NovelToon NovelToon

Takdir Untuk Bersamamu

Bab 1

Namaku Arin. Usiaku sekarang adalah 22 tahun dan aku baru saja lulus dari salah satu perguruan tinggi di kota kabupaten tetangga. Seperti yang kalian tahu, yang namanya lulusan baru itu rawan sekali dengan berbagai macam pertanyaan yang sebenarnya tidak penting, tapi sering kali membuat pening.

  Contoh kecil saja waktu tadi pagi aku ke warung untuk membeli kopi, si pedagang yang masih menjadi tetangga terdekat langsung saja nyeletuk.

  "belum dapet kerja juga yah? Kalo nggak salah udah lulus 3 bulan yang lalu kan? Harusnya mah sadar diri dikitlah. Orang tua susah payah sekolahin, udah lulus malah nganggur"

  Hidup lagi capek-capeknya malah denger ocehan nggak penting, aku tarik nafas dalam-dalam. Ku tatap si ibu-ibu gendut itu dengan senyum lebar dan dengan santai aku berkata.

 "Sebenernya saya udah punya modal sih bu, kira-kira cukuplah buat bikin warung yang lebih gede dari warung kecil ini" aku masih tersenyum menatap sekeliling warung yang sebenarnya tidak kecil itu, kemudian pandanganku kembali pada pemiliknya yang sudah melotot ke arahku, kocak sekali mukanya.

  "Gimana bu? Ibu siap nggak kalo saya saingi? Saya nganggur bukan berarti saya nggak punya uang ya bu. Nggak perlu deh ngurusin hidup orang lain. Toh saya nganggur juga nggak makan di rumah ibu kan?!. Udah yah.. saya permisi" ucapku kemudian pergi dari warung panas itu.

  Enak saja menghina orang, bukan berarti orang mengganggur itu tidak punya uang kan? Meskipun kenyataannya seperti itu. Tapi bisakah orang yang masih menganggur itu diberi semangat? Lebih bagus lagi kalau dikasih lowongan pekerjaan. Hehehehehe.

 Sebenarnya orang tuaku tidak mempermasalahkan kalau anak satu-satunya ini belum bekerja, dan mampu saja membayar 'orang dalam' untuk bisa mendapatkan pekerjaan, tapi aku bertekad harus bisa mencari pekerjaan yang bersih dan dari usahaku sendiri. Dan resikonya adalah harus kuat mendengar cemoohan tetangga.

   Aku lulus sebagai sarjana ekonomi, tapi aku iseng melamar di sekolah-sekolah, yahh.. untuk pengalaman saja sih, dan itu pun jenjang taman kanak-kanak. Aku memang suka sekali dengan anak-anak, tapi jika disuruh untuk memilikinya sendiri. Nanti dulu.. AKU BELUM SIAP.

 Setelah beberapa lamaran, ada sebuah email masuk yang memberitahukan kalau aku diterima sebagai guru di TK Kartini, tempatnya di desa sebelah, ibuku juga kenal baik dengan ketua yayasannya.

 Jujur aku senang, dan sedikit bingung bagaimana mungkin orang lulusan sarjana ekonomi malah mereka terima? Apa karena mereka mengenal ibuku? Entahlah... aku hanya menikmati ini.

 Masalah selanjutnya adalah bagaimana caranya aku menyampaikan berita ini pada orang tuaku? Mereka saja berharap aku mau meneruskan usaha keluargaku, mengelola pabrik tekstil yang sudah lumayan besar.

 Apakah mereka mengizinkanku menjadi seorang guru?. Setelah lama berfikir, aku memberanikan diri untuk mengatakannya pada bapak dan ibu. Di luar prediksi BMKG ternyata mereka merelakanku menjadi pengajar, walaupun tetap berharap suatu saat nanti mau meneruskan pabrik tekstil itu.

  "Iya nak, terserah kamu saja mau bekerja apa yang penting halal lagi baik, dan kamu nyaman. Tapi jangan lupa sesekali tengoklah pabrik bapakmu itu" begitu tutur ibuku begitu lembut masuk ke telinga, sungguh ibu idaman.

 Rencanya minggu depan aku baru masuk sekolah, aku jadi agak gugup menghadapi anak-anak yang polos itu. Apa aku akan sabar menghadapi pertanyaan absurd dari mereka?.

Hari Pertama di Sekolah

  Setelah bercakap-cakap dengan kepala sekolah dan guru lain, aku pun dipersilahkan untuk langsung masuk kelas. Hari ini sengaja sekali aku memoles wajah polosku agar terlihat lebih segar dan memakai pakaian yang rapi dan sopan. Katanya kalau mengajar itu kita harus berpenampilan menarik agar siswa mau memperhatikan kita dan memperhatikan apa yang kita sampaikan.

  Sungguh luar biasa mengajar itu, hari pertama aku disuguhkan dengan pertanyaan seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua, dengan polos dia bertanya "bu guru... itu apa yang di pipinya bu guru?".

  Reflek aku langsung memegang pipiku dan merasakan nyeri karena jerawatku yang baru muncul tersentuh, "ohh.. mungkin dia tanya jerawat paling yah? Kenapa dari semua tampilanku hari ini, yang dikomen malah jerawat sih?" Ucapku dalam hati sedikit kesal tapi langsung sadar dari siapa sumber pertanyaan itu.

  "Ohh.. ini namanya jerawat sayang.. nanti kamu tahu kalau sudah besar" jawabku sekenanya, berdoa semoga dia tidak melanjutkan rasa penasarannya dengan pertanyaan tambahan, dan benar saja. Dia hanya membuka mulutnya membentuk huruf 'o' kemudian mengangguk polos. Haaah... lega rasanya.

   Setelah sehari bermain dengan anak-anak di kelas, akhirnya aku pulang ke rumah. Jujur pandangan warga desa padaku tidak begitu baik. Mereka memandangku tidak seperti gadis di desa kami yang lembut lagi ramah, yahh.. meskipun itu karena sikapku sendiri yang enggan berbasa-basi dengan orang dan jarang sekali terlibat dalam kegiatan desa.

  Aku sadar itu tidak baik, tapi aku begini juga karena perlakuan mereka pada keluargaku dulu. Sebelum bapak memiliki pabrik, kami adalah keluarga miskin yang tidak pernah mereka perdulikan bahkan sering menjadi bahan olok-olokan mereka, sampai akhirnya bapak merantau dan memiliki modal, lalu membangun usaha kecil-kecilan dan sampai membuat pabrik, barulah warga desa berbondong-bondong mendekati kami.

  Jujur saja aku muak dan jijik melihat mereka menjilat keluarga kami, mungkin bapak dan ibu ku sudah memaafkan mereka. Tapi aku tidak sebaik itu, aku tidak akan lupa bagaimana mereka terus memfitnah dan menghina kami.

  Seperti suatu hari tiba-tiba salah satu tetangga kami datang ke rumah, dia itu mantan ketua Rt yang semena-mena dan pilih kasih pada warganya yang mampu saja. Bahkan dia ikut menginjak-nginjak keluarga kami. Sungguh pemimpin yang tidak adil.

 Tujuan dia datang adalah ingin meminjam uang pada bapak untuk modal usaha, tentu saja angkanya tidak sedikit. Aku geram karena seperti biasa, bapak akan meminjaminya uang, langsung saja aku ikut duduk di sofa ruang tamu.

 "Pak.. aku butuh laptop buat tugas kuliah. Minta uang dong" bapak hanya mengernyit bingung karena baru saja kemarin membelikanku komputer dan kawan-kawannya.

  "Kan sudah bapak belikan komputer kemarin nduk.." ucap bapakku

  "Pak.. kalo komputer nggak bisa dibawa ke kampus, kalo laptop kan lebih praktis. Bapak punya uang kan? Itu kayaknya cukup pak" ujarku membantah sambil menunjuk uang yang ada di tangan bapak.

  "Ini buat pak Rt" jawab bapakku sambil melihat orang itu.

   "Pak Rt? Udah nggak kali pak. Lagian enak banget bapak ngasih-ngasih uang ke orang lain. Giliran anaknya minta nggak dikasih" ucapku ketus menatap mantan ketua Rt itu.

   "Anu mba arin.. saya mau berhutang dulu sama pak mawan" mantan ketua Rt itu berucap melas. Sebenarnya aku tidak tega, tapi begitu aku melihat wajahnya bayangan tentang penderitaan keluarga kami dan air mata ibu yang mengalir di malam hari sungguh membuatku menjadi kesetanan.

   "Sebentar deh, perasaan bapak kan yang dulu selalu menyebarkan hutang-hutang ibu saya dulu, bapak juga kan selalu mempersulit keluarga saya jika ingin mengurus surat-surat dan lagi, bapak yang menyebarkan rumor kalau bapak saya memakai pesugihan agar usaha kami berhasilkan?"

 Emosiku benar-benar tak terkontrol, mulutku rasanya bergerak sendiri. Dan anehnya aku malah merasa senang melihat mantan Rt itu terpojok. Sementara itu bapakku sudah memegang tanganku agar aku menghentikan tindakanku.

  "Saya ingat betul bagaimana anda sewaktu jaya dulu. Menginjak-injak kami yang kecil, dan sekarang? Anda susah malah lari kepada kami? Kenapa tidak minta bantuan saja sama mereka yang selalu bapak layani?. Tolonglah pak... kalo jahat yang totalitas dong, jahat sampai akhir. Jangan menjilat ludah sendiri"

 Nafasku naik turun, detak jantungku tak secepat biasanya dan dadaku terasa sesak. Ku kira setelah meluapkan semua emosi, aku akan lega. Tapi malah sebaliknya, aku heran. Rasanya semakin tidak nyaman ketika melihat mantan Rt itu tertunduk, apa aku keterlaluan? Tapi semua yang aku ucapkan adalah fakta.

Bab 2

  "Arin cukup! Kembali ke kamar!" Ucap bapakku pelan, tapi aku sadar beliau menahan amarahnya. Aku tidak bisa berkutik, seketika berdiri dengan lelehan air mata yang tumpah di pipi.

  "Pokoknya Arin nggak mau bapak kasih uang itu buat dia" setelah berucap demikian aku langsung berlari ke kamar.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

    Kenapa pula aku mengingat kejadian yang sudah terjadi beberapa tahun lalu itu, dan sialnya aku harus melihat mantan ketua Rt itu di ujung jalan, dia langsung menundukkan kepalanya ketika melihat aku mengendarai motor.

  Yah.. memang setelah kejadian itu bapak tetap meminjaminya uang, tentu saja karena bapakku orang baik. Beliau sangat klop dengan ibu yang sama-sama pemaaf. Kadang aku bingung kenapa mereka harus memiliki anak sepertiku yang suka sekali mengingat kejahatan orang lain, ditambah lagi wajahku yang tak pernah senyum menyapa.

   Semenjak kejadian mantan ketua Rt itulah reputasiku sebagai gadis angkuh tercipta, biarlah.. aku sudah tidak memikirkan omongan tidak penting, mereka bebas menilaiku seperti apa, aku tak peduli. Tapi jika mereka berani mencemooh orang tuaku, jangan harap aku akan diam.

   Sebulan sudah aku mengajar di Tk Kartini, jujur aku betah meskipun harus belajar mengendalikan emosi setiap hari. Niat awal aku mengajar hanya untuk mengisi waktu luang sebelum adanya panggilan kerja yang sesuai bidangku, tapi lama kelamaan aku malah ingin mengajar selamanya.

  Sebenarnya banyak panggilan kerja masuk, bahkan dari perusahaan yang aku inginkan dulu. Tapi rasanya sekarang aku hanya ingin bermain dengan anak-anak yang lucu itu, bahkan dengan membayangkan kejadian-kejadian ajaib di kelas saja membuatku senyum-senyum sendiri.

  Hidup bahagia atau tidak itu tergantung fikiran kita sendiri, tergantung pilihan kita sendiri. Banyak sekali faktor yang membuat hidup kita terasa berat, salah satunya adalah mendengarkan dan memikirkan perkataan orang lain.

  Harus terlihat kaya, harus terlihat bahagia, harus terlihat harmonis dan harus harus yang lain lagi di depan orang banyak, sampai lupa pada jati diri kita sesungguhnya. Banyak menuntut diri menjadi sempurna sampai mengorbankan segala cara.

  Mungkin dulu aku akan sedih ketika mendapat cemoohan dari para tetangga, tapi kini kuputuskan untuk memberi jalan pada angin agar bisa membawa kata-kata yang tidak enak didengar itu. Eitss... tapi bukan berarti aku lupa pada kejahatan mereka. Tidak akan! Aku akan tetap ingat, sudah ku katakan dari awal kalau aku bukan pemaaf seperti bapak ibuku.

  Memang tidak baik memendam dendam, tapi aku hanya menjadikan dendam itu sebagai pelajaran saja, sebagai panduan bagaimana aku bersikap nanti.

 Ku kira setelah keluargaku sukses, tidak akan ada yang berani mencemooh kami ataupun memfitnah. Tapi ternyata masih saja banyak yang melakukan perbuatan tak mengenakan itu meskipun sekarang mereka melakukannya di belakang kami, tidak seperti dulu tepat di depan muka kami.

  Salah satunya adalah, menuduh bapakku menggunakan pesugihan agar usahanya berhasil. Haaahhh... lelah sekali rasanya mendengar berita receh seperti itu, tapi kedua orang tuaku hanya tersenyum menanggapinya. Aku sebagai anaknya dibuat gemas dengan sikap mereka itu, apa mereka tidak memiliki hati?, aku juga ingin seperti mereka yang sepertinya tidak punya dendam terhadap orang lain.

  Sudah kuputuskan aku akan belajar dari mereka untuk tidak menggubris ucapan bodoh tetangga, bahkan ketika mereka mengataiku tidak laku karena terlalu judes dan angkuh, aku berusaha menahan diri untuk tidak membalasnya. Penyebab aku disebut seperti itu adalah karena aku yang tidak pernah terlihat membawa laki-laki ke rumah.

   Aneh bukan? Kebobrokan generasi muda jaman sekarang seolah sudah direncanakan oleh masyarakat, bukankah yang baik itu perempuan yang tidak mudah diajak jalan laki-laki sembarangan?. Tapi kenapa warga desaku malah mendukung anak perempuannya demikian. Sudahlah, kalau tidak aneh bukan mereka.

     Aku tidak pernah membawa teman laki-laki ke rumah bukan berarti aku tidak punya teman laki-laki, bahkan jumlah antara teman laki-laki dan perempuan sama. Hanya saja aku lebih suka nongkrong di luar desa, alasannya sudah jelaslah kalian tahu.

     Memang circleku terbilang kecil, hanya 8 orang yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan sisanya perempuan. Tapi jujur saja, aku sudah cukup memiliki mereka yang mau menerima blasteran introvert dengan judes sepertiku.

   Jangan tanya mereka dari mana, karena jawabannya pasti mereka dari luar desaku. Mana ada anak desa seumuranku yang mau berteman dengan orang sepertiku. Sebenarnya mereka pernah menjilatku, tentu saja aku menolaknya, si pendendam sepertiku tidak akan melupakan kejahatan mereka.

   "Nduk.. tolong belikan kopi sama gula di warung sebelah" ucap ibuku pelan dari dapur, aku refleks mencebikkan mulutku, bukannya tak mau menerima perintah dari orang tua. Yang membuat aku malas adalah pergi ke warung ibu gendut itu.

   "Ayo nak.. nanti ibu nyetok sekalian biar kamu nggak beli di situ lagi, ini kepepet soalnya.. bapakmu mau kedatangan tamu" bujuk ibuku yang paham sekali aku sama sekali tidak cocok dengan pemilik warung. Kalau sudah dirayu seperti ini tidak bisa lagi aku membantah, ku sambar hijabku lalu bersiap untuk berperang.

   Kuhirup udara banyak-banyak, niatku akan cepat-cepat melakukan transaksi jual beli dan berlalu meskipun di penjual mengibarkan bendera perang, tapi setelah kulihat kondisi warung kali ini berbeda, ada beberapa pembeli yang sepertinya bukan dari desa kami. Bahkan sebuah mobil mewah terparkir di depannya.

  Kupikir ini bagus karena si ibu gendut itu pasti tidak akan banyak tingkah karena banyak pembeli, aku yang sedikit lega dan senang melangkahkan kaki cepat dengan kedua tangan yang aku masukkan ke dalam saku hoodieku.

  "Beli kopi sama gula bu" ucapku datar sambil menyodorkan sejumlah uang yang sekiranya cukup membeli satu bungkus kopi besar dan gula pasir satu kilo. Pemilik warung hanya melihat uangku, bukannya mengambilkan pesananku dia malah tersenyum manis yang sebenarnya tidak manis.

  Aku jadi sedikit was-was, apalagi yang dia inginkan?. Aku hanya memutar bola menghindari mukanya, malas sekali melihat senyum yang tidak manis itu.

  "Bu... orangnya lagi cari penginapan bu. Gimana kalau disuruh tinggal dirumah kita?". Ayu, anak dari si ibu gendut itu mendekat ke arah ibunya. Tumben sekali dia mau melayani pembeli, biasanya juga dia tidak mau menengok warungnya ini. Seperti gengsi menginjakkan kakinya disini.

  Setelah kutengok, ternyata dia sedang sibuk melayani seorang pembeli yang kusebut tadi, pembeli yang sepertinya berasal dari luar kota. Nampak sekali dari pakaian mereka yang rapi, khas orang kantor. Pantas saja si ayu itu bersemangat berada di warung.

   Sebelumnya kuperkenalkan dulu siapa si ayu itu, sudah jelas dia adalah anak dari pemilik warung. Dia itu seumuran denganku meskipun akhirnya menjadi adik kelas karena pernah tinggal kelas sewaktu SD.

  Dia itu tipe perempuan yang ramah, pada laki-laki tepatnya. Kalau menyapa orang sepertiku mana mau? Dia itu menganggap level kami berbeda, dia cantik dan aku sangat tidak cantik. Tapi biarlah, dikatakan tidak cantik oleh perempuan yang full dempul rasanya tidak pantas sakit hati. Hanya membuang waktu saja.

   Oke, segitu saja perkenalannya. Kan aku pemeran utamanya disini jadi tidak perlu mengenalkan pemeran yang tidak penting.

    Si ibu gendut itu melirikku, lalu mendekatkan bibir tipisnya ke telinga sang anak. Hadeuuhh... aku tidak se kepo itu yah, aku hanya membuang muka malas. Beberapa saat si ayu tersenyum pada ibunya, tidak heran senyum itu langsung luntur ketika dia menatapku.

  Setelah si ayu kembali pada si orang kota itu, si ibu gendut kembali menatapku. "Mana bu kopi sama gulanya?" Ujarku cepat, dia kira aku betah sekali di warungnya.

   "Sabar dong arin, sayakan lagi sibuk melayani pembeli spesial" ucapnya dengan memandang ke arah putrinya yang tengah tersenyum manis sekali kepada pembeli berpakaian rapi itu. Aku hanya memandangnya dengan datar.

  "Ehh.. kamu udah kerja yah sekarang? Saya denger kamu ngajar di TK Kartini yah? Kamu kan sarjana ekonomi, kenapa malah ngajar? Jangan-jangan IPK kamu kecil lagi, jadi nggak diterima di perusahaan atau di bank" nyinyiran itu muncul dari mulut tipis nan sinis. Aku hanya menghela nafas.

Bab 3

    Aku memejamkan mata, kuhirup udara sebanyak-banyaknya yang ku bisa, mencoba meresapi ocehannya, mungkin saja bisa terdengar lebih merdu.

   Haaaahhh... apalagi ini? Bisa tidak sih si gempal ini mengambilkan barang yang ku beli saja?. Mulutku sedikit terbuka untuk mengeluarkan karbondioksida, mencoba tenang meskipun tahu sekarang aku jadi pusat perhatian semua orang disana, jadi peran utama dari drama yang dimulai si gendut.

    "Apa jangan-jangan kamu kurang menarik jadi karyawan di bank? Makanya kamu itu dandan dong.. anak gadis kok cuek banget sama penampilan" sekarang dia menyerang pakaianku, aku masih diam. Membiarkan para penonton menilaiku kalah.

   "Emang ya buah jatuh tak jauh dari pohon, ibu kamu aja pakaiannya gitu, mana mungkin anaknya jadi secantik anak saya" entah dari mana hawa panas ini berasal. Yang jelas aku tidak tahan lagi, dia sudah berani menyeret ibuku sebagai bahan roastingannya.

 "Ngocehnya udah? Gantian sekarang saya yang ngomong bu. Tadi nanyain IPK saya kan? IPK saya 3.9, IPK segitu cukuplah diterima di perusahaan gede. Banyak panggilan kerja masuk bu, cuma saya sengaja nggak ambil. Nanti kalo saya ambil, gaji saya gede, terus saya tambah kaya dong. Nanti siapa yang iri? Ibu juga kan? Nanti jadi sakit-sakitan lagi liat tetangganya tambah kaya" ucapku dengan tenang dan elegan, aku tidak sebodoh yang dipikirkan si gendut ini.

  "Ibu tau perusahaan Menara Wangi itu? Bahkan mereka menawari saya gaji yang besar asal saya mau jadi manager disana. Tapi saya tolak bu. Ibu tahu kenapa? Yah itu tadi.. biar ibu nggak kepanasan, biar anak ibu yang IPK nya cuma 2.5 itu terlihat keren jadi karyawan bank. Baik bangetkan saya bu? Tapi ibu malah ngata-ngatain saya terus"

  Sekarang siapa yang kalah? Aku tersenyum manis sekali pada si gendut yang mukanya sudah merah menahan amarah, kulirik si ayu juga sekilas, ternyata rautnya sama dengan sang ibu. Dia juga langsung menunduk saat para pembeli memandangnya.

   Amarahku belum kutuangkan semua, tadi dia juga menyinggung pakaianku. "Dan lagi bu, mau saya berantakan, mau saya rapi. Itu urusan saya, saya beli baju juga nggak minta duit sama situ kan? Apa yang saya pakai itu yang nyaman dipakai, nggak ada niat buat nyenengin orang lain, apalagi orang julid kaya anda", agak ngeri sebenarnya aku lihat matanya si gendut yang hampir keluar itu. Tapi tahan, mulutku belum selesai mengomel.

 "Ibu jadi tetangga saya berapa lama sih bu? Masa nggak tahu ibu saya?. Kalo belum tahu nih saya beritahu yah.. ibu saya itu, tetangga anda yang paling diam ketika tetangganya nyinyir, tetangga yang tetap membeli di warung reot ini meskipun penjualnya tukang nyiyir, memang ibu saya berpenampilan sederhana, tapi ibu saya tidak pernah menginjak-injak mereka yang lebih lemah. Sayangnya saya sebagai anaknya tidak akan tinggal diam jika ada yang menyakiti keluarga saya. Jika anda sekali lagi menyinggung ibu saya, saya akan benar-benar membuat toko gratis di depan warung ini, biar anda bangkrut sekalian" sedikit kukeluarkan pupilku yang bulat ini, agar terlihat menakutkan seperti tokoh antagonis di TV.

   Dia tidak bisa menjawab ucapanku, bergegas mengambil barang yang kubeli lalu memasukkannya dengan sewot ke dalam kantong, langsung saja menaruhnya dengan sedikit kasar di depanku, seakan berkata "sudah sana cepat pergi!!!". Aku ambil kantong tersebut dengan senyum manis, ditambah tatapan sinis. Aku berucap dalam hati "kamu menang rin!".

   Sudah kukatakan sebelumnya, aku sedang belajar untuk tidak mengurusi apa yang orang lain katakan tentang diriku, toh itu penilaian dari manusia yang tidak tahu benar salahnya, aku akan mencoba sabar. Tapi tidak dengan hinaan mereka yang sudah menyangkut orang tuaku.

   "Nah.. gini kan enak bu, saya beli terus ibu ambilin apa yang saya beli. Saya bayar, saya dapet barangnya, anda dapet uangnya. Tapi ibu malah minta saya omelin. Besok-besok jangan gitu ya bu.. saya ini aslinya baik banget loh sama anda, udah ya... ini kopinya ditungguin sama ibu saya di rumah" aku ngeloyor meninggalkan si gendut yang masih menatapku dengan sengit.

  Baru beberapa langkah, aku kembali berbalik menatap si gendut lagi. "Sekarang ibu nggak cuma jualan sembako yah, jual anak juga?" Ucapku pedas sambil melirik si ayu yang kini melotot ke arahku.

   "Maksud kamu apa sih arin?!" Tanya pemilik warung dengan kesal, entah kenapa malah membuatku senang. Mungkin ini juga yang dirasakan si gendut saat melihatku sewot ketika dia menghinaku. Waaahh.. sensasi luar biasa yang baru aku tahu.

  "Tuh.. anak ibu yang IPK nya cuma 2.5 tumben banget di warung, biasanya juga jijik mau melayani pembeli. Lahh kok sekarang malah ramah banget meladeni pembeli. Eehhh.. ternyata..." sengaja kugantungkan ucapanku, aku yakin si gendut dan anaknya paham betul maksud ucapanku.

   "Kebangetan banget sih kamu arin, sayakan cuma pengen ingetin kamu biar kamu lebih rapi. Biar kamu.." aku mengangkat tangan menginterupsi ucapannya yang ingin membela diri. Sungguh aku sudah benar-benar muak dengan sikapnya yang suka menindas, tapi akhirnya dia yang merasa jadi korban.

    "Cukup bu! Saya nggak butuh saran dari anda. Sekali lagi saya nggak peduli pandangan orang terhadap saya. Dan jangan salahkan saya kalau sikap saya seperti ini, saya bersikap sesuai dengan orang yang ada di hadapan saya. Jangan sok jadi korban bu, orang di kampung ini juga sudah tahu kalau ibu itu tukang julid"

  Ucapku dengan tenang, setelahnya aku memandang mereka dengan senyum sinis, setelahnya benar-benar pergi meninggalkan warung tanpa menghiraukan bagaimana pandangan orang-orang disitu.

   Penilaian manusia tidak penting, mereka memang tidak mengaku Tuhan, tapi seringnya mereka mengambil peran Tuhan. Menetapkan takdir manusia, menilai dengan sekenanya, bahkan berani sekali menentukan surga dan neraka sesama.

   Jika mereka menilaiku buruk. Memangnya, sejak kapan aku baik dimata mereka?. Satu hal yang membuatku bertindak demikian adalah, aku sudah menjadi pusat perhatian, kenapa tidak sekalian memberi pertunjukan?. Aku harap sikapku yang pedas itu membuat orang berfikir ulang jika ingin membuat keributan terhadap keluargaku.

    Entah sejak kapan mulutku jadi sepedas sekarang. Yang jelas kadang aku merasa kalau sikapku salah, tapi sisi lain hatiku berkata kalau tindakanku sudah benar. Aku hanya ingin menjaga martabat keluargaku saja agar tidak terus-terusan jadi bahan tindasan.

    "Bu.. catet aja semua kebutuhan dapur. Biar arin yang belanja ke supermarket. Harganya juga lumayan kalo sekalian beli banyak. Arin nggak mau ya bu beli sama orang yang nggak menghargai pembeli" omelku begitu masuk ke rumah, ibu yang sedang menyapu pun hanya tersenyum teduh melihat putrinya ini bersungut-sungut.

  Kemudian beliau mengangguk, tentu saja tidak akan menuliskan kebutuhan dapur sungguhan. Anggukan itu hanya ingin melihat putrinya merasa tenang, yakin betul kalau pemilik warung itu sudah mengganggu putrinya.

  Heran sekali kepada ibuku, kenapa pula masih setia beli di warung panas itu. Toh nggak pernah dikasih THR istimewa, hanya piring. Paling bagus dikasih teko, itu pun seminggu sudah bejat.

  Awas saja yah, aku akan pastikan kalau ibuku tidak akan menginjakkan kakinya lagi di warung si gendut itu, aku akan memasok kebutuhan dapur sendiri. Khawatir ibuku yang selembut sutra itu harus mendengar ocehan bak mercon kawinan. Huhhh.. benar-benar menyakiti gendang telinga.

  Setelah memberikan belanja tadi, aku kembali ke kamar untuk melanjutkan kegiatan pentingku. Apalagi kalau bukan rebahan, sudah jelas bagi kaum introvert sepertiku tidak boleh meninggalkan ritual glundang-glundung mengukur kasur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!