NovelToon NovelToon

Heart Blossom

#1 Toko Bunga Edelweis

Pertemuan terakhir. Langkah kaki itu berjalan meninggalkan sepasang mata yang diam menatapnya yang semakin menjauh. Bibir yang tertutup rapat tak mampu berteriak ataupun berucap walau hanya memanggil namanya. Diam namun hati enggan merelakan. Dia yang telah memilih jalannya sendiri. Dia yang mencintai kebebasan. Dia yang kemudian memutuskan pergi tanpa memberikan kesempatan.

Lima tahun berlalu hanya sekejap mata. Seuntai rindu yang tersisa masih sering datang dan mendorongku kembali ke dalam mimpi yang sama. Terperangkap dalam buaian kenangan yang menggodaku untuk terus berharap dan tenggelam dengan perasaan masa lalu.

...🌻🌻🌻...

...BAB 1...

...TOKO BUNGA EDELWEIS...

Ketukan bunyi pulpen di atas meja terdengar lantang di ruangan yang sepi. Rasanya amat membosankan bekerja di toko yang semakin hari semakin sepi pembeli. Ditambah lagi cuaca di luar yang begitu panas terik. Siapa yang akan ke luar rumah hanya untuk membeli seikat bunga? Belum sampai di rumah mungkin bunga sudah layu. Begitulah pemikiranku setiap kali.

Mula-mula perkenalkan, namaku Edeline, usia 28 tahun, dan masih single. Sejak papa meninggal setahun yang lalu, akulah yang menjadi penerus toko bunga "Edelweis" ini. Sementara kakakku satu-satunya, Celine; sudah menikah. Dia bersama suaminya mengelola toko mereka sendiri. Mamaku punya alergi serbuk sari bunga jadi dia tidak bisa berlama-lama di ruangan tertutup yang penuh dengan bunga seperti ini.

Ketika papa sakit, usaha toko bunga segar kami ikut mengalami krisis. Beberapa pegawai toko mengundurkan diri karena omset menurun drastis. Untungnya masih ada seorang pegawai toko papa yang masih setia mau bekerja di sini, namanya Keith. Pemuda ramah dan murah senyum yang lebih tua dua tahun dariku. Bagiku yang masih kurang pengalaman, Keith sangat membantu terutama dalam hal merawat dan menjaga kesegaran bunga yang kami jual. Kupikir Keith jugalah alasan mama tidak mau menutup usaha yang selama beberapa tahun belakangan ini tidak mengalami kemajuan.

Secangkir teh hangat yang baru diseduh disodorkan ke hadapanku. Aku menghentikan kegiatan 'ketuk pulpen' yang kulakukan sejak tadi. Beralih menatap ke arah pemuda yang kini berdiri di depan mejaku sambil memamerkan senyum termanisnya.

"Kamu memberiku minuman hangat di saat cuaca di luar sedang panas begini?" tanyaku terheran-heran.

"Aku tahu kamu tidak tahan di ruangan ber-AC dingin terlalu lama. Kamu memakai kaos kaki di siang hari dan terkadang mengenakan cardigan rajut meskipun cuaca di luar sangat panas," jawab Keith dengan senyum lebar.

Aku melongo mendengar jawabannya dan berhenti bertanya lagi. Keith memperhatikan kebiasaanku dengan begitu detail.

"Terima kasih. Kamu sangat perhatian," pujiku.

"Sama-sama. Katakan padaku kalau kamu membutuhkan sesuatu yang lain," pesan Keith. Ia berjalan ke sisi lain untuk merapikan bunga-bunga.

"Tidak ada," sahutku.

"Kamu terlihat sangat bosan," ujar Keith lagi.

"Iya. Aku tidak mengerti, kenapa mama tidak menutup toko bunga ini saja? Kamu lihat! Sejak pagi tadi hingga sekarang belum ada satupun pembeli yang datang. Haa...," keluhku dengan wajah bosan.

"Kamu harus lebih bersabar. Kita belum pernah mendapati satu hari kosong tanpa satupun pembeli yang datang. Meskipun setelah duduk seharian tidak ada yang datang, akhirnya selalu ada seorang pembeli yang datang saat toko hendak tutup. Iya, kan?" hibur Keith mengingatkan. Ia juga selalu memberi semangat.

"Ya, kamu benar. Tapi, bukankah tetap saja kita rugi? Dilihat dari omset penjualan setiap bulan dengan biaya bulanan yang harus dikeluarkan, benar-benar tidak sebanding," paparku sambil melihat jejeran angka-angka yang tersusun rapi di buku yang kini berada dalam genggaman.

Keith lalu maju mendekat beberapa langkah. "Edeline, apa mamamu pernah mempertanyakan untung rugi yang kamu dapatkan setiap bulan sejak kamu mengurus toko ini?" tanyanya dengan serius.

Aku menggelengkan kepala. Keith tersenyum. "Berarti untung rugi bukan alasan utama mamamu tetap mempertahankan toko bunga ini," lanjutnya.

"Apa kamu bertahan di sini juga karena satu alasan?" Aku balik bertanya dengan iseng sekaligus penasaran apa yang membuat Keith betah di toko bunga ini.

Keith diam sesaat. Lalu ia menjawab, "Ya. Atau mungkin juga tidak."

Aku mengerutkan dahi tidak mengerti maksud jawabannya. Keith menjelaskan, "Anggap saja ini sebuah dedikasiku kepada mendiang papamu." Dia tersenyum tapi aku hanya diam menatapnya saja.

...°...

Toko bunga tutup jam empat sore setiap hari. Lumayan setelah seharian menunggu dengan bosan masih ada dua orang yang datang membeli. Usai mengunci pintu, aku menatap ke atas papan nama besar dengan tulisan "Edelweis" yang tergantung di atas toko. Tulisannya sudah hampir memudar.

"Abadi seperti Edelweis," gumamku sambil berpikir.

Kring... Kring... Sepeda Keith berhenti tepat di depanku.

"Perlu tumpangan?" tanyanya menawari.

Aku melongo. Memperhatikan sepeda Cruiser-nya yang tak ada kursi penumpang. Bagaimana aku mau duduk?

"Kurasa tidak. Terima kasih. Aku mau mampir ke beberapa toko dulu," tolakku halus.

"Mau kutemani?" tanya Keith lagi. Aku menggeleng.

"Oke, sampai bertemu besok," pamit Keith lalu meluncur pergi. Aku pun melanjutkan langkah.

...°...

Aku masuk ke sebuah minimarket. Berjalan ke rak penyimpanan minuman, mengambil sebotol minuman isotonik kemudian berjalan ke rak tempat makanan ringan. Saat sedang asyik memilih tiba-tiba seorang anak kecil yang berlari dari arah depan menabrakku. Anak kecil berusia sekitar 3 tahunan itu terjatuh. Aku segera membantunya berdiri. Kemudian anak kecil lain yang lebih tua lari mendekat. Pikirku mereka pasti sedang bermain kejar-kejaran.

"Kamu tidak apa-apa, Adik kecil?" tanyaku sambil memeriksa lututnya kalau-kalau ada lecet.

"Tidak apa-apa, Bibi," jawab anak kecil yang tampan itu.

"Jangan main kejar-kejaran lagi, ya! Bahaya kalau jatuh nanti bisa terluka," pesanku.

Anak kecil itu mengangguk lalu pergi dengan temannya. Aku menatap kepergian mereka. Sekilas aku merasa tidak asing dengan wajah anak kecil itu.

Ketika aku sedang membayar di kasir aku melihat dua anak kecil tadi di samping pintu masuk sedang bergurau. Entah kenapa aku sangat suka anak kecil yang menabrakku tadi. Setelah urusan pembayaran selesai aku menghampiri kedua anak itu lalu menyodorkan kantong berisi dua buah es krim kepada mereka. Kedua anak itu menerimanya dengan senang hati.

"Terima kasih, Bibi," ucap kedua anak kecil itu.

"Sama-sama. Jangan lari-larian lagi, ya!" pesanku kemudian berjalan pergi.

...🌻🌻🌻...

Seorang pria mendekati kedua anak kecil yang sedang asyik menikmati es krim.

"Joan, Mika, siapa yang memberikan kalian es krim?" tanya pria itu.

"Bibi yang tadi ditabrak Joan, Paman Ray. Itu dia sudah pergi," jawab Mika sambil menunjuk ke arah Edeline yang sudah sangat jauh. Pria itu hanya menatap sekilas dan tak ambil pusing.

"Ya sudah. Ayo, pulang!" ajak pria itu.

^^^bersambung...^^^

#2 Gadis Yang Selalu Datang Di Saat Toko Akan Tutup

...Bab 2...

...GADIS YANG SELALU DATANG DI SAAT TOKO AKAN TUTUP...

Suara desiran ombak di pantai. Matahari yang hendak tenggelam membiaskan rona jingga kemerahan. Di tepian pantai dia berdiri. Wajahnya menatap lurus ke depan. Saat aku mendekat dia berbalik dan tersenyum. Mimpi itu kemudian buyar. Aku terbangun. Ku kucek-kucek mata, jam di samping tempat tidur baru menunjukkan pukul 5.30 pagi. Tidak biasanya aku bangun sepagi ini. Tapi aku sudah tak bisa tidur. Mimpi barusan membuatku larut terbawa perasaan.

"Akhirnya selalu seperti ini," keluhku sambil beranjak turun dari atas kasur yang empuk.

Hari ini aku siap lebih pagi dari biasanya. Aku sudah rapi dan sedang duduk manis menikmati secangkir teh hangat.

"Edeline, tumben sekali? Tidak biasanya sudah rapi pagi-pagi begini. Apa ada kegiatan lain?" tanya mama. Ia ikut duduk di sampingku.

"Tidak ada. Aku hanya terbangun lebih pagi saja," jawabku seadanya.

"Oh... Mama pikir kamu punya rencana pergi ke suatu tempat. Tidak apa sekali-kali kamu perlu berlibur. Lagi pula toko bunga saat ini sangat sepi, Keith pasti bisa mengurusnya sendiri." Mama mengusulkan.

"Ma, setahun terakhir ini toko bunga semakin sepi. Omset yang didapat setiap bulannya pun tidak cukup untuk menutupi belanja bulanan kita. Kenapa Mama tidak menutup toko bunga itu saja? Aku bisa mencari pekerjaan lain dengan gaji yang lebih besar," tanyaku pada mama. Hal ini memang agak mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.

"Edeline, Mama bisa menutup toko itu kapan saja. Dan kamu punya banyak peluang diterima bekerja di kantor-kantor ternama. Tapi, pernahkah kamu berpikir ... bagaimana dengan nasib Keith? Dia mungkin bisa bekerja di tempat lain, tapi mungkin tidak sebaik saat bekerja di toko bunga dengan penghasilan seperti sekarang ini." Mama menjelaskan dengan pelan. Kemudian melanjutkan. "Ingat, ketika dulu papamu membuka toko bunga ini. Begitu banyak pelanggan yang datang memesan dan membeli bunga setiap harinya. Entah sudah berapa banyak keuntungan yang papamu peroleh setiap bulannya bahkan bertahun-tahun kemudian. Jadi untuk apa mengeluhkan toko yang sepi hari ini dan untung-rugi setiap bulannya? Bukankah kita sudah memperoleh lebih dari pada cukup sebelumnya?! Kita hanya perlu belajar mengelolanya dengan lebih bijak. Supaya kita tetap bisa menikmati hasilnya sampai hari ini tanpa perlu memperhitungkan untung-rugi. Kamu mengerti kan maksud Mama?"

"Ya, aku mengerti," jawabku pelan.

"Kamu tidak perlu mencemaskan apa-apa. Kita tidak pernah kekurangan malah hidup lebih dari cukup. Dan lagi masih bisa membantu yang kekurangan. Hanya saja ...." Mama tidak meneruskan kalimatnya.

"Hanya saja apa, Mama?" tanyaku.

"Edeline, kamu sudah dewasa. Mama ingin melihatmu bahagia," jawab mama sambil mengelus rambutku.

"Aku sudah bahagia bersama Mama," jawabku sambil tersenyum.

Mama tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Mama belum bisa bahagia kalau melihatmu masih sendiri." Mama berkata sambil menahan senyum.

"Mama ... Apa sih maksud Mama? Aku kan punya Mama di sampingku," tanyaku pura-pura bodoh.

"Edeline sayang, saat Celine seusiamu, ia sudah menjadi seorang mama. Apa kamu tidak berpikir untuk memiliki keluarga kecil seperti dia?" tanya mama.

"Mama, aku tidak ingin pergi dari rumah ini dan meninggalkan Mama sendiri di sini," jawabku dengan wajah memelas.

"Kamu bisa pulang kapan saja, Sayang! Mama tidak akan merasa kesepian. Mama hanya ingin melihatmu bahagia," kata mama lembut.

"Aku sudah sangat bahagia, Ma. Tolong, jangan menyuruhku untuk segera menikah lagi!" pintaku.

Mama malah mengernyitkan kening. "Loh, kenapa? Masa kamu tidak memiliki seseorang yang kamu sukai atau calon mungkin? Bukankah anak Mama ini sangat cantik?!" goda mama.

"Bukan itu, Ma. Aku belum bisa," ungkapku.

"Belum bisa bagaimana? Usiamu sudah 28 tahun, Sayang! Apa yang kamu tunggu? Siapa?" tanya mama heran.

Aku mengangkat bahu lalu bangkit berdiri. Aku sangat tidak nyaman jika mama mulai membicarakan masalah ini meskipun aku tahu mama mungkin khawatir dengan usiaku.

"Aku pergi ke toko dulu, Mama. Doakan semoga pembeli lebih ramai hari ini," pamitku pada mama yang hanya menatapku sambil menghela nafas.

...°...

Toko bunga buka lebih pagi karena aku datang lebih awal. Biasanya Keith selalu datang tepat waktu. Namun karena masih terlalu pagi jadi hanya aku sendiri di toko. Sambil menunggu pembeli datang aku menggantikan tugas Keith menyemprot bunga-bunga. Gemerincing lonceng dari pintu yang dibuka terdengar. Keith datang.

"Edeline, kemarin kau tidak memberitahuku toko buka lebih awal?" tanya Keith bingung. Sebagai pegawai, ia pasti merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa. Kebetulan saja hari ini aku bangun lebih pagi. Daripada hanya diam saja di rumah lebih baik ke sini," jawabku.

"Oh, kupikir kamu akan lebih bosan di sini," ejek Keith. Ia mengambil alih penyemprot dari tanganku. Dan mulai melakukan rutinitasnya.

Aku menarik nafas berat. Sambil berjalan ke meja. "Ya, hampir sama," ucapku.

"Hush .... Masih terlalu pagi untuk kehilangan semangat. Mungkin kamu butuh liburan. Cobalah ambil masa beberapa hari untuk berlibur, akan baik untuk mengembalikan semangatmu," kata Keith penuh semangat.

"Kamu tidak pernah mengambil cuti, tapi tidak pernah mengeluh ataupun kelihatan bosan. Bagaimana bisa?" tanyaku padanya.

"Hmm .... Aku mencintai pekerjaanku. Aku sangat suka dengan bunga-bunga ini. Melihat bunga yang bermekaran dengan cantik dan indah itu seperti penyemangat bagiku," jawab Keith sambil menatap kagum pada bunga-bunga yang sedang disemprotnya.

Melihatnya amat begitu antusias aku jadi teringat obrolan tadi pagi dengan mama. Memang Keith-lah alasan mama tidak mau menutup toko bunga ini. Aku tidak pernah tahu riwayat hidupnya. Aku juga tidak begitu tahu kapan Keith mulai bekerja di sini. Hanya seingatku memang sudah sangat lama. Pertama kali aku melihatnya di sini saja sekitar tujuh tahun yang lalu. Aku jarang ke toko saat papa masih ada.  Sejak dulu keceriaan dan semangatnya tidak pernah berubah.

Hari ini cukup beruntung, ada beberapa buket bunga yang terjual. Aku baru akan menutup toko saat seorang gadis berlari mendekat. Gadis yang selalu datang setiap sore saat toko akan tutup.

"TUNGGU SEBENTAR!" teriaknya. Ia berhenti di depanku sambil ngos-ngosan.

"Maaf, apa sudah mau tutup? Bolehkah, aku ingin membeli beberapa bunga?" tanya gadis itu dengan wajah memohon.

"Tentu saja, silahkan masuk dan pilih bunga yang kamu suka," jawabku sambil tersenyum.

"Terima kasih," balas gadis itu. Dengan perasaan senang ia masuk ke toko dan memilih bunga-bunga.

"Edeline, kalau kamu lelah pulanglah lebih dulu. Biar aku yang menutup toko. Nanti pulang aku akan mampir ke rumahmu untuk mengembalikan kunci." Keith mengusulkan. 

Aku berpikir sejenak dan menyetujuinya. "Baiklah. Aku juga ingin ke suatu tempat. Maaf kali ini merepotkanmu," kataku sambil menyerahkan kunci.

"Tidak masalah. Tadi pagi kamu datang awal dan sekarang biar aku yang pulang telat. Jadi, kita impas," canda Keith.

Aku tertawa lalu berpamitan. "Baiklah, aku duluan, ya! Sampai bertemu besok!"

"Ya, hati-hati!" pesan Keith.

...🌻...

Keith kembali masuk ke dalam toko untuk melayani pembeli terakhirnya. Gadis manis itu masih sedang memilih bunga sementara di tangannya sudah memegang beberapa tangkai bunga Daisy. Keith mengambil alih bunga itu dari tangannya.

"Maaf, aku membuatmu jadi terlambat pulang," kata gadis itu tak enak.

"Tidak apa-apa. Kamu pelanggan setia kami. Pelan-pelan saja melihat dan memilih bunga sesukamu. Jangan sungkan!" ujar Keith dengan senyum ramah.

Lalu gadis itu mengambil beberapa tangkai Aster dan Krisan. Kemudian menyerahkannya kepada Keith.

"Mau dirangkai?" tanya Keith.

"Tidak perlu. Seperti biasa, bungkus sesuai jenis saja," jawab gadis itu sambil memperhatikan Keith.

"Maaf, kalau aku boleh tahu, gadis yang tadi pulang duluan itu siapa?" tanya si gadis.

"Dia anak dari pemilik toko bunga ini. Sekarang dia yang bertanggung jawab di sini karena pemilik toko sudah meninggal," jawab Keith jujur.

"Oh," gumam si gadis.

"Ada apa?" tanya Keith.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja. Sebagai pelanggan setia bukankah ada baiknya kalau aku mengenali siapa saja pegawai yang bekerja di sini?" jawab si gadis dengan malu-malu.

"Oh, begitu. Kalau seperti itu mungkin aku harus mengenalkan diri," canda Keith.

Gadis itu malah tersenyum malu-malu. Namun ia mengulurkan tangannya lebih dulu.

"Aku Ariana."

"Keith." Keith balas menjabat tangannya. "Satu-satunya pegawai di sini," lanjutnya.

"Jadi, hanya kalian berdua di toko bunga sebesar ini? Apa tidak kerepotan?" tanya Ariana ingin tahu.

"Tidak. Akhir-akhir ini toko bunga sangat sepi pembeli. Aku justru khawatir pemiliknya akan menutup toko ini," jawab Keith sedikit khawatir.

"Tapi, aku merasa toko ini tidak akan ditutup. Lihat semua bunga segar di sini, mekar dan terawat dengan sangat indah. Kalau ada satu orang saja dalam sehari yang datang membeli bunga, dengan berbagai jenis dan pasokan bunga di sini, serta tangan terampilmu yang siap merangkainya untuk para pembeli, maka bosmu tidak akan menutup toko ini. Aku yakin!" ujar Ariana dengan wajah penuh keyakinan.

Keith tak bisa berkata-kata melihat keyakinan dalam wajah Ariana. Jika dipikir memang benar ucapannya. Ariana adalah pelanggan setia toko bunga ini, ia selalu datang setiap toko akan tutup meski tidak setiap hari. Justru kadang dialah satu-satunya pembeli di satu hari tanpa pengunjung itu.

Keith selesai membungkus bunga pesanan Ariana. Ia berikan padanya bersama nota jumlah harga yang harus dibayar. Ariana mulai merogoh isi tasnya.

"Kalau aku boleh tahu, kenapa kamu selalu datang di saat toko akan tutup?" tanya Keith. Ia penasaran juga.

"Pagi hari aku sangat sibuk. Ke universitas, bekerja, kursus, sedangkan jam pulangku hampir bertepatan dengan jam tutup toko bunga ini. Jadi, kadang aku harus berlari dengan sangat cepat untuk mengejar waktu sampai ke sini," jelas Ariana dengan penuh semangat.

"Jadi, kamu masih kuliah?" tanya Keith. Ia kagum juga pada gadis itu.

"Sebenarnya bukan kuliah. Aku hanya mengikuti kelas kursus tertentu saja. Selebihnya aku bekerja di kantinnya saja. Jadi aku harus pergi pagi-pagi sekali," terang Ariana.

"Oo ...." Keith manggut-manggut.

"Lain kali kalau sibuk kamu bisa memesannya lewat telepon. Aku bisa mengantarnya untukmu setelah tutup toko. Memangnya untuk apa bunga-bunga ini? Kalau aku boleh tahu," tanya Keith lagi.

"Bunga ini untuk persembahan nanti malam di kuil. Mungkin kamu bisa ikut, kalau kamu tidak ada kegiatan," jawab Ariana sembari menawari. Dalam hati ia sangat berharap Keith untuk ikut.

Keith berpikir sebentar lalu bertanya. "Apa boleh?"

"Tentu saja boleh," jawab Ariana bersemangat. Keith lalu mengangguk.

^^^bersambung....^^^

#3 Bangun Kesiangan Karena Mimpi Semalam

...Bab. 3...

...BANGUN KESIANGAN KARENA MIMPI SEMALAM...

Senja mulai menjelang menggantikan tugas sang surya yang telah seharian ini menerangi cakrawala. Entah mengapa langkah kakiku membawa diriku kembali ke tempat ini. Seakan tak ada lagi tempat yang bisa aku singgahi. Tempat yang seharusnya tak ingin ku datangi. Waktu berlalu dengan sangat cepat, tapi tidak di sini. Di sini waktu itu seperti berhenti. Aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Hanya kala itu aku tidak sendiri. Ada dia yang menggenggam tanganku. Masih terdengar canda tawa. Masih ada kehangatan meski angin senja menerpa wajahku. Sekarang semua itu sudah tidak ada. Jejak yang bisa ku telusuri hanyalah sebuah kenangan.

Ruas-ruas jalan di tepian teluk yang kususuri ini masih menyajikan panorama yang sama. Jembatan ini juga tidak berubah. Bangku-bangku kayu di sepanjang jembatan pun tidak bergeser sedikitpun jaraknya. Yang berubah hanyalah aku yang berjalan sendiri.

Aku berdiri di tepi jembatan. Riak air di kejauhan nampak berkilauan terpantul cahaya dari atas jembatan. Aku keluarkan gelang macrame kulit dengan plat silver yang terukir nama seseorang. Aku ingin menghapus semua kenangan ini. Rasanya sudah terlalu lama terikat dengan mimpi masa lalu yang membuatku terus merindukannya. Membisikkan harapan semu bahwa dia akan kembali. Kenyataannya aku tidak pernah tahu apapun lagi tentangnya. Aku menghela nafas. Mungkinkah ini saatnya untuk menyerah?! Ya, mungkin aku bisa melupakannya bila aku tidak kembali ke tempat yang penuh kenangan ini.

Aku menatap langit yang mulai gelap. Langit membentang luas di depanku. Sedikitnya aku masih berharap dia bahagia, meskipun aku tidak tahu di mana dia berada sekarang.

...🌻🌻🌻...

Di dalam kuil, Keith dan Ariana sedang berdoa. Masing-masing memiliki harapan dan keinginan yang besar. Ariana diam-diam menatap ke arah Keith yang sedang berdoa dengan khusuk. Ia memiliki sebuah harapan yang hanya bisa ia sampaikan melalui doa di dalam hati.

...🌻🌻🌻...

Aku terperanjat melihat jam di nakas samping tempat tidur yang sudah menunjuk angka 7.15. Aku bangun dan mandi secepat kilat.  Sekilas pamit pada mama sebelum ia sempat bertanya, lalu melesat secepat kilat meninggalkan rumah. Ini pasti karena kelelahan akibat kemarin pulang terlalu malam. Setidaknya aku tidak bermimpi hal yang akan membuat suasana hatiku menjadi muram.

Aku sudah sangat terlambat buka toko pagi ini. Keith pasti sudah menunggu di luar. Meski sudah sangat terburu-buru masih ada saja orang asing yang menghadang jalanku.

"Selamat pagi, Nona. Bisa minta waktunya sebentar?" sapa seorang pemuda yang coba menghalangi langkahku.

"Maaf, aku buru-buru," balasku sambil berjalan cepat. Tapi pemuda itu masih berusaha mengejarku sambil menjelaskan sesuatu dari brosur yang ia bawa.

"Hanya sebentar, ini kesempatan emas. Glotious Resort & Villas mengadakan event --"

"Maaf, tapi aku sudah terlambat!" Aku tidak peduli dan langsung menyela.

"Oke, kalau begitu terima brosur ini. Sempatkan membaca di waktu luang. Hanya 5 menit saja!" paksa pemuda itu sambil menyodorkan brosur. Aku mengambilnya dengan kasar dan segera berlalu. Pemuda itu tidak mengejar lagi. Ia berseru lantang. "HUBUNGI NOMOR YANG TERTERA DI BAWAH JIKA ANDA BERMINAT!"

Aku hanya mengacungkan tangan dengan brosur yang ku pegang tanpa menoleh.

Begitu aku tiba di toko, Keith memang sudah menunggu di sana. Aku segera membuka kunci pintunya.

"Maaf, kamu pasti menunggu lama?" tanyaku.

"Tidak. Aku kira hari ini akan libur," jawab Keith dengan gurauan.

"Aku bangun kesiangan," jelasku singkat.

"Kemarin kamu bangun kepagian, hari ini kesiangan. Apa besok akan kepagian lagi?" canda Keith sambil menyirami bunga.

"Mungkin tidak. Selama aku tidak memimpikan sesuatu yang membuat suasana hatiku tidak nyaman," ujarku sambil sibuk membenahi barang di atas meja. Brosur tadi pun ikut tertumpuk di antara buku-buku.

"Tidak nyaman? Apa itu seperti mimpi buruk?" tanya Keith sedikit lebih serius.

"Buruk bukan kata yang tepat menurutku. Namun akan lebih baik bila tidak bermimpi hal seperti itu lagi," harapku.

"Kadang mimpi adalah refleksi dari pikiran kita. Apa yang kita rasakan atau harapkan kadang semua itu muncul nyata dalam wujud mimpi. Memang mimpi hanyalah bunga tidur, namun tetap ada baiknya tidak usah terlalu dipikirkan," jelas Keith dengan gaya seorang filsuf.

"Ya, kamu benar juga," sahutku.

Terdengar gemerincing lonceng dari pintu yang dibuka. Pembeli pertama kami hari ini datang. Keith segera melayani dengan keramahannya seperti biasa. Sampai siang hari sudah ada tiga orang yang datang membeli bunga. Hari ini lebih baik dari sebelumnya.

Cuaca siang ini masih begitu panas seperti hari biasanya. Kupikir akan sepi tapi rupanya kami mendapat pesanan buket besar mawar merah dari seorang pria untuk hadiah ulang tahun istrinya. Keith mengerjakannya dengan amat telaten. Satu persatu tangkai bunga disatukan menjadi rangkaian yang indah. Aku memperhatikan bagaimana tangan terampil Keith mengerjakannya. Wajahnya yang biasanya ceria jadi lebih serius. Ia justru terlihat menawan. Keith jadi agak grogi begitu mendapati aku memperhatikannya.

"Ke- Kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya gugup.

"Tidak apa-apa. Kalau kamu tidak suka aku tidak akan melihat," jawabku sambil mengambil majalah dan mengangkatnya hingga menutupi wajahku berpura-pura sedang membaca. Sebenarnya aku diam-diam menahan senyum karena ekspresi groginya tadi.

...🌻🌻🌻...

Hari berikutnya saat aku tiba di depan toko, Keith sudah menunggu seperti biasa.

"Tidak kesiangan lagi, Nona muda?" ejeknya sambil memeriksa jam tangannya.

"Untungnya aku datang tepat waktu," balasku sambil menjulurkan lidah. Keith tertawa.

Kesibukan pagi tetap berjalan seperti biasa. Kali ini aku harus mengecek stok bunga yang tinggal sedikit. Memeriksa tiap jenis bunga sambil mencatat ke dalam buku. Keith akan mengambil bunga yang mulai layu. Cukup banyak bunga yang mulai layu meski belum berubah kuning. Keith memotong tangkai bunga jadi pendek lalu merangkainya untuk bunga meja. Kemudian ia masukkan ke dalam vas yang berisi air. Bunga itu kini menjadi hiasan di atas mejaku.

Aku kembali dan mendapati rangkaian bunga yang cantik di atas meja.

"Sayang kalau dibuang. Ia hanya layu belum menguning, warnanya masih bagus," kata Keith.

Aku tersenyum. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Begitu toko sepi aku membongkar semua isi di laci dan lemari kecil di bawah meja kerja. Sebelumnya aku tidak pernah melakukannya bahkan sepeninggal papa. Aku benar-benar tidak tahu apa saja yang ada di dalamnya selain laci penyimpanan alat tulis, aksesories kecil, daun plastik, tali pita, dan lain-lain.

Keith yang melihatku begitu sibuk bertanya. "Apa yang kamu cari?"

"Keajaiban," jawabku asal. Keith mengernyitkan dahi.

Aku menemukan kartu nama toko lama yang masih tercantum nama papa. Kertas-kertas nota lama, barang bekas yang usang dan tak terpakai, juga pot-pot kecil yang sangat berdebu. Keith pun tak bertanya. Ia membantuku membuang barang yang menurutku tidak berguna. Kubersihkan semuanya dari debu yang menutupi. Isi laci dan lemari kecil itu pun jauh lebih rapi dan bersih. Aku merasa kulitku pun kini pasti sangat berdebu. Beruntung juga sudah waktunya tutup toko. Aku sedang bersiap pulang dan begitu aku keluar Ariana datang.

"Oh maaf, apa sudah mau tutup?" tanya Ariana.

Aku baru mau menjawab namun Keith duluan berkata.

"Pelanggan terakhir, silahkan masuk!"

Ariana tersenyum pada Keith, mengangguk kecil dan berterima kasih padaku. Keith berbisik pelan padaku.

"Pulanglah lebih dulu, Nona! Wajahmu sudah penuh debu. Nanti aku akan mengantar kuncinya ke rumahmu!"

Aku menyengir, Keith tersenyum menggoda. Jadi ku biarkan Keith yang melayani gadis itu. Aku memilih pulang.

^^^bersambung...^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!