Seperti di sengat kalajengking aku melompat dari ranjang begitu mendengar suara gedoran kasar di pintu depan
"Iya sebentar...." aku menjawab dengan suara berteriak pula mengimbangi teriakan keras dari suamiku
Dengan cepat aku membuka pintu kamar kemudian berjalan terburu bahkan setengah berlari menuju pintu depan
Dengan segera aku membuka kunci pintu. Belum sempat aku menarik gerendelnya, dari luar ternyata suamiku telah mendorong pintu hingga aku yang berdiri di belakang pintu dengan cepat mundur
"Minggir!!!" dorong suamiku ketika aku menampilkan senyum di wajahku menyambutnya sambil mengangkat kedua tanganku hendak memeluknya seperti kebiasaanku
Aku hanya menarik kesamping bibirku sambil menghempas nafas kasar sambil menoleh kearahnya yang berjalan masuk menuju sofa
Aku segera menutup dan mengunci pintu kemudian berjalan kearah suamiku yang saat ini tengah memijit keningnya sembari meletakkan kepalanya di sandaran sofa
"Kepalanya pusing Mas?" tanyaku berusaha mengambil tangannya dengan niat ingin menggantikan memijit keningnya
Dan kembali suamiku menepis tanganku. Tapi kali ini dengan tatapan tajam. Dan aku tahu itu tatapan marah
"Iya maaf, aku ketiduran. Habisnya tadi sepulang kerja aku capek banget mas. Makanya aku tidur cepat" jawabku memberi alasan, karena aku tahu dia marah karena aku tidur cepat
"Lagian ini jam berapa kamu sudah tidur?" tanyanya dengan nada tinggi
Aku menelan ludahku, kemudian ekor mataku aku gunakan untuk melihat jam yang menempel di tembok. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat tiga puluh lima menit
"Sudah malam mas" lirihku
Suamiku mendengus, kemudian dia kembali merebahkan kepalanya dan kembali memijit-mijit keningnya
"Mas mau ngopi?" tawarku
"Nggak usah!!"
Dan kembali aku harus menelan ludah mendapati bentakannya
"Aku panasin sayur ya mas. Mas pasti belum makan kan?, sama mas aku juga belum makan. Tadi keburu tidur" jawabku masih berusaha ceria dengan langsung berdiri
"Aku sudah makan sama teman-teman aku. Kamu siapin saja handuk dan pakaian aku, aku mau mandi"
Aku mengangguk, berdiri, kemudian niat awal yang ingin ke dapur aku urungkan dengan langsung masuk kembali ke kamar
"Raraaaaaa....." kembali terdengar teriakan
Dengan cepat aku menyambar handuk dan kembali keluar menemui suamiku
"Taruh sepatu aku!!"
Aku gelagapan menangkap sepatu yang dilempar suamiku ke arahku. Satu tertangkap, satu lagi tepat mengenai wajahku karena aku membetulkan handuk yang ada di tanganku
"Ceroboh!!" ucap suamiku sambil menarik kasar handuk yang aku lilitkan di leherku barusan
Kembali aku menarik nafas panjang dan kembali hanya bisa melihat punggungnya yang berjalan menjauhiku
"Raraaaaa.....!!!"
Aku memejamkan mataku sebentar karena kembali aku dengar suamiku berteriak dari dalam kamar mandi
"Raraaaa.....!!!" ulangnya dan semakin kencang disertai dengan bentakan
"Iya mas...." aku berlari terburu kearah kamar mandi dan segera mengetuk pintunya ketika aku sampai di depan kamar mandi
PUKKKK!!!!
Kembali aku gelagapan ketika botol sampo tepat mengenai keningku
"Mana shampo?" ucap suamiku yang di badannya telah ada buih-buih sabun, dan kulihat rambutnya juga sudah basah
Aku berjongkok memungut botol sampo yang jatuh tadi dan mengguncangnya
"Itu habis bodoh!!!" sungut suamiku ketika melihat tingkahku
"Masa sih mas?" jawabku tak yakin sambil membuka tutupnya
Ku dengar mas Rafli mendecak. Dan dengan kasar direbutnya kembali botol sampo yang ada di tanganku, kemudian dia segera menutup pintu kamar mandi dengan kasar
"Kasih air aja mas ke dalam botol samponya, terus guncang. Yakin deh nanti bakal ada samponya" jawabku yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi
Tak ada jawaban. Yang terdengar adalah suara gebyar gebyur air mengenai lantai. Aku menarik nafas panjang sambil mendecak kemudian kembali lagi ke belakang ketika aku teringat jika tadi aku memanaskan sayur
"Ya ampun..." dengan segera tanganku mematikan kompor dan mengangkat wajah dengan nelangsa ketika kulihat ayam suwir yang ku panaskan sudah berubah sedikit kehitaman
Dengan sedikit kecewa aku memasukkan sayur tersebut ke mangkuk, membuka kulkas dan melihat persediaan mie instan yang memang selalu ada di dalam kulkas
"Bau apa ini?"
Aku mengangkat kepalaku ketika mendengar suara mas Rafli. Kulihat mas Rafli mengeringkan rambutnya dengan handuk. Wajahnya terlihat segar, dan aku suka
"Ini apa?" kembali mas Rafli bertanya sambil mengangkat mangkuk yang barusan aku letakkan
"Sayur mas" jawabku sambil kembali menghidupkan kompor dengan niat ingin masak mie
"Aku juga tahu ini sayur. Kok gini bentuknya?, gimana mau makannya?"
Aku kembali tersenyum dan berjalan kearah mas Rafli. Dengan cepat aku melingkarkan tangan kananku ke lehernya, dan menghirup dalam aroma rambutnya
"Apaan sih?" tolak mas Rafli menjauhkan kepalanya dan memandang tak suka ke arahku
"Ihhh mas dari tadi marah mulu sih. Kan aku kangen" jawabku merajuk
"Tuh airnya sudah masak. Ntar kering lagi"
Aku menurut dan kembali kearah kompor, masak mie lalu meletakkannya dalam mangkuk
Ku lirik mas Rafli sekarang tengah menatap ponsel yang ada di tangannya
"Mas mau aku masakin juga?" tanyaku sambil meletakkan mangkuk di atas meja dan menarik kursi
Tak ada jawaban. Suamiku masih betah menatap layar ponselnya
"Mas obat aku habis" ucapku di sela-sela aku makan
Diam, masih tak ada jawaban. Aku kembali menarik nafas panjang dan memilih melanjutkan makanku
Ku lirik berkali-kali wajah mas Rafli yang masih fokus menatap ponsel, dan terkadang ada senyum segaris di bibirnya
"Mas obat aku habis" ucapku kembali. Tapi kali ini dengan langsung menggoyangkan tangannya
"Hem? apa?" tanya mas Rafli yang akhirnya menoleh ke arahku
"Obat aku habis" ulang ku
"Ya tinggal beli, apa susahnya?"
Aku kembali harus menelan kecewa karena hanya sebatas itu jawaban mas Rafli, kemudian dia kembali fokus menatap layar ponselnya
"Besok mas DL" jawab mas Rafli sambil berdiri dan meninggalkan aku yang masih duduk yang hanya bisa menggerakkan kepalaku mengikuti kepergiannya
"DL mulu sih, masa tiap bulan DL" ucapku ngedumel
Dengan cepat aku menghabiskan kuah mie yang tersisa di dalam mangkuk hingga tandas, meraih gelas dan juga menenggak isinya hingga kering
Selesai mematikan seluruh lampu aku masuk ke dalam kamar, dimana aku lihat mas Rafli masih tampak fokus menatap layar ponselnya
"Lihat apa sih mas?" tanyaku tiba-tiba yang langsung merebahkan tubuhku di sebelahnya
Aku hanya mengedip-ngedipkan mataku ketika mas Rafli dengan cepat meletakkan hp di atas dadanya
"Kamu apaan sih? Nggak sopan!" jawabnya sambil segera turun dari tempat tidur
Aku masih saja memperhatikannya yang segera berjalan kearah meja dan masih kulihat tangannya bermain di layar ponsel ketika itu. Kemudian tak lama mas Rafli meletakkan hp miliknya di atas meja, dan berjalan kearah ranjang
Aku segera menyusupkan kepalaku di dadanya begitu mas Rafli merebahkan tubuhnya di sebelahku
"Sana jauh-jauh. Mas capek" tolaknya ketika tanganku aku lingkarkan di atas perutnya
"Tapi aku nggak bisa tidur kalo nggak peluk mas" jawabku manja
Kulihat mas Rafli menarik nafas panjang, kemudian diambilnya kembali tanganku yang tadi ditepisnya, diletakkannya di atas perutnya dan aku mendongak sambil tersenyum yang dibalas mas Rafli dengan tersenyum juga
"Terus ke dokternya kapan kalau besok mas DL?" tanyaku sambil menciumi dadanya
"Kapan-kapan. Ya sudah tidurlah. Mas capek mana besok mau DL" jawab mas Rafli memiringkan tubuhnya dengan langsung mendekap ku
Aku diam, tak berani untuk membantah. Aku hanya memainkan rambut suamiku dan kembali menciumi dadanya. Tak lama kudengar nafas teratur dari suamiku yang menandakan jika dia sudah nyenyak
Sedangkan aku masih tidak bisa memicingkan mataku lagi. Aku memiliki kebiasaan buruk, jika aku sudah terbangun, maka akan sulit untuk aku tertidur kembali
Aku melepaskan dekapanku pada mas Rafli. Telentang, dan menatap ke langit-langit kamar
Sesekali aku kembali menoleh kearah suamiku yang masih tampak terlelap. Memiringkan posisi tubuhku, bahkan tengkurap berharap kantuk akan segera datang
Karena masih juga tak bisa tidur setelah sekian menit hanya bisa membolak balikkan badan, akhirnya aku bangun dan turun dari ranjang
Aku tertegun menatap layar ponsel suamiku yang menyala, dan meraih benda tersebut
"Ada what's app masuk" gumamku
"Jam segini siapa sih yang masih ngirimin suamiku pesan" lanjut ku masih dengan rasa penasaran
Aku segera meraih benda tersebut. Terkunci. Dan aku makin curiga ketika kembali aku lihat di bilah notifikasi kembali ada pesan masuk dari nomor yang sama
Aku menoleh kearah suamiku, dan mas Rafli masih tampak pulas. Dan kembali ada pesan masuk, tapi sialnya aku tidak bisa membuka kunci tersebut.
"Mungkin tanggal lahir mas Rafli" gumamku berusaha menekan tombol on agar benda tersebut menampilkan layar
"Pola??" gumamku kembali. Dan kali ini aku cukup lama tertegun, menebak kira-kira pola apa yang dipakai oleh mas Rafli
Iseng, aku mencoba pola yang dulu pernah aku ingat, ternyata bukan. Sampai tiga kali aku ulangi dengan pola lain masih saja tidak terbuka hingga akhirnya ada pemberitahuan jika aku harus menunggu sekian menit untuk menormalkan kembali hp
"Ya Tuhan, jangan sampai kecurigaan aku menjadi kenyataan" gumamku kembali dengan meletakkan hp mas Rafli dengan hati gamang
Aku mencium punggung tangan suamiku ketika aku telah siap pagi ini
"Ke dokter sendiri seperti biasanya, nggak apa-apakan?" tanya mas Rafli
Aku hanya mengangguk seraya tersenyum dan segera memasang helm di kepalaku
"Mas sudah nelpon Aldo tadi. Dan bilang jika sore ini kamu akan kesana. Dan mas sudah meminta pada dia untuk menyiapkan obat seperti biasa"
Kembali aku mengangguk dan segera menghidupkan mesin motor. Mas Rafli tersenyum ke arahku sambil melambaikan tangannya
Sepanjang perjalanan menuju tempat kerja aku berkali-kali menarik nafas panjang. Pesan what's app tengah malam tadi adalah penyebabnya. Jujur saja aku begitu tak tenang mendapati ada pesan masuk dari nomor yang tidak di kenal di hp mas Rafli, apalagi ada pesan yang terbaca olehku yang berbunyi "mas sudah tidur ya sampai pesan aku nggak dibaca?"
Hati wanita mana yang tidak akan sakit mendapati itu. Tapi aku bisa apa? Untuk bertanya pada mas Rafli tentu tak mungkin, bisa kena marah lagi aku sama dia
Hingga tak terasa, motor yang aku kendarai sudah masuk ke kawasan bank swasta tempat aku bekerja
"Pagi mbak....." sapa mas Leo, office boy tempatku bekerja ketika melihat aku melepas helm
"Pagi juga mas Leo" balasku sambil membalas senyumnya
"Tumben mbak bengong" lanjutnya
Aku memundurkan kepalaku
"Emang iya?" tanyaku balik
Pria yang usianya di bawahku dua tahun itu terkekeh dan segera berlalu membawa nampan yang ada di tangannya
"Mbak minta teh seperti biasa ya Mas...." ucapku setengah berteriak
"Siap mbak..." balasnya yang membuatku kembali tersenyum
Segera aku melangkah setelah meletakkan helm di stang motor, kemudian masuk kedalam kantor yang masih tampak sepi tersebut
"Kemana jadwal hari ini Ra?"
Aku mengangkat bahu mendengar pertanyaan teman sekantorku
"Di kantor mungkin Wid. Kan kemarin sudah survey nya"
Widia, teman sekantorku yang sekarang tengah hamil tua itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Kemudian aku mengekor di belakangnya
"Berat ya Wid?" lirihku
Widia menoleh dan tersenyum
"Kalau mau pegang, sini boleh. Biasanya juga pegang kan?" jawabnya sambil memutar badannya ke arahku
Aku segera mengembangkan senyum dengan lebar, kemudian langsung mengulurkan tanganku dan mengelus perut besarnya
"Kapan aku merasakan kaya kamu ya Wid...?" ucapku sambil mendongakkan wajahku menatapnya seraya tersenyum getir
"In shaa Alloh. Aku yakin suatu hari nanti kamu akan hamil juga. Yang sabar" ucap Widia sambil mengelus pundakku
"Aamiin" jawabku penuh harap
Kemudian kami berdua berjalan kearah meja kami masing-masing. Membereskan berkas dan merapihkan nya
"Ini hari terakhir aku kerja. Karena aku sudah mau cuti" ucap Widia sambil tangannya tak henti membereskan meja kerjanya
"Secepat itu Wid?" jawabku menghentikan gerakan tanganku
"Cepat apanya Ra. Bulan depan aku sudah brojol. Perkiraan pertengahan bulan"
Aku kembali tercenung dan terus menatap gerakan lincahnya. Widia adalah teman satu kantorku sejak pertama aku bekerja di bank ini. Kami sama-sama orang baru di bank ini
Aku ingat awal pertemuan kami adalah ketika kami tes di ibukota. Saat itu ada ratusan jumlah pelamar, dan kami sama-sama dari daerah. Satu minggu di ibukota menyebabkan kami cepat akrab apalagi kami sama-sama pertama kali ikut tes waktu itu
"Hei, kok malah melamun!" sentak Widia menyadarkan ku
Aku tertawa pelan.
"Keinget waktu pertama kita ketemu Wid" jawabku
Widia ikut tertawa. Dan tawa kami rupanya memancing para karyawan yang mulai berdatangan
"Widia, nanti ke ruangan bapak!" ucap bos kepala ketika beliau masuk
Widia menganggukkan kepalanya, dan aku melirik kearah Widia melalui ekor mataku
"Bos sudah aku kasih tahu kalau aku mau cuti" jawabnya seperti faham kerlingan ku
Aku ber O panjang mendengar jawabannya dan segera menerima gelas teh yang di sodorkan mas Leo ke arahku
"Terima kasih mas Leo...."
Mas Leo tersenyum sambil menganggukkan kepalanya ke arahku mendengar ucapan terima kasihku. Kemudian dia meneruskan pindah ke meja lain
...----------------...
Aku dengan santai berjalan masuk kedalam ruangan kepala bank ketika beliau menelepon menyuruhku menghadap
Setelah mendengar perintah masuk, aku segera mendorong pintu dan mendapati bos kami tersebut sedang berdua dengan Widia
Aku menganggukkan sedikit kepalaku kearah beliau sampai akhirnya aku menarik kursi dan duduk bersebelahan dengan Widia
"Karena Widia senin nanti sudah cuti. Jadi sebagai penggantinya menjadi teller, bapak serahkan sama kamu" ucap pak Satria ke arahku
Aku menoleh kearah Widia yang tersenyum sumringah ke arahku, kemudian aku kembali menatap kearah pak Satria
"Baik pak" jawabku pelan
"Jadi kamu tidak usah survey lapangan lagi. Kamu fokus di teller" sambung beliau
Dan kembali aku mengangguk
...****************...
Jam empat sore, kantor bubar dan aku sekarang sudah bersiap berjalan kearah parkiran ketika Widia meneriakkan namaku
"Kok buru-buru?, kamu bukannya menghindar nggak mau ikutan kan?"
Aku nyengir, hal itu membuat wajah Widia jadi cemberut
"Aku harus ke dokter. Obat aku habis" jawabku memberi alasan padanya
Widia mendecak dan aku mengelus perutnya
"Doain aku ya Wid...."
Widia melengos, masih dengan wajah cemberut ditariknya tubuhku
"Aku selalu berdoa untuk seluruh kebaikan kamu Ra" jawabnya masih dengan nada merajuk
Lalu aku memegang kedua bahunya, menatapnya masih dengan tersenyum
"Kamu memang sahabat rasa saudara"
Widia mendecak, dan kembali aku dibuatnya tersenyum
"Tuh suami kamu sudah jemput" ucapku ketika kulihat motor suaminya tampak berjalan kearah kami
"Mas.....?" sapaku ketika suami Widia membuka helm
Suami Widia tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arahku. Kemudian beliau turun dan langsung menyongsong tangan Widia yang terulur kearahnya
Aku sedikit melengos dan menarik nafas dalam ketika kulihat bagaimana suami istri ini tampak begitu mesra
"Andai saja posisi Widia itu aku" batinku sambil menunduk
"Beneran nggak ikut?"
Aku mengangguk kearah Widia, sementara karyawan lain yang sudah di atas motor dan di dalam mobil mereka tampak menunggu
"Ah nggak asyik lu Ra" teriak Reni dari belakang kemudi
Aku melambaikan tangan kearahnya. Kulihat temanku yang lain memandang kecewa ke arahku
"Maaf untuk kali ini aku absen" ucapku agak sedikit kencang kearah Reni yang masih menatap kearah kami
"Sudah Wid, berangkat aja. Kasihan anak-anak sudah nunggu tuh"
Widia mengangguk, dan sekali lagi kami berpelukan hangat
"Beritahu aku jika kamu akan melahirkan" lirihku sambil mengusap punggung Widia
Ada airmata yang mengambang di pelupuk mata Widia ketika aku mengucapkan kalimat tersebut
"Aku berharap semoga nanti giliran aku yang akan menunggui kamu lahiran Ra....." balasnya serak
Aku tersenyum getir dan mengusap kepalanya
"Doain ya....." kembali aku memelas
Dengan dibimbing suaminya, Widia duduk di boncengan. Walau Reni sudah bersikukuh mengajaknya tetapi Widia menolak, dengan alasan mau pacaran sama suaminya
Dan ketika seluruh temanku sudah mulai melajukan kendaraan mereka, giliranku kali ini yang melajukan motorku
Dengan kecepatan sedang aku menuju ketempat dokter Aldo praktik, seorang dokter kandungan sahabat karib suamiku.
Karena suamiku sudah membuat janji, jadi ketika aku masuk, aku tidak perlu mengantri di depan meja depan lagi. Aku cuma bertanya kepada bagian administrasi, menanyakan nomor urut ku, kemudian duduk di bangku tunggu
"Sudah hamil berapa bulan mbak?" sapa seorang perempuan sekira seusiaku ramah ketika aku duduk di sebelahnya
Aku berusaha tersenyum menanggapi pertanyaannya
"Aku belum hamil" jawabku pelan
"Baru nikah yaaaa.....?" tanyanya lagi sambil tertawa kecil
Aku ikut tertawa pula
"Sudah hampir tujuh tahun mbak" jawabku lagi
Perempuan muda itu ber o panjang kemudian tampak melongo, lalu dia memperhatikan ku dari atas hingga bawah, dan aku hanya melirik atas perbuatannya
"Kenapa ya mbak?, ada yang salah?" tanyaku mulai tak senang
Perempuan itu menggeleng
"Hati-hati loh mbak, suami itu kalo istrinya mandul, dia bisa pindah ke lain hati. Suami kan ingin punya keturunan mbak. Bukan cuma nikah-nikah doang"
Bagai ada sebuah gada besar menghujam dadaku mendengar komentarnya. Aku menghembus nafas panjang, kemudian berusaha untuk tenang tidak ingin terpancing dengan omongannya
"Mbak Rara......" panggil sebuah suara
Aku segera berdiri, dan tanpa pamit aku segera meninggalkan perempuan muda yang masih saja terus memperhatikanku itu
"Hai......" sapa dokter Aldo ketika aku masuk
Aku tersenyum kaku, kemudian aku duduk di depan beliau. Aku diam, dadaku masih kesal mengingat ucapan perempuan tadi
"Ada apa?" tanya dokter Aldo memperhatikan wajahku dengan serius
"Apa aku mandul dokter?" tanyaku setelah sekian menit aku diam dengan wajah masam
Dokter Aldo diam, wajahnya yang semula biasa saja tampak berubah sedikit tegang
"Dokter, benar aku mandul?"
Dokter Aldo tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. Dan aku kembali menarik nafas panjang mendengar jawabannya
"Kan kamu tahu sendiri Ra kalau kamu itu sehat"
Aku menghembus nafas panjang lagi, dan menatap kosong kearah dokter tersebut
"Tapi ini sudah tahun ketujuh dokter" lirihku menahan tangis
"Sabar.... Yang penting kamu berusaha dan berdoa. Kamu yakin saja sama Yang Di Atas"
"Harus berapa lama lagi dokter aku bersabar. Sedangkan semua teman aku sudah punya anak semua, aku malu jika kumpul dengan mereka. Terlebih ketika mereka menceritakan bagaimana repot dan sulitnya mereka mengatur anak mereka. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan dokter, aku ingin mendengar teriakan mereka, mendengar tangisan mereka, mendengar rengekan mereka. Dan yang paling penting, aku takut mas Rafli berpaling dari aku" ucapku akhirnya dengan air mata mengalir
Dokter Aldo menarik nafas, dan aku mengulurkan tanganku meraih tisu yang ada di meja beliau
"Jangan stress, ini justru menggangu hormon kamu"
"Bagaimana aku tidak stress dokter, sebelum masuk kesini ada seorang perempuan yang benar-benar melukai perasaanku"
Sekarang giliran dokter Aldo yang menarik nafas panjang
"Tidak ada keluhan kan?" tanya beliau setelah kami sama-sama diam
Aku menggeleng
"Semuanya masih sama dokter. Aku masih jarang mens, dan itu membuatku selalu berharap jika itu pertanda aku hamil. Tapi setiap aku test pact hasilnya selalu negatif"
"Itu karena kamu stress. Cobalah kamu rileks, jangan semuanya dijadikan beban pikiran. Rafli mana, kok kamu sendirian?"
Aku menghembus nafas, sementara asisten dokter Aldo mulai memeriksa tensi darahku
"DL" jawabku singkat
Aku tidak melihat jika wajah dokter Aldo kembali berubah ketika mendengar jawabanku
"Darahnya rendah mbak"
Aku mengangkat kepalaku menatap kearah perawat tersebut
"Memang biasanya rendah kan?" ucapku balik bertanya
Perawat tersebut mengangguk, dan memintaku untuk berbaring. Setelah aku berbaring, dengan meminta maaf sebelumnya, dokter Aldo mulai memeriksaku
Aku menatap layar komputer yang ada di samping beliau
"Semuanya baik Ra. Nggak ada perubahan" ucap beliau sambil menatap layar komputer juga
Aku duduk, kemudian membetulkan kemeja yang tadi terangkat karena dokter Aldo memeriksa perutku
"Obatnya diminum rutin ya?" ucap dokter Aldo lagi setelah beliau mengambil obat di dalam lemarinya
Aku memperhatikan obat tersebut, tercenung cukup lama
"Bisa tidak dok kalau obatnya diganti?"
Aku lihat wajah dokter Aldo tampak kaget
"Kenapa?"
Aku mendecak
"Sudah sejak awal pernikahan selalu minum obat ini dokter. Tapi hasilnya masih nihil"
Ada senyum kaku di wajah dokter Aldo ketika mendengar jawabanku
"Tapi obat inilah yang diminta oleh Rafli"
Aku kaget mendengar jawaban dokter Aldo
"Maksudnya dokter?"
Kembali aku harus melihat ada guratan tegang di wajah dokter Aldo ketika aku kembali bertanya
"Obat ini memang anjuran Rafli, karena dia sangat menyayangimu Ra. Dan sebagai dokter aku harus mengiyakan apa kata pasien ku"
"Aku pasiennya dokter, bukan mas Rafli" tegas ku dengan nada tak suka
Dokter Aldo tersenyum dan kembali menjelaskan bahwa obat yang beliau beri adalah obat terbaik untuk menyuburkan kandunganku. Dan aku akhirnya kembali menyetujui obat tersebut
"Usahanya jangan kasih kendor" ucap beliau sambil tertawa kecil ketika aku menyalaminya
Aku pun jadi ikut tertawa dan mengambil obat yang tadi diberikannya padaku
"Sekalian itu ada pil tambah darahnya" sambung beliau
Aku mengangguk. Dan ketika aku keluar, perempuan muda yang tadi berbicara padaku tampak menoleh ke arahku
Dan aku hanya mengerling kearahnya, kemudian nyelonong pergi tanpa berniat untuk menyapanya kembali
****************
Aku segera membuka pintu rumah dan segera mendorong motor masuk. Setelah pintu depan tertutup, aku masuk ke belakang, mengambil piring
Suasana rumah sepi karena memang aku lebih sering sendiri. Terlebih karena sekarang mas Rafli DL, maka jadilah aku kembali sendirian di rumah ini
Sambil makan sate kambing yang sengaja aku beli karena darahku rendah, aku mendial nomor mas Rafli
Berdering namun tak diangkat ku ulangi sampai tiga kali tapi masih saja tak terjawab. Dengan menarik nafas kecewa aku meletakkan hp dan melanjutkan makanku
Suasana di luar sudah berubah temaram. Aku bangkit dan membawa piring dan gelas kotor ke belakang. Mau mandi tapi rasanya malas sekali. Akhirnya aku memilih untuk berbaring sambil melihat pesan masuk di what's app
Aku tersenyum ketika melihat para teman sekantorku yang saat ini tengah makan di sebuah restoran. Aku memberikan emoticon hati di tiap foto tersebut. Lalu aku berpindah ke group lain, hanya membaca tanpa berniat memberikan komentar
Puas dengan membaca seluruh pesan masuk aku berpindah ke media sosial lain. Cuma scroll ke bawah, melihat setiap konten yang tampil
Jam delapan malam, barulah aku bangkit dan berniat mandi. Ketika aku di dalam kamar mandi, terdengar hp ku berdering, dan aku dengan terburu menyiramkan air ke sekujur tubuhku, menangkap handuk dan segera keluar dari dalam kamar mandi
"Mas Rafli...." desis ku ketika aku membuka hp
Dengan segera aku menelepon balik nomornya, tapi kembali tak diangkat. Sedikit mendecak aku meletakkan hp dan mengeringkan tubuhku, berganti pakaian dan keluar dari dalam kamar
Kembali aku duduk termangu di ruang depan. Melamun.
Lamunan ku buyar ketika hp ku berdering. Secepat kilat aku berlari masuk kedalam kamar
"Kemana saja kamu hah?!"
Senyum yang tadi mengembang di bibirku hilang seketika ketika mendengar bentakan dari seberang
"Ketiduran lagi?" lanjut mas Rafli masih dengan nada marah
"Nggak mas, tadi mandi"
"Jam segini baru mandi? Ngelayap kemana aja kamu sampai jam segini baru mandi?"
Aku menarik nafas panjang
"Nggak bisa jawabkan kamu? Kebiasaan. Suami nggak ada, kesempatan ya untuk ngelayap"
"Ya Sudah lah mas. Aku males ribut. Ada aku menjelaskan juga mas masih nggak akan percaya" jawabku lesu
"Lah emang iya kan?"
Kembali aku menarik nafas panjang
"Aku dari dokter mas. Kan mas tahu aku kontrol"
Diam, kali ini suamiku tidak menyela ucapan lemah ku
"Apa kata Aldo?"
"Seperti biasa, baik semuanya"
Terdengar tarikan nafas mas Rafli
"Maafin aku ya mas karena sampai saat ini belum bisa ngasih kamu anak"
Diam, mas Rafli tidak menjawab
"Mas sudah sampai?" lanjut ku mengalihkan topik
"Sudah. Dan kemungkinan mas pulang ke rumah senin sore"
Aku mengiyakan. Tidak bertanya panjang lebar lagi walau sebenarnya aku curiga dengan dinas luar nya yang selalu di akhir pekan
"Sudah sana kamu tidur. Nggak usah banyak pikiran. Jangan hubungin mas kalo mas nggak menghubungi kamu"
Aku kembali mengiyakan dan meletakkan hp ketika obrolan berakhir
Kembali aku duduk, dan bermain hp untuk membunuh kesepianku. Mengobrol dengan teman semasa sekolah, tertawa cekikikan sendiri hingga larut malam
**************
Senin pagi aku memulai aktifitas baruku sebagai teller. Dengan semangat aku menjalankan pekerjaan baruku
Hingga jam tiga sore pelayanan ditutup dan aku melanjutkan dengan para nasabah yang tersisa
Jam empat, kantor bubar. Dan masih dengan semangat aku buru-buru keluar dari kantor. Aku hanya melambaikan tanganku kearah para teman sekantorku ketika aku berpapasan dengan mereka
"Kamu ngejar apaan sih Ra buru-buru gitu?"
Aku hanya memanyunkan bibirku kearah Reni, kemudian segera memundurkan motor dan langsung mengegas motor menuju rumah
"Mas Rafli sangat suka sama mie ayam" gumamku sambil menepikan motor kearah warung mie ayam langganan suamiku
Setelah mendapatkan dua bungkus pesananku, aku kembali mengegas motor menuju rumah
Berkali-kali aku melihat jam, tapi tanda-tanda suamiku pulang belum juga kelihatan. Dan mataku pun sudah mulai sayu saking suntuk dan lamanya aku menunggunya
Lagi-lagi aku terlonjak ketika terdengar suara gedoran kasar di pintu. Dengan terburu aku bangun dari sofa dan langsung membuka pintu
"Ketiduran?"
Aku mengangguk sambil tersenyum takut kearah suamiku yang wajahnya cemberut ketika pintu terbuka
"Kebiasaan!" lanjutnya sambil menyerahkan jaket yang tadi dipegangnya ke tanganku
Dengan sigap aku mengikuti langkah panjangnya menuju kamar
"Beresin koper itu!"
Aku tak menjawab, segera aku mengambil koper yang didorongnya kasar ke arahku. Mas Rafli masuk kedalam kamar mandi, sedangkan aku segera mendorong koper ke belakang
"Tiket pesawat ke Bali?" gumamku ketika aku menemukan sebuah tiket di tumpukan pakaian kotor suamiku
"Katanya dia DL ke Semarang?"
Dengan cepat aku mengambil bukti tiket tersebut. Menyelipkannya kedalam saku dasterku dan pura-pura tidak terjadi apa-apa ketika mas Rafli berjalan ke arahku
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!