"SATU, MI?!"
Lami mendengus napas kesal mencubit lengan Setara menyuruhnya untuk diam.
"AHHH!" Teriak Setara terlonjak kaget, memegang lengannya yang terasa perih.
"Mulut lo! Diliatin banyak orang tau!" Kesal Lami langsung membekap mulut Setara dengan kasar.
Suara keributan dari arah gazebo paling ujung di taman samping menjadikan mereka pusat perhatian di tengah hari yang terik itu
Kondisi taman itu sebenarnya bisa dibilang tidak terlalu ramai, tidak pula terlalu sepi. Hanya diisikan beberapa murid yang datang berfoto bersama teman atau keluarga mereka untuk merayakan pembagian hasil penilaian semester ganjil.
Setara melepas bekapan gadis yang berpostur lumayan tinggi itu dan segera menyumpal mulutnya dengan keripik kentang sebelum gadis itu kembali melempar sumpah serapah kepadanya.
Misi sukses, Lami tidak lagi mengomel tapi malah mencomot bungkusan cemilan dari tangannya.
Setara mendengus sebal. Dirinya ingin memprotes aksi pencurian kecil itu, tapi malah mengurungkan niatnya karena tidak ingin memperbesar masalah.
"Kok enak, Tar?"
"Iyalah enak, orang ada MSG nya" Balas Ratu ikut mencomot sepenggal cemilan dari bungkusnya yang berada dalam pelukan Lami, aksi itu segera dihadiahi tatapan tajam dari gadis di sebelahnya.
Ratu yang masih ingin, memilih urung karena tidak berani jika harus berurusan makanan dengan Lami.
Rules nomor satu, jangan pernah mengambil makanan milik Lamia tanpa seizinnya. Kalau ditanya kenapa, analoginya mirip seperti kalian yang mencuri telur ayam saat lagi dierami sang induk.
Lamia memang tidak memiliki paruh untuk mematok tangan si pencuri. Tapi gadis itu memiliki mulut yang bisa menyerang musuh jauh lebih menyakitkan dari patokan sang ayam.
Setara menggeleng pelan, jari telunjuk dan ibu jarinya memijat-mijat kening tanda mulai lelah.
"Elo tuh sering keluar masuk ruang BK. Tapi kok masih dapet peringkat umum. Lo nyogok, ya?" Tuduh Setara.
"Dih? Emak sama Bapak gue aja pelit banget. Mana mau mereka ngasih gratifikasi begituan." Balas Lami dengan nada datarnya, sembari mengunyah keripik kentang.
"Abisin yang di mulut lo dulu baru ngomong. Remahannya muncrat ke gue!" kesal Ratu kemudian beranjak menggeser Setara untuk bertukar tempat.
"Yang sopan lo sama waketos kebanggaan. " Balasnya tak terima.
"Mata lo kebanggaan."
"DIEM GA! Heran gue, berantem mulu. Gue kawinin juga ya lama-lama!!!" Pisuh Ratu.
"Yang itu, Rat. Kalo lo gatel pengen kawinin orang." Setara sempat-sempatnya membalas. Jarinya menunjuk ke arah dua sejoli yang sedari tadi sibuk selfie, menulikan keadaan sekitar mereka yang ributnya mengalahkan satu desa.
Ratu yang kesal, karena Setara selalu saja bisa membalas omelannya, lantas melayangkan tamparan gratis untuk pemuda itu.
Rules nomor dua, Lamia memanglah terkenal karena kegalakkannya. Tapi di atas Lamia, masih ada Ratu yang kegalakkannya terkenal hingga di kalangan kakak kelas maupun adik kelas. Jadi jika ingin masa sekolahmu terhindar dari trauma, sebaiknya jangan berani-berani buat Mahkota Ratu mengamuk.
Siapapun yang melihat mereka pasti akan setuju, Setara terlalu menyebalkan dan banyak bicara untuk Ratu yang emosinya bagai tisu dibagi dua, basah kena air pula.
Dan hebatnya, dengan kepribadian mereka yang saling bertolak belakang itu, mereka bisa berteman bahkan lumayan lengket sejak mereka masih di playgroup.
Ah. Lamia bisa membayangkan Raja, kembaran Ratu yang selalu netral dan kalem kapanpun dan dimanapun harus terjebak diantara dua emosi yang berbeda namun sering meledak di saat yang bersamaan.
"Kita diem, ya." Balas Bima yang sadar kalau dia dan kekasihnya disebut dalam topik pembicaraan mereka.
"Eh by the way Mi, Raja udah balik, kemarin ketemu gue di Mall. Udah ketemu?" Seru Aulia tiba-tiba
Gadis berpipi chubby yang sering dipanggil Aul itu berhasil menciptakan ruang hening untuk beberapa saat.
Ratu sampai melotot sebal ke arah Aulia, karena gadis itu sangat tidak peka dalam membaca situasi.
Setara yang biasanya tidak bisa mengontrol mulutnya, kini mendehem canggung. Mulutnya sudah terbuka, tanda siap untuk melempar candaan lagi setidaknya untuk mencairkan situasi. Tapi ia urung, takut candaan yang akan ia lontarkan kemungkinan akan berpotensi memperkeruh atmosfir saat itu.
Lamia melirik sekeliling, menghela nafas berat. Tentu saja ia peka dengan situasi ini. Tapi entah kenapa, dia juga kebingungan.
Jika teman-temannya bingung harus bagaimana karena dirinya, bukankah ia harus melakukan sesuatu agar situasi canggung ini selesai? Lagian, bukan salah mereka juga ia dan pemuda yang tadi disebut berakhir tidak baik.
Lamia melempar kotak susu favoritnya yang sudah habis ia minum ke arah Aulia.
"Males jawab, kecuali kalo lo beliin ini. Gue mau collect merchandise nya. Idol favorit gue tuh."
"Woi, Mi! Tau ga, gue kemaren beli mie favorit kita itu loh yg collab juga sama idol favorit lo. Trus tau ga? Gue belinya sekardus tapi isinya malah photocard mental health semua. Satupun gaada yang isinya photocard idol lo."
Lamia bernafas lega, salah satu hal yang ia syukuri punya Setara dalam pertemanannya. Walaupun obrolan mereka terkesan terlalu memaksa untuk mengalihkan topik, setidaknya Setara benar-benar berusaha untuk menyelamatkan semuanya dari situasi tidak mengenakkan.
"Dosa lo banyak sih, makanya ga hoki." Jawab Lami sambil tertawa.
"Mia, liat deh. Raja sekarang udah cakep banget, woi!! Fix sih lo harus ketemu Raja!" Aul dengan tingkah tidak bersalahnya malah bergegas menyodorkan benda kecil elektronik yang sedari tadi dia genggam, memperlihatkan pemuda berambut hitam gondrong dari layar.
What the hell.
Aulia memang sengaja kah?
Aulia temannya dari kecil, gadis itu jelas tahu luka Lamia yang diberikan pemuda itu. Tapi kenapa dia dengan beraninya mengungkit pemuda itu disaat ia sedang berproses menyembuhkan lukanya?
Bukankah itu keterlaluan untuk dilakukan seorang teman?
Sial, moodnya memburuk sekarang.
"Oh ya? Bagus, deh kalo udah balik. Sekarang Setara ga perlu capek-capek lagi kan ambil alih tugas ketua osis." Sahut Lamia dengan suara setenang mungkin, tapi berbanding terbalik dengan ekspresi muram yang melekat di wajahnya.
Lamia tidak bisa begini. Energinya tiba-tiba terkuras. Dia harus pergi dari sana sebelum emosinya naik.
"Masa jabatan gue udah mau hab-"
"Gue duluan ya, guys. Mau nyusul Mas Ari di depan." Potong Lamia cepat tak membiarkan Setara menyelesaikan kalimatnya.
Gadis itu segera beranjak meninggalkan teman-temannya yang terdiam mematung, dalam hati jelas mereka merasa bersalah. Mereka paham situasi rumit yang sudah terjadi di masa lalu. Tapi satu hal yang selalu berputar dalam benak mereka, kenapa Lamia selalu jadi pihak yang menolak untuk berdamai?
Raja sudah mengalah, dan memberikan Lamia ruang untuk sembuh. Setahun di tanah rantauan berkedok pertukaran pelajar, berusaha tidak menghubungi Lamia terlebih dahulu, bahkan mencoba memikirkan hal lain agar fokusnya tidak hanya tertuju pada satu nama. Bukankah itu sudah cukup untuk Lami memberikan maaf kepadanya?
Aulia menghela nafas berat, bukan bentuk ketidaksengajaan dia mengungkit Raja. Tapi itu benar-benar tindakan yang ingin dia coba agar Lamia bisa terbiasa dengan nama itu.
Bagaimana pun, Aulia lah yang mendekatkan mereka. Adanya lost komunikasi dalam lingkup pertemanannya, bukankah itu terasa amat sangat tidak nyaman?
Lagi-lagi mereka hanya memilih diam, tak berani beranjak untuk menyusul.
"Mi, nanti gue atur jadwal buat ngumpul ya untuk rayain baliknya Raja ke Indonesia. Gue minta lo juga buat ikutan gabung. Mau semarah apapun, lo tetap harus dateng kan........
Sebagai temannya Raja?"
Suara Bima sempat menginterupsi langkah Lami yang kian menjauh dari mereka.
"Liat nanti ya, Bim. Ga bisa janji" Balasnya tanpa menoleh.
Lami menarik nafas berat, langkahnya terlihat tenang.
Kabar kepulangan pemuda itu benar-benar berhasil menghancurkan kembali hati yang sedang ia perbaiki.
...🍨🍨🍨...
Pemuda itu menghembuskan nafas pelan menatap nilai yang tercetak di raportnya.
"Kamu tatap lama-lama juga nilai yang ke cetak disitu ga bakal berubah."
"Kamu tuh mikir ga sih, gimana malunya Mami nanti kalo Papi mu tau nilaimu anjlok kayak gini?! Dengan ini saja, kamu sudah beri Papi mu dan selingkuhannya bahan buat jatuhin kita berdua, Wira!!"
Mahawira, pemuda berambut coklat itu kembali menghembuskan nafas kasar memutar bola matanya kesal.
"Mam, ga usah lah pedulikan mereka. Kita sekarang hidup berdua, bukan untuk penuhin ekspetasi mereka."
"Kamu masih belum paham ya? Mami sekarang udah stress banget karena Papi kamu sering jelek-jelekin Mami. Katanya Mami ga becus urus kamu disini."
Cornell terduduk, kepalanya terasa pusing.
Wira yang melihat kondisi Ibunya lantas bergerak mendekat ke belakang sandaran kursi sofa, mencoba menopang sang Ibu.
"Udah Mam, ga usah ngomel lagi. Saraf Mami udah tegang tuh. Kebanyakan ngomel sih." Wira mencoba meringankan ketegangan itu dengan memijat pundak sang Ibu secara perlahan.
"Wira, kamu tuh Mami ajak ke Indonesia, biar Mami bisa urus kamu walau hanya sebentar, sampai kamu akhirnya harus balik lagi ke Papi kamu untuk handle perusahaannya." Lirih Cornell pelan, meraih tangan sang anak semata wayang kemudian mengelusnya pelan.
"Wira ga mau balik kesana, Mam" Balasnya dengan suara sangat pelan, namun masih terdengar di telinga Ibunya.
"Kenapa? Kamu ga nyaman? Atau istri barunya Papi sering marahin kamu?"
"Iya, Wira ga nyaman. Karena yang dampingi Papi buat besarin perusahaan itu bukan Mami, tapi sahabat Mami yang udah rebut Papi dari Mami." Jawabnya tenang.
Cornell menghela nafas berat, ia juga sebenarnya tidak ingin melepas anaknya itu ke tangan sang mantan suami. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah terlanjur berjanji, untuk membesarkan anak mereka sampai sang putra tunggal mereka siap untuk mengambil alih perusahaan perangkat lunak yang didirikan mantan suaminya itu.
Wira berjalan pelan memutari kursi sofa, mendudukkan bokongnya ke tempat kosong disebelah Ibunya.
"Maaf, Mam... Wira emang tertarik sama perangkat lunak, makanya Wira ga nolak pas Mami minta Wira buat masuk ke SMK. Tapi Mam, tujuan Mami masukin aku kesana cuma untuk nyiapin aku jadi penerus Papi, bukan karena Mami mendukung minat aku. Jadi, aku harus melawan Mami dengan cara menjatuhkan nilaiku biar Mami tau, aku ga suka segala sesuatu yang berhubungan sama Papi."
"Egoku.... ga bisa nerima kenyataan kalo panutanku berubah jadi pecundang yang rusak kebahagiaan rumah kecilnya karena nafsu... Its so fucking annoying, Mam... Like.. you know what i mean.."
Cornell terdiam, tak tahu bagaimana harus merespon perkataan anaknya. Cornell jelas paham luka seperti apa yang ditorehkan suaminya itu kepada anak semata wayang mereka. Wira yang ceria dan selalu tersenyum tumbuh karena terbiasa dengan rumah yang hangat. Tapi saat itu, saat Wira tumbuh menjadi remaja yang mengalami pubertas, ia harus mengorbankan kebahagian dan senyum manisnya karena dilukai sang panutan.
Trauma, kejadian itu benar-benar memberikan dampak yang sangat besar dalam perubahan dirinya.
Tapi saat ini apa yang bisa Cornell lakukan sebagai seorang Ibu? Ia hanya ingin anaknya memiliki karir dan masa depan yang baik. Dan satu-satunya cara untuk menuju ke jalan itu ialah dengan menyerahkan Wira kepada mantan suaminya.
Lamunannya buyar saat Wira menarik Cornell ke dalam pelukan. Air matanya jatuh tanpa aba-aba.
"Mam, bisa ga aku pindah sekolah?" Tanya Wira tiba-tiba membuat Cornell terkejut menatapnya dengan tatapan bingung.
"Tiba-tiba banget? Kamu udah naik kelas 12 kenapa pindah?"
"Aku naksir cewek. Mirip Mami."
Cornell mengerutkan kening, hanya ada satu nama yang terlintas di benaknya saat Wira menyebut gadis yang katanya mirip dengannya.
"Emily?"
"Wira... Mami kan udah bilang—"
Wira menggeleng cepat, memegang bahu Cornell erat untuk menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang ada di kepala sang Ibu.
"Nanti aku kenalin kalo udah deket, hehe."
...🍨🍨🍨...
"Cieee co-ass" Goda Emily riang, si gadis cantik pemilik surai hitam panjang.
"Iyaa nih, haha. Btw Mil, kamu lanjut kemana?" Tanya balik pemuda itu, sibuk membantu Emily mengatur peralatan makan untuk makan anak siang anak-anak.
Jales, nama pemuda itu.
"Lanjut ke kampus yang deket aja, Kak. Soalnya kalo kejauhan, nanti anak-anak disini ga ada temen mainnya." Balas gadis itu.
"Katanya temennya Aul ada yang mau join juga jadi relawan buat bantu-bantu disini. Nanti temenan sama dia ya, jangan galak-galak."
Emily terkekeh pelan kemudian mengangguk mengiyakan permintaan sahabatnya itu.
"Aku juga bakalan sering mampir kesini kalo libur. Ga Usah khawatir."
"Kak Jales kalo punya waktu luang lepas co-ass, mending dipake istirahat. Simpen tenaga, masalah anak-anak kan banyak yang bantuin. " Balas Emily membuat pemuda itu tersenyum simpul.
"Kata Shafa kamu ga ambil beasiswa Aussie? Kenapa?" Celetuk Jales tiba-tiba, membuat gadis di sampingnya tersentak.
"Sayang banget loh, Mil kesempatan kayak gitu ga dateng dua kali."
"Ga mau ah, Kak. Takutnya aku ga bisa survive di negara orang. Bukannya ngasih benefit malah makin nambahin beban." Jawab gadis itu dengan senyum tipisnya.
Jales terhenti sejenak dari aktivitasnya, dalam hati merutuki dirinya sendiri yang sudah bertanya sembrono.
Bagaimana pun juga pasti ada alasan mengapa beasiswa yang ditanggung penuh oleh sebuah instansi itu ditolak. Apalagi mengingat masa lalu sang gadis yang sepertinya belum selesai di negara itu.
Jales menghela nafas berat, menatap teduh ke gadis cantik di sebelahnya.
"Lukanya.... masih sakit?"
Pertanyaan singkat dari pemuda itu yang tidak mendapatkan respon dari sang lawan bicara.
Gadis itu menghembuskan napas kasar. Air mata yang berusaha ia tahan jika topik mengenai lukanya dibahas, kini lolos tanpa aba-aba dari kedua kelopak matanya. Sakit, hanya itu yang bisa dirasakannya saat ini.
Jales yang jelas sadar akan kesalahannya karena telah mengungkit luka lama lantas menarik gadis bertubuh mungil itu masuk ke dalam rengkuhannya, berusaha menenangkan pikiran gadis itu.
"WIDIH SARJANA KEDOKTERAN NIH SENGGOL DONG!!!!" Seru Aul dengan suaranya yang cempreng memeluk sang kakak dari belakang.
"Allahu akbar Aul, gue ga bisa nafas." Sahutnya kemudian segera melepas pelukan adiknya itu dengan kasar.
Goresan tipis yang membentuk garis lurus akibat ketidaksengajaan nya membuat adiknya menjerit heboh.
"AULIA JANGAN TERIAK!"
"KAK ALE CAKAR AUL, BUNDA! MARAHINNNN"
"ALE GA SENGAJA, BUNDA"
"MAKANYA POTONG KUKU. BUSET GUE TUNTUT YA LO! GA HIGIENIS BANGET SIH JADI CALON DOKTER!"
"Iya nanti gue potong besok, sini duduk." Balas Jales melembut, capek juga teriak mengimbangi nada bicara sang adik.
Aulia mendengus sebal, mengusap tangannya yang masih kemerahan. Gengsi juga harus menuruti sang kakak yang habis melakukan serangan fisik tak disengaja. Tapi sisi lain yang ingin bermanja kepada sang Kakak mengalahkan gengsinya dan duduk tepat di sebelah pemuda dengan perawakan lumayan kekar itu.
"Terus gimana?" Tanya Aul merampas bantal sofa yang tengah dipeluk Jales. Membuat Jales yang tengah sibuk menonton lantas melotot sebal ke arah adiknya itu.
"Apanya yang gimana?"
"Aku ditinggal sendirian lagi, gitu?" Tanya Aul cemberut mengalihkan pandangan ke arah televisi.
"Gua co-ass di rumah sakit daerah sini doang elah, ga jauh." Cerocos Jales tak peduli.
"Tapi kan nantinya lo sibuk banget, ga bisa cakar kayak tadi." Balas gadis itu sarkas dan segera di hadiahi dengan tatapan sinis tak mau kalah dari lawan bicara.
Jales hanya bisa mendesah lelah, Aul tetaplah Aul dengan segala dramanya untuk memulai pertengkaran dengan dirinya.
"Alay lo, kayak gue tinggal nikah aja."
"Lah? Random banget bahas nikah?!!"
Layar benda kecil milik gadis itu menampilkan notifikasi yang refleks diintip oleh kakaknya.
"Belajar, Aul. Jangan Pacaran mulu." Kata Jales Sarkas
"Yang jomblo, diem." Sahut Aul cepat membuat Jales yang akan mengeluarkan kata-kata sarkas kembali menutup mulut.
"AULIA, ADA AMI." Teriak Riswan, Ayah dari kedua kakak beradik itu.
"SURUH MASUK, YAH. AUL DIRUANG TENGAH BARENG KAK ALE!!" Balas Aul ikut berteriak.
"Ga sopan banget sih. Teriak-teriak ke Ayah."
"Dih? Ayah juga tadi teriak???" Sahut Aul memeletkan lidahnya.
"Ami siapa dah?" Tanya Jales penasaran.
"Tuh yang itu. SINI MI, DUDUK SINI!!" Ajak Aul mendorong Jales untuk berpindah tempat kemudian menepuk-nepuk tempat bekas Jales untuk diduduki Lamia.
"Wait, gue ke dapur dulu. Antar ini ke Tante Vinni" Balas Lamia memperlihatkan tupperware yang ia jinjing.
Aulia mengangguk pelan, dengan senyum lebarnya.
"Cantik ga, Kak?"
"Cantik."
"Cantikan dia apa Kak Mily?"
"Mily lah."
"WHAT?!!!!!"
"Lagian kenapa sih, sembarangan banget compare orang. Lo kalo gue bandingin sama dia, sakit ga hati lo?"
"Kalo sama Lami, gue ngaku kalah cantik. Tapi kalo ke Kak Mily? Mohon maaf, kata Bima cantikan gue."
"Bilang ke Bima, kalo dia ada waktu sempetin ke dokter mata. Kasian gue liat dia di pelet ampe dibutakan oleh cinta gara-gara lo."
"Bima mah bersyukur, pacarnya seagama. Kalo nikah ya tinggal nikah, lah elo??? Udah bertepuk sebelah tangan, ceweknya gagal move on, beda agama lagi.YAHAHAHAHA"
"Anjing ya mulut lo. "
"BUNDA, KAK ALE KATAIN AKU ANJING"
"BERISIK KALIAN! TAU MALU DIKIT DONG, LAGI ADA TAMU!" Balas Vinni—Ibu mereka dari arah dapur.
Keduanya lantas terdiam setelah mendengar teguran itu.
"Jadi ga?" Tanya Lami saat balik dari dapur. Melangkah ragu mendekati kedua kakak beradik yang tengah sibuk bertengkar
Lamia tahu pemuda yang melirik ke arahnya. Jales, putra pertama kapten Riswan yang kuliah kedokteran. Pemuda yang sering Ibunya bandingkan dengan Mas Ari—sang Kakak nomor dua karena mereka seumuran tapi sangat bertolak belakang.
Lamia tentu saja penasaran dengan wujud dan kepribadiannya yang sering dicap sombong sama anak-anak kolong yang lain. Tapi sekarang? Saat ia punya kesempatan untuk mencari tahu, perasaan canggung benar-benar memenuhi ruangan tempat mereka berada.
Mungkin karena ini pertama kalinya mereka bertemu?
Aul meringis pelan menatap Lamia.
"Sorry ya Mi, gua ternyata udah janji duluan sama Bima. Maaf yaaa, besok deh gue temenin sekalian gua aja yang traktir."
"Ya Udahlah, gapapa. Gue juga tadi kesini karena disuruh nganterin bubur manado buat lo sekeluarga."
"EH KOK GITU???!! Gini deh, bareng gue sama Bima aja. Bima bawa mobil kok." Putus Aul akhirnya.
"Enggak ah, ga usah. Gue balik yaa, Bye." Pamit Lamia membalikkan badannya mulai melangkah pergi.
"Bareng gua aja. Mau kemana emang?"
Eh?
"Oh iya Mi, ini kakak gue, yang kemarin studi kedokteran di UI. Namanya Jales, panggil Ale aja biar akrab, hehe. Kakakku sayang, kenalin ini Lamia, temen Aul yang waktu itu Aul ceritain loh. Yang mau gabung jadi volunteer di rumah pintar." Sahut Aul mengenalkan, menarik lengan Lamia membuat gadis itu berputar, kini berhadapan dengan kakak temannya.
Jales mengangguk, menatap lurus ke dalam binar mata Lami yang terus menatap sana-sini.
"Jadi gue harus panggil lo apa? Lami? Ami? Mia? Mimi? Lala?"
"Lami aja, ga usah sok deket lo." Aul yang menjawab.
Jawaban yang terdengar ketus, mungkin karena perdebatan sebelumnya dengan sang adik?
Masa bodo lah. Toh, Jales juga bertanya seperti itu karena berniat untuk meluruhkan kecanggungan.
Lami masih berdiri canggung, dengan matanya yang terus berlari tidak bisa fokus menatap dua orang disekitarnya itu.
Jales yang notabene lulusan pendidikan dokter, jelas paham gerak-gerik Lami saat ini menunjukkan perilaku psikologis bahwa ia tidak nyaman berada dalam situasi itu. Entah apa alasannya, Jales juga tidak peduli.
"Tadi pertanyaan gue belum dijawab. Kalian mau kemana?"
"Eng—"
"Ke bakso geprek Bang Awal, tapi di cabangnya yang baru aja launching. Deket SMK Atmosphere. Temenin yaa, please please please. Anaknya letkol nih jangan jahat-jahat lo sama dia."
"Aul, apaan sih. Gue kan janjiannya sama lo."
"Duduk bentar, gua ambil jaket." Potong Jales cepat.
Lami melongo menatap kepergian Jales ke ruangan sebelah, hingga bayangannya menghilang di balik tikungan.
"Aul.. "
"Ganteng ga?"
"Aul... "
"Diantara kakak gue sama Raja, siapa yang paling ganteng?"
Lamia menghela nafas berat. Menatap Aul dengan tatapan memelas. Tetapi akhirnya menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.
"Jung Joon Hyung. Gue maunya yang atlet renang."
"Tapi akhir-akhir ini, gua oleng ke Nam Do San, Soalnya dia jago IT...."
"Intinya siapa aja, yang penting Nam Joo Hyuk."
Aul memutar bola matanya malas dengan jawaban Lami.
Jung Joon Hyung, Nam Do San, dan siapa lagi nama yang satunya?
"Yang realistis aja lah, Mi. Mana ada cowok se-perfect main character favorit lo. Fall in love kok sama tokoh fiksi, chuakssss"
Umpatan paling kasar benar-benar lolos dari mulut Lami. Aul tidak tersinggung, tidak juga marah dengan umpatan yang dilontarkan Lamia.
Karena menurutnya, ia berhasil memenangkan adu mulut jika sang lawan sudah tersulut emosi. Aul hanya tertawa sangat keras hingga memukul teman disebelahnya, yang makin membuat Lami emosi karena tidak sempat menghindar.
"Tapi ya Mi. Menurut pandangan mata normal gue, ayang beb Bim-Bim yang paling ganteng." Kata Aul kecentilan saat tawanya berhenti membuat Lami otomatis membuang pandangannya, geli.
'Ayang beb Bim-Bim.'
Hah... mendengarnya saja ia sudah mual.
"Ayo." Ajak Jales yang muncul dari balik belokan yang ada di dalam rumah. Berjalan mendahului Lami, tapi kemudian langkahnya terhenti karena menunggu Lamia berjalan mendekat ke arahnya. Tangannya refleks terulur, entah dalam keadaan sadar ataupun tidak Jales meraih tangan Lami untuk digandeng menuju ke arah pintu depan.
Aul yang melihat momen itu lantas heboh sendiri, tidak lupa mendokumentasikan kejadian langka yang mungkin tidak akan terulang lagi.
"Eh sorry, gue biasa digelendotin Aul. Jadinya refleks megang tangan lo..."
Jales lekas melepaskan genggamannya di pergelangan Lami. Takut gadis itu risih dengan perlakuannya barusan.
"Duluan ya, Ul. Byeee" Pamit Lami tanpa merespon Jales, kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan pemuda yang kini merasa canggung.
"Om, Lami pamit dulu yaa." Pamit Lami mencium punggung tangan Riswan.
"Om kirain kamu perginya sama Aulia......" Sahut Riswan sesaat kemudian disusul Jales yang ikut muncul dari dalam rumah dengan jaket denim yang sudah membaluti dirinya.
".... Ternyata sama Ale ya.."
"Lami mau cari makan, Ale juga laper. Jadi sekalian aja, biar sama-sama ada temen makan."
Riswan menatap anaknya dan Lami bergantian dengan senyum penuh arti.
"Jagain Ami. Harus tanggung jawab. Ingat kamu bawa pergi anak gadis, pantang pulang sebelum Ami masuk rumah. Ketemu Bapaknya langsung kalo sempet." Pesan Riswan.
"Jangan kayak cowo lain yang taunya nyulik anak orang depan gapura."
Lamia tak bisa menahan tawanya saat Riswan melontarkan sarkasme seperti itu.
Hah... Pantas saja, Bima sudah berani antar jemput Aul depan rumah, bahkan masuk sampai ke ruang tamu, ternyata karena sudah disidak Kapten Riswan.
"Ale berangkat, Yah." Pamit Ale menyalakan mesin motornya, tangannya dengan sigap meraih helm minion milik adiknya yang tersimpan rapi di nakas kecil penyimpanan helm di garasi.
"Temenin gue ke MedStore dulu ya, gue pengen nyari buku referensi buat co-ass. Abis itu kita lanjut cari makan." Kata Jales saat menyerahkan helm minion ke arah Lami.
Lamia mengangguk pelan, tanda setuju.
Jales tersenyum tipis, tangannya refleks memperbaiki posisi helm yang dikenakan Lami, dan mengaitkan kunci agar lebih aman.
Lami kaget dengan perlakuan itu, tapi ia hanya mematung tanpa penolakan.
"Ayo, keburu Isya"
Disamping itu, Aulia yang mengamati semuanya dari dalam lekas mengambil dokumentasi dalam bentuk insta story.
...🍨🍨🍨...
Jales menatap bingung buku yang tengah dipegang gadis dihadapannya itu.
Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam edisi 3
"Minat di kedokteran juga?" Tanya Jales tak mampu lagi membendung rasa penasarannya.
"Enggak" Jawab Lami tanpa mengalihkan pandangan membaca sinopsis di cover belakang buku.
"Trus kenapa megang itu? Pengen beli?"
"Enggak, cuma baca-baca sinopsisnya aja."
"By the way lo mau naik kelas 12 kan? Udah ada minat belum lanjut kemana?"
"Belum. Tapi paling ikut jejak Ibu atau mungkin ikut jejak Bapak karena tinggi gue diatas rata-rata." Jawab Lami seadanya.
Jales hanya mengangguk pelan tanda mengerti, tidak ingin melanjutkan topik itu.
"Kenapa?"
Lami menoleh menatap Jales bingung dengan pertanyaan kedua yang kembali dilontarkan pemuda itu.
"Hm?"
"Bingung aja. Kenapa pengen join jadi volunteer."
Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya Jales menanyakan hal itu.
Lami terlihat berpikir keras sebelum akhirnya ia berdehem pelan, berjalan lebih dulu meninggalkan Jales yang terdiam mematung ditempatnya. Tanda tak mau membalas.
"Kak Ale udah selesai nyari bukunya?" Tanya Lamia mengalihkan cerita, sambil melihat ke arah rak-rak buku, berniat mengembalikan buku yang ada di genggamannya.
Jales menatap lurus gadis di depannya itu, mengambil buku yang dipegangnya dan segera berlalu menuju kasir untuk membayar.
Jales sibuk menyalakan mesin motor saat Lami menyodorkan 3 lembar uang ratusan ke arah Jales.
"Buat apa?" Tanya Jales bingung.
"Bayar hutang. Tadi kan Kak Ale bayarin buku gue."
"Kata siapa gue bayarin buku lo? Orang itu gue beli buat referensi co-ass gue." Bohong Jales.
"Ini? Referensi lo buat co-ass?" Tanya Lamia mengerutkan keningnya tidak yakin.
"Hm"
"Yakin lo?"
"Iyalah, siapa tau aja kan berguna nanti pas gue co-ass" Jawabnya dengan yakin
"Oh..... Yaudah ini pegang." Ucap Lamia kembali menyerah uang yang ada di tangannya.
"Tolong pegang dulu, gue kan bawa motor."
Lamia menghela nafas pelan, meraih tangan Jales kemudian menyelipkan beberapa lembar uang ke telapak tangan pemuda itu.
"Gue mau ngasih duit, bukan nyuruh lo megang buku saat nyetir."
"Itu buat bayar bensin, gue ga enak udah ngerepotin."
Jales terkekeh, gemas dengan ekspresi sok tegas Lamia tapi terlihat juga dia seperti takut kepadanya.
Tangannya dengan lembut meraih tangan Lami, mengembalikan uang milik gadis itu.
"Anak SMA udah berani ngasih duit segini banyaknya emang udah punya penghasilan?"
"Tapi Kak, kata abang-abang gue—"
"Bayarin parkir aja, lo punya uang recehan kan?"
Lamia mengangguk.
"Oke, case completed. Ga usah keras kepala, jadi mirip Ari."
Lamia mendengus sebal mendengar kalimat terakhir.
Memangnya kenapa kalau dia mirip Ari? Toh dia juga adiknya Ari, wajar kan kalau mereka mirip?
"Jadi, mau makan di cabang atau ke pusatnya langsung?"
Lami terlihat berpikir, namun akhirnya memutuskan.
"Pusatnya aja, deh. Bakso geprek Bang Awal lebih enak kalo Bang Awal sendiri yang jualan." Jawabnya tersenyum sumringah.
"Ayo, naik."
Jarak antara MedStore dengan dengan perumahan militer tempat tinggal mereka memang tidak terlalu jauh. Tapi karena suasana hening yang hanya terdengar suara bising kendaraan membuat jarak 500 meter terasa begitu jauh.
Berulang kali tanpa disadarinya, pemuda itu sibuk memperbaiki posisi spion untuk melihat wajah cantik gadis yang yang duduk di belakangnya. Sesekali senyum lebar yang manis itu terukir di wajah tampan pemuda itu tetapi harus tersembunyi dibalik helm full face nya.
"Makasih, Kak." Ucap Lamia tulus saat Jales memberhentikan motor besarnya didepan kedai makan favorit keluarganya.
"Mau makan disini?" Tanya Jales melepas helm, memperbaiki tatanan rambutnya yang acak-acakan.
"Iya" Jawab Lami singkat kemudian berjalan meninggalkan Jales memasuki kedai itu.
"Bang Awaaaaaal, satu porsi untuk aku sama — wait ku tanya dulu dia mau apa" Pinta Lami menepuk pundak penjual.
"Kak, mau apa?" Teriak Lami saat melihat Jales belum turun dari motor dan hanya memperhatikannya dari kejauhan.
"Samain aja" Jawabnya kemudian menuruni motor melangkah masuk ke dalam menyusul Lami.
"Duduk dimana?" Tanya Jales saat mendapati Lamia yang malah asik membantu Bang Awal membuat sambal.
"Terserah Kak Ale aja, nanti gue nyusul abis buat ini." Jawabnya sembari mengangkat ulekan.
"Waduh, cakep bener, Neng. Pacarnya ya?" Tanya Bang Awal menggoda.
"Ya Kali, Bang. Ganteng gitu, kok mau sama saya"
"Lah? Neng Ami juga cakep atuh. Ga mandi aja mirip Billi Hadid"
"Bella Hadid, Bang."
"Bukan. Yang saudaranya."
"Gigi Hadid?"
"Nah iya. Mirip kan?"
"Jauh bangetttt, aku mah miripnya Kendall Jenner"
"Buset si neneng, ya udah terserah si neneng aja maunya dimiripin sama siapa. Yang jelas mah Neng Ami cantiknya mantulita, tinggi juga, kalo nyalonin diri jadi model mah pasti keterima. Kalo ga percaya tanya tuh sama si Mas ganteng"
Lamia memutar bola matanya, bagaimana ia mau bertanya ke pemuda itu sedangkan mereka masih canggung sampai sekarang?
"Kok Abang tau saya belum mandi?" Tanya Lamia mengalihkan pembicaraan.
"Bau, Neng." Jawaban singkat dari Bang Awal refleks membuat gadis itu mencium badannya sendiri.
"Enggak bau ah, Bang."
"Ya emang enggak, orang abang cuma becanda doang.."
Jales terkekeh, mendengar obrolan mereka. Rasanya lucu melihat gadis itu dengan mudahnya berbaur dengan lingkungan sekitar.
Terlihat jelas saat Lamia juga ikut mengantarkan pesanan ke arah kumpulan anak-anak muda yang Jales yakini mereka juga pasti anak-anak tentara angkatan laut yang tinggal di perumahan militer, tidak ada rasa canggung saat ia bercengkrama bahkan menertawai hal bodoh bersama.
Jales benar-benar terhanyut, entah sejak kapan tapi rasanya ia sudah jatuh ke dalam pesona gadis itu.
"Cobain, Kak" Katanya meletakkan pesanan mereka berdua diatas meja.
"Kamu karyawan disini juga?"
"Enggak"
"Trus kenapa mau ikut bantuin Abang itu jualan?"
Lamia tidak merespon, dia paling tidak suka diajak mengobrol saat sedang makan.
Selain karena menjaga etika karena didikan Ibunya, Lami juga bisa lost feeling sama makanannya karena diganggu oleh orang lain.
"Emang kalau mau bantuin orang harus ada ada alasannya ya, Kak?"
"Hm. Ga mungkin kan lo tiba-tiba tertarik ikut beginian? Pasti ada satu hal yang mendasari niat lo sampe lo tergerak."
"Kalau gitu, jatohnya jadi ga ikhlas dong?"
"Selama masih bisa bantu, ya bantu. Ga harus nunggu sesuatu yang menggerakkan niat dulu baru turun membantu orang lain."
Senyap. Tak ada balasan dari Jales.
Ada senyum lebar yang terlukis diwajah tampannya.
Ah, perasaan apa ini?
Jantungnya... berdebar kencang hanya karena jawaban yang terkesan klasik?
Kok bisa?
"Oh iya, semoga ini juga bisa jawab pertanyaan Kakak pas di MedStore ya." Jawabnya kemudian kembali fokus menyantap makanan di hadapannya.
Jales yang awalnya ingin menyuapkan bakso kedalam mulutnya memilih urung, mengangkat alis sebagai tanda agar gadis itu kembali melanjutkan pembicaraan.
"Gue pengen jadi volunteer karena rasanya nyaman bisa berinteraksi dan bisa bagi apa yang gue punya dengan orang lain."
"Tapi kadang niat tulus kayak gitu malah dituduh karena ada sesuatu yang mendasari, agak kesal juga sih.... Makanya gue males ladenin pertanyaan-pertanyaan kayak gitu."
Jales benar-benar kehilangan fokus. Matanya terus menatap perempuan yang senyumnya tidak pernah hilang saat mengobrol.
Terlebih lagi lesung yang menghiasi kedua pipinya benar-benar membuat pemuda itu semakin jatuh dalam pesona.
Letkol Pandu yang terkenal punya anak tengah berandalan, ternyata menyimpan harta karun secantik ini?
Gadis didepannya akan jadi sangat sempurna, jika saja wajahnya tidak menyerupai Ari.
Memikirkan dia berjalan dengan Ari versi perempuan membuat dia bergidik geli.
Tapi itu, tidak menjadi alasan untuk berhenti mencari tahu tentang gadis dihadapannya.
Jales benar-benar harus pakai koneksi Ayah untuk mendekatkan mereka.
"Oh iya Kak, karena berhubung kak Ale udah balik ke kota ini, perbanyak komunikasi sama anak-anak lain ya, Kak. Rata-rata mereka pada ga ngenalin anak sulungnya Kapten Riswan."
"Hm. Nanti temenin gue ya buat interaksi sama yang lain."
"Ibu, Ami bawa bakso geprek"
"Heh, kamu tuh. Dateng-dateng bukannya Assalamu'alaikum dulu, malah teriak ada bakso." Kejut Pandu yang tengah berdiri dari balik jendela ruang tamu lekas menghampiri anaknya yang terkejut setengah mati.
"Taruh dimeja dapur aja, Dek. Ibu lagi nyetrika." Balas Ratna yang diperkirakan sedang berada di ruang tengah.
Ayah gadis itu mengekori sang anak yang berjalan ke arah dapur, mengambil piring untuk wadah bakso yang habis di belinya.
"Darimana?" Tanyanya membantu Lami yang kepayahan membuka ikatan plastik.
"Anter bubur manado ke rumah Om Riswan." Jawab sang anak datar. Matanya melirik ke arah jam sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajah.
"Kamu nganternya ke Makassar apa gimana, Dek? Lama banget..." omel Pandu.
"Aku udah izin sama Ibu mau jajan."
"Bu, Adek izin ke Ibu ga kalo pergi jajan sama siapa?"
"Katanya sama Aulia"
"Nah loh... Bohong kan kamu, sejak kapan Aulia jadi laki-laki?"
Lamia menghela nafas pelan, mengacuhkan sang Bapak yang terus mengekorinya ke ruang tengah.
Sampai sang Bapak melebarkan langkahnya, mencegat sang bungsu dari depan.
Tatapan memelas langsung terpancar saat sang Bapak melipat kedua tangannya di depan dada dibarengi dengan tatapan yang tegas.
"Pak, itu anak sulung Kapten Riswan, kakaknya Aul...." Katanya dengan nada suara yang pelan, karena terintimidasi.
Bagaimana tidak, melipat kedua tangan depan dada dengan sorot mata yang tajam dan tegas diartikan sebagai siaga satu kemarahan sang Bapak.
Mending dijawab saja, daripada dia dihukum push up atau disuruh jogging malam.
Energi Lami sudah habis karena tadi full digunakan saat berada di kedai Bang Awal.
Berinteraksi dengan banyak orang jelas menghabiskan social battery. Jadi dia tidak ingin melakukan sesuatu yang membuatnya kembali boros energi.
"Aku kan tadi laper tuh mau jajan, trus tadi rencananya mau balik dulu baru ajak Mas Ari buat anterin jajan karena Aul ga bisa. Tapi, ternyata si Kak Ale ini pengen jajan juga. Jadi ya udah, bareng jajannya.... " Jelasnya kemudian melemparkan tubuhnya ke sofa yang ada di ruang tengah.
Rumah minimalis khas perumahan itu terasa sunyi. Berisikan lima orang, tapi hanya tiga yang ada di dalam, entah dimana keberadaan dua orang lainnya. Lami penasaran, tapi gadis itu urung bertanya karena malas.
Mengeluarkan satu suara sama saja dengan memboroskan energinya. Jadi, masa bodo lah.
"Ale? Yang kemarin baru aja sarjana kedokteran?" Tanya Ratna menghentikan aktivitas menyetrika. Menatap anak bungsunya penasaran.
Lami mengangguk acuh, terfokus pada sinetron yang ditonton Ibunya.
"Naksir ga kamu sama dia?"
"Gak"
"Coba dulu ah, PDKT"
"Gak"
"Manis loh, dia"
"Ga mau, nanti diabetes."
"Manis yang itu ga bikin diabetes, Dek."
"Bisa."
"Ck. Kenapa sih? Cakep loh dia, Mi. Masa depannya juga udah cerah banget kayak layar hape Bapak. Om Riswan 2 tahun lagi naik pangkat jadi Mayor, pinter lagi loh dianya. "
"Ga minat, Bu. Aku sukanya orang bego." Jawabnya asal, tangannya meraih toples mini berisi kacang telur.
"Istighfar kamu. Dikasi cowo bego beneran sama Allah, panik."
"Gapapa. Soalnya aku udah pintar."
"Lagian, kamu kenapa sih.. Ibu kasih rekomendasi cowo baik-baik malah mau cowo yang ga bener."
Lamia mendengus sebal, bangun dari posisi tidurnya, menyamai sang Ibu yang duduk di karpet.
"Bu, ciri-ciri yang Ibu sebutin dari Kak Ale tadi, semuanya ada di Mas Ari, bahkan lebih unggul Mas Ari dari Kak Ale."
"Mas Ari dari umurnya 18 tahun udah bisa ngehasilin uang dari kerjanya jadi abdi negara. Sedangkan Kak Ale? Udah umur segini, tapi masih berproses buat dapetin gelar dokter. Sekalipun masa depannya seterang layar hp Bapak, tapi masa depan Mas Ari juga bagus-bagus aja kok, dia juga udah jago managed keuangan dia sendiri sampai bisa beli motor plus ngontrak rumah sendiri, di perumahan elit pula. Trus ngomongin Kapten Riswan yang 2 tahun lagi naik pangkat jadi Mayor, suami Ibu tuh pangkatnya lebih tinggi. Jabatannya Danlanal lagi. Ngomongin pinter, Mas Ari juga pinter tuh karena didikan Ibu."
"Kamu nih, kebiasaan balas omongan orang tua. Ibu tuh ngomong gitu biar kamu tuh ke motivasi loh... Karena ada kemiripan, seenggaknya kan kamu jadi yakin buat PDKT an sama Ale."
"Justru karena kemiripan itu Bu, aku jadi kepikiran. Bisa jadi kelakuan Mas Ari yang itu juga ada di Kak Ale. Kalo karmanya Mas Ari kena lagi ke aku, gimana? Yang kemarin aja belum sembuh, udah ada lagi yang baru, makin sakit Bu yang ada."
Kalimat terakhir itu hanya bisa ia lirihkan, terdengar pelan tapi Ratna bisa mendengarnya dengan jelas.
"Mulai—"
"Ini bukunya, kelupaan atau gimana?" Tanya Pandu meletakkan buku yang tadi dibeli sang anak.
"Lah iya. Yaudah nanti aku titip ke Aul aja."
"Bapak udah telfon Kapten Riswan minta tolong mau ngomong sama si Ale, trus katanya itu emang punya kamu. Nanti dia kesini mau pinjam."
Ratna melotot ke putri bungsunya.
"Udah ada minat di kedokteran?"
"Gak."
"Lah trus itu? Kapan kamu belinya, Mi? Jangan bilang kamu mau caper ke Ale? Parah ih effort nya sampe harus beli ginian. Kamu ga jual nama Ibu, kan?"
"Satu-satu, Ibu. Ya ampun... Lagian ya, ya kali aku caper pake buku ensiklopedia anak kayak gini."
"Kenapa?" Tanya Pandu yang dari tadi sibuk kesana kemari kembali ke ruang tengah menyodorkan bakso geprek.
Peka dengan sang istri yang sibuk melipat baju, Pandu langsung berinisiatif menyuapi sang istri.
"Apanya yang kenapa?"
"Kenapa belum ada minat di kedokteran? Kamu ga mau jadi kayak Ibu? Dokter syaraf?"
"Mana berani, Pak. Aku liat jarum aja tremor." Dengus Lamia kesal dengan pertanyaan Bapaknya.
"Bisa itu di terapi. Bapak aja dulu takut tenggelam, tapi sekarang pas kerja udah enggak lagi."
Lamia menghela nafas berat. Mengacuhkan perkataan terakhir sang Bapak yang tengah sibuk bermesraan dengan sang istri tercinta.
"TNI AL aja ya? Ikut Bapak."
"Ga."
"Tinggi kamu lumayan, fisik kamu juga sehat. Jadi abdi negara bagus ini, ikut Ari jadi polisi atau masuk KOWAD juga boleh. Bapak daftarin akmil kalo kamu serius."
"Gak, makasih."
"Trus kamu mau jadi apa?"
"Jadi diri sendiri."
Pandu tertawa lepas saat Lamia melontarkan jawaban tak terduga itu.
"Kamu nih ditanya serius sama Bapak, jawabannya malah ngaco. Jawab yang bener ah, biar Bapak sama Ibu tuh tau tabungan masa depan kamu budgetnya udah sesuai belum sama cita-cita kamu. Kalo kurang kan kita tau, kurangnya lagi berapa." Omel Ratna.
Entah yang sudah ke berapa kalinya Lami menghela nafas berat. Dia masih terlalu muda, pikirannya belum sampai disitu.
Baru beberapa bulan yang lalu dia pergi ke kantor catatan sipil untuk membuat KTP, itupun ditemani kakak tertua karena dirinya malas menanggapi pegawai di sana yang menanyakan data dirinya. Tapi sekarang? Pening rasanya saat keluarga cemara itu menanyakan sesuatu yang bahkan dia sendiri bingung harus jadi apa di masa depan.
Memikirkan kegiatan apa yang akan dilakukan untuk besok hari saja dia malas.
"Ami mau investasi ke badan sama muka aja biar bisa dapet suami konglomerat, kayak Nia Ramadhani. Kan lumayan, ga perlu repot-repot kerja eh uang ngalir terus." Jawab Lamia asal.
"Mulut kamu, nih. Jangan mau ah bergantung sama harta suami. Kalo kamu dapet suami kaya tapi sering selingkuh gimana? Kalo diceraikan ya sudah, kamu masih punya uang sendiri. Mereka juga jadi ga bisa nginjak kamu seenaknya."
"Ya allah, Bu. Doanya jelek banget." Lirih Lamia pelan, hatinya terasa sedikit ngilu.
"Biarin Lami mikir dulu, lah. Masih panjang juga, jangan terlalu di push. Kasian" Bela Pandu agak tersentak dengan kalimat yang baru saja dilontarkan sang istri.
Pandu paham dengan maksud yang ingin disampaikan sang istri, tapi ia rasa penyampaiannya salah karena bahasanya terlalu kasar. Pandu tidak ingin, itu malah akan melukai hati anak bungsunya, jadi dia harus menghentikan obrolan ini.
Pandu tipikal Bapak yang tidak mengizinkan anak-anaknya dikatai dengan kasar oleh siapapun.
Termasuk, istrinya.
Jika Ratna ingin mendisiplinkan atau mengajarkan etika kepada sang anak, Pandu akan memberikan kuasa sepenuhnya. Tapi dengan syarat, penyampaiannya tidak boleh sampai menyakiti sang anak.
Jika mengadakan survei di perumahan Bahari itu tentang siapa yang parenting nya layak dijadikan panutan, Pandu dan Ratna si penghuni rumah A-8 yang akan mendapatkan polling terbanyak.
Pandu yang menempa tiga anaknya dengan didikan militer untuk ketahanan fisik, dan bagian psikis akan diserahkan kepada sang istri.
Jika salah satunya berlebihan dalam mendidik, yang satu akan jadi penengah untuk menetralisir keadaan.
Selalu memberikan ruang untuk anak-anaknya berpikir atas segala penyelesaian masalah yang mereka hadapi, menampung alasan dan memberikan masukan jika anak-anaknya bimbang dengan jalan mereka dan tegas jika kesalahan yang dilakukan sang anak melanggar moral dan hukum.
Lami tidak bisa menutupi matanya yang terlihat berkaca-kaca karena omongan sang Ibu. Tapi mau bagaimanapun, Lami sadar Ibunya sampai harus berbicara seperti itu karena kesalahannya sendiri yang terlalu meremehkan masa depannya.
"Maaf, Ibu..." Lirihnya pelan.
Pandu yang bangga melihat anaknya yang cepat sadar akan kesalahannya, lantas segera bangun dari duduknya dan memeluk sang anak dengan erat.
Pelukan erat yang terasa hangat dan menenangkan, sehingga Lami bisa melupakan kalimat menyakitkan sebelumnya.
Siapa yang tidak bahagia jika terlahir dalam keluarga yang seperti ini?
Lamia teramat sangat bersyukur dilimpahi kasih sayang sebanyak ini.
Disaat anak-anak lain kehilangan kehangatan dalam rumah, dia benar-benar mendapatkannya secara utuh. Meskipun ia sendiri terlalu gengsi dalam menunjukkan rasa syukurnya.
Ini definisi rumah, yang benar-benar rumah menurutnya.
...🍨🍨🍨...
"Ami!" Panggil Lio mendekat ke arahnya, mendorong pelan Lami yang tengah berbaring untuk menyediakan ruang untuk dirinya.
"ABANG IH, NGAPAIN?!" Teriaknya yang merasa terganggu dengan kedatangan Kakak pertamanya itu.
"AC kamar Abang ga dingin." Sahut Lio merampas guling milik Lami.
"Tidur di kamarnya Mas Ari lah. Jangan disini." Tolak Lami mendorong Lio hingga menciptakan jarak besar diantara mereka.
"Ya allah, Dek. Bentar doang. Pelit banget astaga!"
Lamia mendengus sebal memperbaiki posisinya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. Hilang sudah moodnya untuk tidur malam itu, kantuknya hilang terganti dengan emosi ringan yang tertahan.
"Ami, numpang ngadem ya." Ucap Ari yang ikut masuk ke dalam kamar gadis itu, membaringkan badannya di kasur Lamia membuat gadis itu duduk melongo menatap kedua kakaknya itu bergantian.
"Ini kenapa pada ngungsi disini sih?"
"Kata Bapak harus hemat listrik. Malem-malem ga boleh nyalain semua AC."
Lamia melotot tak percaya dengan alasan yang baru saja dilontarkan sang kakak tertua.
Sejak kapan Bapak jadi perhitungan masalah listrik?
"Geser, Mas."
"Kalian berdua jangan rusuhin Adikmu. Kasian dia mau istirahat, malah dipepet gitu." Tegur Bapak yang kepalanya menyembul dari balik pintu.
"Adek ngajakin kita jogging malem, Pak. Bareng Bapak sama Ibu juga."
"Sembarangan kalo ngomong"
Lamia reflek menoyor sebal kepala kakak nomor duanya itu.
Pandu menggeleng pelan melihat tingkah anak-anaknya yang saling meledek satu sama lain. Senyum lebar terus melengkung di wajahnya itu.
"Kalian aja, Bapak sama Ibu mau istirahat, besok mau flight."
"Kemana, Pak?"
"Ada undangan pelantikan sama sumpah dikmaba."
"Oh okay, nanti Lio antar besok ke bandara."
"Emang kamu ga ngajar? Besok senin loh.."
"Mahasiswa pasti seneng Pak, kalo dosen killer kayak aku ga masuk."
Lamia mendecih sinis dengan jawaban enteng yang keluar dari mulut Lio.
Sadar diri, ternyata.
"Makan gaji buta itu namanya, jangan dibiasakan." Tegur Bapak sinis, ikut masuk ke dalam kamar. Menyentuh segala printilan kpop sang anak gadis yang di lemari kaca sebelah pintu.
Lio terkekeh canggung sampai teriakan sang Ibu diruang tengah terdengar menyuruh sang Bapak untuk segera menyusul ke arah sumber suara untuk menyiapkan beberapa barang yang mau di bawa.
"Jangan berantem, seminggu ke depan kalian bertiga doang di rumah. Saling jaga, saling sayang. Lio, Ari, kalian punya adik cewek. Jangan tinggalin Ami sendirian di rumah. Kalo sampe ada satu aja yang laporan ga enak masuk ke telinga Bapak, tiga-tiganya Bapak suruh bersihin eek saudara angkat kalian di belakang." Ancamnya kemudian terkekeh geli melihat ekspresi ketiga anaknya yang mendadak kaku.
Saudara angkat yang dimaksud disini, tidak lain dan tidak bukan adalah tiga ayam yang dijadikan kerja sampingan sang Bapak. Ndoro, Kanjeng, Raden. Nama-nama yang benar-benar mewah untuk tiga ekor ayam betina yang tidak bisa cebok sendiri.
Omset dari jualan telur, lumayan katanya. Sampai meminta Bang Lio untuk memperbesar bisnis itu yang langsung ditolak mentah-mentah oleh si sulung.
"Pak, aku nih magister engineer. Aku dosen sipil, mana paham Pak aku sama bisnis telur ayam." Itu jawaban yang akan selalu dilontarkan Lio jika sang Bapak tiba-tiba membahas ayam.
Pandu bergegas meninggalkan ketiga anaknya yang masih terdiam, menyusul sang istri yang sudah mengomel karena panggilan pertama tidak diindahkan.
Setegas apapun Pandu sebagai seorang suami, tetap saja ia punya label suami takut istri.
"Eh, Ami serius. Ayok jogging." Ajak Ari
Lio menaikkan kepalanya menatap Ari tajam.
"Udah jam 11, lo mau caper ke siapa jogging jam segini."
Lamia mengangguk setuju dengan sahutan si sulung.
Jam 11 malam ngajakin jogging? Kalo tiba-tiba ada yang ikut jogging di belakang mereka gimana? Mana di blok D perumahan banyak pohon pisang lagi, jatohnya kan serem.
"Bentar doang, Bang. Cuma muter sekali aja sampe blok B situ. Mager banget olahraga ga ada temennya."
"Ya udah sama gue aja. Trus gue tinggalin lo di jalan tikus ke blok D. Ganteng gini, lumayan buat yang di pohon pisang sana"
"Bangsat."
"JANGAN NGOMONG KASAR-KASAR YAAA, IBU DENGERRRR" Teriak Ratna.
Ah, sepertinya Ibu masih ada diruang tengah. Mengatur beberapa pakaian yang akan dibawanya, sekalian menyelesaikan sinetron-sinetron malam yang sering ditonton.
Kamar Lami letaknya berada tepat diruang tengah. Itulah alasan kenapa semua penghuni rumah senang masuk ke dalam kamarnya, entah untuk meminjam bantal jika ingin rebahan beralaskan karpet di depan TV atau sekedar mengganggu aktivitas sang bungsu.
Tapi satu alasan yang pasti. Pandu takut jika kamar si bungsu di depan, dia mungkin akan mulai berani mengajak bahkan menyembunyikan pemuda di dalam kamar.
Pemikiran buruk sang Bapak. Seperti Lami punya nyali saja.
"Bang, ini mahasiswi lo bukan?" Tanya Ari menjulurkan hapenya ke tengah biar bisa dilihat oleh mereka bertiga.
Lami yang penasaran juga ikut menoleh, penasaran dengan 'cewek' yang mana lagi yang akan dipacari sang kakak nomer dua?
"Bukan, dia mah anak FIKOM"
"FIKOM?"
Helios mengangguk pelan.
"Fakultas Ilmu Komputer. By the way, lo kenal dia darimana deh? Orang semahal itu, ga mungkin ngajakin lo kenalan duluan."
"Hah?"
"Value nya mahal, definisi untouchable. Ari ga bisa dapetin dia, Abang jamin."
"Kalo gue dapet? Mercy lo kasih ke gue ya."
"Sembarangan banget lo minta mercy. Gue belinya nabung ya bangsat."
"Halah, pajaknya aja masih di bayarin Bapak. Sok-sokan pamer beli pake tabungan sendiri. Gaji dosen lo aja masih pas-pasan."
"Gue gunting juga ya mulut lo. Sembarangan banget kalo ngomong. Sertifikasi dosen gue bisa beli harga diri lo ya!"
"Ya kali harga diri gue 20juta doang."
"KALO MAU ADU BACOT BISA GA, JANGAN DI KUPING AKU?!!!!" Amuk Lami yang tidak tahan lagi.
Bagaimana tidak? Mereka yang saling sahut-sahutan dengan suara yang besar, benar-benar menembus gendang telinga di kiri dan kanannya.
Dua Kakaknya terdiam, kembali memfokuskan pandangan di layar hape masing-masing.
"Kenapa coba Mas Ari ga bisa dapetin?" Tanya Lami yang pikirannya masih stuck pada pembahasan sebelumnya.
Lio menoleh, sempat berpikir pembahasan mana yang sedang di bahas si bungsu, sebelum akhirnya berdehem membalas pertanyaan itu.
"Cewek yang itu aktivis jalanan, dia sering ambil peran buat jadi korlap dan turun orasi. Ga bakalan cocok sama Ari yang sering bentrok sama massa karena jadi tamengnya pemerintah. Padahal nih ya, Bapaknya tuh anggota komisi DPR RI. Mana Bapaknya sering ngasih jatah beasiswa lagi untuk kampus."
"Sejauh ini juga Abang belum pernah liat dia deket sama cowok lain selain temen cowo yang selalu bareng dia."
"Pacarnya kali, Bang."
"Bukan, Abang udah pernah nanya ke kembarannya trus katanya mereka ga pacaran."
"Dia punya kembaran?" Tanya Ari excited dengan topik itu.
"Hm, tapi kembarannya cowok. Mahasiswa gue di teknik sipil."
Ari kembali menyandarkan punggungnya di tempat tidur karena kehilangan minat pada topik yang dibahas.
"Mas Ari ketemu dia dimana?" Tanya Lami yang penasaran dengan gadis yang diceritakan sang kakak nomer satu, tapi tidak berminat mendengar latar belakang gadis yang malam itu jadi topik ghibahan mereka.
"Pas demo minggu lalu di kampusnya dia. Gila woi, orasinya keren banget. Mana abis turun dari mobil pick up langsung ngerokok lagi."
"Coba deh bayangin gimana Mas pacaran sama dia, ga bakal ada lagi yang ngelarang Mas ngerokok. Yang ada kita malah cigarette date sambil deeptalk bahas-bahas yang berat terus bahas masa depan kita."
"Jiwanya juga bebas, jadi ga ada yang ngatur-ngatur Mas. Kamu tau sendiri kan Mas orangnya paling ga suka diatur, dia juga ga menye-menye banget. It's like we're in relationship tapi kita bisa hidup di dunianya kita tanpa di distract sama pasangan kita. Keren ga bayangannya?"
Lamia sedikit terkejut, raut wajah Ari terlihat sangat antusias saat menceritakan gadis yang saat ini sedang ditaksir kakak keduanya.
Lamia mengernyit kebingungan, raut wajah itu tidak seperti biasanya. Ini bukan pertama kalinya Ari bercerita tentang gadis yang ingin didekatinya, tapi biasanya Ari akan menceritakan mereka dengan ekspresi yang hanya penasaran, bercerita sekedarnya, dan hanya membahas kecantikan mereka saja.
Namun sekarang? Bagaimana bisa Ari yang sering terlihat menggandeng bahkan memacari cewek yang feminim, manis dan mudah diatur tapi kini tertarik dengan perempuan dengan sifat yang seperti itu?
Lamia bisa membayangkan bahwa gadis yang katanya memiliki karakter keras kepala dan jiwa yang bebas mirip seperti Ari. Lami bahkan bingung, Ari benar-benar menjelaskan dirinya atau sedang bercerita tentang gadis yang sedang ditaksirnya? Lagipula, jika mereka bersama bukankah tidak akan bertahan lama? Jika kedua kubu magnet yang sama bertemu, hasilnya tak akan pernah menyatu kan?
Jika keduanya berwatak keras, siapa yang nantinya akan mengalah? Hubungan ini tidak akan pernah berhasil, dan entah kenapa Lamia merasa khawatir.
"Kamu restuin ga kalo mas deketin dia?"
"Ga. Dua kepala batu disatuin, bisa fatal. Ga bakal ada yang ngalah."
Lio mengangguk, membuka laci sang adik mencuri beberapa bungkusan yupi.
"Ish kamu tuh. Kamu tau ga se attractive apa cewek dengan aura kayak gitu? Kapan lagi, Mas—"
"Ini cuma ketertarikan sesaat, aku dah hapal siklus love story nya Mas Ari. Udah ah, ga usah bahas ginian kalo ujung-ujungnya Mas deketin mereka karna penasaran doang."
Lio tertawa renyah karena si anak tengah berhasil dibungkam telak oleh si bungsu.
"Rasain lo, diomelin anak SMA."
Ari mendengus sebal melirik ke hapenya yang terus bergetar tanda ada telepon masuk, tapi ia abaikan karena lirikan tajam dari sang adik.
"Raja udah balik nih, katanya pengen ketemu tapi kamu ngehindar mulu."
Lamia terkekeh pelan dengan tatapannya yang kosong menembus isi hape Ari.
Ari sialan, setelah membuatnya lelah memikirkan mangsa barunya, dia malah ikut mengacak-acak mood Lami saat ini dengan membawa nama itu.
Benar-benar si pengacau ekosistem mood
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!