Perempuan berusia setengah abad itu nampak anggun dalam balutan gaun hitam semata kaki itu. Rambut panjang disemir hitam yang dibiarkan tergerai membuat wajahnya terlihat lebih muda daripada usianya.
Tap...
Tap....
Tap...
Kakinya dibungkus dengan sepatu hills menimbulkan suara cukup keras kala ia berjalan anggun di ruangan persegi empat berlantai keramik.
Mata tajamnya menatap tanpa berkedip pada seorang pria yang sepantaran dengannya. Pria itu terbaring di ranjang single dengan mata tertutup, di hidungnya terpasang tabung oksigen. Tubuh kurusnya membuktikan kalau ia sudah terbaring cukup lama.
"Cepatlah sadar. Aku butuh ingatanmu, Aku sudah berbaik hati menolongmu. Bukankah sudah seharusnya kamu membalas budi? " Bisik wanita tersebut, tangannya membelai lembut pipi tirus si pria.
*
"Feby! Kita butuh dia. Temui dia sekarang! "
"Ta-tapi dia pasti sudah membeberkan semuanya. Apa akan baik-baik saja kalau aku menemuinya sekarang? "
" Aku tidak peduli! Kamu harus menemuinya, "
Gadis cantik blasteran indo-korea itu menatap nanar pada punggung kekar yang perlahan menghilang di balik pintu meninggalkan ia sendirian di ruang sunyi ini. Ruang serba putih ini-ia sudah mulai membencinya sejak beberapa hari lalu. Sejak kapan? Sejak kapan ia menjadi muak dengan semuanya. Rasanya sekarang hambar dan membosankan. Ada apa dengannya?
*
Dunia ini memiliki banyak rahasia. Negara, orang-orangnya dan setiap tempat menyimpan rahasia. Terkadang kehidupan terlalu mengerikan untuk orang kecil seperti kita.
Jika kita memandang segala sesuatu dengan sudut pandang yang baru hal-hal yang biasa akan nampak berbeda, terasa janggal dan membuat banyak tanda tanya.
Bangunan-bangunan tinggi itu apakah kamu tidak pernah bertanya apa yang ada didalamnya selain manusia? Atau rumah-rumah mewah itu benarkah sebahagia itu tinggal disana? Lalu orang-orang yang selama ini sangat baik, benarkah mereka sebaik itu? Bagaimana kalau ternyata di sebuah sudut terdalamnya menyimpan sebuah rahasia. Mereka menutupnya serapat mungkin sehingga tidak ada yang mengetahuinya.
Seperti kota kelahiran Diana, sebut saja kota A. Usai selamat dari ritual ketiga, setelah ia sadar dari koma ia melihat kota itu tak lagi sama. Baginya sekarang kota itu tidak lebih dari sebuah kota mengerikan yang membawa mimpi buruk. Lihat saja pemimpinnya, masih memasang wajah baik dan ramah seolah dia memang manusia paling baik didunia padahal dia adalah salah satu orang yang berperan besar atas terbunuhnya puluhan gadis di lab buana.
Tempat yang selama ini selalu ia rindukan sekarang menjadi tempat yang ingin ia lupakan. Hatinya terlalu sakit mengingat semua pengkhianatan yang ia terima. Masih terekam jelas di ingatannya bagaimana feby menatapnya dingin tanpa simpati, membiarkan ia terbaring untuk ditumbalkan. Bahkan setitik penyesalan tak pernah gadis itu sampaikan, dia tetap berdiri bangga atas semua kejahatannya.
Bian pria dengan wajah ramah itu bahkan mengkhianatinya dua kali. Menganggap Diana seolah permainan yang harus ia menangkan. Meskipun sudah mendekam di penjara dia tidak pernah meminta maaf atau bahkan menyesali perbuatannya. Dia seolah membenarkan apa yang telah dilakukan.
Karena itu Diana bertekad untuk menjebloskan semua orang yang terlibat kedalam jeruji besi. Walikota, feby, Erlangga, ia pastikan akan membuat ketiganya menyesal.
Menyelidiki lebih dalam konspirasi apa yang ada dibalik rahasia gelap lab buana membuat Diana tersesat semakin jauh. Apa yang selama ini ia ketahui hanya potongan kecil dari sebuah rahasia yang lebih besar. Apa yang terjadi dan disembunyikan di buana membuatnya lebih menyadari betapa menakutkan makhluk yang bernama manusia itu.
***
Diana duduk dengan wajah datar di sudut kafe, rambutnya yang dulu panjang sekarang sudah dipotong pendek. Sudah enam bulan sejak ia keluar dari buana, kejadian itu membuatnya berubah. Diana menjadi lebih pendiam, sengaja menutup diri dari semua orang, selepas keluar dari rumah sakit ia tidak pernah tersenyum lagi. Pengkhianatan yang ia terima masih membekas, luka itu masih belum kering membuatnya jadi lebih menyedihkan. Apalagi setelah mengetahui kondisi Elise membuatnya merasa bersalah setiap saat.
Tangannya memutar pelan gelas kopi yang hampir kosong, sesekali menghela nafas berat. Ia sudah setengah jam lebih duduk disana menunggu Adnan, sepupunya. Setelah perdebatan sengit dengan ayahnya tadi malam akhirnya Diana kembali ke kota ini. Tentu saja alasan terbesarnya untuk mengumpulkan bukti yang dapat menjebloskan wali kota ke dalam penjara. Ia tidak mengatakan pada ayahnya alasan yang sebenarnya karena sudah pasti ayahnya tidak akan mengizinkan. Adnan berjanji akan menemuinya dan akan membantu Diana. Meski sebenarnya diana tak ingin melibatkan siapapun lagi.
Diana menghentikan kegiatannya kala mendengar suara kursi ditarik, ia mengangkat kepala, dua orang tak dikenal duduk didepannya. Sementara Adnan duduk disamping diana.
"Maaf, na, aku datang telat tadi ban mobil bocor jadi harus ke bengkel dulu, " Adnan memberi penjelasan kenapa ia telat sampai setengah jam dari waktu yang disepakati.
"Tak apa. Mereka siapa? Aku pikir kamu bakal datang sendirian, " Ucap Diana melirik dua orang yang datang bersama Adnan.
" Mereka sahabatku, na,"
"Kita akan membahas sesuatu yang penting, kenapa kamu membawa orang lain? Aku tidak peduli mereka sahabatmu atau bukan. Aku pergi, " Ketus Diana mengambil tasnya kemudian beranjak pergi,
"Na, dengerin dulu, mereka sahabat karibku dan mereka bisa dipercaya kok, " Adnan memegang pergelangan tangan Diana mencegahnya pergi.
"Lepas! " Diana menatap tajam,
"Na,"
Diana menghela nafas lelah, namun ia kembali duduk. Ia melirik sekilas dua orang yang sedari tadi menatap bingung. Jangan salahkan Diana bersikap egois dan dingin, ia hanya belajar dari pengalaman untuk tidak terlalu mudah menerima orang apalagi sampai memberi kepercayaan.
Adnan memberi isyarat kedua orang itu untuk mengenalkan diri
"Abimanyu raharja, " Cowok tampan berkulit hitam manis itu menyebutkan nama sambil mengulurkan tangan. Ia memiliki wajah ramah dan bola mata cokelat teduh. Pria yang memiliki tinggi 175 cm itu tersenyum manis menimbulkan lubang dangkal di pipi bagian kanan.
"Diana, " Diana membalas uluran tangan Abi sambil menatap matanya tajam, mencoba menebak pemikiran pria tampan itu.
" Dylan Ortaka, " pria yang duduk di samping Adnan menyebutkan namanya, memiliki kulit putih pucat dan wajah kharismatik. Memiliki bola mata biru yang sangat indah, berpadu dengan alis yang membentuk garis kuat sehingga membuat matanya seperti mata elang. Diana bisa menebak pria yang lebih tinggi dari Abi itu adalah keturunan luar, setidaknya Inggris atau mungkin Amerika.
" Masih ada satu orang lagi tetapi dia tidak bisa ikut hari ini karena sedang keluar kota, "kata Adnan setelah ketiganya berkenalan.
" Kata Adnan dia butuh bantuan, jangan sungkan pada kami. Kamu bisa menghubungiku kapan saja, "Abi menyodorkan kartu namanya pada Diana.
Diana meraihnya, alisnya bertaut, Abi ternyata pemilik Rchicken yang terkenal. Ah, tidak terlalu mengherankan dia berteman dengan Adnan karena sepupunya itu juga desainer yang cukup terkenal. Dia juga mengambil kartu nama Dylan, pria cool itu bekerja di Miracle company, perusahaan kosmetik terbesar saat ini. Dylan bekerja di bagian IT.
Diana meletakkan dua kartu nama itu diatas meja, kata Adnan masih ada satu orang lagi. Orang terakhir mungkin juga memiliki latar belakang yang lebih besar lagi. Namun diana belum tertarik untuk membagi apapun dengan siapapun sekarang. Ia tidak akan mempercayai orang dengan mudah lagi.
" Nan, Aku pergi dulu. Ada meeting penting sama investor, " kata Abi,
"Kalau kau butuh bantuan telpon saja, " Ucap Abi kemudian segera pergi, nampaknya urusannya memang sangat penting dilihat bagaimana cowok itu pergi dengan buru-buru.
Diana melirik Dylan berharap pria itu juga segera pergi. Namun sepertinya dia memang punya banyak waktu, sampai waiters mengantarkan kopi pesanan mereka Dylan masih santai, mengobrol seputar bisnis dengan Adnan. sementara diana hanya menyimak, tidak tertarik sama sekali dengan bisnis.
Sejak dulu diana hanya tertarik pada sains dan teknologi, ia suka meneliti.
" Jadi, diana kamu sedang menyelidiki sesuatu? " Tanya Dylan setelah mengobrol panjang lebar dengan Adnan.
Diana melirik tajam sepupunya, pasti dia yang memberitahu Dylan. Ah, tidak bisakah Adnan menjaga rahasia.
"Tidak. Aku hanya sedang meneliti, kalau kamu belum tahu aku adalah seorang peneliti" ketus diana. Ia mengambil tasnya dan ingin segera pergi dari sini, ia merasa tak nyaman duduk bersama orang asing yang langsung menanyakan sesuatu yang sensitif baginya.
" Aku tahu. Adnan banyak bercerita tentangmu. Aku juga cukup tertarik dengan penelitian, apa bisa sesekali kita berdiskusi.. "
"Aku tidak tertarik. " Dengus diana sambil berdiri lalu berkata penuh penekanan pada Adnan, " Aku pulang. Tidak perlu membantuku. "
" Na, aku bisa jamin kalau mereka bisa dipercaya. Tidak seburuk yang kamu fikirkan, Dylan juga seorang hacker handal. Semuanya akan cepat selesai kalau kamu sedikit saja percaya, " Adnan menyusul diana keluar cafe dan berusaha membujuknya. Ia tentu sadar betul kenapa diana menjadi seperti sekarang, perubahan diana membuat Adnan sangat mengkhawatirkan kondisinya.
"Dulu aku juga sangat mempercayai feby dan bahkan menerima Bian dua kali menjadi temanku. Tapi, apa yang aku dapatkan? Mereka mengkhianatiku, nan. Lalu apa yang membuatmu yakin kalau sahabatmu bisa dipercaya? Apakah persahabatan kalian sudah terjalin cukup lama? Lebih lama dariku dan feby? "
Adnan terdiam, memang dia, Dylan dan abi baru menjalin persahabatan sekitar tiga tahun. Namun, dia sudah melihat kalau keduanya bisa dipercaya dan mereka adalah sahabat yang tulus.
"Sudah kuduga, persahabatan kalian belum selama itu. Maka, jangan menemuiku lagi, nan. Jangan bawa manusia sampah ke kehidupanku, aku muak nan." Kata Diana sinis, kekecewaan masih terlihat jelas di matanya.
"Baik. Aku sendiri yang akan membantumu, " kata Adnan lembut, ia meraih tangan diana untuk menenangkan. Ia tahu kalau Diana sangat sensitif dan masih belum bisa menerima dengan ikhlas apa yang sudah terjadi.
"Aku sudah tak butuh. Jangan membantuku, jangan temui aku. " Diana menyentakkan tangan Adnan keras, ia masuk kedalam taxi yang kebetulan berhenti tepat di depannya.
"Heii.. Itu tadi saya yang pesan! " Teriak seseorang,
"Jalan pak. Saya bayar lebih, " kata Diana yang diangguki oleh supir taxi. Tentu saja supir taxi setuju mengantar diana bukan karena akan dibayar lebih tetapi karena melihat wajah pias diana, tak ingin ikut terseret masalah dia mengiyakan saja.
Diana menoleh ke belakang untuk melihat orang yang berteriak itu. Ternyata seorang pria berusia dewasa mungkin berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Diana kembali menghadap ke depan seraya mengucapkan maaf di dalam hati.
***
Sudah ada beberapa tokoh baru yang muncul. Entah mereka akan membantu diana atau justru akan menghalangi langkah diana.
Diana tidak tinggal di rumah Adnan meskipun dulunya ia pernah menjadi pemilik rumah itu, ia menyewa sebuah rumah kontrakan dengan harga murah. lagipula tabungannya selama bekerja di lab pusat masih cukup untuk biaya hidup sehari-hari.
Diana duduk diatas ranjang dengan kertas yang berserakan. Ia kembali membaca semua data yang dikumpulkan sarah, ia bersyukur tas berisi semua kertas-kertas itu tertinggal di rumah Adnan.
Diana kembali membaca semua data yang sudah dikumpulkan sarah. Siapa tahu ia bisa menemukan sesuatu yang bisa membantunya untuk mengembalikan semua ingatan elise.
Diana teringat beberapa hari lalu ia berkunjung ke rumah elise, perempuan itu tidak mengingatnya sama sekali. Tatapannya seringkali kosong, perasaan bersalah semakin besar menggerogoti Diana. Karena itu ia bertekad untuk berusaha keras menciptakan serum yang dapat menetralisir Oublierserum.
Diana baru menghentikan kegiatannya kala mendengar suara pintu diketuk. ia berjalan keluar untuk membuka pintu,
"Adnan? Ngapain kamu kesini? " Tanya Diana melihat Adnan berdiri menenteng kresek hitam ditangan kanannya.
"Aku tahu kamu marah, na. Kalau kamu tidak mau mereka bergabung tak apa. Aku akan tetap bantu kamu meskipun kamu tidak setuju. " Kata Adnan lembut, ia menyodorkan kresek yang ia bawa, " nasi goreng udang kesukaan kamu, "
Diana mengambilnya, ia memang tidak bisa menolak nasi goreng yang satu ini.
"Masuklah, " Diana melenggang masuk kedalam dan membiarkan pintu terbuka.
"Kenapa ngga tinggal dirumah aja? " Adnan duduk di kursi plastik di ruang tamu mungkin, sebab rumah ini hanya memiliki satu ruangan selain kamar tidur, dapur dan kamar mandi.
" Aku tidak mau tante curiga, " Diana menjawab singkat sambil memindahkan nasi goreng kedalam dua piring. Menyodorkan satu pada Adnan dan mengambil yang satunya untuk dirinya.
Mereka makan dalam diam tidak ada yang memulai pembicaraan. Adnan sesekali masih melirik Diana, berharap gadis itu memulai obrolan lebih dulu. Namun sampai piring mereka kosong tetap tidak ada yang bersuara.
"Aku akan ke buana besok. Ada sesuatu yang ingin aku periksa, " Kata Diana sambil mencuci piring, Adnan yang sedang mencuci tangan disebelahnya membeku.
"Aku ikut, " ujar Adnan.
"Sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku capek mau istirahat, "
Sebuah usiran halus yang dilakukan semata-mata karena ia merasa tidak nyaman. Adnan baik, sangat baik malahan. Dia selalu melakukan apapun untuk Diana dan orang terdekatnya, namun untuk memberi kepercayaan Diana sudah tak ingin melakukannya lagi. Ia tak mampu membenci Adnan seandainya pria itu mengkhianatinya, lebih baik tidak melibatkan siapapun lagi. Cukup elise yang menjadi korban keegoisan Diana.
Adnan pergi tanpa suara, paham betul dengan keadaan Diana. Sebelum pergi, ia masih menatap cukup lama pintu yang sudah ditutup Diana.
" Sesakit itu kamu sekarang, na? "Adnan tersenyum getir kemudian masuk kedalam mobil dan pergi dari sana.
Diana kembali ke kamar setelah memastikan Adnan sudah pergi. Ia kembali berkutat dengan lembaran kertas. Sarah kemana? Mayatnya tidak ditemukan sama sekali, mayat pak Eddie juga tidak ada. Apa mereka masih hidup? Mata Diana sedikit berbinar, jika kedua orang itu masih hidup mereka pasti bisa membantu Diana.
" Sudahlah. Untuk sekarang jangan percaya sama siapapun lagi, Jangan-jangan kedua orang itu juga komplotan Profesor Adams, "gumam Diana. Ia menggeleng, tidak perlu memikirkannya.
Diana menyimpan semua kertas-kertas itu kedalam tas. Kemudian merebahkan diri di ranjang.
Lab buana didirikan untuk menghidupkan kembali margareth buana yang meninggal dibunuh. Awal dari semuanya adalah kematian margareth, siapa sebenarnya yang membunuhnya? Apa motif orang itu membunuh margareth? Karena dendam atau mungkin karena iri dengki terhadap kehidupan margareth buana?
Diana membuka matanya, ia meraih ponsel yang tergeletak di samping kepalanya. Ia menatap cukup lama pada nomor Dylan yang ia dapatkan dari kartu namanya, mungkin itu nomor telepon tempat pria itu bekerja.
Dylan bekerja di bidang IT, pasti tidak terlalu sulit baginya mencari sebuah informasi. Apa sebaiknya ia meminta Dylan untuk mencarikan informasi tentang margareth buana, tapi, bagaimana kalau pria itu menanyakan sesuatu yang tidak bisa Diana jawab.
Sudahlah. Diana kembali meletakkan ponselnya. Ia hanya perlu pergi ke desa tembang untuk bertanya, tapi warga desa juga tidak terlalu suka dengan margareth. Namun tidak ada salahnya mencoba.
*
Seperti yang sudah Ia rencanakan tadi malam, hari ini Diana pergi ke lab buana. Ia sengaja pergi pagi-pagi sekali menggunakan motor untuk menghindari Adnan.
Bangunan besar asrama buana masih berdiri kokoh seperti enam bulan lalu. Tidak banyak yang berubah kecuali tempat itu sekarang sudah tidak terawat, jalan setapak menuju lab buana saja sudah hampir semuanya tertutup tumbuhan liar. Diana yang sudah pernah kesana tidak terlalu kesulitan untuk sampai di asrama buana.
Diana membuka pintu utama asrama yang tidak terkunci sama sekali. Bunyi berderit dari pintu memecah kesunyian, ah, tempat ini memang selalu sunyi bahkan ketika asrama masih ditempati oleh para peneliti. Dulu, Diana berpikir tempat ini begitu sunyi karena terletak di dekat hutan tapi sekarang Diana berpikir tempat ini begitu sunyi karena kegiatan terlarang yang terjadi. Kegiatan sesat itu seolah menjadikan asrama buana mati.
Diana melangkah di sepanjang koridor yang sangat kotor, wajar saja karena sudah tidak ada yang membersihkan. Diana tidak menyalakan lampu, Ia berjalan di Koridor yang tidak terlalu terang bahkan pencahayaan di tempat itu hanya remang-remang.
Diana berhenti didepan kamar empat belas, padahal rahasia terbesar tersimpan disini namun ternyata polisi tidak pernah menemukannya. Mungkin karena cara membukanya yang terlalu dark sehingga elise tidak memberikan catatan tentang ruangan rahasia dibalik dinding kamar empat belas ini kepada polisi.
Tap...
Tap...
Tap...
Ketika Diana hendak masuk kedalam kamar empat belas Ia mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Masih ada orang disini? Pikir Diana.
Diana segera masuk kedalam kamar empat belas agar tidak ketahuan. Ia sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang turun dari lantai dua.
Seorang perempuan.
Diana sedikit menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas sosok itu. Diana dapat mengatakan kalau orang itu adalah perempuan, wajahnya tidak terlalu jelas karena pencahayaan yang kurang. Dia mengenakan gaun hitam selutut, rambut panjangnya yang juga hitam tergerai bebas di punggung. Dia berjalan anggun dengan kaki yang dibaluti sepatu hills,
Madam susan?
Saat perempuan itu melewati kamar empat belas, Diana bisa melihat wajahnya. Dia madam susan, kepala asrama buana. Kenapa dia ada disini? Apakah dia masih tinggal disini bahkan setelah insiden mengerikan itu.
Untuk sementara Diana tidak jadi memeriksa kamar empat belas. Ia harus pergi ke lantai dua untuk membuktikan kecurigaannya. Ia harus melihat kamar yang ditempati madam susan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!