Di sebuah ruangan besar dengan arsitektur yang luar biasa mewahnya sedang berdiri laki-laki bernama Edwin Albaro. Dia adalah seorang pengusaha serta seorang CEO di perusahaan milik keluarganya. Di usia yang sudah menginjak kepala tiga, Edwin belum juga memutuskan untuk menikah, jangankan untuk menikah berkencan dengan seorang wanita pun Edwin belum pernah. Bukan karena tidak laku, namun Edwin merasa bahwa memiliki seorang pacar membuatnya sangat terganggu. Banyak perempuan mendekati nya, namun Edwin merasa tidak cocok, bahkan banyak pilihan namun belum ada yang bisa meluluhkan hatinya.
Dari arah luar masuk lah seorang pria yang bernama Hendrik Wibowo yaitu laki-laki yang dulu adalah sekretaris Edwin serta keponakannya. Namun kini ia sudah berpindah posisi menjadi seorang Manajer
"Ada apa memanggilku?." tanya Hendrik yang sudah berdiri di depan Edwin yang sekarang sudah duduk di kursi kebesarannya.
"Bukankah aku menyuruh mu untuk mencarikan sekretaris laki-laki? lalu kenapa kamu memberikan aku sekretaris perempuan?."
"Mau sampai kapan sih Ed kamu akan takut dengan seorang wanita? lagi pula sekretaris perempuan dan laki-laki sama saja, yang penting kan skill mereka dalam bekerja."
"Tapi aku tidak mau perempuan, pokoknya kamu harus ganti." perintah Edwin.
Hendrik seketika mendengus kesal. "Tidak.. coba dulu deh memiliki sekretaris perempuan, pasti kamu akan nyaman, sampai kapan kamu akan menjauhi perempuan, bisa-bisa karyawan di sini mekir bahwa kamu itu Direktur pecinta sesama jenis."
"Aku tidak perduli apa pikiran mereka. Lagi pula aku juga masih normal, bukan penyuka sesama batang."
"Jika kamu masih normal, dan masih tertarik dengan perempuan, maka dari itu terima lah sekretaris yang aku carikan untukmu. Jangan menolak. Coba dulu, dan lihat kamu pasti akan terpesona saat melihatnya."
"Sekretaris perempuan itu lebih mengerikan dari pada laki-laki Hen. Kamu tahu mereka sengaja memperlihatkan dada mereka untuk menarik perhatianku sebagai Direktur, seperti perempuan murahan, aku tidak bisa itu." Edwin yang teringat dengan mantan sekretarisnya beberapa hari yang lalu ia pecat karena terlalu berperilaku tidak sopan.
"Kamu itu memang aneh Ed. Jika laki-laki lain di kasih pemandangan indah seperti itu akan senang, lha kamu? malah takut. Masa iya sekretaris perempuan harus berpakaian syar i dan pakai cadar, kan ngga lucu."
"Pokoknya, kamu harus mencari sekretaris baru yang berjenis laki-laki." Edwin yang terus memaksa Hendrik.
"Sudahlah Edwin.. lagi pula jika kamu di beri sekretaris laki-laki selalu kamu pecat. Dan sekarang seperti nya kamu harus memakai sekretaris perempuan, agar nada bicara mu lebih lembut dan tidak marah-marah. Lagi pula dia juga cantik Ed, aku yakin kamu pasti menyukainya."
"Aku itu atasan mu, Hen.. seharusnya kamu menuruti perintahku, bukan aku yang menuruti perintahmu."
Namun di saat mereka berdua masih debat, tiba-tiba pintu direktur di ketok oleh seseorang. Hingga membuat Edwin dan Hendrik menoleh ke arah pintu secara bersamaan.
"Sepertinya dia sudah datang." ucap Hendrik.
"Siapa?."
"Sekretaris baru kamu." jawab Hendrik.
"Aku tidak mengizinkan dia masuk, aku tidak akan menerimanya. Suruh saja dia pergi"
"Iya silahkan masuk." teriak Hendrik tanpa mengindahkan ucapan Edwin lagi.
"Hen.." pekik Edwin.
"Sutssss.." Hendrik yang menyuruh Edwin untuk diam.
Tidak lama masuk lah seorang wanita tinggi, berkulit putih bersih, dengan tubuh yang profesional bak gitar spanyol. Dada yang penuh dan pantat yang berisi. Edwin yang melihat kehadiran wanita itu bisa melihat bahwa terdapat ukiran yang luar biasa di sebalik kemeja berwarna pink muda yang dikenakannya. Edwin bisa melihat bahwa tubuh perempuan itu sangat seksi.
Namun entah kenapa saat melihat tubuh wanita tersebut, justru Edwin memalingkan wajahnya ke arah lain. Seakan-akan tidak tertarik sama sekali.
"Selamat pagi pak."
"Pagi.. silahkan masuk Nabila." perintah Hendrik.
Nabila seketika berjalan ke arah Hendrik dan juga Edwin dengan langkah yang anggun dan elegan.
"Selamat bergabung di kantor kami, Nabila. Dan perkenalkan ini adalah pak Edwin selaku Direktur di kantor ini, sekaligus atasan kamu nanti." jelas Hendrik.
Edwin yang mendengar ucapan Hendrik seketika melotot ke arahnya. "Apa maksud kamu selamat bergabung di kantor ini?."
"Hari ini Nabila sudah resmi bergabung dengan perusahaan kita. Dan sudah tanda tangan kontrak denganku. Jika nanti kamu pecat dia lagi, kamu suruh saja pihak HRD untuk mencari sekretaris untukmu. Aku sudah malas merekrut seseorang untuk menjadi sekretaris mu." ucap Hendrik.
"Silahkan Nabila.. kamu bisa melakukan interview dengan pak Edwin." Hendrik yang menyuruh Nabila untuk semakin mendekat ke arah Edwin.
"Untuk apa aku interview lagi kalau sudah tanda tangan kontrak denganmu."
"Siapa tahu kamu mau interview nomor wa, atau ukuran dalemannya." ucap Hendrik secara pelan di samping Edwin lalu berjalan pergi keluar dari dalam ruangan.
"Sialan kamu, Hendrik!."
Nabila masih saja duduk di depan meja Edwin sambil menatap ke arah Edwin. Di dalam hati Nabila sangat terpesona dengan ketampanan laki-laki yang sedang duduk di depannya. Laki-laki berwajah indo kebulean. Hidung yang menjulang tinggi, mempunyai netra berwarna biru, dan bibir yang seksi berwarna merah muda.
"Kamu ngga mau duduk? mau berdiri saja di situ!." ucap Edwin dengan sangat ketus hingga Nabila terkejut.
"Iya pak maaf." Nabila seketika duduk di sebuah kursi yang berada di depan Edwin.
"Mau ngapain kamu duduk di situ? bukankah kamu sudah interview dengan Hendrik? sana duduk di tempat mu." Edwin yang menunjuk ke sebuah meja yang di atas meja terdapat tulisan sekretaris.
"Ah iya pak, maaf.. saya tidak melihatnya" Nabila seketika kembali beranjak berdiri untuk menuju ke sebuah meja sekretaris.
"Punya mata itu buat melihat dan membaca!." celetuk Edwin lagi.
Nabila seketika sudah menjatuhkan tubuhnya di kursi sekretaris. Ia benar-benar takut dengan ekspresi Edwin yang terlihat jutek, galak, dan dingin.
"Ganteng-ganteng galak bener dah.. kaya singa."
Nabila hanya diam memperhatikan Edwin yang sedang mengambil beberapa buku di atas mejanya. Lalu berjalan ke arah Nabila.
"Brak!." Edwin yang sudah meletakkan beberapa buku dan berkas dengan kasar di atas meja Nabila hingga Nabila kembali terhenyak.
"Duh pak bisa kali pelan-pelan saja, bikin saya kaget aja." ucap Nabila sambil mengusap dadanya.
"Kamu sudah tahu kan apa pekerjaan sekretaris di kantor ini?." tanya Edwin yang masih berdiri di depan Nabila.
"Be-belum pak."
"Belum?". tanya Edwin dengan nada yang tinggi.
"Ii-iya pak." jawab Nabila sambil terbata-bata.
"Lalu kamu di tanya soal apa dengan Hendrik saat interview? soal nomor wa dan ukuran dalaman?."
"Hah?." Nabila yang terkejut dengan ucapan Edwin.
"Shit.. lalu kamu bisanya apa? lalu buat apa ngelamar di kantor ini kalau kamu belum tahu apa pekerjaan sekretaris?."
"Saya tahu pekerjaan sekretaris itu menghandle pekerjaan dan jadwal direktur. Tapi saya baru pertama kerja di kantor ini pak, mana saya tahu kalau tidak di ajari terlebih dahulu, memang nya saya dukun yang semua harus tahu." jawab Nabila ketus karena geram dengan ucapan-ucapan Edwin.
Edwin yang mendengar ucapan Nabila seketika diam. Dia pun mulai berjalan mendekat ke arah Nabila, lalu berdiri di samping Nabila.
"Sini saya ajarin, tapi awas saja ya jika kamu tidak mengerti apa yang saya ajarkan, lebih baik kamu risen saja dari kantor ini. Karena kamu kan tahu sendiri kriteria seseorang yang bekerja di kantor ini, harus cerdas dan yang paling penting cekatan."
Edwin mulai membuka sebuah berkas lalu menyalakan komputer yang berada di depan Nabila. Saat Edwin berdiri di dekat Nabila, Edwin bisa mencium aroma parfum yang di kenakan Nabila beraroma Vanila. Itu adalah salah satu aroma parfum wanita kesukaannya.
Edwin mulai menjelaskan beberapa pekerjaan yang harus di lakukan Nabila selama menjadi sekretarisnya. Dari mulai mengatur jadwal Edwin dan mengelola beberapa dokumen sebelum dokumen tersebut tiba di tangan Edwin, dan merevisi beberapa dokumen yang harus di tanda tangani oleh direktur. Tidak hanya itu saja, Nabila juga harus bisa mengerjakan pekerjaan seorang direktur, jika direktur sedang ada kepentingan mendadak atau tidak bisa masuk kerja.
Saat Edwin menjelaskan apa saja pekerjaan Nabila, ia melihat bahwa Nabila mendengarkan semua penjelasan Edwin dengan sangat sungguh-sungguh. Edwin seketika menatap wanita di sampingnya yang sedang fokus menatap layar komputer. Wanita yang mempunyai wajah bersih, bulu mata lentik, alis yang tebal, dan hidung yang mancung. Edwin merasa bahwa Nabila sangat berbeda dengan sekretaris-sekretarisnya yang kemarin. Dia terlihat lebih sopan saat di dekat Edwin. Beda dengan mantan sekretarisnya justru malah memancing-mancing Edwin agar luluh terhadap mereka, bahkan ada juga yang menunjukan belahan dada mereka bahkan paha mereka. Seakan-akan untuk memancing Edwin agar menyentuh tubuhnya.
Edwin merasa tidak heran, jika para wanita melakukan itu semua, secara Edwin adalah seorang CEO apalagi memiliki wajah yang tampan rupawan, dan harta yang berlimpah. Banyak para wanita yang ingin berlomba-lomba mendapatkan dirinya. Namun sayang, dengan menunjukan belahan dada atau paha justru Edwin merasa terganggu dan tidak suka melihat wanita seperti itu. Ia merasa bahwa wanita seperti itu adalah wanita murahan dan tidak mempunyai nilai dan etika yang tinggi. Hanya bermodal tubuh seksi untuk memancing seorang pria namun otaknya kosong, tidak bisa apa-apa.
"Kalau di buku ini soal apa ya pak, lalu bagaimana mengerjakannya? saya masih tidak paham?." tanya Nabila saat membuka sebuah buku bisnis, namun tidak ada jawaban dari Edwin.
"Pak.." Nabila seketika menoleh ke arah Edwin, namun saat menoleh Edwin ternyata juga menatap ke arahnya, dan alhasil mata mereka saling beradu pandang.
Edwin yang mendapat tatapan dari Nabila seketika mengalihkan pandangannya, dan sedikit menjauhkan tubuhnya dari Nabila. "Baca sendiri, di situ sudah ada penjelasannya. Budayakan membaca, jangan apa-apa tanya! emang saya guru!." Edwin yang kembali berjalan ke arah kursi kebesarannya.
Nabila yang mendengar ucapan Edwin hanya diam dengan bibir yang manyun.
"Paham tidak ucapan saya? di sini yang di perlukan itu kecerdasan, skill, dan cekatan.. bukan orang lemot!." ucap Edwin dengan ketus tanpa manatap ke arah Nabila.
"Iya pak.. paham." jawab Nabila.
Setelah beberapa jam kini Nabila sudah mulai menguasai beberapa hal yang harus dia kerjakan. Begitu pun Edwin, ia masih fokus menatap ke arah layar komputer, dengan membaca beberapa berkas yang harus ia tandatangani.
"Eh kamu, sini.." panggil Edwin namun Nabila tidak menoleh ke arahnya.
"Hai! apa kamu tidak mendengar saya!." panggil Edwin dengan nada suara yang tinggi menatap ke arah Nabila.
"Iya pak? apa bapak memanggil saya?." Nabila yang seketika beranjak berdiri dari tempat duduknya.
"Tidak.. saya memanggil almari di sebelah mu, ya kamu lah siapa lagi? memang di sini ada orang lain, selain kamu?."
"Habisnya bapak tidak memanggil nama saya, saya kan punya nama pak." Nabila yang berjalan ke arah meja direktur.
"Nama mu tidak penting bagi saya, nih dokumen." Edwin yang seketika melempar satu dokumen di depan Nabila. "Antar dokumen itu ke pak Bagas yang berada di ruang HRD." perintah Edwin.
"Memang ruangan HRD di mana pak?." tanya Nabila.
"Kamu punya mata dan mulut kan? kamu bisa mencari nya, dan jika tidak ketemu juga kamu bisa tanya sama karyawan yang kerja di kantor ini, jangan apa-apa tanya saya!." celetuk Edwin.
"Baik pak." Nabila seketika berjalan untuk keluar dari dalam ruangan, namun baru saja tiba di ambang pintu ia lagi-lagi di panggil oleh Edwin.
"Eh kamu, siapa namamu, oh ya Nabila." panggil Edwin.
Nabila yang kembali di panggil oleh Edwin seketika menoleh. "Ada apa lagi pak?." tanya Nabila dengan raut wajah yang tampak kesal.
"Kenapa wajah mu seperti itu? kamu tidak suka saya suruh-suruh? kalau tidak suka dengan pekerjaan ini, kamu bisa pulang sekarang, masih banyak yang ingin bekerja di kantor ini."
"Tidak pak, saya sangat menyukai pekerjaan ini.." Nabila seketika tersenyum terpaksa ke arah Edwin.
"Bagus kalau begitu.. nanti balik ke sini bawa kopi susu sekalian. Jangan manis-manis, dan jangan terlalu pahit. Gulanya satu sendok saja, susunya di banyakin, gulanya yang di kurangin. Awas saja nanti jika kemanisan atau tidak manis kamu aku suruh buat ulang." perintah Edwin.
"Baik pak.. laksanakan." Nabila kembali membalikkan tubuhnya untuk keluar dari ruangan.
"Oh ya, satu lagi.." teriak Edwin seketika membaut Nabila kembali memberhentikan langkahnya. "Hih.. andai saja tu orang bukan direktur di kantor ini, udah aku bejek-bejek deh mukanya." ucap Nabila di dalam hati karena kesal.
"Iya pak.." Nabila yang kembali membalikkan tubuhnya dan tersenyum ke arah Edwin.
"Jangan lama-lama." ucap Edwin sambil tersenyum sinis.
"Baik pak." Nabila sedikit menunduk lalu berjalan cepat keluar dari dalam ruang direktur.
Edwin yang melihat Nabila sudah keluar dari ruangan seketika tersenyum getir. "Akan ku buat kamu tidak betah bekerja dengan ku, dan memilih keluar dari kantor ini."
"Ih nyebelin sekali sih tuh orang, mentang-mentang seorang direktur seenak jidat nya sendiri. Gak jadi deh aku muji dia tampan. Tampan tapi kaya es batu dingin dan keras, bahkan jutek." ucap Nabila yang merasa kesal. "Padahal belum ada satu hari loh aku jadi sekretarisnya, tapi udah makan hati."
Kini Nabila terus berjalan untuk menuju ke lantai tiga tempat di mana ruang HRD berada untuk memberikan semua dokumen dari Edwin. Lalu kembali turun ke lantai satu untuk menuju ke tempat dapur khusus membuat kopi atau mengambil beberapa cemilan yang sudah di sediakan oleh perusahaan.
Setibanya di lantai satu, Nabila segera membuatkan kopi susu sesuai pesanan atasannya. "Gila.. mau buat kopi aja harus turun ke lantai satu, padahal ruang direktur ada di lantai dua belas."gerutu Nabila.
"Lah siang-siang ngopi mbak?." tanya seorang karyawan laki-laki bernama Alex.
Nabila seketika menoleh ke arah sumber suara yang ada di belakangnya. "Ah tidak mas, ini milik pak Edwin." jawab Nabila sambil tersenyum ramah.
"Oh mbak nya ini sekretaris barunya pak Edwin ya?."
"Iya mas, baru berangkat hari ini."
"Hati-hati dan banyak sabar mbak kalau jadi sekretarisnya pak Edwin, karena dia itu terkenal CEO galak dan arogan." ucap Alex yang kini sudah berdiri di samping Nabila.
Nabila yang mendengar ucapan Alex merasa setuju, selain bosnya itu galak dan cuek, Edwin juga terlihat egois.
"Memang ada apa dengan pak Edwin, mas?." Nabila yang ingin tahu lebih jauh tentang Edwin, agar dia bisa berjaga-jaga jika ada kekerasan antara atasan dan bawahan. "Memang dia suka memukul?."
"Kalau mukul sih kayaknya engga mbak.. tapi saya juga kurang tahu sih, secara saya bukan sekretarisnya. Tapi asal mbak tahu ya, baru kemarin loh pak Edwin itu dapet sekretaris baru. Tapi baru berangkat dua hari langsung di pecat. Entah salahnya apa saya kurang tahu. Pak Edwin juga sering gonta-ganti sekretaris bahkan satu bulan bisa ganti empat kali."
"Empat kali?." Nabila yang terkejut saat mendengar ucapan Alex.
"Iya mbak.. banyak yang menjadi sekretaris pak Edwin tapi banyak yang ngga betah, dan mengundurkan diri, karena tidak kuat dengan tekanan pak Edwin. Mereka banyak yang menyerah menjadi sekretaris pak Edwin. Yang lama hingga bertahun-tahun ya hanya pak Hendrik saja yang sekarang menjabat sebagai manajer di kantor ini."
"Pak Hendrik dulu juga sekretarisnya pak Edwin?."
"Iya.. dan pak Hendrik lah yang bisa bertahan hingga bertahun-tahun. Namun tuan Remon selaku pemilik perusahaan ini yaitu ayah dari pak Edwin memberikan jabatan baru kepada pak Hendrik sebagai manajer, dan setelah itu pak Edwin selalu bergonta-ganti sekretaris karena tidak cocok mungkin." Alex yang bercerita panjang kali lebar kepada Nabila.
"Oh ternyata begitu ya.." Nabila seketika mengangguk kan kepalanya.
"Bahkan pak Edwin itu di isukan tidak tertarik dengan perempuan mbak."
"Hah..." Nabila yang lebih terkejut. "Maksud mas, pisang makan pisang gitu?."
"Katanya sih mbak.. soalnya pak Edwin tidak pernah mempunyai sekretaris perempuan dari dulu. Terakhir punya sekretaris perempuan kemarin namun udah di pecat, bahkan kabar-kabarnya pak Edwin belum pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun."
Nabila yang mendengar ucapan Alex seketika terdiam, ia merasa tidak percaya jika Edwin menyukai sesama jenis. Karena tubuh Edwin yang gagah, wajah yang maco dan maskulin sangat tidak cocok untuk menyukai sesama jenis.
"Ya sudah mbak, saya duluan ya, mbaknya semangat." ucap Alex lalu berlalu pergi dan Nabila hanya membalas dengan senyuman.
"Masa iya sih laki-laki setampan pak Edwin suka sesama jenis? kayanya kok ngga mungkin ya..Tapi entahlah."
Saat Nabila masih mengaduk kopi susu di atas meja, tiba-tiba ponselnya berdering di saku rok span nya. Nabila seketika segera meraih ponselnya dan segera mengangkat nya.
"Nomor siapa ini?." ucap Nabila yang melihat nomor tak di kenal, lalu mencoba untuk mengangkatnya.
"Halo."
"Lama sekali cuman buat kopi! ini sudah jam berapa? hampir istirahat kamu juga belum kembali! ngapain aja di sana!." teriak Edwin dari sambungan telefon.
Nabila yang mendengar teriakan Edwin seketika menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Maaf pak.. tadi bingung cari di mana letak dapur kantor dan HRD, tapi ini sudah mau ke atas lagi."
"Cepat! jika kamu tidak sampai dalam waktu lima menit, saya gantung kamu di pohon salak."
"Iya pak.." Nabila seketika mematikan sambungan telfon begitu saja.
"Aduh.. aku kira nomor siapa? ternyata nomor pak Edwin." Nabila yang sudah membawa secangkir kopi menuju ke lantai dua belas.
"Ting.." lift yang sudah terbuka tepat di lantai dua belas. Kini Nabila terus berlari namun dengan hati-hati agar kopi tidak tumpah.
Dengan nafas ngos-ngosan Nabila masuk ke dalam ruang direktur.
"Ini pak kopinya, silahkan di minum." Nabila yang sudah meletakkan satu cangkir kopi di depan Edwin.
"Lama sekali sih, ngapain aja di sana? tidur?." Edwin yang menatap Nabila secara tajam.
"Maaf pak, tadi nyari ruang HRD juga lama."
"Di suruh buat kopi aja lima tahun sendiri, ini kamu kasih sianida tidak? nanti saya kamu racuni lagi."
"Astagfirullah pak, jangan prasangka buruk, itu tidak baik, lagi pula saya juga tidak punya sianida, tadi belum sempat beli."
"Apa? kamu bicara apa? coba ulangi lagi."
Nabila seketika mengulum senyum. "Ah tidak pak.. tidak.. saya tidak bicara apa-apa."
Edwin seketika meraih secangkir kopi tersebut untuk menikmatinya. Namun tiba-tiba.
"Burrrr.." Edwin seketika menyemburkan kopi begitu saja hingga mengenai Nabila.
"Kamu gila ya.. kamu mau bikin saya mati!." pekik Edwin yang semakin marah kepada Nabila.
"Kenapa pak? apa kopinya tidak enak?."
"Nih rasain kopi buatan kamu." Edwin yang menyodorkan kopi ke arah Nabila. "Tuh kopi apa obat? pait bener, kamu bisa ngga sih buat kopi sebenarnya? buat kopi aja ngga becus, apa lagi jadi sekretaris saya!."
Nabila yang mendengar ucapan Edwin seketika teringat bahwa dia lupa memasukan susu dan juga gula ke dalam kopi karena terlalu sibuk mengobrol dengan Alex.
"Maaf pak, tadi saya lupa memberikan susu dan juga gula, karena terburu-buru."
"Ganti! dan buat yang baru." perintah Edwin lagi.
"Hah.. Jadi saya harus kembali lagi ke lantai satu pak?."
"Menurut kamu? salah siapa buat kopi saja tidak becus. Kan saya tadi sudah bilang, jika tidak sesuai keinginan saya, saya tidak mau."
Nabila seketika menghembuskan nafasnya dengan pasrah.
"Kenapa? kamu tidak mau? kalau tidak mau, pintu masih terbuka lebar untuk kamu pulang."
"Hehe tidak pak.. saya akan buatkan bapak kopi yang baru, permisi pak." Nabila yang sudah meraih cangkir kopi di atas meja, lalu berjalan pergi keluar dari ruangan direktur.
"Hahaha.. emang enak.. Aku kerjain, lagian siapa suruh mau jadi sekretarisku. Lihat saja berapa lama kamu akan kuat menjadi sekretaris ku." Edwin yang tertawa puas melihat Nabila tersiksa.
Dengan langkah lelah dan wajah yang kesal Nabila kembali masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai satu. "Sebenarnya aku di sini itu bekerja sebagai sekretaris atau budak sih? gini amat kerjanya, suruh buat kopi segala." Nabila yang kembali menggerutu karena Edwin.
Hendrik yang melihat Nabila dari arah ruangannya, seketika menjadi merasa kasihan. "Hah.. bagaimana sekretaris bisa betah sama tu anak. Sekretaris hanya di suruh ini itu, Edwin memang benar-benar kelewatan." Hendrik yang sudah beranjak berdiri untuk masuk ke dalam ruang direktur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!