NovelToon NovelToon

Gelora Cinta Tuan Bara

Bara Aditama

Brak....!

Stroller penuh berisi belajaan harian menabrak belakang mobil mewah seseorang di halaman parkir sebuah mini market.

Wanita dengan stelan kaos oblong di padu kulot berbahan kain itu tampak kebingungan karena troller yang dia bawa tak sengaja menabrak belakang mobil seseorang. Strollernya terguling bersama belanjaan di dalamnya.

Susah payah dia mengumpulkan belanjaannya yang tercecer. Baru kemudian wanita itu memeriksa mobil yang tak sengaja dia senggol.

Wajahnya tampak muram saat melihat goresan di mobil mewah itu.

Dengan gerakan terburu buru dia menghampiri pemilik mobil yang baru saja keluar dari mobil.

Pria berpakaian rapih tampak keluar dari mobil. Lalu memeriksa belakang mobilnya. Pria berpakaian rapih itu menatap Safira dingin saat memeriksa belakang mobilnya. Dahinya berkerut saat melihat goresan kecil yang tertinggal di dinding mobil.

"Maaf, saya tidak sengaja." ujar Safira saat pria itu menatap kearahnya. Kakinya kesandung sesuatu hingga tak sengaja trollernya menyentuh mobil di depannya. Dan menggores mobil mewah ini.

Sial!!!

"Boleh saya tau nama nyonya?" tanya pria itu, masih dengan ekspresi dingin.

"Boleh." sahut Safira, sembari membuka dompetnya mengeluarkan selembar kartu nama.

"Ini identitas saya." ujar Safira, sembari mengulurkan tangannya menyerahkan kartu namanya.

Pria itu menerima kartu nama Safira. Dengan mata menyipit dia membaca kartu nama Safira.

Pria itu menghela nafas, lalu beranjak kesamping mobil. Dengan sikap sopan dia mengetuk kaca mobil, lalu tampak kaca mobil itu terbuka sebagian.

"Tuan, bagaimana ini? Ada goresan kecil di belakang mobil." ujar pria itu, pada seseorang di dalam sana.

Pria di dalam mobil menoleh kebelakang, menatap Safira sejenak.

"Apa kau sudah mendapatkan kartu namanya?" tanya pria dalam mobil itu dengan suara rendah.

"Sudah, ini dia tuan." Lelaki berbaju rapih itu mengulurkan kartu nama Safira pada pria di dalam. Tampak pria itu memeriksa kartu nama itu sejenak, lalu.

"Ya sudah biarkan aja. Aku akan mengurusnya nanti." ujarnya pada orang suruhannya.

"Tapi tuan, goresannya lumayan dalam."

"Aku bilang biarkan saja." ujar pria didalam mobil itu dengan intonasi rendah.

"Baik tuan." sahut lelaki itu dengan berat hati.

Sementara Safira memperhatikan dengan cemas. Walau hanya goresan kecil, tetap saja kecerobohannya merugikan orang lain. Dan dia harus merogoh kocek lumayan dalam karena ini.

Dia membetulkan posisi berdirinya saat pria yang berada di samping mobil itu berjalan kearahnya.

"Bagaimana?" tanya Safira. Begitu pria itu berdiri di hadapannya.

Pria itu menarik napas dalam, sembari menatap goresan kecil di belakang mobil. "Sudahlah tidak apa." sahutnya dengan persaan berat.

"Tapi mobil anda tergores karena saya." ujar Safira.

"Sudah tidak apa apa. Nanti tuan saya sendiri yang akan mengurusnya. Lagi pula anda bilang tadi tidak sengaja bukan?"

"Ah, iya. Tentu saja."

"Ya sudah, kalau begitu." ujar pria itu lalu berbalik, kemudian melangkah pergi.

"Baiklah." sahut Safira, kalimatnya mengambang di udara karena pria itu sudah masuk dalam mobil.

Sementara itu, di kursi belakang mobil yang tengah melaju itu. Sepasang mata menatap sepion tengah yang mengarah ke Safira dengan tatapan penuh makna.

"Kita kemana tuan Bara?"

"Mansion utama, kakek memintaku pulang." sahut pria yang ternyata adalah Bara Aditama.

Putra tunggal pasangan konglomerat yang sudah wafat tiga puluh tahun lalu. Sosok yang belakangan menjadi perbincangan hangat karena pencapaiannya di bidang bisnis.

Seperti titahnya, mobil melaju menuju mansion utama milik keluarga Bara. Dimana pria tua yang di panggil kakek oleh Bara, tinggal di sana.

Mobil mewah yang di tumpangi Bara melaju pelan memasuki bangunan mansion, bangunan mewah dengan halaman super luas, yang di kelilingi pagar tinggi bergaya etnik. Saking luasnya, orang mungkin akan tersesat saat baru pertama datang ke rumah ini.

Mobil berhenti di dalam garasi yang luasnya hampir sama dengan lapangan bola. Ada puluhan mobil mewah jadul berjejer di sana dan masih terawat dengan sangat baik. Bara turun dari mobil, lalu mengitari beberapa mobil mewah yang ada disana. Baru kemudian masuk kedalam mansion.

Bara menarik nafas dalam, sebelum melangkah masuk kedalam ruang utama mansion. Banyak jadwal pertemuan yang harus dia hadiri setiap hari, tapi bertemu pria tua bernama Sugara ini mampu membuat kepalanya pusing.

"Harus di ancam dulu baru mau datang ke rumah reot ini hah!" omelan langsung menyambutnya, begitu kakinya masuk ruang utama.

Lelaki tua yang masih menyisakan kegagahannya saat muda itu, memandang dingin cucu satu satunya yang menurutnya susah di atur.

Bara tak menyahut, dia terus melangkah mendekat. Lalu mengambil alih kursi roda dari orang suruhan kakeknya. Lalu mendorong kursi itu meninggalkan ruang utama mansion.

"Serlyn semalam berkunjung ke mansion." ujar kakek, sembari menatap keindahan taman miliknya. Walau tidak ada perempuan di mansion ini, tapi sentuhan lembut terlihat di taman ini.

"Hmmm." sahut Bara. Reaksinya membuat pria tua itu menoleh kebelakang menatap Bara.

"Dia Serlyn, wanita yang di incar keluarga terpandang untuk di jadikan menantu. Apa kau tidak tau?!"

"Aku tau kek."

"Kalu kau tau kenapa bereaksi seperti itu? Padahal gadis itu rela datang ke sini menyampingkan harga dirinya yang tinggi demi dirimu." omel kakek.

Bara menarik nafas berat. "Siapa suruh dia melakukan itu. Aku sudah ratusan kali mengatakan pada wanita dungu itu, bahwa..."

Buk...!

"Akhhh." Bara meringis saat tongkat kakeknya mendarat telak di lengan kirinya.

"Anak kurang ajar, jaga bicaramu! Kalau di dengar keluarga Serlyn bisa panjang urusannya." umpat pria tua itu berang. Calon cucu menantunya di katakan dungu.

"Mereka tidak akan dengar, kalau pun dengar memangnya mereka berani melakukan apa padaku?" ujar Bara acuh.

"Dasar bocah sialan, besok malam aku mengundang Serlyn makan malam di sini. Kau datanglah, jangan membuatku malu."

Bara menghentikan langkahnya. "Aku tidak janji, kakek tau bukan? Aku banyak pekerjaan." ujar Bara, pria yang memiliki mata setajam elang itu melangkah kedepan. Membetulkan selimut yang ada di pangkuan kakeknya lalu melangkah pergi meninggalkan kakeknya.

"Hey, kalau kau tidak datang aku akan menyeretmu kemari!" ucap pria tua itu meneriaki Bara.

Bara tersenyum miring sembari melambaikan tangannya ke belakang. "Lakukan saja kalau kakek bisa." sahutnya tanpa berbalik badan.

Pria tua itu mendengkus jengkel, tentu saja dia tidak akan mampu melakukannya. Cucunya bukan pria sembarangan yang bisa di seret hanya dengan beberapa orang pengawal.

Sementara Bara terus melangkah pergi menuju garasi. Dia memang tak pernah lama berada di mansion ini. Terlalu banyak cerita yang tak ingin dia ingat walau hanya sekejab.

"Kenapa cepat sekali tuan pergi? Kakek mungkin masih rindu dengan tuan." ujar Bimo, orang kepercayaannya.

Bara menarik nafas panjang, sembari menatap pria muda itu dengan intens.

"Selalu kalimat itu yang keluar dari mulutmu, setiap kali aku keluar dari pintu itu." sahut Bara.

Pria yang di panggil Bimo itu tak bereaksi. Hanya mengusap wajah datarnya beberapa kali.

"Ayo pulang, atau kau ingin tinggal di sini menemani kakek tua itu."

"Tentu saja ikut tuan.."

.

Bersambung

Terimakasih udah mampir di cerita ini. Sebagai bentuk dukungan para pembaca pada karya ini, mohon tinggalkan like dan komen yang membangun ya 🙏🙏🙏🥰

Winarti

"Ahhh..." de sah halus lolos dari bibir Winarti. Gadis bertubuh sintal itu terpaksa mendesah oleh dorongan nikmat yang mendera di bagian bawah tubuhnya.

"Ssstt, tahan suara mu, nanti Safira dengar.." protes Riki, yang berada di antara kedua paha Winarti.

"Tapi ini nikmat loh mas..." sahut Winarti separuh mende sah.

Riki menyeringai. "Kau suka?" tanya lelaki itu bangga.

"Tentu saja, mas selalu bisa memuaskanku." sahut Winarsih, sembari menggigit bibir bawahnya. Keduanya lalu terkekeh pelan.

Mereka berusaha sebisa mungkin meredam suara agar tak ketahuan Safira istri Riski.

Ya, dua sejoli ini bukan pasangan suami istri. Winarti adalah anak tetangga Safira di kampung, dia datang kesini untuk menimba ilmu di sebuah fakultas yang ada di kota ini.

Kebetulan kampus yang dipilih orang tua Winarti tak jauh dari tempat tinggal Safira. Jadi orang tua Winarti menitipkan gadis itu untuk kos di rumah Safira.

Sebagai tetangga yang baik, tentu saja Safira tak bisa menolak. Apalagi dia memang orang yang tidak tegaan. Walau sebenarnya dia ragu, takut kalau Riki merasa keberatan. Tapi ternyata Riki malah menerima dengan tangan terbuka kedatangan Winarti di rumahnya.

Lalu enam bulan yang lalu, entah bagaimana awal mulanya. Riki dan Winarti terlibat hubungan terlarang secara diam diam.

Riki yang merasa hubungannya dengan Safira sudah terasa hambar, jadi mabuk kepayang oleh perhatian dan kehangatan Winarti.

Dengan dalih balas budi, Winarti selalu melayani Riki layaknya seorang istri. Dari membuatkan sarapan sampai urusan ranjang. Safira sendiri tak curiga, karena mereka tak pernah memperlihatkan keakraban saat di depan Safira. Bahkan Riki terkesan acuh pada Winarti. Riki bahkan tak melirik wanita itu sama sekali, saat pagi hari Winarti menaruh sarapan untuknya di atas meja. Kadang Safira selalu menegurnya agar sedikit ramah pada gadis itu. Dia tidak tau dua insan itu selalu bermain panas di belakangnya.

Riki dan Safira menikah sudah hampir sepuluh tahun, dan sudah di karuniai seorang putra berusia delapan tahun. Bernama Rifai.

Riki menjabat sebagai kepala Bagian di sebuah perusahaan besar. Sedang Safira membuka butik di sebuah mall ternama di kota ini, menjual barang barang branded.

Kesibukan keduanya membuat keharmonisan hubungan suami istri ini sedikit terganggu. Mereka tak memiliki jadwal senggang yang sama. Saat Riki senggang, Safira malah sangat sibuk. Begitu pula sebaliknya. Membuat hubungan keduanya jadi terasa gersang.

Lalu tiba tiba Winarti muncul di antar mereka. Saat Riki senggang di rumah, Winarti datang dengan sejuta perhatian. Sikap manja yang hanya di perlihatkan pada Riki seorang, membuat iman lelaki itu goyah. Lalu tanpa sadar keduanya sudah jauh terjerumus kelubang hitam.

Kadang akal sehat Riki menyadari perbuatannya itu salah. Tapi saat Winarti menyuguhkan kehangatan, dia kembali tergoda.

Seperti malam ini, gadis itu datang keruang kerja sembari membawa secawan kopi. Riki yang sedang pusing dengan seambrek pekerjaan, merasa senang oleh kedatangan gadis itu.

Seperti biasa, gadis itu bertanya apa Safira sudah tidur pada Riki. Bila jawaban Riki "sudah" Gadis itu langsung beraksi.

Dia bukan hanya cantik, tapi juga energik. Naf sunya juga sangat besar, membuat Riki yang haus belaian merasa jatuh cinta pada setiap sentuhan gadis itu.

Kalau di bandingkan dengan Safira, gadis ini tentu saja berada di atasnya kalau soal ranjang. Safira lebih kalem saat diranjang, sedang Winarti terkesan binal dan bar bar. Tapi Riki menyukai ke bina lan Winarti, kebuasan gadis itu membuatnya mampu melayang berulang kali dalam semalam.

"Jangan nembak dulu mas..." rintih Winarti saat tau Riki sudah hampir mencapai puncak. Sementara dia masih ingin bermain sebentar lagi.

"Cepatlah, kau membuatku tak bisa menunggu lama." erang Riki tak sabaran. Tubuh sintal di atasnya, bergerak naik turun dengan sangat seksi. Mana mungkin dia tahan berlama lama menahan cairan kenikmatan yang sudah di ujung tanduk.

Tak berapa lama desah panjang keluar dari bibir keduanya. Mereka melakukan pelepasan bersama sama. Lalu tubuh sintal itu terkulai kesamping bermandi keringat.

Riki memiringkan tubuhnya menatap wajah cantik di sampingnya. Dia benar benar jatuh cinta pada gadis berkulit seputih salju ini. Kelembutannya kehangatan tubuhnya, membius Riki sampai ke tulang.

"Mas," panggil Winarti manja. Riki yang sedang menatapnya menyahut hanya dengan gerakan bibir, dengan kata "Apa?"

"Bagaimana kalau aku hamil? Kayaknya aku telat bulan ini." ujar Winarti. Membuat mata Riki terbelalak. Refleks pria itu bangkit dari tidurnya, lalu menatap Winarti tak percaya.

"Jangan bercanda." ujarnya cemas. Matanya menatap Winarti dengan pupil melebar.

"Aku tidak bercanda."

"Telat berapa hari?"

"Mungkin seminggu."

"Hhhh..." Riki menarik nafas lega.

"Besok kita ke dokter kandungan. Umur segitu kayaknya gak bahaya di gugurin." imbuh pria itu enteng. Membuat Winarti terdiam.

"Mas, ini anak mu loh. Siapa tau dia perempuan." ujar Winarti mengingatkan.

Riki mendesah berat, lalu beranjak bangkit menuju kamar mandi dengan tubuh polos.

Sementara Winarti mengepalkan jari jemarinya erat. Apa maksud dari diamnya Riki. Apa dia tetap akan mengugurkan bayi ini? Keterlaluan sekali! Bukankah ini anaknya?

Biasanya saat Riki masuk kamar mandi, Winarti akan menyusul masuk. Dan adegan panas kembali terjadi di tempat sejuk itu. Tapi kali ini Winarti enggan memakukannya. Sikap Riki barusan membuat hatinya kesal.

Tak berapa lama Riki terlihat keluar dari dalam kamar mandi. "Kau tidak mandi?" tanya Riki. Winarti tak menyahut, dia masuk kamar mandi dengan wajah di tekuk.

Riki menarik nafas dalam dalam. Pikirannya melayang ke kamar pribadinya, dimana tubuh molek istrinya terlelap. Rasa bersalah, menyeruak dalam hatinya. Tapi untuk berhenti terasa begitu susah untuk dilakukan.

 Tapi pernyataan Winarti membuat rasa resah mendadak memenuhi ruang hatinya. Dia tak berpikir akan menambah momongan dari rahim Winarti. Jujur dia telah jatuh cinta pada keindahan Winarti, tapi tak terbersit olehnya untuk menjadikan gadis itu sebagai selirnya. Sama sekali tak terbersit. Dia hanya ingin bermain, tisak lebih dari itu. Senikmat apapun Winarti, Safira tetaplah yang merajai hatinya hingga kini. Walau sentuhan wanita itu sudah jarang dia rasakan lagi. Tapi dia juga tak bisa berhenti menikmati kehangatan Winarti, gadis itu seperti morfin yang selalu membuatnya kecanduan.

Lalu bagaimana kalau Winarti benar benar hamil? Kalau memang benar hamil, menghilangkan bayi itu dari rahimnya adalah jalan aman satu satunya.

Winarti gadis yang mudah di bujuk, apa lagi dengan kemewahan. Bagaimanapun Riki tak mau ada jejak perselingkuhannya yang tertinggal. Itu bisa bahaya.

Dia tau betul perbuatannya bisa melukai istrinya. Tapi dia masih enggan untuk berhenti. Pesona Winarti masih begitu erat menjeratnya.

Bersambung

Terjaga tengah malam

Safira tersentak dalam tidurnya di tengah malam. Setengah sadar dia mencari sosok Riki di sampingnya. Tapi sepertinya Riki tak ada di sini. Tempatnya juga terasa dingin, pertanda lelaki itu belum beranjak tidur sejak tadi.

Merasa penasaran Safira meraih jubah tidurnya, lalu memakainya. Kemudian mencari Riki di ruang kerjanya. Di rumah ini, hanya ruang itu yang mampu membuat Riki betah berlama lama di sana.

Sembari menguap berulang kali, Safira mulai menuruni anak tangga. Tapi mendadak langkahnya terhenti di depan pintu kamar Winarti yang terbuka separuh.

Safira hanya mengintip dari tempatnya berdiri. Gadis yang menumpang di rumahnya itu sepertinya lupa menutup pintu. Atau dia belum pulang, sebab malam ini adalah malam minggu. Gadis seusia Winarti tentu memiliki dunianya sendiri.

Safira kembali melangkah pelan menuju ruang kerja suaminya. Tanpa mengetuk dia langsung memutar handle pintu lalu melangkah masuk. Riki yang berada tak jauh dari pintu tampak kaget oleh kedatangan Safira.

"Fira?!" pekiknya mendapati Safira tengah berdiri di ambang pintu.

Lelaki yang tengah mengancingkan bajunya itu, terlihat buru buru menghampiri Safira.

"Sayang kok kamu bangun?" tanya Riki tanpa sadar. Membuat Safira mengerutkan keningnya menatap Riki.

"Maksudnya?" tanya Safira sembari meneliti baju Riki yang belum selesai di kancing.

Melihat arah pandangan Safira, Riki mendadak gugup. "Ooh, aku kepanasan tadi. Jadi mandi biar gak gerah saat tidur." jelas Riki. Riki tak butuh pertanyaan, tatapan Fira sudah lebih dari sebait pertanyaan.

Safira kembali mengerutkan keningnya, sembari meneliti seluruh ruang. Saat tatapannya tertuju ke sofa di sudut ruang. Riki buru buru mendorong tubuh istrinya nya keluar ruangan, lalu cepat Riki menutup pintu ruang kerjanya rapat rapat.

"Ayo keatas, aku kepingin." bisik Riki, sembari merangkul bahu ramping Safiira. Berusaha mengalihkan perhatian Safira.

Safira menatap pria bertubuh kekar itu dengan mata penuh damba. Sudah sangat lama dia tak mendengar kalimat ini dari bibir suaminya. Lelah oleh seambrek pekerjaan membuatnya tak punya keinginan bercinta. Apa lagi Riki tak pernah meminta untuk di layani.

Tak ingin membuang waktu lagi, Riki langsung membopong tubuh ramping Safira naik ke lantai atas. Menuju kamar mereka.

Saat melewati kamar Winarti, Riki merutuk dalam hati. Betapa ceroboh gadis itu membiarkan pintu kamarnya terbuka. Sementara dia sendiri berada di ruang kerja Riki.

Perlahan sekali Riki merebahkan tubuh istrinya di atas ranjang. Seperti porselen yang gampang retak, begitulah Riki menaruh tubuh istrinya dengan hati hati. Di akui Riki, tubuh Safira masih sangat bagus di usianya yang sudah kepala tiga. Bodynya langsing tapi berisi. Betisnya kecil dan indah. Bahkan Riki sangat menyukai kakinya dengan bentuk jari jari yang sangat menawan. Kuku kukunya di beri warna menarik, sangat serasi dengan kulit kakinya yang putih bersih.

Berbanding terbalik dengan milik Winarti yang seba over. Safira memiliki bentuk tubuh dengan porsi yang pas dan indah. Tapi bagi Riki dua wanita ini memiliki kenikmatan tersendiri. Yang membuatnya jadi mabuk kepayang.

Dasar lak nak...!!!

Ya dia memang lelaki yang pantas di maki dengan kata kata kasar. Bagaimana tidak? Dia sungguh tak berperasaan, setelah menggauli Winarti kini dia tengah menyumbu Safira.

"Apa ini..?!" tanya Riki dengan nafas tersenggal. Dia sangat bira hi, tapi bercak merah kental di celana dalam Safira membuat naf sunya sedikit padam.

"Apa?!" tanya Safira, sembari mengangkat separuh tubuhnya menatap kebawah. Sebab dia sedang dalam posisi telentang.

"Kau datang bulan?" tanya pria itu sembari menenteng benda segi tiga itu dengan dua jari.

"Apa iya?" sahut Fira ragu. Dia sendiri tidak ingat kapan tanggal mentruasinya. Riki mendengkus kesal.

"Hhhh! Apa iya? Lalu ini apa?" Riki melempar benda segitiga itu tepat di atas paha mulus Safira. Dengan kesal pria itu turun dari ranjang lalu melangkah kekamar mandi. Safira menelan kasar ludahnya saat melihat junior Riki yang masih terlihat tegak menantang. Pemandangan indah itu harus berakhir saat Riki menutup pintu kamar mandi rapat rapat.

Safira memungut benda segitiga di atas pahanya lalu memeriksanya. Benar saja, ada bercak merah tertinggal disana. Dengan perasaan bersalah, Safira menatap kamar mandi yang tertutup rapat.

Kalau saja Riki meminta padanya, dia tidak keberatan membantu suaminya mendapatkan kepuasan dengan cara lain. Tapi Riki memilih menuntaskan nya di kamar mandi.

Safira memaklumi kemarahan Riki, lelaki itu sudah sangat horny tapi harus berhenti di tengah jalan. Bukankah sangat menyakitkan. Bukan hanya Riki, Safira juga sudah di selimuti kabut gairah. Lama tak melakukan hubungan intim, membuat setiap sentuhan Riki mendebarkan jantungnya. Sentuhan jarinya seperti sengatan listrik dengan voltase ringan.

Tapi pantasinya terpaksa harus terputus begitu saja, karena tamu bulanan yang datang tiba tiba.

Sementara itu diruang kerja Riki. Winarti keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Dengan tubuh separuh te lan jang dia melangkah gemulai mencari sosok lelaki yang baru saja memberinya kenikmatan tiada tara itu. Tapi sayang, dia tak menemukan Riki dimanapun. Hal ini membuat hatinya kesal.

"Mas.." panggilnya dengan suara pelan. Memastikan kalau Riki memang sudah tidak ada di ruangan ini. Tak terdengar sahutan dari Riki, pertanda pria itu benar benar sudah pergi.

"Pergi bukannya pamit, udah di kasih enak juga.." omel Winarti, sembari memunguti dala man miliknya yang berserakan di sofa.

Setelah mengenakan bajunya kembali, dia bergegas keluar dari ruang kerja Riki. Ruang dimana mereka berbagi kenikmatan setiap malam. Dengan langkah lebar dia berjalan ke kamarnya.

Tapi rasa penasaran membuat langkahnya malah berjalan menuju keanak tangga. Berjalan perlahan menuju ke lantai atas.

Langkah kakinya baru berhenti saat sudah di depan pintu kamar Riki dan Safira. Seperti penguntit, Winarti menajamkan pendengarannya. Berusaha mengetahui apa yang terjadi di dalam sana.

Baru beberapa detik, wajahnya langsung berubah murka.

Jemarinya mengepal erat, saat sayup sayup dia mendengar desah manja Safira di dalam sana. Membuat dadanya terasa panas terbakar api cemburu.

"Kepa rat!" geramnya dengan gigi terkatup rapat. Riki baru saja bercinta dengannya dengan begitu panas dan penuh gairah. Bisa bisanya sekarang dia menggauli Safira hingga wanita itu mendesah manja.

Apa Riki tidak puas dengan pelayanannya tadi. Kurang binal apa dia saat memanjakan Riki, bahkan dia yakin pela cur saja kalah olehnya.

Winarti menatap daun pintu kamar Riki dengan tatapan penuh amarah. Ingin rasanya dia mendobrak paksa pintu yang tertutup rapat itu dengan paksa. Lalu menyeret Riki keluar dari dalam sana. Lalu kembali mengajak pria itu bercinta. Dengan permainan yang lebih panas dari permainan mereka tadi.

Tapi yang bisa dia lakukan hanya memaki dua insan itu dalam hati. Tanpa bisa melakukan apa pun.

Dengan perasaan kesal gadis itu berbalik menuruni anak tangga. Masuk kedalam kamarnya.

"Dasar perempuan sialan. Bisa bisanya dia mendesah seperti itu. Apa bagusnya?!" umpatnya sembari menatap foto Safira yang ada di atas nakas. Dia sengaja memajang foto mereka berdua untuk mengelabui Safira. Seakan dia sangat menyayangi wanita itu, seperti saudaranya sendiri.

.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!