NovelToon NovelToon

Jangan Jauhi Aku, Nanti Kau Sakit

Awal mula

Selamat datang pemirsa, kembali lagi dengan saya Zenun si ora danta. Kali ini Zenun membawa tulisan yang katanya di luar Zona nyaman.

Jadi gini,

Awal kisahnya, ada gadis berusia dua puluh tahun nama lengkapnya Moza edelweis. Dia seorang mahasiswi, juga merangkap menjadi pimpinan sebuah perusahaan milik mendiang sang ayah. Dia sudah tidak memiliki kedua orang tua pasca kecelakaan mobil enam bulan yang lalu. Ia kini tinggal bersama dengan sang paman dan bibi yang tulus tanpa embel-embel kepalsuan.

Gadis itu biasa di panggil Moza oleh paman dan bibinya, yang faktanya hanya mereka lah yang memanggil Moza dengan sebuah nama. Moza tidak memiliki teman. Bukan sama sekali tidak memiliki, ada juga segelintir manusia yang menyapanya berbasa-basi sehingga membuat gadis itu tidak benar-benar seorang diri. Segelintir orang tersebut tidak memanggil nama Moza dengan benar, karena mereka selalu memanggil Moza dengan panggilan 'Mouse'.

Itu terdengar seperti tekanan bukan? Tapi memang seperti itu hari-hari yang di jalani seorang Moza selama masa kuliah. Meskipun keadaan demikian, bukan berarti Moza adalah orang yang dapat dijadikan bahan perundungan. Dia memiliki aura yang membuat orang lain enggan untuk menyakitinya secara fisik.

Suatu hari, dia tanpa sengaja bertemu dengan pria bernama Nick. Ketika itu, Moza sedang tergesa-gesa berlari menghindari seseorang.

Beginilah singkat ceritanya.

"Hosh hosh hosh."

"Astaga, lelah sekali tuan putri satu ini!" pekik laki-laki berperawakan tinggi pada seorang wanita bernama Moza. Laki-laki itu berkacak pinggang sambil berdecak.

"Kau si-apa?" tanya Moza dengan nafas satu dua. Ia begitu asing dengan wajah si cowok yang bertanya. Di kampus memang tersebar banyaknya manusia, namun lelaki itu benar-benar tidak familiar di mata wanita tersebut. Ia mengamati keadaan laki-laki misterius itu dari ujung rambut sampai ujung kuku.

Apakah dia mahasiswa baru?

"Namaku Nick," jawabnya. Nick adalah sebuah nama yang baru saja laki-laki itu dapatkan saat melihat tulisan di papan reklame.

"Oh, Nick."

"Iya Nick. Bolehkah aku tahu namamu?" Nick mengulurkan tangan dengan sopan. Sementara yang wanita tidak berfikir panjang untuk menyambut uluran tangan tersebut.

"Aku Moza. Kita sudah berkenalan beberapa detik lamanya, bisakah kita akhiri pertemuan ini? aku sedang sibuk di kejar-kejar kesialan."

"Sial?"

"Ah lupakan saja. Aku akan pergi jika tidak ada yang kau butuhkan lagi." Moza sudah akan beranjak pergi jika Nick tidak ada kepentingan lain. Moza tidak menggubris sama sekali pertanyaan Nick karena memang cowok itu tidak perlu tahu soal dirinya lebih jauh.

"Aku bisa membantumu nona."

Langkah Moza terhenti.

"Maaf, tapi kita baru saja kenal. Aku tidak mau merepotkanmu."

"Baiklah, tapi bisakah kau beristirahat sebentar saja dari rasa lelahmu di kejar-kejar orang itu. Tenang, jika kau pergi ke arah sana, itu akan membuatmu aman." Nick mencoba memberikan arahan bantuan pada Moza. Dia menunjuk pada arah jalan di belakang pohon besar. Seperti tersihir, Moza langsung mengikuti Nick dan tanpa sadar ia menjadi tak terlihat oleh si penguntit.

"Darimana kau tahu aku sedang di kejar-kejar 'pria itu'?" bisik-bisik Moza pada Nick di tengah persembunyiannya.

Nick tidak menjawab dan malah tersenyum penuh makna. Senyum itu dapat menjelaskan, bahwa suatu saat nanti, Moza akan tahu sendiri atas pertanyaannya sekarang. Akhir dari pertemuan, Nick benar-benar mengeluarkan Moza dari situasi yang sulit.

Begitulah sekiranya awal pertemuan mereka.

...*****...

Setelah hari-hari berlalu sejak pertama kali bertemu, Nick selalu ada untuk Moza di setiap saat. Dimana ada Moza disitu akan selalu ada Nick. Dimana-mana Nick selalu muncul jika Moza merasa sendiri. Mereka bagai pasangan tak terpisahkan, yang padahal sesungguhnya di tengah kebersamaan mereka, Moza dan Nick selalu bersilat pendapat.

Pertemuan dirinya dengan Nick suatu hari telah menjadi titik pengubah kesepian. Tapi tak dapat dipungkiri, itu yang membuat Moza cemas dengan kehadiran Lali-laki tersebut. Moza sebenarnya tidak ingin Nick mengikutinya sepanjang waktu, sebab bagaimana pun, Moza tidak tahu isi hati seseorang yang paling dalam. Bisa jadi Nick adalah bagian dari orang-orang kategori musuh dalam selimut walaupun dalam beberapa kesempatan, Nick bagai malaikat pelindung.

"Masuk, pintunya tidak dikunci." Seru Moza setelah mendengar ketukan pintu.

Pintu kamar terbuka dan Nick muncul di baliknya. Moza cukup terhenyak yang dia pikir paman atau bibinya yang masuk, ternyata bukanlah mereka.

"Ternyata kau," Moza mendengus pelan.

Senyum Nick mengembang sampai ke telinga namun dia belum bicara apa-apa. Akhirnya Moza yang membuka obrolan kembali.

"Sepertinya kau senang sekali bertemu denganku Nick. Apakah kau tidak memiliki pacar yang akan memarahimu jika datang terus-terusan ke tempatku?"

"Aku tidak punya pacar Moza. Tapi aku juga tidak sedang menganggapmu pacar. Aku hanya tidak bisa jauh darimu saja."

"Tidak bisa jauh? waw apakah ini sebuah fenomena? tapi aku cukup berterimakasih selama ini kau sudah banyak membantuku Nick. Jadi, bisakah aku memberimu sebuah pertanyaan?"

"Mau bertanya apa? bertanyalah sebanyak kau memiliki pertanyaan."

"Kau tinggal dimana Nick? dan bolehkah aku mendengar sedikit tentang dirimu? Kita bersama sudah tiga hari lamanya, tapi aku masih tidak mengenalmu dengan baik."

"Aku tinggal disini Moza." Jawab Nick dengan jujur, namun Moza menunjukkan lipatan kening.

"Hmmm baiklah jika kau masih belum mau bercerita."

"Aku sedang jujur, aku memang tinggal disini!" Nick mencoba menjelaskan sejujurnya. Cowok itu duduk di samping Moza.

"Moza, aku benar-benar tinggal disini bersamamu. Asal kau tahu, aku ini adalah pria tersesat. Jadi--"

Tok tok tok

"Moza, paman dan bibi menunggumu di meja makan."

"AKU AKAN SEGERA KESANA." Teriaknya.

.

.

.

.

Bersambung.

Debat antara Nick dan Moza

Di meja makan bersama paman, bibi, dan Nick, Moza makan dengan beberapa sendok suapan kemudian kenyang begitu saja. Namun dibalik itu, dia tak hentinya menjejali lauk pauk di atas piring milik Nick karena malam ini adalah makan malam pertama Nick di rumahnya. Cowok itu memang sering datang ke rumah Moza, tapi tidak pernah sampai makan malam bersama.

Melihat piring Nick masih utuh tak berkurang sedikit pun, Moza berbisik pada cowok itu.

"Nick kenapa kau dari tadi hanya melihat aku makan dan tak menyentuh makananmu sama sekali?" tanya Moza dengan raut keheranan.

"Aku kenyang hehe."

Moza mengerlingkan bola matanya, kemudian wanita itu memberi kode pada Nick lewat tendangan kaki di bawa meja agar cowok itu mengerti jika di depannya sedang ada paman dan bibi. Setidaknya ia mampu menelan sedikit makanan yang terhidang, atau bilang di awal jika memang Nick alergi dengan menu makan malam ini hingga dia tak mau menyentuhnya.

"Ehmm, Moza, apakah kamu baik-baik saja nak?" tanya paman, di ikuti raut kecemasan dari wajah sang bibi.

"Aku baik-baik saja paman. Maaf paman, mungkin Nick sedang tidak enak badan jadi dia--" Moza enggan melanjutkan kalimatnya yang ternyata di ambil kesempatan Nick untuk menyalak.

"Moza, aku ini beda denganmu."

Mendengar itu, Moza menghela nafas. Gadis itu melihat ke arah paman dan bibi yang sedang menatapnya heran dengan perasaan tak enak hati. Kemudian setelahnya bibi memutus kembali bisik-bisik antara Nick dan Moza.

"Moza, apa yang sedang kamu rasakan nak? kamu berbicara soal Nick, makanan, dan.. kamu berbicara sendirian. Di sampingmu kursi kosong nak, tidak ada siapapun." Ujar sang bibi apa adanya soal apa yang telah beliau lihat.

Tidak ada siapapun.

Tidak ada Nick.

Lalu,

"Apakah benar seperti itu bi? lihatlah, ini Nick. Dia bahkan sedang menatapku sekarang." Seru Moza berapi-api.

Paman dan bibi semakin menatap Moza dengan tatapan khawatir. Kedua orang tersebut saling pandang satu sama lain, melempar tugas untuk menyadarkan Moza bahwa ia memang tengah berbicara seorang diri.

"Moza, bisakah sekarang kamu foto berdua dengan temanmu bernama Nick dan tunjukkan pada paman dan bibimu ini?"

Di tengah kebingungan, gadis itu melakukan apa yang diminta paman. Ia mengambil ponsel di saku lalu mengambil gambar selfi bersama Nick. Moza tidak menyangka, foto yang baru saja di ambil tidak menunjukan gambar Nick bersamanya.

Tenggorokan Moza mendadak terasa kering.

Gadis itu menoleh pada Nick yang jelas-jelas cowok itu sedang duduk di samping melemparkan tampang meringis pada dirinya. Moza terdiam sesaat, mencerna apa yang sedang mungkin terjadi pada situasi seperti ini.

"Yang dikatakan paman dan bibimu benar. Aku mau bilang kalau aku tidak dapat di lihat orang lain selain kau Moza." Nick bersuara.

"Astaga, jadi kau hantu?"

"Lebih tepatnya pria yang sedang tersesat."

Moza menggelengkan kepalanya.

"Sayang, bisakah perlihatkan hasil foto itu pada kami? dan kamu baru saja mengatakan soal hantu." Paman berseru, memotong percakapan Moza dan Nick kembali.

"Paman, bibi, sepertinya aku sedang tidak baik-baik saja. Aku pamit beristirahat, nanti jika aku sudah merasa baikan aku akan cerita pada kalian."

Paman dan bibi mengiyakan dengan raut keprihatinan.

...*****...

Di dalam kamar berbalut kekalutan, Moza menarik Nick ke dalam interogasi. Ia mendengarkan penjelasan Nick dari awal sampai akhir tanpa menyela. Moza hanya terdiam sebagai bentuk reaksinya. Nick bilang, dia adalah seseorang yang tersesat dari suatu tempat yang jauh di sana. Nick menyebut tempat itu dengan negeri Alga.

Sampai Nick selesai cerita, Moza masih terdiam tanpa berkata apa-apa. Pada akhirnya gadis itu mengeluarkan pernyataan yang mencengangkan bagi Nick.

"Nick, mulai sekarang menjauhlah dariku."

"Tidak bisa!"

"Apa yang membuat tidak bisa?"

"Datangnya aku padamu bukan suatu kebetulan. Jika ini sudah digariskan, maka ada sesuatu yang mengikat di antara kita agar kau dan aku tidak bisa menjauh."

"Tapi kenapa harus aku?!"

"Aku maunya kamu."

Moza menghela nafas, membuangnya bersamaan dengan putus asa berdebat. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan tatapan nanar ke arah jendela. Moza ingin Nick segera pergi tanpa mau melihatnya.

"Aku ingin kau pergi dari sini Nick. Menjauhlah dariku."

"Tidak bisa."

" HARUS BISA!"

Tidak ada suara lagi setelah menguar suara Moza yang memekik. Nick masih berdiri menunggui Moza selesai meratapi jendela tanpa peduli. Kesunyian menguasai, sampai Moza berbicara lebih dulu untuk memecah keheningan.

"Pergilah," lirihnya sekali lagi.

Nick mendekat, menatap Moza dengan tatapan yang sukar di artikan.

"Kalau aku pergi, apakah kau baik-baik saja?"

"Kau baru tiga hari bersamaku, dan sebelum itu aku pun baik-baik saja."

"Kalau begitu, berikan aku alasan kenapa kau ingin aku menjauh?"

Moza akhirnya menengok, membalas tatapan Nick dengan menyipitkan mata.

"Karena kita berbeda." Jawab Moza yang membuat Nick mendecih.

"Diskriminasi!"

"Haiisssh!!! kau kenapa jadi mengataiku seperti itu?!" Moza bersungut-sungut. Sorot mata gadis itu bak menelan Nick hidup-hidup.

"Semua gadis sama saja. Setiap mengetahui aku berbeda, langsung gerak cepat ingin menjauh. Aku harus bagaimana kalau begini caranya? Apakah aku memang tidak layak untuk mempunyai teman? astaga, bahkan tampan yang ku punya tidak berpengaruh banyak untukku bisa memiliki teman." Sementara Moza mulai terkecoh dengan ucapan Nick, pria itu menyunggingkan senyum samar di sela-sela ceruk abai perhatian Moza.

"Nick, terserahlah kau mau bicara apa. Ini demi kebaikan kita bersama."

"Kebaikan apanya? bukankah menguntungkan bagimu memiliki seorang penjaga?" Nick masih usaha meyakinkan Moza.

"Coba kau bayangkan, aku manusia sementara kau-- han-tu," ketika Moza menyebut hantu, Nick tidak setuju dengan melayangkan matanya yang membola. Moza tetap lanjut berbicara sambil mengedikkan bahu.

"Kau tidak terlihat, jangan salahkan aku kalau kau ku sebut hantu. Intinya aku tidak mau ambil resiko atas perbedaan ini. Oke baiklah jika kau bilang aku diskriminasi dan segala macamnya, tapi Nick, apakah kau tidak sadar jika aku perempuan dan kau laki-laki?"

"Ya terus?"

"Astaga, begitu saja harus dijabarkan panjang lebar. Aku jelaskan ya Nick, kau laki-laki dan aku perempuan, kau hantu aku manusia biasa. Kalau aku sedang tidak berpakaian kau pasti melihatnya, dan aku risih karena sama saja tidak memiliki privasi."

Nick melongo melihat Moza bolak-balik seperti setrika. Netranya terus mengikuti kemana gadis itu mondar-mandir sembari memangku tangan.

"Lalu kebaikan untukku apa jika kita harus jauh? kau sendiri yang bilang bahwa ini untuk kebaikan kita." tanya Nick yang masih tidak mau kalah.

"Kau jadi tidak perlu merepotkan diri untuk menjagaku Nick."

Keduanya sama-sama terdiam.

"Kau yakin mau aku pergi darimu?" kali ini Nick bertanya lirih.

"Iya"

"Baiklah, jangan kau manggil-manggil diriku jika dirimu merasa rindu!"

"Percaya diri sekali! mana ada aku rindu padamu Nick. Kau bukan pacarku, dasar hantu genit!"

"Hei, apa kau bilang?"

"Apa?!"

"APA?!" Nick tak kalah nyolot.

"PERGI KAU DASAR HANTU!!!"

"OKE!!!"

Wuushhh..

Nick menghilang menyisakan Moza yang sedang berkacak pinggang. Kepergian Nick begitu dramatis, diikuti daun-daun kering di luar jendela yang turut berjatuhan. Semilir angin menambah rasa kesepian yang pekat.

Sementara Moza menjatuhkan diri di kasur lalu memejamkan mata, gadis itu tidak pernah tahu bahwa di balik pintu kamarnya ada paman dan bibi yang mendengar perdebatannya dengan penuh kekhawatiran. Juga Moza tidak pernah tahu, bahwa Nick tidak benar-benar pergi melainkan ikut tidur di atas lemari bajunya.

.

.

.

.

Bersambung.

Terlempar

Setiap malam secara berulang, Moza selalu minum susu hangat bercampur madu menjelang tidur. Malam ini, ia tidak lagi demikian. Tubuh menggigilnya teronggok di atas tempat tidur selepas satu minggu yang lalu Nick tidak lagi mengganggunya. Moza sudah pergi ke dokter memeriksa kesehatannya di temani bibi, siapa sangka, serangkaian pemeriksaan ia jalani namun dokter berkata bahwa tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Dengan kata lain, Moza sesungguhnya baik-baik saja.

Tapi kenapa Moza merasa sakit?

Seketika nama Nick terngiang-ngiang dalam benak gadis tersebut. Yang terjadi sekarang seperti apa yang pernah disebutkan cowok itu saat mereka memutuskan untuk tidak bertemu lagi. Nick berseru bahwa akan ada suatu pengikat di antara dia dan Moza, hingga tidak bisa saling berjauhan sebelum tujuan tercapai. Gadis itu tengah berfikir, apakah rasa sakit ini adalah pengikat yang dimaksud Nick?

"Nak, apa sebaiknya bibi membawamu ke tempat ahli supranatural?"

"Tidak usah bi, aku sudah mengerti penyebabnya. Ini soal Nick yang tempo hari Moza pernah ceritakan kepada paman dan bibi." Moza anak yang jujur apa adanya meskipun cerita tak masuk akal sekalipun. Dia akan terbuka pada siapa yang memberikan kenyamanan. Awalnya paman dan bibi terganggu dengan cerita Moza yang bertemankan hantu, tapi lama kelamaan mereka dapat mengerti apa yang di alami keponakannya tersebut.

"Dia bilang apa sayang? apakah dia mengancammu?" bibi mulai khawatir dan memasang mode penjaga.

"Tidak juga. Dia bilang ada suatu pengikat diantara kami hingga tidak bisa saling berjauhan. Moza telah mengusirnya, dan sekarang inilah yang terjadi. Moza merasa, sakit ini ada kaitannya dengan perkataan Nick."

"Kalau bibi boleh saran, baiknya kamu panggil dia lagi kesini. Bicarakan soal titik tengah dari pengikat itu sendiri. Sementara waktu, kamu iyakan saja jika memang Nick mau terus mengikutimu selama dia tidak membahayakan."

"Titik tengah?"

"Iya, bibi merasa ada sesuatu yang dia inginkan ada pada dirimu. Entah kamu menjadi jembatan dia menyelesaikan urusan yang belum kelar, atau bisa juga lainnya."

"Bibi benar. Aku mau coba memanggilnya kembali."

Bibi menganggukan kepala lalu memberikan ruang untuk Moza memanggil Nick kembali.

"Nick." Panggil Moza berharap Nick akan menjawabnya.

Hening.

"Nick, kau tinggal dimana sekarang? bisakah kau mendengar panggilanku ini?"

Tetap hening.

"Nick, aku sedang dalam bahaya. Aku sedang tidak mengenakan apapun."

"Apanya, kau sedang memakai gaun berwarna biru Moza. Dan kau lagi terbaring lemah di atas tempat tidur."

"He he he, akhirnya kau menyahut. Nick, tolong tunjukan rupamu kembali. Ada hal yang mau aku nego denganmu."

"Harga mati tidak ada tawar menawar. Jangan ganggu-ganggu lagi. Kau kan sudah tidak membutuhkanku!" acuhnya.

"Nick, aku baru tahu hantu bisa marah."

"Moza, harus berapa kali aku katakan kalau aku bukan hantu."

"Oh maaf, maksudku pria tersesat."

Wush..

Nick tiba di hadapan Moza dalam sekejap mata. Cowok itu menarik ujung bibirnya ketika melihat raut wajah Moza senang akan kehadiran dirinya.

"Kau mau bernego apa?" tanya Nick pada Moza tanpa basa basi. Dia menempelkan telapak tangan di dahi Moza dan gadis itu merasa kondisinya telah membaik.

"Aku tidak akan menjauh darimu lagi Nick kalau itu membuatku merana. Kau boleh mengikutiku sesuka hati asal jangan di luar batas."

"He he he, baiklah. Aku bilang juga apa! di antara kita akan ada pengikat satu sama lain. Jangan jauhi aku, nanti kau sakit." Nick menjulurkan tangan seperti mengajak bersalaman. Moza menyambutnya, dan tepat telapak tangan mereka menyatu, seketika Moza jatuh tak sadarkan diri. Tanpa gadis itu mengerti, perkataannya pada Nick dianggap oleh cowok itu sebagai sebuah kesepakatan.

Moza terlempar ke dalam dunia Nick.

...🌸🌸🌸🌸...

Zaman kuno.

Aku dimana?

Tempat apa ini?

"Salam putri Aurora. Akhirnya putri telah sadar setelah berhari-hari lamanya tak membuka mata." Ucap tabib yang mengobati Aurora selama ini.

"Pengawal, tolong sampaikan berita bahwa tuan putri telah sadar pada perdana menteri."

"Maaf, apa aku boleh bertanya?" Moza menginterupsi.

"Tentu saja putri Aurora."

"Aku siapa? dan ini ada dimana? kenapa aku bisa dalam keadaan seperti ini?"

Semua yang ada di sana tertegun dengan perkataan Moza. Sampai suara pangeran Rexton memecah kebisuan tabib dan pelayan.

"Kau sudah sadar rupanya. Bagaimana dengan tidur panjangmu itu? apakah menyenangkan? atau kau mau mencoba hal yang lebih gila lagi?" sarkas pangeran Rexton. Ia merupakan salah satu orang yang tidak menyukai perilaku putri Aurora. Namun saat ini, sang putri hanya memandang pangeran dengan bingung karena memang yang berada di dalam tubuh itu adalah Moza yang tidak tahu apa-apa.

Dia siapa lagi? Nick, bisakah kau mendengar suara hatiku ini? kau dimana? aku dimana? dan semuanya ini apa?

Menurutmu?

Astaga Nick. Jangan bilang kau membawaku ke tempat asalmu? konyol sekali. Kau dimana sekarang? kenapa tidak ada di sampingku?"

He he he kau cerdik Moza, langsung menebaknya dengan benar. Aku beri tahu padamu, pria yang baru saja menyapamu namanya Rexton. Berinteraksilah dengannya tanpa perlu aku beritahu kau harus bersikap seperti apa. Jadilah dirimu sendiri disini. Hanya sedikit informasi, dia tidak begitu ramah dengan putri Aurora.

"Salam pangeran Rexton. Terimakasih atas sapaan dan perhatiannya." Moza menjawab sapaan Rexton setelah selesai berkomunikasi dengan Nick.

Rexton dan seluruh jajaran manusia yang berada di ruangan tersebut semakin terpegun. Pasalnya, gadis tersebut tidak pernah setenang Moza saat berbicara. Aurora yang asli akan mengeluarkan banyak bicara saat mendapat sapaan dari pangeran Rexton. Terutama yang mengandung sindiran.

"Cih, pintar sekali kau bersandiwara."

Moza tidak menjawab lagi dengusan Rexton. Alih-alih meraung-raung, Moza memilih melebarkan senyum pada siapa saja yang berada disana, sampai Tabib dan lainnya undur diri kemudian disusul kedatangan Perdana Menteri Oris, yang tak lain adalah ayah putri Aurora.

Oris adalah penasihat di kerajaan Alga. Ia merupakan orang kepercayaan kaisar sekaligus orang berpengaruh kedua di kerajaan ini. Alga sebuah negeri yang terdiri dari empat Perfektur, Alganorth, Algawest, Algasouth, dan Algaeast. Masing-masing wilayah tersebut memiliki raja dimana setiap raja memiliki seorang pangeran. Pangeran Rexton yang telah menyapa Moza adalah pangeran dari Alganorth.

Hari ini, Oris membuat pertemuan penting dari seluruh raja Alga untuk membahas persoalan ulang tahun kaisar. Tepat di hari ini pula, putri Aurora tersadar dari koma karena kecelakaannya saat memanjat pohon. Kedua peristiwa ini bertembung, menyebabkan yang tadinya para pangeran dari seluruh kerajaan menikmati jamuan, berubah haluan untuk melihat keadaan putri Aurora.

Pertama Rexton, lalu menyusul tiga pangeran lagi, Xavier, Dixon, dan Jorell.

.

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!