Gema suara adzan Dzuhur terdengar di seluruh penjuru masjid yang ada di seluruh kota.
Panas terik di siang hari, angin berhembus dengan sangat kencang, langit biru yang terbentang luas, juga gumpalan awan putih yang ikut menghiasai indahnya langit saat itu.
Sebuah masjid yang ada di sekolah madrasah Aliyah islamic school, di padati oleh para siswa-siswi nya yang akan menunaikan sholat Dzuhur berjamaah.
Sekolah Islam terpadu yang juga memiliki banyak santri seperti halnya sebuah pesantren modern.
Sekolah yang mengandung banyak unsur islami ini bukan hanya di huni oleh para siswa-siswi yang berasal dari keluarga biasa, atau awam.
Namun ada beberapa dari mereka yang berasal dari keluarga yang alim ulama, atau para kyai yang juga memiliki pesantren yang sama hal nya dengan sekolah tersebut.
Salah satu siswi yang paling menonjol di antara semua kelas dengan banyaknya prestasi yang di capai selama masa belajar nya adalah, Raniya Arifah.
Seorang gadis yang terlahir dari keluarga yang faham akan agama, yang berstatus kyai bahkan ulama. Di didik dengan tauhid yang kuat, di besar kan dalam keluarga dan kalangan santri yang wara'.
Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, wajah indah nan teduh di pandang oleh mata.
Selalu menjadi panutan terbaik dalam keluarga dan teman teman nya.
Arifah bukan hanya cerdas dalam bidang formal saja, ia juga menonjol ketika mengikuti pelajaran di pesantren di sela waktu luangnya.
Bahkan, Arifah juga memiliki hafalan Al Quran seperti santri pada umumnya. Dengan waktu yang terbatas akan kegiatan di sekolah, Arifah selalu di bimbing oleh kedua orang tuanya untuk menyempatkan waktu dalam menghafal Alquran.
Bukan hal yang mudah bagi Arifah untuk memposisikan dirinya di sekolah juga di pesantren milik keluarga nya, apalagi dengan keadaan pergaulan remaja sekarang yang penuh dengan rintangan dan lika liku dalam mempertahan kan diri mereka untuk tetap menjadi yang lebih baik.
Siang itu, Rifa bersama dengan satu orang teman nya masih berada di dalam ruang komputer dengan kesibukan mereka yang sama.
Tugas dari guru yang belum mereka selesaikan hingga adzan Dzuhur berkumandang dan semua orang telah pergi lebih dulu menuju masjid meninggalkan mereka berdua.
"Arin. Sholat dulu yuk."
Rifa beranjak dari tempat nya lalu menghampiri teman perempuan nya yang bernama Arin itu di tempat nya.
"Ntar dulu deh Rif. Tugas gue belum selesai semua."
Rifa hanya menghela nafasnya.
Ia berjalan menghampiri Arin yang masih menetap di tempatnya.
"Masih banyak lagi ya."
"Iya nih, pusing kepala gue udahan. Coba deh lo lihat dulu."
Rifa melihat isi komputer Arin dan sejenak menggantikan posisi dirinya di tempat.
"Ya ampun rin, ini namanya belum masih permulaan."
"Gimana kalau nanti aja di lanjutin lagi. Kita sholat Dzuhur dulu."
"Ntar malam kan harus udah di kumpulin Rif. Kalau nggak di selesaikan sekarang takutnya ntar gue lupa."
"Bantuin gue dong Rif. Punya lo kan udah selesai dari tadi. Biar kita cepat sholat ke masjid."
Rifa sejenak berpikir dalam diamnya. Ini bukan yang pertama kali nya Arin meminta Rifa untuk membantunya menyelesaikan tugas yang di berikan oleh guru mereka.
Di waktu yang berbeda, Rifa juga pernah melakukan nya. Namun Arin tidak membantunya dan hanya sibuk dengan ponselnya tanpa sedikitpun membantu dirinya.
"Tapi kamu tunggu di sini juga ya."
Arin mengacungkan ibu jarinya dan di selingi dengan senyuman manis di wajahnya.
Rifa duduk di bangku Arin dan mulai bekerja dengan komputernya.
"Rifa. Gue ke kamar mandi dulu ya sebentar. Ntar gue balik lagi deh."
Arin memberi alasannya kepada Rifa yang masih sibuk dengan layar komputer.
Rifa hanya mengangguk kan kepalanya dan sedikit tersenyum ke arahnya.
Rifa masih terus bekerja dengan komputer nya, dan tanpa sepengetahuannya saat itu Arin keluar ruangan dengan membawa tas ransel yang merupakan tas miliknya.
Tidak salah lagi, pasti Arin memanfaatkan dirinya dan meninggalkan nya begitu saja dengan tugas yang baru saja di mulai.
Rifa menghela nafas nya setelah menyelesaikan tugas Arin di komputer.
Sejenak ia melihat jam tangan nya.
Sudah jam dua siang, setengah jam lebih ia mengerjakan tugas itu seorang diri di ruangan yang sunyi.
Rifa teringat sesuatu, saat itu dirinya belum menunaikan sholat Dzuhur.
"Astaghfirullah haladzim, sudah jam dua, aku kan belum sholat Dzuhur."
"Arin...Arin.."
Rifa terus memanggil Arin yang tadi katanya pergi ke kamar mandi.
"Arin kemana ya?"
Rifa bertanya pada dirinya sendiri.
Rifa juga baru ingat akan satu hal lagi. Jam segini kan sekolah sudah hampir di tutup, dia belum mengemas barang belajar nya yang ada di kelas.
"Loh, Rifa. Kamu ngapain disini?"
Salah satu siswi yang juga satu kelas dengan nya terkejut ketika mendapati Rifa yang masih berada di ruang komputer seorang diri.
"Sarah, kamu lihat Arin nggak?"
"Arin?"
Sarah menatap heran wajah Rifa saat itu.
"Bukannya Arin udah dari tadi pulang?"
Kedua mata Rifa terbelalak ketika mendengar jawaban dari Sarah saat itu.
"Apa! Udah pulang dari tadi? Bukan nya tadi Arin pergi ke kamar mandi?"
"Ya ampun Rifa. Aku yang tadi lihat sendiri kalau Arin udah pulang bareng sama teman teman nya. Lagian kamu ngapain di sini. Sebentar lagi sekolah di tutup loh."
Rifa hanya diam di tempat nya dengan wajahnya yang berpaling dari Sarah.
"Kamu pasti di kerjain lagi ya sama Arin."
Sarah langsung berucap begitu saja.
Rifa tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya menghela nafasnya dan diam dengan wajahnya yang lesu.
"Yaudah, kita keluar sekarang. Sebentar lagi satpam datang dan mengunci ruangan ini."
Sarah tau akan keadaan Rifa saat ini. Ia hanya mengajak nya keluar dan tidak berkata apapun lagi.
Mereka berjalan beriringan keluar dari gerbang sekolah dengan keadaan yang sama sama diam tanpa perbincangan apapun.
"Rif."
"Tungguin aku sebentar ya rah, aku mau sholat dulu."
Saat itu Sarah yang akan berbicara padanya hanya mengangguk kan kepalanya menyahuti perkataan Rifa.
Rifa beranjak menuju masjid yang saat itu berada di sebelah mereka dengan langkahnya yang cepat.
Sarah duduk di pelataran masjid sembari menunggu Rifa yang sedang sholat Dzuhur.
Rifa bukan hanya di kenal dengan kecerdasannya, namun juga hati dan prilakunya yang begitu baik kepada semua teman temannya, termasuk Arin.
Salah satu teman kecil yang begitu akrab dengan dirinya. Namun sayang nya, apa yang Rifa lakukan padanya, tidak di lakukan oleh Arin seperti seorang teman.
Sarah menunggu Rifa sembari memotret keindahan langit biru saat itu dengan ponselnya yang memang itu adalah kesukaan nya.
Setelah selesai dengan sholat nya, Rifa kembali memakai sepatu nya lalu datang menghampiri Sarah yang ada di halaman masjid.
"Lagi fotoin apa rah?"
Sarah sedikit tertegun ketika mendengar suara Rifa yang begitu dekat.
"Eh... Kamu udah selesai sholat."
Rifa menganggukkan kepalanya.
"Aku lagi fotoin langit ciptaan Allah yang begitu indah."
Sahut Sarah dengan masih menatap ponsel yang ada di tangan nya.
Sarah kembali menatap wajah Rifa yang begitu teduh dengan senyuman manis di wajahnya.
"Kenapa rah?"
Tanya Rifa yang sedikit bingung dengan tatapan Sarah.
Sarah hanya menggelengkan kepala nya dengan di iringi senyuman nya.
Mereka pun kembali berjalan keluar dan meninggalkan masjid saat itu.
"Rif. Aku boleh nggak kasih saran sama kamu."
Sarah bertanya di sela perjalanan mereka keluar dari halaman masjid.
"Em..boleh. Saran apa rah."
Rifa selalu terlihat ceria meski dalam keadaan apapun.
Sarah sangat tau perasaan nya saat ini. Rifa pasti merasakan sakit di hati dan perasaan nya karena Arin yang berkali kali memanfaatkan dirinya untuk kepentingan pribadi nya sendiri.
"Em..kayak nya mulai detik ini kamu harus jauhi Arin deh Rif."
Rifa menatap Sarah tanpa berkata apa-apa.
"Kenapa rah?"
Sarah sejenak menghela nafas nya dengan perlahan.
"Rif. Aku tuh kasihan sama kamu, lihat kamu yang selalu di manfaatin sama teman kamu sendiri. Arin itu bukan teman yang baik Rifa. Dia hanya ingin memanfaatkan kamu untuk kepentingan pribadi nya sendiri."
Rifa menundukkan wajahnya dan sejenak menghela nafasnya.
"Tapi Arin itu teman masa kecil aku rah. Dia sudah banyak berjasa dalam diriku. Aku nggak bisa jauhi dia gitu aja."
"Memangnya sudah sejauh mana sih pertemanan kalian Rif?"
Rifa diam dan belum memberikan jawaban nya.
"Tapi kamu juga nggak bisa diam aja kayak gini Rifa. Kamu harus bisa bedakan mana orang yang berteman tulus sama kamu dan mana teman yang hanya memanfaatkan teman nya untuk kepentingan dirinya sendiri."
Rifa masih diam dengan pikiran nya sendiri.
"Sebelum nya aku berterima kasih sama kamu untuk saran nya rah. Tapi aku juga belum bisa untuk melakukan saran yang kamu berikan. Aku tetap nggak bisa jauhi Arin gitu aja."
Sarah hanya menghela nafas kesalnya, karena Rifa yang tetap kekeh dengan pilihan nya.
"Yaudah deh Rif. Terserah kamu aja. Aku cuma bisa kasih saran untuk kebaikan diri kamu sendiri, sebelum kamu nyesel nantinya."
"Tapi semoga aja, Arin benar benar tulus berteman sama kamu."
Rifa tersenyum dengan melebarkan kedua bibir nya.
Sudah lama Sarah ingin mengatakan hal demikian pada nya. Karena rasa iba nya kepada Rifa yang terus di manfaatkan oleh Arin dan beberapa teman teman nya yang lain.
Rifa adalah gadis yang sangat polos dengan sikapnya. Rasa sayang nya kepada Arin sejak kecil sudah menjadi kan mereka seperti saudara kandung kakak beradik.
Tapi lagi lagi, Arin tidak pernah terlihat melakukan hal yang sama dengan yang telah Rifa lakukan padanya.
...****************...
Sebuah pesantren modern yang berdiri tegak di pinggir jalan raya kota Malang Jawa Timur.
Berisikan ratusan santri yang berasal dari berbagai penjuru daerah Indonesia. Datang berbondong bondong untuk menimba ilmu agama yang paling penting dan paling utama ketika hidup di dunia.
Rifa pulang dengan menumpangi kendaraan umum berupa minibus kota.
Ia membuka pintu gerbang pesantren dan di sambut ramah oleh satpam yang berjaga di situ.
"Assalamualaikum neng Rifa. Selamat siang."
"Waalaikumussalam pak Bejo, selamat siang kembali."
Jawab Rifa dengan begitu ramahnya.
Walaupun terlahir dari kalangan keluarga yang berada, Rifa tetap membiasakan dirinya untuk selalu hidup mandiri tanpa bergantung kepada orang lain.
Selama memilih sekolah di luar pesantren nya, Rifa tidak pernah sekalipun merasakan yang namanya di antar jemput dengan menggunakan kendaraan pribadi milik orang tuanya.
Seragam putih abu abu dengan baju kurungnya yang khas, jilbab putih yang juga berukuran besar.
"Assalamualaikum neng Rifa."
"Waalaikumussalam."
Begitulah para santri jika berpapasan dengan Rifa saat berjalan di kawasan pesantren.
Wajah nya yang selalu menguraikan senyuman manis ramahnya, mengundang kebahagiaan dan keteduhan ketika memandang wajah nya.
"Assalamualaikum."
Rifa masuk kedalam rumah kakek nenek nya, atau yang lebih akrab ia panggil dengan sebutan Mbah untuk keduanya.
Itu adalah salah satu kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika pulang dari sekolah, sembari menunggu Abi dan umi nya selesai mengajar di kelas mereka masing masing.
"Waalaikumussalam, nduk."
Rifa menyalami tangan keduanya yang saat itu sedang duduk di ruang tamu dan membicarakan sesuatu.
Kyai Agung Hasan Basri dan bu nyai Halimah Farida. Selaku pemilik pesantren itu dan sekaligus dua sosok yang begitu di hormati dan di segani di kalangan nya.
Rifa duduk di sofa yang berdekatan dengan mereka.
"Kenapa pulangnya lama nduk? Apa banyak tugas di sekolah?"
Bu nyai membuka pembicaraan di antara mereka dengan bertanya lebih dulu kepada Rifa.
Rifa sejenak terdiam dengan senyumannya yang begitu lebar menatap Bu nyai.
"Injih Mbah, banyak tugas yang harus di selesaikan di sekolah."
"Oh... Begitulah kalau jadi orang pintar dan menonjol di sekolah, pasti akan ada tugas khusus dari guru."
Rifa kembali tersenyum dengan apa yang di katakan oleh Bu nyai saat itu.
Padahal pada kenyataannya, Rifa baru saja menyelesaikan tugas teman nya dan di tinggal begitu saja hingga ia terlambat menunaikan sholat Dzuhur nya.
"Gimana belajar mu di sekolah nduk. Ada kendala apa hari ini?"
Sekarang giliran kyai Agung yang melontarkan pertanyaan nya pada Rifa, cucu kesayangan mereka.
"Alhamdulillah, Mbah. Semua aman tanpa kendala apapun."
Dengan penuh keyakinan Rifa menjawab pertanyaan dari kyai Agung.
"Em..Rifa ke belakang dulu ya Mbah."
Mereka berdua saling menganggukkan kepalanya menyahuti Rifa.
Satu lagi yang menjadi kebiasaan Rifa saat pulang dari sekolah nya.
Ia selalu beranjak ke dapur untuk menyuguhkan minuman atau jus jeruk hangat kesukaan mereka berdua.
Dan hal itu hanya bisa di lakukan oleh Rifa saja, tanpa campur tangan dari orang lain.
"Mbah dua gelas ya nduk, nggak usah terlalu manis."
Kata kyai Agung ketika Rifa berjalan menuju dapur rumah nya.
"Injih Mbah yai."
"Abah."
Kyai Agung mendapat cubitan dari Bu nyai sebagai kode yang duduk di sebelah nya.
"Sekali aja umah. Ya toh nduk."
Rifa hanya tersenyum menatap keduanya dari kejauhan.
Ia pun kembali berjalan dan membuat kan minuman khas untuk kedua orang tersayang nya.
Saat Rifa masih berada di dapur membuat kan minuman khas nya, ustadz Hasan Abdullah yang tak lain adalah ayah kandung dari Rifa, atau putra pertama kyai Agung dan bu nyai Halimah datang menemui kedua orang tuanya di rumah mereka.
"San, anak perempuan mu itu sudah mulai beranjak dewasa. Usia nya sudah menginjak 17 tahun, usia yang masih sangat rentan dengan hal yang berbau sensitif. Kamu harus tetap awasi setiap pergaulan nya, apalagi dengan diri nya yang sekolah di luar dan jauh dari pengawasan kita semua."
Nasihat kyai Agung kepada ustadz Hasan yang selalu mengingatkan beliau untuk tetap mengawasi Rifa yang jauh dari pandangan mereka.
"Injih Abah, insya Allah selama ini Rifa baik baik saja. Rifa masih seperti Rifa yang kita kenal dulu dengan sikapnya yang penuh santun."
Sahut Abi dengan suara nya yang terdengar lembut.
"Terkadang, apa yang terlihat oleh mata itu belum tentu kebenarannya. Apa yang kita perkirakan belum tentu juga sama dengan kenyataan nya. Abah hanya sekedar mengingatkan saja. Jangan sampai apa yang kita lihat sama remaja sekarang juga terjadi dengan putri kita."
"Injih Abah, insyaallah. Sebagai orang tua, Hasan akan memberikan yang terbaik untuk putra putri Hasan semuanya."
Sahut Abi Hasan dengan suara nya yang masih terdengar begitu lembut.
"Oh iya, mumpung kamu ada di sini San. Umah ingin menyampaikan sama semuanya, kalau dalam waktu dekat ini, insyaallah keluarga kyai Luthfi akan datang silaturahmi ke rumah untuk membincangkan perjodohan Rifa dengan Gus Akhyar."
Rifa yang samar samar mendengar nya dari dapur tanpa sengaja menjatuhkan salah satu gelas yang sedang ia bawa di tangan nya.
"Astaghfirullah haladzim."
Ucap Rifa sembari berjongkok dan mengumpulkan pecahan gelasnya yang berhamburan di lantai dapur.
"Ada apa itu nduk? Rifa."
Suara bu nyai memanggil namanya ketika mendengar suara gelas yang pecah dari dapur.
"Tidak Mbah. Tidak ada apa apa."
Sahut Rifa dengan masih berada di posisi nya.
"Gus Akhyar?"
Rifa sejenak bergumam dalam hatinya.
"Memang nya Gus Akhyar sudah menyelesaikan pendidikan nya di Madinah mah?"
"Sudah masuk semester akhir. Perkiraan satu bulan lagi selesai dan akan langsung datang ke sini."
"Tapikan Rifa belum tamat Aliyah nya mah, dia juga masih akan kuliah lagi. Apa itu waktu nya tidak terlalu cepat jika membahas tentang perjodohan mereka."
"Kalau masalah kuliah itu kan gampang San. Yang penting kita bahas dulu tentang perjodohan ini, selebihnya ya kita kembalikan lagi kepada Allah SWT."
Abi Hasan hanya mengangguk kan kepalanya menyahuti perkataan ibunya tanpa sedikitpun menyekanya.
Rifa segera menyelesaikan pekerjaan nya, dan kembali di tengah tengah mereka dengan membawakan minuman khas yang ia buat untuk kedua orang tersayang nya.
"Gus Akhyar itu adalah pemuda yang baik, sholeh, mapan, berwawasan, dan tampan. Cocok sekali jika di jodohkan sama Rifa."
"Ya toh nduk."
Kata Bu nyai kepada semua orang yang ada di tempat itu, termasuk Rifa sendiri.
Rifa hanya menguraikan senyuman nya kepada semua orang yang menatap nya terutama Bu nyai sendiri.
Sejenak ia kembali mengingat siapa seorang pemuda yang di maksud oleh Bu nyai barusan.
Seorang Gus, sudah pasti adalah panggilan untuk seorang putra kyai atau pun keturunan nya. Rifa dulu pernah mengenalnya ketika usianya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Mereka adalah teman masa kecil yang sudah di jodohkan sejak saat itu. Rifa yang ceria dan Gus Akhyar yang ramah adalah pasangan serasi jika di satukan dalam bingkai keluarga.
Senyuman ceria yang terukir di raut wajahnya seakan menandakan kesetujuannya jika di jodohkan dengan Gus Akhyar Luthfi oleh keluarga mereka.
"Setuju toh nduk, kalau dirimu di jodohkan sama Gus Akhyar?"
"Terserah Mbah saja, mana yang terbaik untuk Rifa. Tapi untuk saat ini dan seterusnya, Rifa masih mau fokus belajar tanpa sedikitpun memikirkan tentang perjodohan."
Jawab Rifa kepada Bu nyai.
Kedua mata Bu nyai terbuka lebar ke arah Rifa setelah mendengar jawaban yang keluar dari lisannya.
"Loh piye toh maksud mu nduk?"
"Itu tandanya Rifa belum mau menikah, dia tidak ingin membahas tentang perjodohan. Dia masih mau fokus dengan belajar nya dan tidak ingin di ganggu sama sekali."
Sahut kyai Agung.
"Lah jangan ngebut banget untuk menjodoh jodohkan cucu nya yang masih ingin fokus dengan cita cita nya."
"Bukan ngebut, tapi hanya merencanakan. Karena keduanya sama sama cocok."
"Cocok di mata kita kan belum tentu cocok di mata Allah mah."
Abi Hasan ikut angkat bicara.
Senyuman Rifa yang di tujukan kepada ayahnya seakan penanda bahwa ia setuju dengan apa yang di katakan oleh nya.
...****************...
Semilir angin malam menenangkan jiwa, bertabur bintang nan indah dengan rembulan yang terang menambah kesejukan mata di malam itu.
Rifa duduk seorang diri di teras rumahnya dengan membaca buku pelajaran pada akan menjadi materinya pada esok hari.
Rasa haus akan ilmu, mengundang semangat Rifa untuk terus belajar dan belajar tanpa sedikitpun memikirkan sesuatu yang sudah pasti akan ia dapatkan suatu hari nanti.
Soal perjodohan yang jauh waktu telah di rencanakan oleh pihak keluarga nya, sama sekali tidak di ambil pikir olehnya. Apalagi ketika Rifa melihat sikap Abi yang seperti nya tidak terlalu mendukung perjodohan itu.
"Abi itu kurang setuju kalau Rifa di jodohkan sama Gus Akhyar anaknya kyai Luthfi."
Makan malam bersama dengan umi saat itu, Abi seakan mengeluarkan pendapat nya sendiri kepada istrinya, atau umi Fauziah.
"Jadi mau Gus Akhyar yang mana toh bi?"
Umi seakan menggoda Abi dengan selorohnya.
Abi menghela nafas nya mendengar jawaban umi.
"Umi ini. Abi serius lah mi."
Umi hanya tersenyum sembari menuangkan air minum di gelas Abi.
"Iya Abi, umi paham."
Sahut umi dengan senyuman sembari menatap wajah Abi.
"Memangnya kenapa Abi kurang setuju dengan perjodohan Rifa dan Gus Akhyar. Gus Akhyar itu kan berasal dari keluarga yang baik baik dan setara dengan kita. Gus Akhyar nya juga pemuda yang Sholeh. Cocok dengan Rifa."
Abi sejenak meneguk air putih yang ada di gelas nya.
"Abi juga tau kalau Gus Akhyar itu berasal dari keluarga yang baik baik dan pemuda yang sholeh, nasab nya juga sama seperti Rifa, yang sama sama keturunan kyai."
"Lantas apa yang membuat Abi tidak setuju dengan perjodohan mereka?"
Abi sejenak menghela nafasnya dengan perlahan.
Dari luar, Rifa sedikit mengintip kegiatan kedua orang tuanya di meja makan. Samar samar ia mendengar apa yang sedang menerka bicarakan di sana.
"Kalau Abi punya pemikiran yang berbeda dengan Abah dan umah. Jika mereka terus menjodohkan keturunan mereka dengan yang bernasab sama seperti mereka, maka itu sama saja dengan kita yang memelihara ikan yang bermutu dalam satu kolam tanpa ingin mengembang biakkan nya ke kolam yang lain. Sedangkan kolam yang lain juga membutuhkan ikan ikan yang bagus dan bermutu seperti kolam yang kita miliki."
"Maksud Abi keturunan kita hanya akan berkembang di dalam lingkungan kita saja, begitu?"
"Ya seperti itu lah mi. Memang benar jika seorang wanita yang baik hanya di peruntukan kepada laki laki yang baik, dan begitu pula sebaliknya. Tapi baik buruknya seseorang itu kan bukan hanya di lihat dari prilakunya saja, ada banyak versi yang bisa di nilai dari seseorang itu sendiri. Dan baik buruknya seseorang bukan menonjol dari mana dia bernasab, tidak bisa di patokan hanya dengan melihat tutur keluarga nya yang di kenal sangat baik."
"Abi itu kepinginnya suatu saat nanti yang menjadi menantu kita bukan berasal dari keluarga yang sama dengan keluarga kita. Bahkan Abi menginginkan mereka yang berasal dari keluarga yang biasa biasa saja."
"Karena biar bagaimanapun, jaran Islam itu kan harus di kembangkan, jika hanya di kembangkan pada kubu yang sama, maka agama kita akan semakin asing di kalangan luar. Terutama masyarakat awam."
"Setidaknya, dari pernikahan itu bisa menjadi asbab hidayah kepada keluarga yang akan menjadi bagian dari keluarga kita nanti."
Abi berkata dengan panjang lebar, umi hanya sebagai pendengar dan belum berkomentar apa apa."
"Kenapa Abi bisa punya pemikiran seperti itu bi? Tapi, apa yang Abi katakan juga benar, umi setengah setuju dengan apa yang Abi katakan tadi."
"Lah kenapa cuma setengah sih mi?"
"Yah kan belum ada buktinya bi."
Kata umi yang di iringi dengan senyuman di wajahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!