NovelToon NovelToon

Assalamualaikum Jodoh

Drakor Lovers

Ayuna Maulida. Seorang gadis berhijab yang lebih akrab dipanggil Yuna. Ia dijuluki sebagai drakor lovers, karena hobinya yang suka menonton drama Korea. Meskipun begitu, ia adalah sosok gadis yang senantiasa menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslimah. Karena menjadi drakor lovers bukanlah sebuah dosa. Menonton drama Korea hanyalah sebuah kesenangan atau hobi, yang tentunya mubah dalam pandangan Islam. Sedangkan menunaikan Shalat adalah sebuah kewajiban.

Rakaat demi rakaat ia tunaikan dengan khusuk sebagai makmuk di shaf wanita pada Shalat fardu dhuhur di musholla kantor itu.

Setelah salam, beberapa jamaah sudah menghambur keluar, ada juga yang masih merapikan penampilan, sedangkan Yuna masih melantunkan beberapa dzikir sesudah sholat kemudian berdoa dengan khusuk.

“Aamiin.” Ucapanya lirih lalu mengusap wajah. Ia menoleh ke sebelah kanan tempat sahabatnya berada. Mengulurkan tangan lalu disambut olah gadis bernama Wanda itu. Kemudian ia melakukan hal yang sama ke beberapa kolega kantornya.

“Loh, Na! Kamu Shalat juga toh?” celetuk Wina.

“Iya Win. Kenapa?” Yuna keheranan. Setelah beberapa tahun kerja di kantor tersebut dan Shalat berjamaah di musholla kantor itu, pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang mengagetkan untuknya. Bukan karena sombong, tapi bukannkah mereka akan sering bertemu di tempat suci ini jika jam sholat berlangsung? Kenapa masih bertanya?.

“Aku pikir kamu gak akan Shalat gara-gara suka nonton drakor!.” Jelas Wina setengah meledek.

“Ha? Maksud kamu?” Yuna mulai merasa tersinggung.

“Di drakor kan gak ada yang Shalat, siapa tau kamu juga ikut-ikutan.” Jelas Wina kemudian. Kali ini, Yuna benar-benar sudah tersinggung, namun ia masih berusaha menahan amarah.

“Astaghfirullah Wina! Apa kamu pikir karena drakor, aku akan lupa agamaku? Kamu pikir orang yang suka drakor gak pantas untuk Shalat?”

“Ya, kan aku bilang siapa tau. Udah gak heran kan kalau ada orang yang terpengaruh sama apa yang mereka suka!”

“Kenapa di matamu drakor seburuk itu? Gara-gara nonton drakor bisa bikin orang jadi lupa shalatnya, lupa agamanya?. Belum tentu. Kita sebagai penikmat drakor menjadikan itu sebagai hiburan, bukan sesembahan. Trus gimana menurut kamu sama orang yang suka bollywood, Hollywood bahkan sinetron di televisi kita? Mereka juga gak shalat, gak menampilkan adegan ibadah. Apa di matamu, mereka yang nonton juga gak shalat? Belum tentu kan?.” Yuna akhirnya meledakkan kekesalannya.

Ia menarik napas panjang kemudian beristighfar, “tolong ya jangan ada yang berkomentar seperti ini lagi. Urusan aku suka drakor itu hobiku, urusan aku Shalat itu urusanku sama tuhanku. Kalian bebas mencela hobiku, tapi jangan kalian kait-kaitkan dengan ibadahku.” Pesan Yuna kepada Wina dan beberapa teman akrab Wina yang juga menyaksikan perdebatan itu.

“Iya Win. Selama ini Yuna shalat bersama kita kok disini. Kamu harus minta maaf sama dia.” Ujar Meli memberitahu temannya itu. Sejujurnya. Wina baru kali ini menginjakkan kaki di musholla tersebut, setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan ini. Ia baru memulai hijrahnya, ia baru ingin merutinkan kembali Shalat lima waktunya. Jadi ia tidak tahu jika selama jam Shalat, gadis yang dijuluki drakor lovers itu ternyata menjadi jamaah di musholla ini juga.

“Oalah begitu, ya maaf. Aku tidak tau.” Wina tersipu malu.

“Makanya kalau gak tau apa-apa, gak usah nyinyir!” Wanda tiba-tiba nyalang, tidak terima sahabatnya mendapat nyinyiran itu.

“Ya maaf. Aku kan baru masuk di musholla ini. Jadi aku gak tau kalau Yuna juga Shalat.” Wina membela diri.

“Ya maaf, ya maaf. Udah nyakitin hati orang, minta maafnya gak bener lagi!” Wanda si gadis emosian itu membentak.

“Udah! Gak apa-apa Da,” Yuna menengahi Wanda. Kalau gadis itu tidak dicegah maka akan semakin panjang perdebatannya.

“Aku kesel Na, sama orang-orang seperti Wina ini. Drakor itu tontonan khalayak, setiap orang punya hak untuk nonton dan suka, dan kamu gak punya hak untuk melarang bahkan membulli. Kalau kamu gak suka, udah diam aja. Apa kamu yakin gak akan nonton drakor juga suatu saat?” Wanda semakin merepet.

“Gak akan.” Wina tak mau kalah, “aku gak akan terpengaruh tontonan itu. Aku cinta karya anak bangsa.”

“Oke. Itu hakmu. Tapi awas aja kalau suatu saat kamu nonton drakor, aku akan menjadi orang pertama yang nyinyirin kamu!.” Ancam Wanda. Sedangkan Wina tak acuh.

“Huh!” dengus Wanda, Yuna menarik lengan sahabatnya itu untuk kembali ke tempatnya semula. Karena perdebatan tadi membuat mereka lupa untuk membereskan mukena yang masih mereka kenakan.

Wanda terus saja uring-uringan melontarkan umpatan kekesalan pada Wina.

“Udahlah. Gak usah diingat lagi. Aku aja udah ikhlasin kok.” Ucap Yuna menenangkan sahabatnya itu selagi mereka melipat mukena kedalam tas kecil lalu mengenakan hijab masing-masing.

 “Kamu aja sih yang terlalu lugu. Kalau aku yang digituin, udah ku jambakin jilbabnya.” Ungkap Wanda.

“Kita masih di musholah tau.” Yuna mengingatkan.

“Astaghfirullah.” Wanda baru saja sadar. Emosinya memang setinggi itu sampai membuatnya lupa masih berada di tempat suci.

Yuna menggeleng tak habis pikir dengan kepribadian sahabatnya.

Setelah mengenakan hijab lalu merapikan kembali pakaiannya, kedua gadis itu beringsut dari tempatnya lalu berjalan keluar musholla.

“Na, kenapa sih setiap ada yang nyinyirin, kamu tuh santai aja ngadepinnya? Gak emosi kayak aku. Emang kamu gak sakit hati apa?” wanda memulai kembali obrolannya.

“Ya sakit lah, makanya tadi aku ngomel-ngomel begitu. Lagi pula itu kan sudah menjadi konsekuensi menyukai sesuatu. Kalau tidak diterima ya berarti ditolak. Kalau tidak didukung berarti akan dibulli.”

“Kalau menurutku segitu belum cukup. Apalagi si Wina itu kan baru masuk musholla, udh berani nyinyir gitu. Kalau aku, udah ku judesin tujuh hari tujuh malam.”

“Udahlah, gak ada untungnya juga ngeladenin orang yang nyinyir ke kita. Bikin capek aja kan. Karena mereka yang nyinyir suatu saat juga akan berhenti sendiri. Dan suatu saat akan menerima bahkan menyukai drakor kalau hatinya sudah lapang. Mungkin hati mereka lagi sempit aja kali, jadinya begitu.” Jelas Yuna.

“Oya. Makasih ya, udah jadi sahabat yang baik. Tidak mencelaku menyukai drakor, bahkan menjadi orang pertama yang ngebelain aku kalau ada yang nyinyirin. Makasih Wanda.” Yuna merangkul tubuh sahabatnya tersebut.

“Sudah seharusnya begitu kan. Sebagai sahabat tentu aku akan membelamu, walau kadang aku juga suka heran setiap kamu nonton drakor, karakter cowok idamanmu pasti berubah-ubah.” Balas Wanda dengan keluhan kecil pada Yuna, sedangkan gadis itu hanya cengengesan.

“Ya seperti itulah drakor lovers Da, kita suka bergonta-ganti cowok idaman sesuai drama yang kita nonton. Bahkan kita pernah ingin berganti profesi saking bapernya. Meskipun begitu, aku tetap cinta Ji chang wook kok.” Yuna berbicara sok manis sampai membuat Wanda enek hingga melepaskan rangkulan dengan paksa.

“Tapi sampai kapan kamu akan menyukai cowok-cowok dalam drama itu? Kamu harus cari cowok dalam dunia nyata.” Protes Wanda.

“Gak ada yang bisa bikin aku jatuh cinta sih.”

“Itu karena karakter cowok idamanmu seperti oppa-oppa Korea. Ya mana ada di negara ini!”

“Walau gak setampan oppa-oppa drakor, aku berharap ada cowok yang karakternya seperti para oppa, yang sikapnya manis, tegas, pekerja keras dan yang lebih penting, bersungguh-sungguh dalam cinta.”

“Memangnya masih ada cowok seperti itu jaman sekarang?.” Umpat Wanda. Terkadang kesabarannya terkuras jika membahas masalah karakter pria dalam drama dan realita bersama Yuna yang sudah terobsesi drama itu.

“Karena cowok seperti itu sudah langka, makanya aku perlu hati-hati dalam memilih pasangan. Jadi jangan heran kalau sampai saat ini aku masih jomlo. Oke?!.”

“Tapi ngomong-ngomong, kapan kamu akan nikah sama Ronald?” Yuna mengingat sosok pria yang berprofesi sebagai photografer yang berstatus sebagai pacar Wanda. Mereka sudah berpacaran selama dua tahun namun sampai saat ini belum tersiar kabar bahwa mereka akan segera menikah.

“Kok jadi bawa-bawa Ronald sih mbak-mbak drakor lovers ini?” keluh Wanda, wajahnya tiba-tiba memerah.

“Ya gimana ya, kamu kan udah ketemu sosok oppa dalam hidupmu, seharusnya cepat dihalalin dong. Masa udah dua tahun cuman pacaran doang, haram tau!.” Ledek Yuna, ia kemudian berlari kecil mendahului Wanda.

“Anjay, awas aja kamu.” Wanda sinis. Ia pun mempercepat langkah mengejar Yuna.

“Ampun Da, ampun, nanti aku traktir makan siang deh.”

---ooo---

Bersambung ...

Jangan lupa tinggalkan jejak yaa readers yang budiman, syukron ☺️🙏

Tiga Sahabat

Setelah keluar dari musholla, dua sahabat perempuan itu berada di kantin untuk makan siang sebelum jam istirahat berakhir.

Seperti kata Yuna sebelumnya, ia yang membayar makan siang Wanda hari ini. Gadis itu memesan mie ayam sedangkan sahabatnya memesan nasi padang. Sembari membawa makanan mereka masin-masing, kedua sahabat itu mengedarkan pandangan mencari bangku kosong untuk menikmati makan siang dengan tenang.

“Astaga, Kasim.” Usai mengamati keadaan dalam kantin tersebut, Yuna baru menyadari sosok pemuda yang duduk di sudut ruangan ini seorang diri, ia kemudian saling pandang dengan Wanda  lalu tersenyum kecut. Perdebatan dengan Wina di musholah tadi membuatnya lupa dengan Kasim yang senantiasa menunggu mereka di meja kantin.

Mereka segera berjalan ke arah pemuda tersebut.

“Maaf ya cim, kita lama.” Yuna menyapa pemuda bernama Kasim itu dengan rasa bersalah. Kedua gadis itu pun duduk berhadapan di meja tersebut.

“Dari mana aja?.” Tanya sang pemuda sinis. Kebetulan ia sudah menunggu kedua gadis itu cukup lama.

“Tadi kita abis debat dulu sama orang.” Ungkap Yuna, kemudian ia mulai meracik persausan ke dalam mangkuk mie ayamnya.

“Siapa?”

“Wina.”

“Debat kenapa?”

“Dia nyinyirin Yuna.” Wanda langsung menyambar. Tidak sabar dengan jawaban Yuna yang singkat-singkat kepada Kasim, harusnya ia langsung meluapkan rasa jengkelnya begitu saja pada sahabat laki-lakinya itu.

“Dia bilang gini, loh kamu Shalat juga Na? Kirain kamu gak Shalat gara-gara suka nonton drakor.” Jelasnya kemudian.

“Idih, emang dia pikir orang yang nonton drakor gak ada yang Shalat apa?”

“Dia aja, baru mulai shalat udah songong.” makinya lagi.

“Kok ngamuk?” Kasim menautkan alis. Entah siapa yang dinyinyirin, siapa yang ngamuk. Tapi ya, begitulah Wanda yang ia kenal, meskipun emosian, tapi ia akan menjadi orang pertama yang selalu membela sahabatnya.

“Trus kalian jambakan dong?”

“Gak lah. Kamu tau kan Yuna kayak apa, dia mah santai aja biarpun dinyinyirin.” Jawab Yuna setengah kesal.

“Harusnya kamu dorong dia ke tangga.” Kasim mengompori.

“Itu sih kriminal!.”  Seru Yuna.

“Makanya, kalau ada yang nyinyir bales. Biar dia kapok.” Pesan pemuda itu.

“Ya gimana. Orang kita baru selesai shalat, masa gelut. Hilang dong pahala Shalat kita.” Ungkap Yuna segera. Meskipun ia memang tak pernah ngeladenin orang-orang yang nyinyir kepadanya, jawaban itulah satu-satunya tameng untuknya agar kedua sahabatnya yang emosian dan setengah emosian itu tidak kembali terpancing.

“Hm … ya udah.” Sahut Wanda pasrah. Kasim pun hanya mampu menghela napas ikhlas. Akhirnya mereka pun mulai menyantap makanan mereka masing-masing.

Yuna, Wanda dan Kasim adalah tiga sahabat di kantor ini. Pertemanan mereka tidak serta-merta terbentuk saat mulai bekerja disini, namun mereka sudah berteman lama sejak bangku kuliah. Meskipun sering kali Kasim mendapat ejekan karena berteman dengan perempuan, namun tak menyurutkan nya untuk tetap menjalin silaturahmi dengan kedua gadis itu.

Di saat alat makan saling beradu, tak ada lagi obrolan antara ketiganya. Suapan demi suapan saling bersautan.

Yuna tengah asik memantau ponselnya melanjutkan episode drakor sambil menikmati mie ayam di hadapannya. Wanda melumat nasi padang dengan ayam sambal hijau. Sedangkan Kasim telah menghabiskan makanannya terlebih dahulu.

“Kamu nonton drama apa Na?” Kasim penasaran. Drakor apa lagi yang disaksikan sahabatnya itu sampai membuatnya cekikikan ditengah mengunyah mie ayam.

“My demon Cim, seru banget.” Jawab gadis itu menoleh ke wajah Kasim sesaat.

“Oh, yang pemerannya Songkang itu kan?” tebak Kasim.

“Benar.” Yuna antusias, “kamu nonton juga?”

“Gak sih. Cuma pernah liat spoilernya di reels.” Pemuda itu menggeleng pelan. Walau tidak menjadi drakor lovers seperti Yuna, tapi Kasim adalah orang yang terbuka. Menghargai globalisasi dan menikmati semua perkembangan budaya dunia yang tentunya masih dalam kategori positif.

“Seru loh, kamu harus nonton. Kamu pasti bakalan suka.” Yuna mengompori.

“Itu genre fantasi kan?”

“Iya. Disini tuh dia jadi iblis tampan yang suka menawarkan perjanjian sama manusia. Ih kok malah aku spill sih, udah nonton aja.” Yuna membeberkan.

“Iblis tampan? Wah pasti banyak cewek-cewek yang terhasut.” Wanda ikut nimbrung.

“Nonton aja Da, seru loh, sifat iblisnya itu persis sama yang digambarkan dalam agama. Ia mengiming-imingi manusia hal-hal duniawi tapi jiwa orang itu yang menjadi tumbalnya. Asli, iblis banget. Tapi setelah jatuh cinta ya gitu deh, drakor banget.” Ungkap Yuna.

“Ya deh, nanti aku mau nonton juga.” Sahut Wanda.

“Hm, kalau dengar ada yang tampan-tampan aja, langsung kemakan.” Ledek Kasim.

“Sewot aja.” Nyinyir Wanda.

“Lah kenapa? Kita kan cewek normal dong kalau suka yang tampan-tampan?!.”

“Dasar cewek!” singgung Kasim. Kedua gadis di hadapannya itu langsung menatapnya tajam.

“Ops maaf.” Kasim tergelak mendapati reaksi kedua sahabatnya yang sudah pasti tersinggung itu.

“Oh iya, aku ada info loh untuk kalian.” Kasim mengingat tujuan utama pertemuannya hari ini.

“Apa?”

 “Pak Rangga akan diberhentikan.” Jawabnya segera. Pak Rangga  yang dimaksud Kasim adalah Direktur utama di kantor ini.

Ketiganya saling menatap.

“Berarti rumor perselingkuhan itu benar?” Wanda menebak. Belakangan memang tersiar kabar kalau Pak Rangga berselingkuh, tapi tidak ada bukti, begitu pun dengan siapa yang bercerita, tidak ada yang tahu.

“Tapi itu kan Cuma rumor.” Yuna menepis.

“Bisa jadi sih. Tidak mungkin Pak Rangga akan diberhentikan kalau rumor itu tidak benar.” Kasim membenarkan.

“Sayang banget ya, padahal Pak Rangga udah lama disini.” Gumam Yuna lalu mengunyah makanan terakhir di mangkuknya.

“Tapi aku setuju banget kalau Pak Rangga diberhentikan atau dipindahkan atau apapun itu, soalnya dia tidak ramah.” Ulas Kasim.

“Iya. Aku juga setuju kalau Pak Rangga berhenti.” Wanda menimpali, “soalnya aku pernah dicolek sama dia. Ih!” Wanda bergidik ngeri.

“Dan, kalian tau? Penggantinya nanti, anaknya Pak Hendi.” Kasim kembali memberikan informasi. Pak Hendi adalah komisaris perusahaan ini.

“Pak Denis maksudmu? Atasanmu itu?.” Yuna menautkan alis. Kebetulan Kasim adalah staff keuangan dan Denis yang di maksudnya adalah direktur keuangan.

“Iya. Maksudmu dia akan naik jabatan jadi Direktur utama?” Wanda ikut bingung. Gadis itu pun mengunyah habis makanan di piringnya.

“Kayaknya sih bukan. Saudaranya kalau gak salah. Pokoknya bukan Pak Denis.” Kasim menjelaskan sesuai informasi yang ia tahu.

“Jadi, ada dua anak Pak Hendi yang menjabat disini?”

“Ya, mungkin seperti itu. Namanya juga kan penerus perusahaan ya harus keturunan Pak Hendi lah.” Kasim menuturkan.

“Semoga  anak Pak Hendi itu masih muda trus tampan, kayak bos-bos muda di drakor ya Na.” Harap Wanda sambil menengadahkan tangan. Yuna pun mengangguk antusias sambil mengaminkan harapan sahabatnya.

“Trus cowokmu?” sergah Kasim.

“Ya gak apa-apa kan. Aku sama Ronald juga belum tentu jodoh. Lagian kalau ada cowok ganteng di kantor ini kan kita jadi makin semangat kerjanya.” Balas Wanda cengar-cengir. Yuna pun mangut-mangut.

“Emang kalian gak liat disini ada cowok ganteng?” Kasim mengalihkan perhatian lalu menyugar rambutnya.

“Idih!” Kedua gadis itu bergidik lalu menghambur meninggalkan meja kantin yang meninggalkan Kasim di sana.

“Oy! Udah dikasi info bukannya terimakasih malah melengos aja.”

Seperempat Abad

Pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor, Yuna sudah rapi dengan pakaian kerjanya, mengenakan hijab segi empat bernada sama dengan busananya, make up tipis agar tak terlihat kusam. Sling bag dan arloji sebagai aksesoris.

 Ia sudah duduk di meja makan menunggu Ayahnya yang masih berpakaian. Perutnya sudah terasa perih, cacing-cacingnya seolah berdemo ingin mendapat jatah makan. Namun keluarganya menjadikan makan bersama sebagai sebuah tradisi, jadi tak sopan untuk makan duluan, kecuali dalam kondisi tertentu.

Pagi ini ia tak buru-buru. Jadi, ia sempatkan untuk makan bersama orang tuanya.

Bakwan jagung yang berada tepat di hadapan Yuna seolah memanggil-manngil untuk segera dilahap. Ibunya ikut menjatuhkan diri pada kursi yang ada di hadapan Yuna setelah siap menyajikan menu sarapan pagi ini. Menunggu sang Ayah, sesekali wanita paruh baya bernama Santi itu mencuri pandang kepada putrinya.

“Na?” ia pun mulai menyapa putri semata wayangnya tersebut.

“Ya Bu?” sahut Yuna. Ia pun segera menyambar bakwan jagung untuk mengganjal perut, selagi menunggu Ayahnya duduk bersama.

“Kamu udah punya pacar?”

Yuna menatap Ibunya lekat, “belum Bu.” Berkata dengan hati-hati.

“Yuna kan udah bilang gak mau pacaran, kalau Yuna sudah mendapatkan calon yang tepat, pasti akan langsung Yuna kenalkan pada Ibu.”

“Kamu masih ingat kan usiamu semakin bertambah?”

“Ingat kok Bu.”

“Yuna, kamu semakin menua. Usiamu sudah seperempat abad. Tugasmu bukan hanya kerja dan nonton drakor. Kamu harus membuat generasi baru, makanya kamu harus nikah.”

Yuna bergeming.

“Kamu selalu menolak untuk dijodohkan, sementara kamu tetap bersantai tidak memikirkan pernikahan, apa kamu tau perasaan Ayah sama Ibu? Kami semakin menua, sementara anak gadis kami tidak kunjung menikah, lalu orang-orang menggunjingkannya. Perasaan kami terluka. Kalau kami sudah tidak ada, lalu siapa yang akan menjagamu?”

“Ibu! Jangan bicara begitu.”

“Itu memang benar Yuna. Begitulah perasaan kami sebagai orang tua.”

Untuk sepersekian detik keduanya terdiam.

“Ibu harap, kamu bisa segera menikah.”

Yuna terhenyak, ia menatap Ibunya lekat, “tapi, bagaimana Bu? Aku kan belum punya calon.”

“Ibu yang akan mencarikanmu calon. Ibu akan mengenalkanmu pada seseorang. Dia anak teman arisan Ibu. Kamu bersedia kan?” Akhirnya Bu Sinta mengutarakan niat pembicaraannya.

“Ibu.” Yuna merengek.

Saat ini, usia Yuna memang terbilang usia pantas menikah. 26 tahun tidak lagi dini untuk membahas pernikahan. Bahkan teman-teman seangkatannya sudah berlomba-lomba untuk menikah dan memiliki anak. Sedangkan dirinya masih saja asik nonton drama Korea. Namun, itu bukan berarti ia harus dijodohka begitu saja, ini jaman modern. Perjodohan bukanlah tren, apalagi menikah karena perjodohan itu tidak akan nyaman.

“Aku minta satu kesempatan lagi. Kalau aku benar-benar tidak menemukan jodohku sendiri, aku bersedia dijodohkan dengan siapapun pemuda pilihan Ibu.” Pinta Yuna.

“Ibu, tidak gampang menemukan seseorang yang cocok untuk pendamping hidup kita begitu saja, jadi kumohon, bersabar sedikit lagi ya.”

“Yuna … .”

“Ibu!” gadis itu buru-buru memotong pembicaraan Ibunya.

“Ada apa ini?” ditengah ketegangan Ibu dan anak itu, Pak Darmawan, pria yang ditunggu-tunggu kehadirannya sejak tadi akhirnya muncul.

“Ayah. Ibu ingin menjodohkanku dengan anak temannya.” Gadis dewasa itu mengadu pada Ayahnya bak anak SD yang dirundung teman-temannya.

Pria setengah baya bertubuh tambun itu duduk di kursi paling ujung, berada antara Yuna dan Ibunya, sehingga kedua wanita itu menoleh padanya dengan saksama.

“Bagus itu. Artinya putri Ayah tidak perlu repot-repot lagi cari jodoh sendiri.”

“Ayah!” kembali, gadis berhijab dengan lesung pipi itu merengek pada Ayahnya, “aku tidak nyaman dengan perjodohan.”

“Yuna, kamu kan belum bertemu dengan pemuda itu. Siapa tau saja, dia adalah pria yang kau cari selama ini.” Pak Darmawan menegaskan.

Pria itu tahu betul keinginan putrinya, sosok gadis yang tak hanya menjadikan pernikahan sebagai ajang mengubah status. Ia ingin menjadikan pernikahan sebagai tempat memadu cinta dan kasih sayang seterusnya. Oleh sebab itu, ia ingin menemukan seseorang yang benar-benar jatuh cinta padanya dan ia pun mencintainya dengan tulus. Namun, usia putri semata wayangnya itu pun semakin menua, tidak ada lagi waktu untuk berleha-leha hanya menatapi drama Korea dan menunggu jodoh datang begitu saja.

Yuna hanya mendengkus, kehabisan kata-kata untuk meyakinkan kedua orang tuanya tersebut.

“Jodoh bisa bertemu di jalan, di kantor, di masjid bahkan dengan perjodohan itu sendiri. Jadi tidak ada salahnya kamu coba dulu mengenal pemuda itu.” Pak Darmawan melempar senyum, namun gadis itu malah merengut.

“Bagaimana? Kamu setuju kan?”

Gadis itu mengangguk dengan berat hati.

---ooo---

Jam istirahat kantor sedang berjalan. Kerumunan karyawan memenuhi sudut-sudut kantin dan musholah. Siang ini Yuna dan Wanda juga Kasim selesai menunaikan sholat. Ketiga sahabat itu sudah duduk di meja kantin dengan menu makan siang masing-masing.

“Gaes?!” Yuna menyapa kedua sahabatnya dengan raut serius.

“Kenapa Na?” tanya Wanda.

“Apa argumen kalian tentang jodoh?”

“Ha? Kenapa tiba-tiba membahas itu?”

“Aku hanya ingin tau pendapat kalian.”

“Menurutku, jodoh itu rahasia lah. Allah yang tentuin.” Balas Wanda.

“Udah tau rahasia Allah ngapain juga pacaran? Pacaran lama-lama eh gak taunya bukan jodoh, sakit tau, jagain jodoh orang.” Ledek Kasim.

“Maksudmu apa? Ngeledek aku belum dinikahin Ronald? Aku pacaran itu kan salah satu usahaku untuk menemukan jodoh!.” Wanda naik pitam.

“Mana ada begitu. Menemukan jodoh itu kalau kenal sebulan trus nikah. La ini udah bertahun-tahun tapi masih gak jelas.”

“Kok kalian malah gelut sih.” Protes Yuna. Namun sayangnya ocehannya tak ada yang mendengar. Kedua sahabatnya itu masih seru melanjutkan perdebatan. Meskipun sekali lagi Yuna meminta perhatian, Kasim dan Wanda tidak juga menggubris, hingga akhirnya,

“Ya udah! Gelut aja terus, sampai aku doain jodoh!” Yuna memilih jalan ninjanya untuk melerai perdebatan Kasim dan Wanda. Kedua sahabat itu terdiam sejenak.

“Gak sudi berjodoh sama Kasim.” Tepis Wanda.

“Emang aku mau.” Timpal Kasim.

“Semoga kalian jodoh. Aamiin.” harap Yuna, kesal. Kedua sahabat itu akhirnya kembali mengatupkan bibir.

“Aku tuh lagi pusing, lagi bimbang. Pengen cerita sama kalian, tapi malah kalian yang asik debat.” Omel Yuna.

“Ibuku mau aku segera menikah, dan aku akan dijodohkan.” Ungkap Yuna tiba-tiba.

“APA?.”

“Serius?.”

“Iya. Makanya aku bimbang. Aku butuh pendapat kalian.”

“Emang sama siapa?.”

“Aku juga belum tau. Tapi dia anak temannya Ibu.”

“Kalau memang Ibumu mau kamu cepat nikah, ya saran aku sih, mending kamu coba. Kalau kamu cocok ya teruskan, kalau enggak ya suruh Ibumu cari kandidat lain.” Kasim memberikan saran. Disatu sisi, Yuna memang sudah berumur, sudah seharusnya dia menikah. Disisi lain, Yuna akan sulit mendapatkan jodoh karena tidak pernah pacaran, maka saran perjodohan dari orang tuanya adalah cara terbaik bagi Yuna untuk mendapatkan pasangan.

“Gak segampang itu Cim, perjodohan itu berat. Entah aku atau dia pasti akan merasa tertekan. Dan entah mengapa rasanya aku tidak bisa menerima ini.” Yuna menyangkal.

“Apa kamu menyukai seseorang selama ini?” pemuda itu melempar tanya.

“Enggak sih. Aku hanya menyukai oppa-oppaku.”

“Aku serius, Yuna!” Kasim tegas, “apa kau sedang menyukai seorang pria?.”

Yuna menggeleng, “enggak.”

“Kau sedang menunggu lamaran seseorang?”

“Enggak.”

“Lantas apa yang kau tunggu? Usiamu sudah seperempat abad, kau tidak punya pacar yang kau tunggu lamarannya. Kau seharusnya menyambut dengan senang hati niat orang tuamu.” Kasim menasihati.

“Apa kamu belum ada niat untuk menikah?” Kasim kembali melempar tanya.

“Aku juga belum yakin Cim. Tapi, kalau aku sudah mantap dengan calonnya, sepertinya aku juga sudah siap untuk menikah.”

“Ya sudah, kalau begitu kamu coba saja perjodohan itu. Bisa jadi kan tiba-tiba kalian memang jodoh.”

“Aku juga nyaranin gitu Na, ikutin kata orang tuamu. Kalau kamu nyaman dengan orang itu alhamdulillah, kalau tidak, aku yakin ibumu juga tidak akan memaksa. Itu hanya salah satu usaha agar anak perempuan cantiknya ini segera mendapatkan jodoh dan tidak jatuh ke dalam pelukan pria yang salah.” Wanda menambahkan.

Yuna menopang dagu di atas meja, berpikir keras tentang saran kedua sahabatnya. Memang ada benarnya saran perjodohan itu, walau hatinya berat, tapi ia memang perlu mencoba.

“Baiklah. Akan ku turuti keinginan orang tuaku, akan ku terima rencana perjodohan itu.”

“Semangat dong. Masa pacarnya Ji chang wook lemes.” Wanda menyemangati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!