Di tengah senja yang mulai meredup, hati Maura seakan terperangkap dalam kegelapan kekecewaan. Mimpinya tentang rumah tangga yang penuh kebahagiaan semakin jauh terhempas oleh kenyataan yang tak seindah bayangannya. Kehidupan pernikahannya yang seharusnya menjadi pangkalan kebahagiaan, kini menjadi lanskap penuh duka yang menggerogoti hatinya.
Sejak hari pertama pernikahannya, ia membayangkan rumah tangganya sebagai tempat suami dan anak-anaknya kelak berkumpul, dalam tawa dan kehangatan. Sayangnya, harapan itu seolah terperangkap dalam buih-buih ilusi. Suaminya, yang seharusnya menjadi mitra dalam membangun kehidupan, justru menjadi beban berat yang menghimpit harapannya.
Perekonomian rumah tangganya menjadi sumber kegelisahan. Suaminya, yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga, tak mampu memenuhi perannya dengan baik. Setiap hari, ketidakpastian ekonomi merajalela dan melukai hatinya yang semakin rapuh. Impian tentang rumah besar dan masa depan yang gemilang semakin terasa seperti buah yang terlalu tinggi di pohon dan sulit dijangkau.
Namun, kekecewaan itu tidak hanya terletak pada ketidakmampuan suaminya dalam ranah ekonomi. Hujan kata-kata kasar seringkali mengguyur rumah tangganya, meruntuhkan bangunan kebahagiaan yang belum sempat dibangun. Suaminya, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, malah menjadi sumber luka yang tak kunjung sembuh.
Ketika ia melakukan kesalahan kecil atau lupa melakukan sesuatu hal, suaminya dengan cepat melemparkan kata-kata pahit yang menusuk hati.Membuat luka yang cukup dalam dan membekas.Tidak jarang pula ia memukul kepala Maura bahkan menamparnya.
Berkali-kali Maura berusaha mengerti dan memahami akan sifat dan karakter Reno suaminya itu, tapi usahanya itu hanya membuahkan kekecewaan demi kekecewaan yang ia rasakan.
Seolah-olah kebahagiaan adalah hadiah yang terlalu mahal untuknya. Ia meratapi takdirnya yang seakan-akan terbelenggu dalam pernikahan yang seharusnya menjadi jalan menuju kebahagiaan. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya.
Bahkan si kecil yang seharusnya menjadi pancaran keceriaan dalam rumah tangga mereka, turut merasakan getirnya kehidupan ini. Anak yang lucu dan pintar itu terkadang terperangkap dalam lingkaran ketegangan yang menyelimuti rumah mereka. Senyumannya yang dulu cerah, kini terkadang tenggelam dalam ketakutan dan kekhawatiran.
Dalam keheningan malam, hati Maura merintih sepi. Walaupun status dirinya adalah seorang istri tetapi ia samasekali tidak merasakan memiliki suami seutuhnya.
Tidak ada bahu tempat ia bersandar dan berkeluh-kesah. Tidak ada lengan yang memeluk dan menenangkan batinnya bila sedang gelisah dan lelah. Semua beban hidup ia pikul sendiri walau seharusnya ia berhak mendapatkan itu semua dari Reno suaminya.
Di bawah cahaya lampu temaram, Maura duduk sendirian, merenungi sebuah pernikahan yang semakin tak karuan. Raut wajahnya yang dulu ceria, kini digantikan oleh bayangan kegundahan yang melekat erat. Setiap mimpi indah tentang kehidupan pernikahan yang romantis dan damai, seakan sirna dalam gelombang pahitnya kenyataan.
Namun, di balik kepedihan itu, ia terus mencoba menemukan kilau harapan. Dalam setiap tangisan hati, tersembunyi kekuatan yang tak terlihat oleh mata. Ia berusaha memahami bahwa kehidupan pernikahan adalah perjalanan yang penuh liku-liku. Meskipun saat ini terasa berat, ia memegang erat impian akan kebahagiaan yang sejati.
Mungkin suaminya belum menyadari betapa berharganya kehadirannya dalam hidupnya. Mungkin, dengan berlalunya waktu, pahit dan getir ini akan membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat.
Namun, harapan tinggallah harapan. Pertanyaan tentang apakah pernikahan ini bisa membuat cinta yang tumbuh lebih dalam atau hanya menjadi reruntuhan dan puing-puing harapan akan suatu kebahagiaan? Semakin menggelayut tidak pasti di benaknya.
Dalam kesedihan dan kegundahan hatinya, ia berharap pada cahaya keberanian untuk tetap melangkah ke depan walau seorang diri. Meski badai datang silih berganti, mungkin saja nanti di ujung perjalanan ini, ada pelangi yang menyapanya dengan keindahan yang tak terduga.
..........
"Hai Maura kita ngopi yuk bareng Prilly dan Monica?" ajak Retha salah satu sahabat Maura.
"Pagi ini?" tanya Maura ragu.
'Iyalah, masak tunggu tahun depan." kelakar Retha sambil mencomot biskuit yang telah disediakan di meja tamu.
Retha sengaja datang ke rumah Maura karena ia merasa ada sesuatu yang sahabatnya itu berusaha sembunyikan dari dirinya dan sahabat-sahabat Maura lainnya.
Prilly, Monica, dan Retha merasa cemas melihat perubahan drastis perilaku Maura. Mereka bertiga curiga Maura menyembunyikan sesuatu yang membuat sahabat mereka ini menjadi lebih diam dan menjauh dari persahabatan mereka.
"Aku yakin ada sesuatu yang membuat sahabatku ini berubah. Dulu Maura yang aku kenal adalah sosok wanita yang penuh semangat dan penuh keceriaan. Jauh dari kata sedih dan murung.Tidak seperti sekarang." pikir Retha sambil menatap intens Maura yang duduk dihadapannya.
Pagi itu, Prilly memutuskan untuk bertemu dengan Maura di kafe favorit mereka, bersama sahabat-sahabatnya yang lain. Retha yang mendapatkan tugas untuk membujuk Maura agar mau ikut nongkrong di kafe bersama mereka.
"Yuk Tha, aku sudah siap nih!" ajak Maura setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang pantas untuk nongkrong di kafe.
Lamunan Retha pun terpecah lalu berangkatlah mereka ke Kafe favorit mereka berempat.
...................
Sesampainya mereka di kafe tempat biasa mereka berkumpul. Maura memilih duduk di salah satu sudut ruangan , menatap hampa keluar jendela sambil sesekali menyentuh sendoknya tanpa alasan yang jelas. Prilly duduk di hadapannya dengan senyum hangat, "Maura, apa yang terjadi? Kami semua khawatir padamu. Ceritakan pada kami apa yang kamu rasakan. Bukannya kita bersahabat? " bujuk Prilly.
Maura menatap Prilly dengan mata kosong sebelum akhirnya tertunduk, "Aku tidak tahu, Pril. Semua terasa berat dan aku merasa kehilangan semangatku."
Monica, Prilly dan Retha kompak menggenggam tangan Maura dengan senyum lembut. "Kami di sini untukmu, Maura," kata Monica, merangkulnya erat sahabatnya itu.
"Jangan sedih Maura, percayalah kami akan selalu ada untukmu. Bukan kah itu janji kita dahulu, suka dan duka kehidupan layaknya tidak kita simpan sendiri demi kewarasan mental batin kita bersama." Monica berusaha mengingatkan janji persahabatan mereka terdahulu.
Namun, keheningan dan kekacauan di dalam benak Maura masih terasa kuat. Prilly, Monica, dan Retha tidak menyerah. Mereka dengan gigih terus membujuk Maura untuk berbagi apa yang sebenarnya yang ia rasakan.
"Kita tidak bisa terus menerus melihat kamu bersedih. Kita ini adalah sahabat, apa yang sahabat kita rasakan kita juga rasakan." timpal Monica.
Dalam suasana hening seolah-olah memberikan ruang untuk Maura mengungkapkan perasaannya.
Maura akhirnya memecahkan keheningan, "Aku merasa seperti kehilangan arah, kehilangan makna dalam hidupku. Semua yang dulu terasa begitu indah, sekarang seperti hilang begitu saja."air mata Maura mulai mengalir pelan di kedua pipinya.
Monica menyentuh pelan pundak Maura,"Kita di sini untukmu, Maura. Bicaralah padaku, pada kami. Apa yang membuatmu merasa seperti ini?"
Maura memandang tiga sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia pun mulai menceritakan beban dan perasaannya yang selama ini dia pendam. Prilly, Monica, dan Retha mendengarkan dengan penuh perhatian, saling pandang, dan mengangguk sebagai tanda dukungan.
Mereka berempat pun merumuskan rencana bersama untuk membantu Maura melewati masa sulit ini. Prilly menjadi penasihat, Monica menjadi teman curhat, dan Retha menjadi motivator.
Bahkan mereka mengajak Maura untuk mencari bantuan profesional, seperti konselor pernikahan atau psikolog, untuk membantu mengatasi permasalahan rumah tangga yang begitu kompleks.
Prilly, Monica, dan Retha menyadari bahwa dukungan tak henti-hentinya dan kebersamaan mereka saat ini membawa pengaruh besar dalam hidup Maura.Ia tidak lagi merasa sendiri.Masih ada mereka sahabat sejati yang akan selalu siap sebagai garda terdepan Maura dalam menghadapi segala keruwetan dan keegoisan suaminya.
.....................
Hey author punya cerita baru nih ... kisah hidup Maura dengan lika liku permasalahan pernikahan yang ia alami.Mampukah ia melewati ujian hidup ini ?? Nantikan kelanjutannya di bab berikutnya.
Jangan lupa like komen ya 🙏
Di luar hujan deras menguyur bumi.Seluruh tumbuhan di halaman rumah basah oleh air hujan.
Maura berdiri di depan jendela rumahnya, menatap kosong tetesan air hujan yang mengalir membasahi kaca jendelanya.
Ditemani suara petir dan kilat yang bersahutan, Maura menemukan dirinya terjerat dalam labirin rumah tangga yang penuh dengan tantangan.
Suaminya, Reno, seperti beban yang tak kunjung berkurang. Meskipun tampak gagal dalam menjalani perannya sebagai suami yang bertanggung jawab, Maura memilih untuk membungkusnya dalam diam dan menyimpannya dalam kesabaran.
Hari-hari Maura diisi dengan rutinitas yang melelahkan, mencoba memenuhi keinginan Reno yang selalu menginginkan pelayanan khusus.
Bila suaminya lapar , hidangan lezat untuknya harus tersedia di meja makan.Padahal tidak sepeserpun ia memberi uang belanja pada Maura. Ia seolah tidak peduli darimana istrinya mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka, yang ia tahu hanyalah apa yang ia mau harus sudah tersedia di depan mata.
Yang lebih mengiris hati, Reno bahkan tidak menyadari ataupun peduli dengan segala usaha dan kelelahan fisik maupun batin yang mendera Maura, setiap saat Maura memikirkan bagaimana cara untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Sekaligus merawat si kecil Angga Dirgantara.
Bila Maura tidak bisa menyediakan apa yang diminta Reno, ia selalu melampiaskan ketidakpuasannya dengan perilaku kasarnya baik fisik maupun lisan pada Maura.
Keseharian Reno hanya bermalas-malasan dan mengkritik apapun yang dikerjakan Maura tanpa mau turun tangan membantunya.
Pada setiap kekecewaan, Maura mencoba menutupi ketidakbahagiaannya di balik senyumannya. Meskipun terkadang hatinya hampir menyerah, tetapi ia terus berusaha memahami sifat suaminya, berharap bahwa suatu hari Reno menyadari kesalahannya dan akan berubah menjadi pendamping yang lebih baik.
Tetapi Reno, bagaimanapun, terus mengecewakan. Ketika keinginannya tidak dipenuhi atau keadaan rumah sedikit berantakan karena Maura belum sempat merapikan dan membersihkannya, ia akan mengamuk, membanting apa pun yang ada di dekatnya, tanpa memikirkan dampaknya pada mental dan psikis anak mereka yang masih balita. Ucapan kasarnya sering kali menusuk hati Maura, tapi ia lebih memilih untuk menyimpan luka itu dalam diam.
Hampir tiap malam di rumah tangga Maura, diisi dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Dinding kamar menyaksikan pertengkaran dan tangisan yang disembunyikan dari mata dunia luar. Maura terus berusaha mempertahankan citra keluarga yang bahagia di hadapan teman-temannya, menutupi jejak-jejak kesulitan yang tak terhitung jumlahnya.
Meski terombang-ambing dalam samudera ketidakpastian, Maura tetap bertahan. Kesabaran dan cinta yang ia miliki pada Reno tampaknya tak terbatas. Ia mencari dukungan dalam diam, berbicara hanya dengan dinding kamar yang menjadi teman setianya.
Seringkali, di tengah malam yang sunyi, Maura menangis, melepaskan beban perasaannya yang terpendam.
Kehidupan Maura seperti drama rumah tangga yang tak kunjung usai. Meskipun terus disakiti oleh perilaku buruk suaminya, ia memilih untuk melanjutkan perjuangannya, mengharapkan cahaya di ujung terowongan. Bahkan ketika teman-temannya memberikan nasihat atau menyarankan untuk meninggalkan Reno, Maura memilih untuk tetap bertahan, mungkin karena harapan yang masih menyala di dalam hatinya.
...................
Seiring waktu berlalu, Maura mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan melalui perjuangan yang tidak berujung. Meski ia mencintai suaminya, ia kini menyadari bahwa harga dirinya tidak seharusnya hancur hanya untuk mempertahankan sebuah hubungan.
Maura kini merasa lelah ia seperti memperjuangkan sesuatu yang tidak patut ia perjuangkan semua hanya akan berakhir sia-sia.Karena ia merasa hanya dia yang berjuang untuk keberhasilan rumah tangga mereka hanya dia dan itu terasa berat dan melelahkan.
.....................
Di suatu pagi,
Maura merasa hatinya berdesir tak menentu saat balitanya, Angga, menangis tersedu-sedu di kamarnya. Wajahnya yang polos memancarkan keputusasaan karena tangan kecilnya menggenggam erat bantal kesayangan, mencerminkan rasa gelisah yang sama dengan ibunya. Maura segera berlari ke kamar si kecil, mencoba dengan lembut memeluk dan menenangkannya.
Namun, tangis Angga semakin menjadi-jadi, membuat Maura semakin merasa kebingungan. Dia mencoba menyusui Angga, memastikan bahwa kebutuhan dasarnya terpenuhi. Tapi anaknya itu terus menangis, membuat Maura semakin gelisah. Ketika mencoba menemukan botol susu di lemari, dia menyadari keadaan yang membuatnya semakin panik. Di dalam dompetnya, hanya terdapat selembar uang lima ribu rupiah.
Dalam keputusasaannya, Maura merenung sejenak. Bagaimana mungkin dia bisa membeli susu dengan uang yang begitu sedikit sedangkan ia juga harus menyediakan sarapan untuk suaminya. Air mata mulai membasahi pipinya, tidak hanya karena kebingungan, tetapi juga karena perasaan putus asa yang merayap di dalam dirinya.
Maura bergegas keluar dari kamar dengan hati-hati, berusaha agar Angga tidak semakin terganggu. Di ruang tengah, dia mencoba mencari suaminya, Reno. Namun, setelah mencari di seluruh sudut rumah, tidak ada tanda-tanda sosok suaminya itu terlihat. Perasaan kesal mulai menyusup ke dalam hatinya. Mengapa suaminya tidak ada, ketika dia membutuhkan dukungan dan kehadirannya?.
Rasa putus asa semakin menghimpit Maura, membuatnya merasa seakan-akan dunia ini runtuh di hadapannya. Dengan langkah lesu, dia kembali ke kamar Angga. Airmata kecewa dan keputusasaan mencampuri perasaannya. Bagaimana dia bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya dengan keterbatasan ini? Tangisnya dalam diam dan pedihnya.
Maura memegang erat tangan Angga, berbicara pelan pada anaknya itu yang masih menangis. "Sabar ya nak," ucapnya dengan suara serak, mencoba menenangkan hatinya sendiri sekaligus menghibur Angga.
Sambil mendekap Angga, Maura duduk di tepi ranjang, mencoba merumuskan rencana. Mungkin ada teman atau tetangga yang bisa membantunya. Atau mungkin ada solusi lain yang belum terpikirkan. Meskipun perasaan putus asa masih menyelimuti hatinya, Maura bertekad untuk mencari jalan keluar.
Dalam keheningan kamarnya, Maura merenung. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menyerah begitu saja. Meskipun uang terbatas dan suaminya tidak ada di sisi, cintanya pada buah hatinya mendorongnya untuk tetap berjuang. Dalam diam, dia mencari kekuatan dan tekad untuk menghadapi tantangan ini, karena di tangan seorang ibu, terkadang keajaiban bisa terwujud.
.................
Maura menggendong Angga dan berlari keluar rumah ia memanggil ojek online lalu menuju ke rumah sahabatnya Prilly.
Karena rumah Prilly yang paling dekat dengannya dan ia juga ingat Prilly sebelumnya pernah menawarkan pekerjaan pada dirinya, tapi saat itu Maura menolaknya, karena ia merasa tidak mungkin meninggalkan si kecil Angga, walaupun saat itu sahabat-sahabat yang lain bersedia memberikan bantuan untuk menjaga Angga selama Maura bekerja.
Tetapi melihat kondisi keuangan nya saat ini, memaksa Maura untuk berpikir ulang dan sepertinya ia memang membutuhkan pekerjaan itu selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga sebagai pembunuh waktu dan melupakan kesakitan yang ia rasakan untuk sementara.
Setelah tiba di depan rumah Prilly. Orang tua Prilly yang melihat Maura datang bersama si kecil langsung menyambutnya hangat.
"Hai Maura.. hai Angga. Wah sudah makin besar kamu sekarang ya. Sini Oma gendong biar mama kamu bisa leluasa ngobrol sama Tante Prilly." sambut hangat ibu Prilly.
Tante Ira sangat paham dan mengerti ada sesuatu yang terjadi yang membuat Maura datang pagi-pagi bersama si kecil.
"Prilly! Dicari Maura nih."
"Angga sama Oma dulu ya, Kamu santai saja disini bersama Prilly." ucap Tante Ira sambil tersenyum menenangkan Maura.
"Hai Maura " sambil celingukan Prilly mencari sosok Reno.
"Aku sendiri bersama Angga." ucap lirih Maura mengetahui arti gestur sahabatnya itu.
Prilly menarik napas panjang.Mulai memahami ada sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya itu.
"Apa yang terjadi? Kegilaan apa lagi yang dia lakukan padamu?" sambil memegang kedua tangan sahabatnya itu.
"Kamu baik-baik saja kan?" Prilly menyentuh dan memeriksa wajah Maura, memastikan tidak ada luka lebam di wajah sahabat nya itu.
Prilly benar-benar prihatin dengan keadaan sahabat nya itu.Terlalu banyak beban yang harus ia pikul sendiri.Dan Prilly yakin masih banyak hal menyedihkan lainnya yang Maura pendam sendiri.
"Aku butuh pekerjaan Pril.Apa masih ada pekerjaan yang kamu tawarkan padaku kemarin?" tanya Maura dengan sorot mata berharap.
..................
Yuk biar Maura semakin bersemangat beri like dan komennya ya...
Terimakasih
Jangan lupa ikuti terus kelanjutannya.
Dengan hanya berbekal tekad untuk memberikan yang terbaik untuk Angga, Maura memberanikan diri menerima tawaran pekerjaan yang sempat ditawarkan Prilly padanya.
"Kamu serius??" seolah tak percaya sahabatnya ini menerima tawaran yang ia berikan waktu itu.
Maura mengangguk yakin.
"Keuangan aku sudah semakin menipis, aku harus mencukupi kebutuhan Angga.Mustahil aku mengandalkan papanya.Ia terlalu sibuk dengan dunianya.Pagi ini saja ia sudah keluar rumah tanpa pamit." keluh Maura.
"Baiklah kalau kamu sudah yakin. Kamu bisa menitipkan Angga pada mama selama kamu bekerja." ujar April sambil menekan beberapa keyboard hape nya untuk menghubungi salah satu temannya.
Beberapa menit kemudian,
"Oke Maura, besok kamu sudah bisa mulai bekerja." Prilly mengulurkan tangannya memberi selamat pada Maura sahabatnya itu.
"Benarkah Pril? Kamu serius?" setengah tidak percaya Maura memeluk Prilly.
"Terima kasih Prill.Saat ini aku benar-benar memerlukan pekerjaan ini." ucap bahagia Maura.
"Aku tahu, sekarang saatnya kamu bangkit tidak perlu lagi berharap pada sesuatu yang tidak bisa diharapkan.Sukses ya, semangat!" ucap Prilly yang ikut bahagia.
"Tapi Pril .....,"
"Jangan khawatir tentang Angga. Titipkan mama saja, ia pasti sangat senang. Mama aku paling suka anak kecil." sambil tersenyum, Prilly meyakinkan sahabatnya itu.
...............
Semalam Reno tidak pulang ke rumah. Ada sedikit rasa sesak yang Maura rasakan .Tetapi mengingat Angga, Maura segera menepis perasaan itu.
Hari ini hari pertama Maura masuk kerja, dengan berbalut kemeja putih dan rok pendek berwarna biru Benhur. Maura menatap dirinya di depan kaca.
"Aku rasa, aku sudah cukup rapi" batinnya gugup.Lalu ia pun meraih tas berwarna hitam di dekatnya.
Sedikit berlari kecil Maura bergegas menghampiri Angga dan menitipkan ke rumah Prilly.
.................
Maura memasuki pintu kantor dengan perasaan campur aduk antara gugup dan semangat. Hari ini adalah hari pertama Maura memasuki dunia kerja sebagai marketing di perusahaan parfum ternama. Dengan tangan bergetar, ia menyerahkan surat perkenalan dan identifikasi kepada resepsionis yang tersenyum ramah.
Pertama kali masuk kantor, Maura terkesima oleh atmosfer yang mewah dan elegan. Bau harum parfum bertebaran di udara, menciptakan suasana yang begitu eksklusif. Dia merasa sedikit canggung di tengah para profesional yang tampak begitu berpengalaman. Namun, kegigihan Maura untuk memenuhi kebutuhannya dan Angga tak tertahankan.
Seiring berjalannya waktu, Maura makin memahami dinamika industri parfum. Ia belajar dengan tekun tentang berbagai jenis aroma, kombinasi bahan, dan tren terkini. Terlepas dari kesulitan awal, Maura menemukan minatnya pada dunia parfum dan mulai mengeksplorasi produk-produk perusahaan dengan penuh semangat.
Kepintaran Maura dalam memahami nuansa aroma dan keuletannya dalam menggali informasi membuatnya semakin akrab dengan produk-produk yang menjadi andalan perusahaannya. Dalam presentasi-presentasinya, ia mampu dengan lincah menjelaskan setiap nuansa parfum, memikat hati para klien potensial.
Angga, anak semata wayang Maura, menjadi sumber inspirasi dan dorongan bagi dirinya. Maura menginginkan masa depan yang cerah untuk Angga, dan itulah yang membuatnya bekerja dengan penuh dedikasi. Setiap kali lelah mendera, wajah Angga menjadi pendorong Maura untuk terus maju.
Tidak butuh waktu lama bagi Maura untuk menjadi sales favorit perusahaannya. Keuletan dan pengetahuannya yang mendalam tentang parfum membuatnya memenangkan hati banyak pelanggan. Ia mulai menerima apresiasi dari rekan-rekannya dan mendapatkan pujian dari atasan atas kinerjanya yang luar biasa.
Pendapatan Maura juga mengalami peningkatan yang signifikan. Bonus dan insentif mulai mengalir, membuka pintu kesuksesan yang lebih besar baginya dan Angga. Dengan tangan dingin, Maura mengatur keuangan keluarganya, memastikan bahwa kehidupan mereka semakin nyaman.
Suatu hari, Maura mendapat tugas khusus untuk mempromosikan parfum best seller perusahaan. Ia menyusun strategi pemasaran yang kreatif dan melibatkan pelanggan dengan cara yang unik. Hasilnya, penjualan parfum tersebut melonjak pesat, membuatnya semakin disegani di perusahaan.
Berkat kegigihan dan dedikasinya, Maura berhasil menaklukkan dunia parfum. Ia tidak lagi hanya seorang pemula yang canggung di dunia kerja, melainkan seorang profesional yang dihormati dan diperhitungkan. Angga melihat ibunya sebagai pahlawan, sosok yang mampu mengubah takdir keluarga mereka.
Tiga bulan berlalu begitu cepat, tetapi perjalanan Maura penuh warna dan prestasi. Di setiap botol parfum yang dijualnya, ia melihat perjuangan, kerja keras, dan kebahagiaan keluarganya. Maura memahami bahwa keberhasilannya bukan hanya sekadar pencapaian pribadi, melainkan juga sukses bagi Angga dan masa depan mereka berdua.
Maura kini bertekad untuk tidak lagi terpuruk pada pernikahan nya yang sedingin es .Ia juga tidak lagi peduli ada tidaknya Reno dalam hidupnya.Terlalu banyak kekecewaan yang ia rasakan terhadap suaminya.Perubahan sikap dan sifat yang ia impikan hanyalah sekedar impian.Reno tidak akan pernah berubah selama ia tidak menyadari kesalahannya.
Melihat sang istri, Maura sukses dalam pekerjaannya.Ia menawarkan diri untuk menjaga Angga selama Maura bekerja.
Merasa sungkan bila terlalu sering menitipkan Angga pada orang tua Prilly. Maura menerima penawaran suaminya untuk membantunya menjaga Angga. "Bagaimana pun juga Reno papanya.Angga pasti aman bersamanya. Dan aku bisa bekerja dengan tenang." pikir Maura.
Sejak hari itu peran mereka tertukar, Maura yang bekerja mencari nafkah dan Reno yang mengurus rumah dan Angga.
..............
Hari ini kebetulan Reno sedang pulang ke rumah orang tuanya.
Maura memutuskan untuk memberi dirinya sedikit istirahat dari rutinitas. Kebetulan hari ini Maura libur bekerja. Dia mengundang sahabat-sahabat terbaiknya, Prilly, Monica, dan Retha, untuk menikmati "me time" bersama. Setelah sekian lama ia fokus bekerja, Maura merasa perlu memanjakan dirinya sekaligus mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada teman-teman yang selalu mendukungnya.
Maura dan sahabat-sahabatnya berkumpul di kediamannya, dari awal mereka berkumpul diisi dengan canda tawa ceria.
Mereka membawa makanan favorit masing-masing dan berbagi cerita tentang kehidupan mereka.
Seluruh ruangan dihiasi dengan tawa, canda, dan aroma harum kopi yang melingkupi udara.
Prilly membawa koleksi film-film komedi terbaru, Monica membawa kue-kue homemade yang lezat, sedangkan Retha membawa permainan papan untuk menghangatkan suasana. Mereka memutuskan untuk memulai hari dengan menonton film sambil menikmati camilan yang disiapkan.
Saat menikmati film, Maura merasa begitu bersyukur memiliki teman-teman sehebat mereka. Prilly, yang selalu menjadi pendengar setia setiap kali Maura memiliki beban pikiran. Monica, si koki handal yang mampu membuat hidangan lezat dari bahan-bahan sederhana. Dan Retha, teman yang penuh energi dan selalu membawa semangat baru ke dalam kehidupan Maura.
Setelah sesi nonton film, mereka beralih ke sesi memasak bersama. Maura menyuguhkan hidangan khas keluarganya, sementara Monica memberikan tips memasak yang membuat semuanya jadi lebih menyenangkan. Sambil mengaduk-aduk panci, mereka tertawa dan bercanda, menciptakan momen kebersamaan yang tak terlupakan.
"Guys. bagaimana kalau setelah ini kita ke Taman Kota." usul Retha.
"Hmm boleh juga, bagaimana yang lain setuju tidak?" tanya Prilly.
"Aku sih oke tapi, aku ajak Angga juga ya." sahut Maura.
"Pasti dong Angga harus ikut, biar dia juga bisa bermain disana. Dan makan kue buatan kita sepuasnya yang dijamin yummy." lanjut Monica, disambut gelak tawa bahagia.
Kemudian sore itu, mereka merencanakan menghabiskan waktu di Taman kota. Di sana, mereka berjalan-jalan, bercengkrama, dan tertawa tanpa beban. Retha membawa bola voli, sehingga mereka spontan bermain di lapangan yang terbuka. Walaupun tidak mahir dalam olahraga, namun keceriaan mereka membuat aktivitas tersebut menjadi penuh kegembiraan.
Maura merasa begitu beruntung memiliki teman-teman seperti mereka. Mereka bukan hanya sekadar sahabat, melainkan keluarga yang dipilih sendiri. Di antara tawa dan canda, Maura tidak bisa menahan rasa syukurnya. Dia merasa diberkati dengan kehadiran sahabat-sahabat sejati yang selalu ada dalam suka dan duka.
Seiring matahari mulai tenggelam, mereka memutuskan untuk menyudahi hari ini dengan makan malam di restoran favorit mereka. Meja penuh dengan hidangan lezat dan gelas diangkat untuk mengucapkan terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan yang telah mereka lalui begitu jauh. Maura merasa begitu terinspirasi oleh setiap cerita keberhasilan dan perjuangan sahabat-sahabatnya tersebut.
Di akhir acara, mereka duduk bersama di teras restoran, menikmati pemandangan malam yang indah. Sambil memangku Angga, Maura merasa seperti hidupnya kini lebih seimbang. Pekerjaan yang sukses, teman-teman sejati, dan kebahagiaan diri yang semakin ia rasakan. Mereka berjanji untuk melanjutkan tradisi "me time" bersama, sebagai momen untuk merayakan kebersamaan dan saling mendukung satu sama lain.
Maura tersenyum melihat sahabat-sahabatnya, dan dalam hatinya, ia bersyukur karena memiliki mereka di setiap langkah hidupnya. Sebuah hari yang penuh tawa, canda, dan ucapan syukur atas semua hal baik yang telah diberikan kepadanya tak henti hentinya ia panjatkan.
..........................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!