"Maafkan kami, Nak. Kami tidak bisa menanggung mu. Hiduplah dengan baik tanpa kami," ujar seorang pria tua meninggalkan seorang bayi perempuan di depan pintu sebuah panti asuhan.
Delapan tahun kemudian...
"Ghania, ayo pulang. Sudah hampir waktunya makan malam. Ibu panti akan marah jika kamu tidak makan, Nak," panggil seorang suster.
"Tidak mau, Suster. Ghania mau di kamar saja," ujar anak kecil itu dengan lesu.
Melihat kekerasan kepala si kecil, suster tidak punya pilihan selain melaporkannya kepada kepala panti.
"Maaf, Bu. Ghania terus-terusan tidak mau makan. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi, Bu," lapor suster.
"Kenapa ya, belakangan ini dia sering menolak makan? Apa terjadi sesuatu padanya, Suster?" tanya ibu panti.
"Saya tidak tahu, Bu. Mungkin dia bertengkar lagi dengan teman-temannya?" tanya suster, bingung dengan tingkah laku Ghania.
"Baiklah, biar saya yang membujuknya makan."
Di tempat lain, Ghania tampak duduk di atas tempat tidurnya sambil menahan tangis.
"Ghania, apa yang salah, Nak? Kenapa kamu terus menolak makan?" tanya ibu panti, mendekati Ghania.
"Tidak apa-apa, Bu. Ghania tidak lapar," jawab Ghania.
"Tidak boleh begitu, Sayang. Kamu harus makan. Bukannya Ghania mau bertemu Mama dan Papa. Kalau Ghania tidak makan, Mama dan Papa pasti marah."
"Tetapi kenapa Mama dan Papa tidak datang jemput Ghania, Bu? Ghania sudah rajin belajar dan baik, kok, Bu. Kenapa Mama dan Papa tidak jemput Ghania?" tanya Ghania sambil terisak.
"Mungkin Mama dan Papa sedang sibuk, Ghania. Kamu harus sabar, ya. Ghania makan dulu, yuk," ajak ibu panti.
"Iya, Bu."
Di sisi lain, seorang pria tua dan istrinya terduduk dengan tangan dan kaki terikat.
"Maafkan saya, Tuan. Saya salah. Saya akan mengembalikan semua uang itu, Tuan. Tolong ampuni kami, Tuan," ucap pria tua itu memohon.
"Bagaimana kau akan menggantikan kerugian perusahaan sebesar itu, ha? Bahkan jika aku mengeluarkan semua organ di tubuhmu dan istrimu ini, itu tidak akan cukup membayarnya," ucap dingin pria muda itu.
"Maaf, tuan. Saya akan benar-benar melunasinya. Saya akan mencari jalan keluar. Tolong beri saya sedikit waktu, tuan."
Dor Dor
Suara tembakan yang mengarah ke kedua orang itu membuat mereka mati seketika.
Satu minggu kemudian...
"Mayat sepasang suami istri ditemukan di sekitar pantai tadi pagi sekitar pukul 6.20 pagi dengan luka tembak di tubuh keduanya. Saat ini polisi sedang menyelidiki pembunuh mereka." Suara penyiar berita di televisi.
"Kabar yang buruk di pagi hari, ya, Bu?" ujar salah satu suster di panti.
"Iya, benar-benar kejam orang yang mampu membunuh orang lain dengan cara seperti itu," ujar ibu panti prihatin.
"Suster, matikan televisinya. Takut anak-anak menontonnya, itu akan berpengaruh buruk bagi mereka nanti," suruh ibu panti.
"Baik, Bu."
"Suster, Ghania terluka!" teriak salah seorang anak.
"Apa? Di mana?" tanya suster.
"Di taman belakang, Suster."
Dengan cepat, keduanya berlari ke taman belakang panti. Mereka terkejut melihat Ghania dengan darah yang mengalir di belahan poninya yang berantakan. Ternyata dia bertengkar dengan seorang anak laki-laki bernama Rion.
"Ghania! Astaga, Suster, bawa Ghania ke ruang kesehatan," kata salah satu suster.
Dengan cepat, Ghania dibawa ke ruang kesehatan dan luka di tubuhnya diobati.
"Ghania, kenapa, sayang? Biasanya Ghania tidak pernah bertengkar. Ada masalah apa, Nak?" tanya ibu panti.
"Rion terus mengatakan bahwa Ghania dibuang oleh mama dan papa, padahal Ghania hanya dititipkan. Nanti papa dan mama pasti menjemput Ghania, kan, Bu?" jelas Ghania.
"E... Iya, Papa dan Mama pasti menjemput, tetapi Ghania tidak boleh berantem lagi. Kalau Ghania terluka lagi, Mama dan Papa akan marah, ya? Jangan berantem lagi, ya?" bujuk ibu panti.
"Iya, Bu. Maafin Ghania, ya."
"Iya, sayang."
Beberapa bulan kemudian...
"Apakah sudah ada perkembangan tentang kasus ini?" tanya seorang senior pada juniornya.
"Belum, Pak. Kami belum bisa melacak pelakunya."
"Apa saja yang kalian lakukan beberapa bulan ini, huh? Bahkan mayatnya sudah terkubur sekarang, tapi kalian belum menemukan apa-apa? Kalian semua bodoh atau apa, huh?!" teriak marah polisi itu.
"Tetapi, Pak, sepertinya kami menemukan sesuatu tentang keluarga mereka," ujar sang bawahan.
"Sepertinya mereka berdua memiliki seorang anak yang ditinggalkan di sebuah panti," lanjutnya.
"Hubungi anak itu, mungkin kita akan menemukan sesuatu tentang keluarga mereka."
"Baik, Pak."
Polisi itu bernama Daniel Arnatha, seorang anggota kemiliteran divisi kejahatan dan kriminalitas. Saat ini dia berusia 21 tahun. Dia langsung pergi ke panti asuhan setelah melapor pada atasan. Begitu sampai, dia disambut hangat oleh ibu panti.
Fyi : Kepolisian dan kemiliteran disini memiliki tugas dan kewenangan yang sama tanpa batas jadi dalam kata lain polisi \= militer begitu pun sebaliknya.
"Maaf, apakah Anda yang menelpon tadi?" tanya ibu panti.
"Iya, Bu. Saya Daniel yang menelpon tadi. Kalau boleh, apakah saya boleh bertemu dengan Ghanisya?" tanya Daniel.
"Tentu saja, mari ikut saya."
Keduanya duduk di ruang pertemuan.
"Sebenarnya, saya datang karena ingin mengetahui sesuatu tentang orang tua Ghanisya, Bu. Apakah ibu tahu tentang berita pembunuhan beberapa bulan lalu? Tentang sepasang suami istri yang ditemukan terbunuh dan hanyut di sungai?" jelas Daniel.
"Iya, saya tahu. Apakah mereka adalah orang tua Ghania, Pak?"
"Ya, Bu, mereka adalah orang tua kandung Ghania. Sejauh yang kami ketahui, keduanya kemungkinan dibunuh karena utang piutang dengan sebuah perusahaan. Namun, perusahaan tersebut sama sekali tidak ingin bicara tentang insiden ini, dan kami tidak memiliki kuasa apa pun karena mereka adalah perusahaan besar," jelas Daniel.
"Jadi kami mencari tahu, mungkin Ghania, yang adalah anaknya, tahu sesuatu atau apa pun," lanjut Daniel.
"Maaf karena mengecewakan Anda, Pak, namun Ghania sudah ditinggalkan sejak berusia 6 bulan, jadi dia sama sekali tidak memiliki kenangan dengan orangtuanya," jelaskan ibu panti.
"Benarkah? Saya pikir dia baru dititipkan di sini, jadi mungkin dia tahu sesuatu. Tetapi tidak apa-apa, setidaknya kedatangan saya telah memberikan pencerahan padanya tentang kedua orangtuanya," ujar Daniel.
Di tengah percakapan itu, Ghania masuk bersama suster yang tadi memanggilnya. Begitu Ghania masuk, Daniel langsung terpanah melihat gadis kecil berkulit putih dengan hidung mancung, bibir mungil, dan mata yang bulat sekaligus tajam itu. Langsung terasa sakit hatinya mengingat anak sekecil ini sudah ditinggalkan orangtuanya seperti ini. Ini pertama kalinya dia menangani kasus yang melibatkan anak kecil seperti ini. Memang benar dia sudah bertugas selama beberapa tahun ini, tetapi ini benar-benar pertama kalinya, dan dia sangat tidak tega.
Dia tahu rasanya ditinggalkan orang tua saat masih berusia 15 tahun, tetapi anak ini bahkan belum berusia 10 tahun.
"Ghania, beri salam. Dia adalah polisi baik yang ingin bertemu Ghania," ujar ibu panti.
"Ghania, Tidak buat salah apa-apa kok, Bu. Kenapa Ghania bertemu Pak Polisi?" ujar Ghania langsung bersembunyi di balik susternya.
"Ghania ga buat salah kok, Kakak polisi datang buat jadi teman Ghania kok," ucap Daniel, berlutut menghadap Ghania yang bersembunyi ketakutan.
"Teman? Tetapi Ghania masih kecil, tidak bisa berteman sama orang dewasa," jawabnya.
"Umm... kalau begitu, Ghania mau jadi adik Pak Polisi?" tanya Daniel.
"Adik? Jadi Ghania punya kakak? Benarkah?" jawabnya riang.
"Iya, kakak nanti sering jenguk Ghania ya, boleh?"
"Boleh! Ghania suka punya kakak. Siapa nama kakak?" teriaknya antusias.
"Nama kakak Daniel," ujarnya, mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Aku Ghanisya Ashya, panggil saja Ghania..."
"Tapi, Kak, kenapa Mama Papa ga jemput Ghania?" tanyanya sedih.
"Umm... karena Ghania belum gede. Nanti kalau Ghania udah gede, Ghania pasti tahu,"
"Ya udah, ga papa. Ghania udah senang kok bertemu kakak. Kakak tinggal bersama Ghania kan?" tanyanya polos.
"Maaf ya, tetapi kakak sedang bekerja, jadi kakak tidak bisa menemani Ghania di sini. Kakak bakal sering mampir ke sini. Ghania jangan sedih ya," jelas Daniel.
"Yah... Kenapa kakak tidak bisa sama Ghania? Tapi tidak apa-apa, kakak janji ya akan sering-sering mampir bertemu Ghania," katanya sambil mengedepankan jari kelingkingnya untuk berjanji.
"Tentu, kakak janji," Daniel mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari anak kecil yang imut itu.
"Kalau begitu, kakak pergi dahulu ya. Minggu depan kakak akan datang lagi, oke?"
"Oke, kak," jawabnya dengan ceria.
"Bu, saya pamit dahulu ya. Minggu depan saya akan mampir lagi."
"Tentu, Pak. Terima kasih sudah berkunjung."
"Sama-sama, Ghania. Kakak pergi dahulu ya. Bye~"
"Iya, kak. Bye~"
Disclaimer lagi : Tentara dan polisi memiliki kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab yang sama, namun tidak tanpa batas kekuasaan.
Daniel kembali ke kantornya untuk melaporkan informasi yang telah dia dapatkan.
"Jadi, dia sudah dititipkan sejak berusia 6 bulan? Mereka benar-benar orang tua yang luar biasa. Mereka meninggalkan anak mereka sendiri sejak bayi. Entah apa dosa yang telah mereka lakukan," ujar sang kepala.
Sejak saat itu, kasus tersebut menjadi terbengkalai karena tertimpa kasus-kasus penting lainnya. Daniel terus bertemu dengan Ghania di akhir pekan untuk bermain selama beberapa bulan, dan keduanya menjadi sangat akrab satu sama lain.
"Kakak, kenapa kakak bodoh sekali? Masa polisi tidak bisa menangkap anak kecil," ejek Ghania sambil berlari.
"Ghania, kamu memang luar biasa. Kakak pun tidak bisa menangkap Ghania. Hahaha," ucap Daniel.
"Pak Daniel benar-benar akan menjadi seseorang yang sempurna untuk menjaga Ghania," ujar ibu panti dari kejauhan mengamati keduanya tertawa dengan riang.
Setelah puas bermain, Ghania dipanggil untuk makan siang, sedangkan Daniel diajak bicara oleh ibu panti di kantornya.
"Ada apa, Bu? Tiba-tiba Anda ingin bicara? Sepertinya ini cukup serius," tanya Daniel.
"Saya benar-benar memperhatikan Ghania ketika bersama dengan Anda. Dia tampak sangat bahagia, dan Anda juga tampak sangat menyayangi Ghania. Jadi, saya ingin bertanya, apakah Anda berniat untuk mengadopsi Ghania? Menurut saya, Anda adalah pilihan terbaik untuk Ghania," ucap ibu panti.
"Mengadopsi? Saya tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Tetapi kenapa Anda ingin saya mengadopsi Ghania?" tanya Daniel lagi.
"Saya hanya berpikir bahwa Ghania layak mendapatkan keluarga yang sebenarnya di luar sana. Dia sudah berada di sini sejak bayi. Saya ingin dia keluar dan melihat banyak hal di luar sana, dan saya merasa Anda adalah orang yang tepat untuk itu, Pak Daniel."
"Maafkan saya, Bu, tetapi mungkin saya akan berpikir lagi tentang itu," jawab Daniel.
"Tidak masalah, Anda dapat berpikir pelan-pelan."
Sore harinya, Daniel berpamitan dengan Ghania dan segera melaju dengan mobilnya pulang ke rumah. Setelah menyegarkan diri, Daniel duduk di ruang tamu rumahnya sambil menyantap mi instan dan menonton TV. Dia terus memikirkan perkataan ibu panti padanya.
Keesokan harinya, ini adalah hari yang berat bagi Daniel. Dia dimarahi habis-habisan oleh atasannya karena sebuah kasus yang tak kunjung selesai. Dia kembali ke rumah dengan lelah, menyadari bahwa rumahnya begitu sunyi dan kosong. Benar-benar menyedihkan. Mengulang hal yang sama berulang-ulang setiap hari. Ketika dia mengingat Ghania, entah rasanya hatinya memanas dan membuat kelelahannya sirna. Pada saat itu, dia memutuskan bahwa dia akan membawa Ghania ke rumahnya.
Pagi hari di akhir pekan ini, dia telah meyakinkan diri bahwa dia akan merawat Ghania. Dia berangkat ke panti asuhan dengan hati senang. Begitu sampai, dia langsung menemui ibu panti.
"Begini, tentang apa yang Anda katakan sebelumnya. Saya sudah berpikir cukup lama dan saya merasa bahwa saya bisa merawat Ghania bersama saya. Jadi, Bu, izinkan saya merawat Ghania," kata Daniel.
"Benarkah? Saya turut senang untuk Ghania. Saya percaya Anda akan menjaga Ghania dengan baik nantinya," ujar ibu panti.
"Terima kasih, Bu. Saya akan membawa Ghania bersama saya hari ini jika diizinkan," pinta Daniel.
"Tentu, Pak Daniel. Kami akan bicarakan dengan Ghania terlebih dahulu jika begitu. Silakan Pak Daniel berkeliling atau beristirahat dahulu," ucap ibu panti sambil beranjak dari tempat duduknya.
Di sisi lain, Ghania sedang duduk menggambar di bawah sebuah pohon ketika ibu panti mendekatinya.
"Sayang, kamu sedang apa ?" tanya ibu panti.
"Ghania sedang menggambar, Bu. Ini Ghania, ini Kakak, ini Papa, dan Mama," jelasnya.
"Wah, Ghania pintar gambarnya ya. Ghania, mau tidak tinggal bersama Kakak?" tanya ibu panti.
"Kakak? Mau! Ghania mau, Bu!" teriaknya antusias.
"Tetapi kalau Ghania tinggal sama Kakak, siapa yang jagain Ibu? Nanti kalau Papa Mama jemput, bagaimana?" tanyanya dengan wajah berubah sedih.
"Ghania, tenang saja. Ibu banyak yang jagain kok. Nanti kalau Papa Mama jemput, Ibu telepon saja Ghania. Kan Ghania bisa telepon Ibu dari rumah Kakak," jawab ibu panti memberikan pengertian.
"Benar, Kakak kan punya banyak uang, pasti di rumahnya banyak telepon. Tapi Ibu janji ya, sering telepon Ghania," ujarnya mengajak si Ibu untuk janji kelingking.
"Tentu, ya sudah, Ghania, siap-siap yuk. Pulang ke rumah Kakak," jawab ibu panti mengaitkan kelingkingnya.
Setelah bersiap-siap, ibu panti mengajak Ghania menemui Daniel di ruang pertemuan.
"Kakak!" teriak Ghania dengan semangat.
"Halo, Tuan Putri. Kamu kangen kakak?" tanya Daniel sambil menggendong dan memeluk Ghania.
"Eumm... Ghania kangen kakak," jawab Ghania.
"Ghania siap buat tinggal di rumah baru?" tanya Daniel.
"Eumm," jawabnya sambil mengangguk.
Namun kemudian dia menatap sang ibu panti dan meronta turun lalu memeluknya.
"Nanti Ghania bakal kangen sama ibu. Ibu jangan lupain Ghania ya?" ucapnya sambil menahan tangis.
"Tentu, Ghania kecil adalah kesayangan ibu. Ibu ga akan lupain Ghania. Nanti Ghania sering-sering main ke sini ya? Bertemu temen-temen sama suster-suster," balas ibu panti sambil memeluk Ghania.
"Iya, nanti Ghania sering-sering ke sini, Bu," jawabnya sambil menangis.
"Ya sudah, Bu, kami pamit dahulu. Nanti kami akan sering berkunjung jika ada waktu. Terima kasih atas jasa Anda selama ini, saya akan menjaga Ghania dengan baik," pamit Daniel sambil meraih tas pakaian Ghania.
"Tentu, Pak Daniel, kami percaya pada Anda."
Keduanya berjalan meninggalkan panti, Ghania terus menangis sambil melihat ke belakang. Setelah duduk di mobil, Daniel melihat Ghania yang masih menangis dan menghapus air matanya.
"Ghania, jangan nangis lagi ya. Nanti kita sering-sering ke sini. Oke?" ujarnya sambil menenangkan Ghania.
"Iya, Kak," jawabnya sambil langsung menghapus air matanya.
"Ghania tidur aja, rumah Kakak lumayan jauh. Nanti Kakak bangunin kalau sudah sampai, ya," ucap Daniel.
Ghania pun mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Keduanya sampai di rumah, melihat Ghania yang tertidur pulas, Daniel tidak tega untuk membangunkannya. Dia pun memutuskan untuk menggendong Ghania ke kamarnya.
Setelah menidurkan Ghania di kamarnya, Daniel kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berbaring untuk beristirahat karena sudah pukul 9 malam.
Sementara itu, Ghania baru saja terbangun dari tidurnya.
Ketika membuka mata, dia tampak kagum dengan ruangan yang dipenuhi dengan nuansa putih dan pink yang lembut. Kamarnya sangat luas, bahkan hampir tiga kali lipat dari kamarnya di panti asuhan, dilengkapi dengan kamar mandi dalam ruangan dan balkon yang cantik menghadap kolam renang.
Memang Daniel adalah orang yang cukup kaya berkat warisan yang ditinggalkan orang tuanya dan pekerjaannya yang stabil.
Ghania keluar dari kamarnya setelah mandi dan berganti pakaian. Dia mencari di mana kakaknya berada. Dia turun ke lantai satu berpikir bahwa sang kakak sedang duduk di sana, namun ternyata tidak ada. Akhirnya, dia kembali ke lantai dua untuk melihat beberapa ruangan di sana. Dia membuka pintu kamar yang tepat berada di sebelah kamarnya dan menemukan sang kakak yang tertidur pulas. Dia naik ke atas ranjang itu dan memposisikan dirinya tidur di pelukan sang kakak.
Daniel yang merasakan gerakan-gerakan di sekitarnya membuka mata dan mendapati adiknya, Ghania, berbaring di pelukannya.
" Apa yang kamu lakukan, Tuan Putri?" tanya Daniel.
" Kakak hangat dan wangi," jawab Ghania.
" Benarkah? Kenapa Tuan Putri berada di sini?" tanya Daniel.
" Ghania mencari kakak ke mana-mana tetapi kakak sedang tidur di sini," timpalnya.
" Kamu mencari ku? Hmm? Jadi, bagaimana rumah barumu? Apakah cukup bagus untukmu, Tuan Putri?" tanya Daniel.
" Eummm... Rumah kakak sangat besar, bahkan kamarku sangat besar," jawab Ghania antusias.
" Hahaha, sekarang ini akan menjadi rumahmu juga, Sayang."
" Jadi, apa kita akan menjadi keluarga yang bahagia?" tanya Daniel sambil mengeratkan pelukannya.
" Eumm... Ghania dan kakak akan sangat bahagia," jawab Ghania tersenyum lebar.
" Tidurlah, besok kakak akan mengajakmu berkeliling."
" Benarkah?" tanya Ghania bersemangat.
" Tentu, tetapi sekarang kamu harus tidur dengan baik," ucap Daniel sambil menaikkan selimut untuk menyelimuti Ghania.
" Kakak, selamat malam."
" Selamat malam, Sayang," jawab Daniel.
Pagi hari berikutnya, Daniel bangun lebih dahulu dengan rasa kesemutan di lengannya. Dia perlahan-lahan menarik tangannya dan berdiri tanpa mengganggu tidur Ghania.
Dia turun ke bawah untuk memasak, karena hari ini adalah hari Minggu, dia berpikir untuk memasak sesuatu untuk Ghania namun menyadari bahwa kulkasnya tidak berisi sama sekali. Dia kembali ke atas untuk mengambil dompet dan pergi berbelanja, namun saat dia hendak masuk, ternyata Ghania baru saja terbangun.
" Kakak?" panggil Ghania sambil tersenyum dengan muka bantalnya.
" Selamat pagi, Tuan Putri. Tidurmu nyenyak?" tanya Daniel.
" Eummm," angguk nya.
" Kakak mau ke mana?" tanyanya.
" Kakak akan membeli beberapa barang untuk memasak sarapan," jawabnya.
" Ghania mau ikut."
"Boleh, pergilah cuci muka dan gosok gigimu, lalu kita pergi."
"Baik!"
Keduanya pergi ke supermarket yang tidak jauh dari rumah. Rumah mereka berada di kompleks tengah kota yang sangat dekat dengan fasilitas umum mana pun, sehingga mereka bisa cukup berjalan saja.
Mereka berjalan bergandengan menuju supermarket. Beberapa orang tetangga menyapa dan bertanya siapa anak kecil itu, dan dengan bangganya Daniel menjawab bahwa itu adalah adiknya. Tidak seperti di desa, orang-orang di sekitar tidak terlalu peduli tentang asal usul adik Daniel yang adalah seorang anak tunggal.
Sesampainya di supermarket, mereka mulai berkeliling untuk membeli barang-barang yang mereka perlukan.
"Apakah Ghania punya sesuatu yang ingin dimakan?" tanya Daniel.
"Tidak, Ghania suka apa pun yang kakak masak," jawabnya sambil tersenyum.
Setelah berbelanja di lantai 2, mereka turun melewati beberapa toko pakaian. Daniel pun berpikir bahwa mungkin Ghania butuh lebih banyak pakaian karena dia adalah anak perempuan. Jadi, dia mengajak Ghania membeli beberapa pakaian.
Setelah selesai berbelanja, keduanya kembali ke rumah. Daniel segera pergi ke dapur dan memasak untuk Ghania.
"Kakak, bisa masak?" tanya Ghania.
"Tentu, kakak selalu masak untuk diri sendiri sebelumnya, tetapi sekarang kakak akan masak untuk Ghania juga. Jadi, kalau Ghania mau makan sesuatu lain kali, bilang saja, biar kakak masakkan. Oke?"
"Oke!"
Keduanya menyantap nasi goreng spesial buatan Daniel dengan lahap di meja makan.
"Setelah makan, Ghania langsung mandi. Nanti Ghania ikut kakak keluar ya," ajak Daniel.
"Kita mau ke mana, kak?" tanya Ghania kecil.
"Eumm, buat akta baru Ghania. Setelah itu, kita lihat sekolah buat Ghania."
"Sekolah? Ghania boleh sekolah, kak?" tanyanya dengan semangat.
"Tentu saja, Ghania bisa pilih sekolah mana pun yang Ghania mau."
"Horeee, Ghania boleh sekolah! Hihii," tawanya lucu.
Setelah makan, Ghania naik ke kamarnya untuk mandi dan bersiap. Setelah mandi, Ghania membuka pintu lemari dan melihat deretan baju yang sangat cantik, belum lagi yang baru saja dibelikan kakaknya. Dia memilih acak pakaian-pakaian itu karena dia yakin semuanya pasti cantik saat dikenakan. Dia turun ke bawah untuk menghampiri kakaknya setelah bersiap.
Daniel benar-benar terpanah dengan adik kecilnya yang sangat imut itu. Benar-benar seperti Tuan Putri kecil.
Keduanya pun melaju dengan mobilnya menuju kantor urusan sipil untuk membuat akta. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya akta untuk Ghania pun keluar.
"Ghania, setelah dapat ini. Sekarang Ghania bukan lagi Ghanisya Ashya, tetapi Ghanisya Ashya Arnatha."
"Arnatha itu siapa, kak?"
"Arnatha itu nama belakang kakak. Sekarang Ghania sudah jadi keluarga kakak, jadi Ghania tidak boleh meninggalkan kakak, oke?"
"Oke! Wahhh, nama Ghania jadi sangat indah, hihii."
"Sekarang ayo lihat sekolah Ghania!" ujar Daniel langsung menggendong Ghania dengan semangat.
Mereka berkendara sekitar 15 menit menuju sekolah itu. Begitu sampai saja, Ghania sudah terkagum-kagum melihat gerbang sekolah yang sangat besar itu. Di atasnya terdapat gapura besar bertulis "International Art School".
Daniel sengaja memilih sekolah ini, karena dia menyadari bahwa Ghania sangat tertarik dengan gambar dan seni.
"Kak, sekolah ini terlalu besar. Bagaimana jika Ghania tidak bisa belajar dengan baik? Pasti di sini banyak pelajarannya," ujarnya tiba-tiba merasa takut.
"Ghania, tenang saja. Di sini Ghania bakal lebih sering menggambar, kok. Pelajaran biasa cuma pendukung saja. Ghania suka gambar, kan?" jelas Daniel.
"Iya, Ghania suka gambar."
Keduanya bertemu kepala sekolah yang telah secara khusus mau bertemu dengan mereka meskipun di hari Minggu.
"Selamat pagi, Pak Hadi. Saya Daniel yang menghubungi Anda tadi pagi."
"Ah, iya, iya, saya kenal, Nak Daniel. Tidak perlu terlalu sungkan. Hahaha, anggap saja seperti di rumah. Jadi ini adik lucu yang mau mulai bersekolah?" tanya Pak Hadi berbasa-basi.
"Iya, ini adik saya, Ghania. Ghania, ayo sapa Pak Hadi."
"Hallo, Pak. Saya Ghania, usia saya 8 tahun," sapa Ghania.
"Ah, iya, iya, lucu sekali," puji Pak Hadi.
"Jadi, maksud saya, saya ingin adik saya belajar di sini, Pak."
"Ah, tentu saja, tentu saja," jawab Pak Hadi tanpa ber basa-basi.
"Tetapi karena adik saya sebelumnya tidak pernah sekolah di sekolah umum, jadi saya berharap sekolah dapat memberikan sedikit lebih banyak perhatian padanya. Apa mungkin untuk seperti itu, Pak?" tanya Daniel.
"Tentu, itu bukan hal yang sulit, tetapi untuk mendapatkan kelas lebih intensif, mungkin adik Anda akan mengorbankan banyak waktu dan juga akan menghabiskan banyak biaya. Apa Anda yakin?" tanya Pak Hadi.
"Saya tidak masalah dengan biayanya, Pak, dan saya yakin adik saya akan menyukainya nanti meskipun agak lebih sulit di awal," jawab Daniel.
"Baiklah, jika Anda yakin, ini adalah formulir kelas intensif. Silakan Anda isi di rumah dan bawa kembali bersama semua persyaratannya besok untuk mulai sekolah," kata Pak Hadi sambil menyerahkan beberapa lembar kertas.
"Ah, iya, baik. Terima kasih atas bantuannya, Pak. Mohon bimbing adik saya, Pak," ucap Daniel sambil berdiri dan bersalaman dengan Pak Hadi.
"Tentu, tentu. Jangan sungkan," balas Pak Hadi. Kemudian, Daniel dan Ghania pun pergi.
"Kak, sekolah ini mahal ya? Jika terlalu mahal, sebaiknya kita cari yang lain saja," ujar Ghania tiba-tiba sambil berjalan ke gerbang keluar.
"Apa?" tanya Daniel heran bagaimana anak kecil ini bisa berpikir seperti itu.
"Kalau sekolahnya mahal, kita cari yang lain saja," jelas Ghania.
"Ghania, sekolah ini memang mahal, tentu saja, karena ini salah satu sekolah yang paling bagus di negara ini. Tetapi itu bukan masalah karena kakak bisa membayarnya. Lagipula, itu bukan urusan anak kecil untuk memikirkan uang. Tugasmu sekarang hanya belajar, mengerti?" ucap Daniel memberi penjelasan.
"Eummm, baik, kak," jawab Ghania.
Keduanya kembali ke rumah. Saat sampai di depan gerbang, Ghania terkesima dengan rumahnya. Sebelumnya, dia tidak benar-benar memperhatikan, tetapi ketika mereka sampai, Ghania baru menyadari bahwa rumah sang kakak sangatlah indah dengan nuansa putih dan emas yang besar dan mewah.
"Kak, rumah ini sangat mewah," ucapnya terkesima.
"Benarkah? Apa kamu baru saja menyadarinya? Hahaha," tawa Daniel dengan ketinggian suara adiknya.
"Tadi Ghania belum sadar, ternyata dari luar pun sudah terlihat indah."
"Ayo, masuk, Tuan Putri. Ini sudah hampir sore," ajak Daniel.
Ghania langsung kembali ke kamarnya untuk mandi dan ganti pakaian, begitu pula dengan Daniel. Keduanya kemudian menikmati makan malam dan kembali untuk tidur. Setelah mengantar Ghania kembali ke kamarnya, Daniel pun pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!