keluarganya sendiri. Namun Nora bukan gadis lemah, bersih bersih tidak akan menyurutkan rencananya.

“Baiklah, Nora akan bersih bersih.” Nora mengangguk setuju.

“Akan aku buat dia hidup bagaikan di neraka!” pikir Sarah dalam hatinya. Setiap detiknya akan menjadi neraka bagi Nora.

Sarah tidak tahu kalau Nora bahkan rela hidup di dalam neraka, meminjam kontrak dengan sang iblis sekali pun supaya bisa menghancurkan hidupnya pelan pelan.

...****************...

...Hai … tolong di klik like dan juga tombol favorit ya. Terus juga vote dan kasih gift sebanyak banyaknya. Gift terbanyak bakalan dapat balasan gift dari othor setiap bulannya ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!