Hai semua....
Untuk novel ini sudah pernah saya buat di akun sebelumnya yang berjudul yang sama cahaya cinta di bulan Ramadan, namun karena akun sebelumnya tidak bisa dibuka maka saya akan mengulangi novel ini di akun ini.
jadi jika terdapat novel yang sama judul yang sama dengan cahaya cinta di bulan Ramadan itu adalah novel saya sebelumnya di akun yang lama.
terima kasih..😊😊😊
Di malam yang gelap tanpa cahaya bulan suasana yang dingin menusuk ke dalam tulang, seorang lelaki duduk menyendiri di halte dengan diam menatap kepedihan dan kesedihan di dalam jalan kehidupannya.
Bagaikan berjuta-juta masalah yang sedang dihadapi olehnya tanpa tiada henti, lelaki itu melihat taksi yang menghampirinya kemudian lelaki tersebut masuk ke dalam taksi, tatapan yang kosong dan tertunduk membuat dirinya seakan tidak dapat melihat hal yang akan dihadapinya yang akan datang.
"Kehidupan itu sangat buruk tiada kebahagiaan melainkan hanya segala masalah yang akan datang menghampiri hidup ku." Gumamnya di dalam hati, ia selalu menatap keluar jendela mobil taksi dengan tatapan kosong tanpa tiada arti.
Tanpa sadar ia telah tiba di hadapan gerbang rumah yang mewah, lelaki tersebut membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam halaman rumahnya, ketika di depan pintu lelaki itu membuka pintu rumah lahan perlahan terdengar suara yang tidak diinginkan olehnya.
Ya terdengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang tidak pernah ada habisnya, pandika terdiam mematung sesaat kemudian menguatkan hatinya untuk menghadapi kedua orang tuanya
"Itu karena kamu tidak dapat mendidik pandika." Terdengar suara lelaki separuh baya yaitu papahnya yang berbicara dengan nada kasar.
"Memangnya kamu ada waktu untuk Dika?" Terdengar suara wanita yaitu mamah dengan suara yang bergetar.
"Aku kerja, untuk siapa? untuk kalian juga bukan? dia itu sudah dewasa sudah saatnya dia untuk mandiri." Ujarnya dengan penuh amarah dan emosi.
Mendengar pertengkaran kedua orang tuanya yang tidak kunjung berakhir membuat air bening mengalir di pipi, perlahan pandika berjalan menuju ke kamarnya Namun kedua orang tuanya melihat dirinya yang baru datang dan pulang.
"Dika." Teriak papahnya dengan suara keras dan kasar.
Mendengar papanya memanggil dirinya, sesaat pandika menghentikan langkah kakinya kemudian menoleh kearah kedua orang tuanya.
"Dari mana aja kamu?" Tanya papa di hadapan dika dengan tatapan tajam.
"Kamu jangan kasar gitu dengan Dika." Ujar Mamah menegur papah dan membela Dika.
"Manjain aja terus mau sampai kapan kamu memanjakan dia?" Tanya papah dengan kesal
"Kamu terlalu menyepelekan hal-hal kecil untuk Dia, pertengkaran kita bermula karena dia, jika dia berusaha untuk mandiri dan dewasa dan kamu tidak selalu memanjakan dirinya, dia tidak akan seperti ini." Sambung papah dengan emosi yang menggebu.
"Kamu selalu melarang dia untuk melakukan pekerjaan yang sepele namun itu membuat dirinya untuk dewasa, kamu selalu mengatur hidupnya bukan seperti raja melainkan seperti ratu yang tidak perlu melakukan sesuatu namun akan mendapatkan yang dia inginkan, sekarang jawab dari mana aja kamu?" Tanya papah yang tidak sanggup untuk menahan emosinya lagi.
"Dari.... dari nongkrong sama temen-temen pah." Jawab dika dengan suara takut.
"Nongkrong? apa nggak ada kerjaan lain selain nongkrong? seperti kamu tidak ada kegiatan lain saja sehingga kamu keluyuran setiap malam." Ucap papah sambil menampar pandika.
" Mas bisa nggak jangan kasar kepada Dika?" Tegur mamah yang mengelus pipi putra semata wayangnya.
"Diam.!" Bentak papah sambil menunjuk mama dengan tatapan yang mengerikan.
"Siapa yang mengajari kamu nongkrong setiap malam?" Kembali papah bertanya dengan emosi.
Hanya diam dan tertunduk yang bisa ia lakukan dan tidak ada sepatah kata yang dapat dikeluarkan pandika untuk menjawab, dengan kepedihan yang sangat menusuk ke dalam hatinya, pandika langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mendengar ucapan dan kata-kata kasar yang dilontarkan oleh papanya, kemudian pandika memutuskan untuk tidur dan beristirahat.
Keesokan harinya pagi yang cerah matahari tidak malu memancarkan cahayanya, manusia di bumi kembali beraktivitas seperti biasa, namun beda halnya dengan pandika yang masih tetap berbaring di tempat tidurnya.
Tiba-tiba papanya datang dengan membawa seember air dan menyiramnya dengan tanpa ada belas kasihan, akan tetapi pandika tidak bereaksi sedikitpun.
"Bangun sudah pagi nih, mau sampai kapan kamu tidur terus?" Tanya papah dengan suara tinggi dan kasar seperti biasanya.
"Mas jangan kasar dengan Dika seperti itu bisa nggak." Ujar mamah seraya mengambil handuk dan mengeringkan air di tubuh Dika.
"Manjain aja terus, mau sampai kapan dia harus manja? yang ada dia akan hanya jadi sampah masyarakat saja." Timpal papah dengan kesal.
"Tapi bukan seperti ini caranya." Ujar mamah yang masih mengeringkan rambut Dika.
Pandika hanya diam di tempat tidur tanpa ada bergeming sedikitpun, kedua orang tua pandika keluar dari kamarnya dengan pertengkaran yang tiada henti nya.
Setelah kedua orang tuanya keluar pandika bangkit dari tempat tidurnya, kemudian bersiap-siap untuk keluar dari rumah mencari suasana yang akan membuat dirinya menjadi lebih baik.
Setelah berpakaian rapi Pandika keluar dari kamarnya dilihatnya suasana yang sepi, senyap, tanpa ada orang di sekeliling rumahnya kemudian ia pergi keluar.
Pandika terus berjalan tanpa ada tujuan dan tidak melihat sekelilingnya sehingga tanpa disengaja pandika menabrak seorang gadis yang sangat anggun di pandangannya.
"Jalan pakai mata." Ujar Dika ketus.
"Loh kok marah? kamu yang nabrak kok malah kamu yang bawel sih?" Tegur gadis tersebut.
"Eh kamu yang salah, jalan nggak pakai mata!." Bentak Dika kembali dengan kesal.
"Udah ukhti, lebih baik kita segera pulang nggak usah ditanggapin orang seperti itu nggak ada untungnya untuk kita." Ujar wanita yang lain.
"Iya fah, kamu ada benarnya lebih baik kita segera pulang." Tuturnya sambil merapikan barang-barang yang terjatuh.
Kedua gadis itu pergi meninggalkan pandika tanpa menoleh kearahnya namun pandangan pandika terus melihat ke arah kedua gadis tersebut, hingga tidak terlihat kembali.
Rasa ingin tahu terhadap kedua gadis yang sangat anggun tersebut, membuat pandika mengikuti gadis itu dari belakang, dari kejauhan dilihatnya kedua gadis tersebut asik ngobrol di depan gerbang sebuah pesantren yang tidak jauh dari pandika berdiri sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
"Ulfa, nanti datang ke rumah ya." Pintanya dengan berharap.
"Iya ukhti insya Allah Ulfa akan datang ke rumah." Ulfa menjawab dengan tersenyum.
"Ya baiklah, ayo masuk ukhti sudah nggak sabar untuk bertemu dengan Abi dan umi." Ujar Amira dengan gembira dan tak sabar.
"Iya iya ukhti." Ucap ulfa dengan tersenyum lebar dan mengikuti Amira masuk ke kawasan pesantren.
Ulfa dan Amira bergegas masuk ke dalam pesantren suasana pesantren yang sangat damai membuat kedua wanita tersebut terasa seakan nyaman aman dan tentram berada disana.
Amira berjalan menuju ke rumahnya sedangkan ulfa kembali menuju asrama, namun langkah kaki amira berhenti ketika mendengar seseorang memanggil dirinya, dengan penasaran Amira menoleh ke belakang mencari sumber suara yang telah memanggil dirinya tersebut.
"Assalamualaikum ukhti." Sapanya sambil mengucap salam.
"Waalaikumsalam Farhan, apa kabar?" Jawab Amira dengan menanyakan kabar Farhan.
"Bi Khoiri walhamdulillah ukhti, ukhti sendiri bagaimana kabarnya?" Farhan berbalik bertanya.
"Alhamdulillah baik sehat seperti yang kamu lihat saat ini" Jawab Amira dengan tersenyum.
"Alhamdulillah, ukhti sekarang mau ke mana?" Ujar Farhan seraya bertanya dengan malu.
"Ini mau ke rumah, nanti main aja ke rumah ya." Pinta amira agar farhan mau berkunjung kerumahnya.
"Insya Allah, jika nanti tidak ada kegiatan Farhan akan main ke rumah." Farhan menjawab dengan tersenyum.
"Ya sudah, kalau gitu ukhti ke rumah dulu assalamualaikum." Amira berpamitan untuk pulang kerumahnya karena dirinya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Iya ukhti waalaikumsalam." Ujar Farhan menjawab salam dari amira.
Amira bergegas berjalan dengan sedikit berlari kecil menuju ke rumahnya dengan tidak sabar untuk bertemu dengan kedua orang tuanya, pandika merasa heran tidak tahu mengapa dirinya ingin tahu tentang gadis tersebut.
"Oh jadi nama gadis itu adalah Amira?" Ujar pandika dengan rasa sedikit bahagia setelah mengetahui nama wanita yang anggun itu.
Pandika berjalan menelusuri jalan yang membuat dirinya merasa damai sambil memegang sebotol alkohol, ia terus berjalan seraya mabuk yang membuat dirinya cukup senang dan damai.
Waktu terus berjalan sehingga tanpa disadari olehnya hari sudah mulai gelap, pandika melihat seorang anak mempersiapkan acara untuk menyambut bulan suci Ramadan bersama gurunya di masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
"Ustadz ada acara apa aja nanti yang akan diadakan?" Tanya anak kecil itu dengan antusias.
"Apa nanti ada perlombaan?" sambungnya kembali dengan semangat.
"Tentu berbagi macam perlombaan akan kita buat, jadi kamu harus semangat untuk ikut." Jawab ustadz itu memberikan semangat kepada anak kecil itu sembari tersenyum.
Pandyka terdiam sejenak mendengar obrolan mereka yang membuat dirinya berfikir untuk kedepannya. "Tanpa ku sadari ternyata bulan suci ramadhan sudah didepan mata, apa yang telah ku persiapkan untuk menyambutnya?" Gumam pandyka didalam hatinya.
Merasa hatinya seperti tersakiti pandika memilih bergegas pulang, ia terus berjalan menuju rumah dengan keadaan mabuk dan sempoyongan.
Kini didalam hatinya tidak ada lagi rasa takut untuk menghadapi kemarahan papahnya melainkan hanya ada rasa kebencian didalam hatinya terhadap semua perjalanan hidupnya, setibanya dirumah pandika membuka pintu rumah dan terlihat kedua orang tuanya telah terlebih dahulu menanti dirinya.
Tidak tahu mendapatkan keberanian dari mana sehingga pandika berhenti tepat dihadapan papah yang telah teramat sangat marah terhadapnya.
Dengan tidak dapat menahan emosi dan kemarahannya satu tamparan panas mendarat melekat di pipi pandika.
"Siapa yang ngajarin kamu mabuk seperti ini?" Papah bertanya dengan keadaan marah besar.
Pandyka hanya tersenyum tipis yang masih memegang pipinya terasa panas dan perih. "Nggak ada yang ngajarin aku sendiri yang mau." pandyka menjawab santai seraya menantang papah yang sedang marah.
"Dasar anak yang nggak tau diuntung, papah malu punya anak seperti kamu." Ucap papah yang tidak bisa mengendalikan kemarahannya.
"Aku juga malu punya orang tua seperti kamu.!" Jawab pandika dengan tegas.
"Mulai melawan kamu ya?!" Ujar papah hendak menampar pandika untuk kedua kalinya.
"Mas." Mamah meraih tangan papah untuk mencegahnya.
"Apa? Mau nampar lagi?" Pandyka bertanya seolah tak kenal takut.
"Nih tampar masih ada buat papah." Sambung pandika berteriak kembali menantang papah.
"Asal kalian tahu aku malu memiliki orang tua yang selalu bertengkar didepan anak, dimana perasaan kalian yang selalu bertengkar dan yang kalian salahkan adalah aku." Timpal pandika dengan air mata yang mengalir.
"Sebenarnya apa sih yang kalian ributkan? Sebelum aku menjadi anak nakal kalian juga sering bertengkar, dan disaat aku mulai nakal semua kesalahan kalian lempar kepada ku?" Tutur pandika yang tidak sanggup untuk menghadapi kedua orang tuanya.
"Kamu." Papah hendak mendekati pandika dengan rasa bersalah namun dia mundur satu langkah.
"Udahlah pah, dika muak dengan semuanya, lebih baik dika pergi aja dari rumah ini." Ujar pandika seraya melangkahkan kaki keluar dari rumah dengan berat hati dan dalam keadaan masih mabuk.
Pandyka terus berjalan tidak tahu harus kemana karena ia tidak memiliki tujuan, dalam kondisi mabuk membuat ia berjalan tidak karuan, dari kejauhan terlihat mobil sedang melaju kearahnya namun ia tidak merasa takut, ketika mobil itu berhenti pandyka ambruk tidak sadarkan diri.
Pemilik mobil tersebut keluar untuk melihat kondisi pandyka yang tidak sadarkan diri itu. "Dia pingsan abuya." Ujar pak Heru yang menyetir mobil.
Abuya adalah panggilan untuk pemilik pesantren di riau terutama daerah kota Pekanbaru dan kabupaten Kampar, namun sebagian pesantren juga ada yang memanggil kiyai.
Namun selama author madrasah pemilik pesantren dipanggil abuya, untuk para pembaca mohon maklum ya.
"Bantu saya bawa dia kemobil, sebaiknya kita bawa saja dia ke pesantren aja." Ujar abuya yakub.
"Baik abuya." Pak heru membantu abuya yakub untuk membawa pandika masuk ke dalam mobil.
Dalam kondisi tidak sadarkan diri pandika dibawa kepesertaan yang tidak jauh dari tempat kejadian.
Para santri sedang membaca Al-Qur'an untuk mengulang hafalan Al-qur'an mereka masing-masing, begitu juga dengan amira yang sedang membaca Al-Qur'an di masjid bersama dengan para santri Wati yang lainnya.
Namun ia harus berhenti membaca Al-Qur'an ketika ulfa menghampiri dirinya. "Assalamualaikum ukhti, Buya yakub meminta ukhti untuk segera pulang." Ujar ulfa menyampaikan pesan abuya yakub.
"Baiklah terimakasih ulfa." Ucap amira sambil meraih sajadahnya.
"Sama-sama ukhti."
Amira bergegas pulang kerumah bersama ulfa, setibanya di rumah amira membuka pintu dan masuk kerumah.
"Assalamualaikum." Ujar Amira mengucap salam.
"Wa'alaikum salam." Abuya yakub menjawab salam putrinya dengan tersenyum lembut.
Amira melihat ayahnya yang telah menunggu dirinya diruang tamu kemudian ia mencium tangan ayahnya yang telah menunggu.
"Ada apa abah manggil amira?" Amira bertanya sambil duduk disamping abah dengan sopan.
"Abah minta tolong bersihkan kamar yang dekat dengan asrama santri putra.!" Titah abah meminta bantuannya.
"Untuk apa bah?" Amira kembali bertanya dengan penasaran.
"Ada seseorang yang akan menempatinya." Abah menjawab sambil melihat amira yang sangat ingin tahu.
"Kalau boleh tahu siapa bah?" Amira semakin ingin tahu yang akan menempati kamar itu.
"Teman abah, sudah sana bersihkan sebentar lagi teman abah akan datang.!" Titah Abah dengan tegas.
Amira hanya nyengir ketika melihat abah yang mulai geram dengan tingkahnya. "Baiklah bah, kalau gitu amira bersihkan dulu kamarnya." Ujar amira beranjak dari tempat duduknya.
"Assalamualaikum." Amira mencium tangan abah kemudian ia pergi melaksanakan perintah abah
"Wa'alaikum salam."
Amira langsung melaksanakan perintah yang diberikan oleh abah dengan bantuan ulfa yang merupakan adik kelas Amira yang sangat sayang terhadapnya, dia melaksanakan perintah abah dengan semangat begitu juga Ulfah yang membantu Amira tak kalah semangatnya pula.
Hingga pada akhirnya tidak disadari oleh mereka pekerjaan yang mereka lakukan telah selesai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!