"Apa yang sedang kau lakukan?" Seorang pria muda mengerutkan keningnya menghampiri Erin yang sedang mencicipi masakan yang dia buat.
"Maaf, anda siapa?" Erin bertanya sembari menatap pria tersebut dari kepala hingga kaki.
"Aku yang harusnya bertanya seperti itu! Beraninya kau mencicipi masakan dengan cara seperti itu? Itu menjijikan!"
"Apaa? Kau gila ya! Menjijikan katamu? Aku mencicipi masakan ini menggunakan sendok! bukan menggunakan tanganku secara langsung!"
"Tetap saja, harusnya memindahkannya ke piring! dasar kotor"
"Diamlah! kau mengganggu ku bekerja!"
Erin mengerutkan keningnya, lalu memindahkan masakan yang dia buat ke wadah. Pria yang mengomentari cara dia mencicipi masakan kini duduk di meja makan.
"Hey! Bukankah kau terlalu muda untuk menjadi koki di rumahku"
"Rumahmu? Ini adalah rumah Nyonya Triana"
"Triana adalah ibuku"
Mendengar kalimat itu, nafas Erin berhenti, kalimat kasar yang tadi dia ucapkan di dapur tiba-tiba muncul di pikirannya. Dia baru saja bersikap kasar pada putra majikannya, sudah syukur dia diterima bekerja di rumah besar itu, sekarang dia malah bersikap kasar pada pemilik rumah tersebut.
"Maaf, saya tidak tahu bahwa anda akan pulang hari ini, Nyonya Triana hanya mengatakan bahwa anda mungkin tiba bulan ini"
"Wah, cara bicaramu tiba-tiba jadi sangat sopan ya, padahal tadi kau baru saja menyebutku gila saat di dapur"
"Saya benar-benar minta maaf, silahkan nikmati makan malam anda"
Erin berjalan meninggalkan pria tersebut dan kembali ke kamarnya.
"Hah apa-apaan itu? apa semua pekerja di sini memang bermuka dua? Kemana sikap kasarnya tadi? dia bahkan tidak berani menatap mataku setelah aku menyebut nama ibu"
***
Erin yang sedang berbaring di kamarnya memikirkan hal yang terjadi di dapur, dia masih tidak percaya karna sikap kasarnya tadi bisa saja dia dipecat besok pagi.
Erin memijat dahinya karna frustasi atas apa yang baru saja terjadi.
"Padahal aku sangat bahagia saat diterima bekerja disini, gaji 10 jutaku tidak boleh hilang begitu saja! Aku tidak mau dipecat.. Setidaknya aku harus bekerja disini selama 3 bulan, ini bahkan belum cukup 2 Minggu, Akhh..bagaimana ini? Kenapa putra nyonya Triana harus datang hari ini!"
Erin mengacak-acak rambutnya lalu berdiri meraih sebuah buku yang berada di atas lemari. Setelah mencoba fokus membaca, Erin kembali teralihkan.
"Bukannya dia yang lebih dulu bersikap kasar? dia bilang itu menjijikan, aku kan pake sendok lalu mencicipinya! dasar bocah!!..dia pasti jauh lebih muda dariku, mungkin itu penyebab sikapnya kurang ajar"
Setelah beberapa menit kemudian, Erin tertidur dengan buku yang masih berada di genggamannya.
***
Di pagi hari, seperti biasa Erin melakukan tugasnya sebagai koki di rumah tersebut, dia menyiapkan sarapan untuk Tuan rumah. Erin biasanya hanya menyiapkan makanan untuk 2 orang, tapi hari ini dia menambah makanan untuk 3 orang. Setelah menyiapkan semuanya, Erin kembali ke dapur dan makan sandwich. Sembari menikmati sandwichnya, Erin memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk makan siang.
Triana sebagai seorang dosen menghabiskan akhir pekan yang dia miliki bersama suaminya, Benedict sang suami adalah seorang pelukis, dia sering bepergian bersama Triana untuk mendapatkan inspirasi. Tapi akhir pekan ini mereka habiskan hanya di rumah untuk menyambut putra mereka yang baru saja lulus di SMA Staten Island Technical, New York.
Erin yang sedang menikmati sandwichnya tersenyum karna dia melewati pagi hari tanpa ada masalah, kekhawatiran yang dia miliki karna sikap kasarnya kemarin sudah hilang. Pria yang kemarin bertemu dengannya di dapur hanya duduk dengan tenang saat dia menyiapkan sarapan pagi, hanya perbicangan santai dan nyaman yang terjadi saat anggota keluarga tersebut memulai sarapan.
"Benar..dia tidak mungkin bercerita pada orang tuanya bahwa aku bersikap kasar, itu hanya masalah sepele, lagipula dia pasti sudah melupakan kejadian kecil itu"
Setelah menghabiskan sandwich itu, Erin berjalan menuju kamarnya yang berada di bagian belakang rumah, ada halaman kecil dan tempat duduk di sana, karna pekerjaan yang dia lakukan hanyalah memasak, dia menghabiskan waktunya di halaman kecil tersebut untuk membaca buku.
Rumah besar itu memiliki halaman depan yang luas, terdapat taman bunga, bagian samping kiri memiliki kolam renang dan bagian kanannya adalah tempat Benedict melukis, sebuah ruangan besar yang terpisah dari rumah dan hanya berisi lukisan-lukisan serta peralatan lukis Benedict yang disebutnya sebagai Ruang Studio Lukis.
Selain Tuan rumah, yang beranggotakan 3 orang, rumah besar itu di rawat oleh Pelayan yang bernama Lina, Lina datang setiap hari untuk menyiapkan kebutuhan semua anggota keluarga, 2 pelayan lain datang 3 kali dalam seminggu untuk membersihkan seluruh bagian rumah dan mencuci pakaian, Tukang kebun yang bernama Doni juga datang 2 kali dalam seminggu. Satu-satunya Orang asing yang menghabiskan waktu bekerja di rumah itu tanpa pulang hanya Erin. Tidak heran jika rumah besar itu terasa sangat kosong setiap harinya.
Erin hanya memasak dan menyiapkan makanan untuk tuan rumah, dia tidak diwajibkan untuk membersihkan saat mereka selesai, karna Lina sebagai pelayan utama di rumah tersebut hampir melakukan segalanya, dia bahkan mencuci piring meskipun tugas tersebut bisa saja dilakukan oleh Erin sebagai penanggung jawab dapur.
Setelah membaca buku, Erin melirik ponselnya dan melihat jam yang menunjukkan pukul 11 siang, Erin memutuskan untuk ke dapur dan bersiap untuk memasak makan siang.
"hari ini aku akan masak udang, salmon dan makanan penutup yang lembut"
Setelah menyelesaikan semuanya dalam kurung waktu hampir 2 jam, Erin menyiapkan hasil masakannya, udang saus tiram, salmon teriyaki dan mango cheese cake kini tersusun indah di atas meja makan.
"Lina, karna semuanya sudah siap, saya akan kembali ke kamar"
"Baik Erin, aku akan mengurus sisanya, Nyonya Triana masih berada di Ruang Studio Lukis bersama Tuan Benedict, Tuan Muda juga bersama mereka"
Erin kembali ke kamarnya, dia berbaring dan meraih buku yang berada di nakas. Erin menghabiskan banyak waktu untuk membaca, dia tidak punya pacar, dan temannya hanya sedikit. Jadi, tidak ada hal istimewa yang dia tunggu di waktu istirahat, rutinitas hariannya hanyalah memasak dan membaca buku.
Erin menatap langit-langit kamarnya, lalu menyadari betapa membosankan kehidupan yang dia jalani saat ini.
"Mungkin aku harus mulai mencari pacar, sudah berapa lama aku seperti ini? Tapi hubungan terakhirku bahkan tidak berjalan dengan baik, sebaiknya aku fokus mengumpulkan uang saja lalu melanjutkan perjalananku, benar, aku harus bertahan dengan semua rasa bosan ini selama 1 tahun"
Erin tanpa sadar menutup matanya dan terlelap. Saat bangun di sore hari dia segera menuju dapur untuk menyiapkan makan malam, namun Lina menghentikannya karna Nyonya Triana akan menghadiri sebuah pesta bersama Tuan Benedict dan putranya. Setelah mengetahui hal tersebut, Erin akhirnya menuju halaman belakang dan bersantai di sana.
Wildan yang telah lulus SMA berencana menghabiskan waktu libur yang dia miliki bersama kedua orang tuanya, dia punya waktu 4 bulan sebelum bersiap untuk mendaftar kuliah. Saat melihat seorang wanita asing yang mencicipi masakan menggunakan sendok tanpa wadah, dia merasa jengkel karna itu adalah makanan yang kemungkinan besar dimasak untuk keluarganya, karna ini adalah rumahnya.
Wildan tidak mengadu pada orang tuanya karna dia yakin, wanita itu pasti sudah cukup sadar setelah mendengar komentar kasar yang dia berikan.
***
Beberapa hari kemudian, saat Nyonya Triana tidak berada di rumah dan Tuan Benedict menghadiri sebuah pameran, Hanya Lina, Wildan dan Erin yang berada di rumah besar tersebut. Erin berada di dapur menyiapkan makan malam untuk Wildan.
"Hey, apa yang kau masak untukku?"Wildan bertanya lalu membuka kulkas dan meraih sebotol minuman.
Erin yang hanya fokus memasak tidak mendengar ucapan Wildan, dia bahkan tidak menyadari kehadiran Wildan. Karena merasa diabaikan, Wildan melangkah dan mendekat ke Erin yang sedang mengaduk sup. Setelah berada di samping Erin, Wildan memasukkan sebuah bumbu ke dalam panci. Erin yang melihat sebuah tangan yang menuangkan bumbu, seketika menengok ke kanan lalu membulatkan matanya.
"Apa yang kau lakukan? astaga! Itu merica!!"
Erin menghentikan tangan Wildan yang terus menuangkan merica ke dalam sup yang sedang dia aduk.
"Bukankah ini makanan yang kau buat untuk ku? Aku ingin meracik makananku sendiri" Wildan berkata dengan ekspresi datar.
Erin mematikan kompor lalu memindahkan sup tersebut. Setelah menarik nafas panjang, Erin kemudian tersenyum pada Pria muda yang berdiri di hadapannya. Dia tidak ingin mengulang hal yang sama, tidak boleh ada kalimat kasar yang keluar dari mulutnya kali ini. Erin tersenyum lalu berbicara dengan nada lembut.
"Meracik? saya adalah koki disini, semua makanan disiapkan oleh saya, anda tidak perlu khawatir, jika rasanya tidak sesuai selera anda, saya akan membuat resep baru"
"Bicaramu formal sekali, bukannya tadi kau menggunakan kata 'kau' padaku?"
"Maaf, itu karna saya kaget, anda tiba-tiba saja menuangkan bumbu yang tidak diperlukan ke dalam sup yang sudah selesai saya buat"
"Apa yang kau lakukan? Astaga itu merica!, kalimat itu yang tadi kau katakan, dengan nada yang sangat tidak bersahabat, sekarang cara bicaramu sangat sopan"
"Sekali lagi saya minta maaf Tuan Muda, saya tidak sengaja"dasar bocah menjengkelkan! Aku harus menahan diri, dia hanya bocah yang lebih muda dariku
"Kau pikir aku membutuhkan permintaan maafmu? hahahaha ini lucu sekali, kau seperti bukti nyata bahwa ada manusia yang bermuka dua, kau tahu penyakit bipolar? tingkahmu mirip seperti itu, dan juga mengapa kau memanggilku tuan muda? Panggil namaku saja, kau menyebut ibuku Nyonya Triana kan?"
"Ah itu..baik, saya akan memanggil nama anda mulai sekarang"aku tidak tahu namamu
"..."
"Jika anda tidak keberatan, silahkan menunggu di meja makan, saya akan menyiapkan makan malam secepatnya"sebaiknya aku pergi sekarang
"Hey, coba panggil aku"
"..maaf saya tidak mengerti maksud anda"Apasih? Untuk apa aku memanggilmu?
"Bagian mana yang tidak kau mengerti! Kubilang panggil namaku sekarang!!"
"Itu.."
Erin yang tidak tahu nama Wildan, hanya menunduk, dan menggigit bibirnya.
"Kau tidak tahu namaku kan?!"
Mendengar suara Wildan dengan nada yang agak tinggi, Lina melangkah ke arah dapur.
"Erin? Apa yang terjadi? Tuan Wildan, anda tidak boleh mengganggu koki yang sedang bekerja"Lina memahami situasi yang sedang terjadi, melihat Erin yang sedang menunduk tentu saja dia harus membela Erin.
"Lina..aku.."untungnya Lina datang, bocah ini terus saja mencari masalah denganku
"Dia tidak tahu namaku, bukankah itu tidak sopan? Aku anak dari tuan rumah, tapi bahkan koki rumah tidak tahu namaku"
"Tuan Wildan, jangan berlebihan, saya yakin Erin tahu nama anda, bukankah begitu Erin?"
"Iya tentunya saya tahu, saya minta maaf karna tidak memanggil anda Tuan Wildan sejak awal"apa sekarang kau puas? Mengapa hal kecil seperti ini pun kau buat rumit?
"Kau baru tahu namaku saat Lina memanggilku! Aku tahu hal itu, tapi aku akan membiarkan hal ini, kau benar-benar bermuka dua!"
Wildan meninggalkan Lina dan Erin lalu menuju kamarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!