Di depan salah satu ruangan rawat pasien di rumah sakit kini sudah berkumpul semua anggota keluarga dari Rehan Wijaya, dari raut wajah mereka menyiratkan kesedihan yang mendalam.
Di atas ranjang pasien terbaring lemah seorang pria yang usianya 28 tahun ia adalah Rehan Wijaya yang merupakan seorang karyawan swasta yang menjabat sebagai manajer saat itu namun sejak di vonis sakit kanker paru-paru 5 bulan lalu ia harus melawan penyakitnya dengan keluar masuk rumah sakit.
Disampingnya ada seorang wanita yang menjadi pujaan hatinya sejak 2 tahun lalu yang berhasil dijadikan seorang istri dia adalah Rania Az-Zahra.
Rania selalu setia menemani Rehan di rumah sakit selama 5 bulan terakhir tidak pernah sekali pun ia absen untuk menjaga dan merawat suaminya.
Beberapa jam yang lalu dokter yang bertanggung jawab atas Rehan mengabarkan bahwa pasien Rehan meminta seluruh anggota keluarganya untuk berkumpul.
Karena sebelumnya Rehan mengalami semi koma dan menurunnya tingkat kesadaran pasien beruntung dokter cepat menangani hingga bisa melewatinya.
Maka di luar ruang rawat ini lah semua anggota keluarga berkumpul ada ibu, bapak, adik dan tentunya Rania sebagai istrinya duduk di kursi tunggu rumah sakit.
Mereka semua kini harus menunggu dokter yang sedang berjuang menagani Rehan, Rania di suruh keluar oleh Perawat setengah jam yang lalu saat Rehan kembali kejang-kejang.
"Mbak Rania sudah jangan menangis lagi" Ujan Rina adik bungsu dari suaminya.
"Iya toh Rania kasihan Rehan" sahut Bu Ana mertua Rania dengan wajah datarnya.
"Loh bu kemana Ryan kenapa belum ada disini" Tanya Pak Rasid yang tak lain adalah Bapak mertua dari Rania.
"Mana ibu tahu toh pak kemana anak bujangmu itu coba suruh Rina hubungi dia suruh cepat kerumah sakit kasihan Rehan nungguin loh pak" Jawab Bu Ana.
"Rina sudah bilang sama kak Ryan untuk kerumah sakit pak dari setengah jam yang lalu" Sahut Rina
"Kalian kan satu sekolah kok bisa nggak bareng ke rumah sakitnya nak" Pak Rasid mengelengkan kepalanya.
"Ya mana Rina tahu pak, Rina izin tadi kak Ryan juga udah nggak ada di sekolah kok"
"Ya sudah di tunggu aja Ryannya pak, kasihan loh ini Rania nangis terus kok malah pada debat" Bu Ana menatap sendu pada sosok menantunya itu.
Dokter masih di dalam sedang menangani Rehan sementara mereka yang berkumpul di depan ruang rawat menungu dengan harap-harap cemas.
Tak lama seseorang Pria remaja yang mereka pertanyakan kehadirannya sejak tadi kini datang dengan keringat bercucuran sudah seperti habis di kejar-kejar orang.
"Assalamualaikum" Ucap Ryan
"Waalaikumsalam" Jawab semua
"Bagaimana keadaan mas Rehan buk"
"Ibu tidak tahu nak sedang di tangani dokter di dalam nak kamu kenapa baru datang"
"Ban motor Ryan bocor bu jadinya lama sampai rumah sakitnya" Alasan Ryan dengan memasang wajah tengilnya.
"Oh begitu, ya sudah duduk nak" sahut Bu Ana.
Tak lama terdengar derit pintu yang di buka dari ruang rawat Rehan dan dokter pun keluar dari dalam ruangan itu dengan wajah menekuk menyiratkan sebuah hal yang buruk.
Rania dengan sigap menghampiri sang dokter bersama dengan Bu Ana
"Bagaimana keadaan Suami saya dok"
"Kami tim dokter di rumah sakit ini sudah melakukan usaha maksimal dalam menangani saudari Rehan, sebelumnya kami mohon kepada pihak keluarga untuk menerima kemungkinan terburuk" Dokter menjeda kalimatnya sembari menghembuskan nafas.
"Maksudnya bagaimana dok" Sahut Bu Ana
"Saudari Rehan membutuhkan doa dari pihak keluarga kami hanya bisa menyampaikan kondisi saudara Rehan saat ini kesulitan bernafas kami tim dokter sudah mengambil tindakan kembali lagi kita serahkan kepada tuhan jika dalam waktu 30 menit tidak menunjukkan kemajuan kami tim dokter memohon maaf kepada pihak keluarga untuk kemungkinan terburuk" Setelah menyampaikam hal itu dokter pun bergegas pergi di ikuti seorang perawat di belakangnya.
"Tidak Mas Rehan" ucap lirih Rania, yang sudah menangis tanpa suara.
Setelah mendengar kabar yang cukup menyakiti hati seluruh keluarga di depan ruang rawat itu hanya terdiam menatap nanar pintu rawat Rehan.
Apalagi Rania seolah pasokan udara mulai menipis di tengah tangisan tanpa suara ia harus menerima kemungkinan terburuk yang tidak pernah ia bayangkan.
Dokter dan perawat yang tadinya pergi keluar dengan langkah tergesa kembali lagi kedalam ruangan entah apa yang terjadi di dalam.
Menunggu beberapa menit dengan perasaan harap-harap cemas serta merapalkan doa Rania berusaha menepis pemikiran buruknya ia berusaha menyakinkan diri bahwa suaminya akan baik-baik saja.
"Mas kamu kuatkan, kamu nggak mungkin ninggalin aku sendirikan mas" Ucap Rania dalam hati.
Terdengar derit pintu yang di buka menampilkan seorang suter yang keluar dari dalam ruangan dengan wajah khawatir.
"Apakah ada pihak keluarga yang bernama Saudari Ryan" Ucap Suster seketika saat pintu terbuka.
"Saya Ryan sus, ada apa ya sus" sahut Ryan mendekat pada pintu ruangan
"Anda bisa ikut saya kedalam" Ryan yang binggung lantas hanya menganggukkan kepala sembari mengekor suster yang tadi.
Entah apa yang terjadi di dalam. Tapi hati Rania pun mulai bertanya-tanya kenapa bukan dirinya saja yang di perbolehkan masuk kedalam kenapa harus Ryan yang merupakan adik iparnya itu.
Tak mau berburuk sangka Rania tetap berusaha tenang dengan Rina yang setia mengelus punggungnya di bangku tunggu.
"Doakan yang terbaik untuk Mas Rehan mbak jangan sedih terus mbak kita semua juga sedih" Ucap Rina.
"Rin kenapa Ryan di suruh masuk kedalam ya kenapa kita tidak boleh" Tanya pak Rasid
"Rina tidak tahu pak coba bapak tanyakan saja pada perawat itu" balas Rina sembari menunjuk pada perawat yang berlari ke arah Nurse area.
"Kamu coba tanya Rin bapak takut nanti kena semprot ganggu kerjaan suster itu"
"Males Ah, Rina udah Mager nih pak"
Tak lama Ryan keluar dari ruang rawat itu dengan wajah datar tanpa ekpresi Ryan hanya berjalan dan duduk kembali di tempat semula ia duduk di kursi tunggu dengan diam, Bu Ana dan Pak Rasid sudah bertanya dengan Ryan apa yang terjadi di dalam ruangan itu, tapi pemuda itu membisu dengan tatapan kosong.
Ryan tertunduk lesu, kekuatanya langsung melemah seketika apalagi ia melihat Bapak dak ibu yang sedari tadi bersedia mencurahkan kasih sayangnya menunggu di rumah sakit tentu saja dengan harapan adanya kabar baik.
Tapi sekali lagi Ryan harus menelan pil pahit ia harus menyampaikan perihal pesan sang kakak dan juga menyampaikan kepergian sang kakak untuk selama-lamanya.
"Ryan katakan pada mbak apa yng terjadi di dalam yan" akhirnya Rania buka suara setelah bu Ana dan Pak Rasid yang tak di respon oleh pemuda itu.
"Mbak Rania harus kuat, tabah dan ikhlas itu pesan Mas Rehan untuk mbak Rania" Ucap Ryan sambil mengusap sudut matanya yang sudah berair.
"Keluarga saudari Rehan, Jenazah mau kita mandikan sebelumnya pihak keluarga bisa melihat jenazah di kamar mayat" ucap suster dengan wajah sendu.
"Jenazah? Kamar mayat? Tidaaaakk" Ucap Rania tak lama ia jatuh pingsan.
"MBAK RANIA" teriak Rina
"Maksudnya apa toh yan" Suara bu Ana sudah bergetar dengan kelopak mata yang sudah nerembun.
"Mas Rehan udah nggak ada Pak Bu" Ucap Ryan begitu tersayat hatinya mengatakan kabar ini.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" Ucap Pak Rasid.
"Anak sulungku pak, ndak mungkin bohongkan yan" Bu Ana beusaha menyangkal walaupun sudah menangis dengan air mata yang deras.
Semua anggota keluarga merasakan kesedihan yang mendalam tak terkecuali Rania, Rania harus berusaha sekuat hati menahan pedih di tinggal oleh pujaan hatinya.
Pria yang sudah meluluhkan hatinya sejak dahulu dan mempersuntingnya menjadi istri, mengarungi rumah tangga selama dua tahun.
Telah banyak yang mereka lalui bersama baik suka maupun duka mereka sudah lewati hal itu. Kini saat mereka sedang menikmati hasil dari kerja keras mereka. Mereka kembali di uji dengan sakitnya Rehan.
Rania tak pernah berpikir akan kehilangan Rehan untuk selama-lamanya pria yang selalu menjadi sandarannya setelah kematian sang ayah 2 bulan setelah pernikahannya dengan sang suami.
Kini ia kembali di uji dan di paksa menerima kenyataan pahit entah bagaimana ia harus bangkit dari keterpurukan ini.
Dulu saat ia kehilangan sang Ayah ada suaminya yang menguatkan dirinya, tidak hanya kehilangan ayahnya suaminya setia mendampingi dirinya saat setahun yang lalu ia mengalami keguguran suaminya juga yang menjadi penguatnya.
Tapi kini sosok itu telah pergi meninggalkan dirinya seorang diri, Entah bagaimana ia akan melanjutkan hidupnya setelah ini.
Andai bunuh diri tidak dosa mungkin ia juga akan menyusul sang suami, tapi ia masih bisa berpikir jika hal itu adalah salah dan suaminya juga pasti tidak akan pernah setuju dengan tindakan bodohnya itu.
Eow..Eoow...Eooww...
Sirine Ambulance membuyarkan lamunannya ia tatap keranda jenazah suaminya dengan perasaan nanar.
Jenazah Almarhum Rehan segera di makamkan karena tidak ada lagi yang di tunggu tepat pukul 16.00 Wib setelah sholat Ashar Jenazah di sholatkan dan kini di dalam Ambulance Rania dan Rina duduk di depan keranda Jenazah menuju tempat pemakaman.
Hanya memakan waktu sepuluh menit Jenazah sudah sampai di tempat peristirahatan terakhirnya.
Ryan sebagai adik dari Almarhum Rehan masuk ke dalam liang lahat menyambut jenazah sang kakak.
Pemuda itu terlihat tegar padahal tidak ada yang tahu bagaimana hancurnya hatinya saat ini kehilangan sosok sang kakak terkasih.
Setelah berdoa prosesi pemakaman pun selesai satu persatu pelayat sudah meninggalkan area makam. Tersisa keluarga dan Rania yang masih setia di depan pusara bernisankan Rehan Wijaya.
Hampir setengah jam Rania di depan pusara menangis tanpa suara dan berulang kali mengusap air matanya.
"Mbak ayo kita pulang mbak, besok kita ziarah kesini lagi mbak" Ucap Rina
Rania bergeming tanpa mau beranjak dari hadapan gundukan tanah yang masih basah itu. Sementara Bu Ana dan Pak Rasid sudah berjalan meninggalkan Area makam.
"Mbak ayo pulang" Bujuk Ryan
"Mbak nggak boleh seperti ini kasihan mas Rehan langkahnya terhambat mbak kalau mbak ndak ikhlas" Lanjut Ryan.
Rania akhirnya merespon dengan mengedipkan mata beberapa kali lalu mendongak menatap adik iparnya itu.
"Yan apakah saat sakaratul maut mas Rehan kamu menuntun nya yan" Tanya Rania menatap lekat wajah sang adik ipar.
Ryan hanya menjawab dengan anggukan pelan saja sesungguhnya jika di tanyakan hal itu ia belum bisa lupa tentang kejadian pahit itu.
Gengsinya sebagai seorang pria menuntutnya harus kuat terlebih ada pesan dan amanah terakhir yang disampaikan sang kakak padanya.
Sejujurnya ia masih kalut, dilema dan juga serba salah untuk mengambil keputusan kedepannya.
Entah kepada siapa ia harus berkonsultasi meminta pendapat sungguh ia berada di ambang kebingungan.
Sekarang biarlah berjalan dengan semestinya ia akan menjaga keluarganya dengan semampunya.
Dan masih banyak hal yang harus ia selesaikan terlebih sebentar lagi ia akan mengikuti Ujian Nasional.
Atau nanti ia akan menyerahkan seluruh permasalahannya kepada Allah, ia akan mencoba jalur langit untuk mencarikan solusi dari beban yang saat ini ia tanggung.
"Ayo Mbak kita pulang sudah mau magrib" Ucap Rina. Dibalas anggukan
Ucapan Rina barusan membuyarkan lamunan Ryan ia hanya bisa beristigfar untuk menenangkan hati yang bergemuruh hebat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!