Apa jadinya ketika siuman dari pingsan karena kecelakaan, tiba-tiba ada dua bocah dengan wajah polos memanggilku mommy.
Apa ada yang salah dengan otakku? Apa aku mengalami trauma kepala? Kok aku tidak ingat siapa dua anak ini? Kirana memukul kepala untuk mencoba mengingat semua.
"Mom, jangan banyak gerak dulu!" cegah gadis kecil itu menghalangi tanganku.
"Siapa kalian?" reflek aku bertanya.
"Mom...," seru bocah tampan dengan wajah tak percaya.
"Huaaaaaa... mommy jahat. Kenapa bisa melupakan kami?" gadis kecil berusia lima tahunan itu pun pecah tangisnya.
Aku dibuat membego oleh mereka.
Apa otakku gesrek? tanyaku dalam benak.
Mataku mengajak untuk terpejam lagi. Rasa pening mengalahkan teriakan kedua bocah yang ada di samping tempat tidurku.
"Biarkan mommy istirahat sayang. Kita keluar aja," terdengar suara laki-laki yang tidak dikenal oleh Kirana baru memasuki kamar.
Kirana terus memejamkan mata.
"Honey, aku pergi dulu sama anak-anak kita. Cepat sembuh. Love you," sebuah bibir nan hangat mengecup kening Kirana.
'Honey... Siapa lagi nih orang. Beraninya memanggil sayang. Kenal aja enggak,' pikiran Kirana kemana-mana.
Terdengar pintu kamar yang telah ditutup.
Kirana mencoba memberanikan diri untuk membuka matanya sebelah, mengintip dan memastikan kalau ruangan itu telah kosong.
Kirana mencubit lengannya, "Ah sakit," keluhnya.
"Kalau begitu aku belum mati,' gumamnya pelan tanpa seorangpun mendengar.
Jelas saja tak ada yang mendengar, Kirana di ruangan itu sendirian.
Sebuah jarum infus menancap manis di lengan kiri Kirana.
"Apa ini di rumah sakit? Siapa yang membawa aku ke sini?" Kirana terus memutar otak.
Kirana teringat akan kecelakaan saat dirinya mengendarai motor tadi pagi.
Kecelakaan yang diakibatkan karena dirinya terlalu banyak melamun sehingga tak mengetahui kalau ada sebuah mobil dari arah berlawanan yang mencoba untuk menyalip kendaraan di depannya.
Meski berusaha menghindar, tapi tetap saja tangan kanan Kirana menyenggol kaca spion kanan mobil yang mengakibatkan laju motornya oleng.
"Ponsel ku? Tas ku?" Kirana melihat sekeliling.
"Mewah banget nih kamar," celetuknya.
"Ntar bagaimana aku membayarnya? Apa sebaiknya aku melarikan diri saja? Jangan-jangan aku diculik?" Kirana kepikiran akan suara bariton laki-laki yang mengecup keningnya tadi.
Melawan rasa pening dan ngilu sekujur tubuh, Kirana bangkit dari ranjang mewah rumah sakit itu.
Infus yang terpasang di lengan, Kirana coba lepas paksa.
"Sakit," keluhnya dan mengurungkan niat melepas tuh infus.
"Aku harus menemukan ponsel punyaku. Bagaimana aku bisa nelpon Firman kalau tak pegang ponsel," keluh Kirana.
"Aku harus nurunkan egoku, meski hati ini masih dongkol karena pengkhianatan dia. Hanya dia yang kupunya sekarang di dunia ini," gumam Kirana.
Ceklek. Pintu kamar terbuka membuat Kirana reflek langsung memejamkan mata.
"Honey, kamu belum siuman juga?" kata laki-laki dengan suara baritonnya itu.
'Eh, kenapa nih laki datang lagi?' pikir Kirana.
'Ish, jangan-jangan dia mau menciumku lagi,' kecamuk Kirana.
"Wajah kamu kenapa jadi bengkak gini sayang? Cepat sembuh ya, aku janji akan mengantar kamu ke klinik kecantikan manapun sesuai yang kamu pinta," oceh pria itu.
Kirana tak berani membuka mata karena laki-laki itu duduk di tepian ranjang. Tepat di samping Kirana.
Dengan lembut dia mengusap rambut Kirana.
'Aduh, kenapa jantungku? Dag dig dug tak beraturan. Apa ini namanya serangan jantung?' bisik hati Kirana.
'Pasti gila nih orang. Hei, aku nih bukan sayangmu. Bukan honey kamu. Buka matamu!' teriak Kirana meski tak bisa didengar oleh laki-laki yang mengajaknya bicara.
'Kok bisa sih aku terjebak di sini? Rasanya ingin cepat-cepat melarikan diri,' ingin lari tapi tubuhnya tetap tak bergeming.
"Sayang, tidurmu lama sekali? Apa kamu tak kangen dengan suami kamu ini?" bilangnya membuat Kirana tersentak dalam diam.
'Suami? Apa pula itu? Sejak kapan aku menjadi istri kamu? Wah benar-benar nih orang. Tak bisa aku biarkan,' omel Kirana. Omelan dalam hati.
Terdengar pintu kamar diketuk.
"Siapa?" tanya laki-laki itu.
'Sialan, makin susah nih untuk lari,' umpat Kirana dalam hati.
"Nenek? Kok bisa sampai ke sini?" tanya laki-laki itu.
Kirana sedikit mengintip ke sosok wanita setengah baya yang terlihat masih sangat cantik nan anggun itu.
'Nenek? Siapa pula nih?' Sementara aku ikutin alurnya aja dulu. Daripada bertambah pening kepala gue,' Kirana fokus dengan mendengar pembicaraan kedua orang itu.
"Kenapa tak kasih tahu nenek? Gimana keadaannya?" kata wanita itu mendekat ke arah Kirana.
"Belum siuman," jawab laki-laki itu.
"Biar saja dia seperti itu. Kalau perlu tidur selamanya," ucap sang nenek ketus.
'Wah, meski masih cantik tapi kelakuannya bagai nenek lampir. Enak aja nyumpahin anak orang,' batin Kirana kesal.
"Jangan gitu dong nek, ingat masih ada cicit nenek yang butuh istriku ini," jawabnya.
"Makanya, kamu itu jangan terlalu patuh pada wanita miskin ini. Kadar kebucinan kamu itu turunin," suruh nenek yang sepertinya tak ikhlas punya cucu menantu.
'Sebenarnya siapa yang gila sih ini? Aku atau mereka? Aku sama sekali tak kenal dengan keluarga ini. Atau jangan-jangan aku memang amnesia? Kenapa aku jadi ragu akan diriku sendiri? Apa beneran aku Kirana Larasati. Atau jangan-jangan roh ku yang masuk ke jasad wanita yang menjadi istri laki-laki ini. Hiiii... Horor banget,' batin Kirana.
'Kalau begitu apa aku sudah meninggal? Terus kenapa aku tak bisa keluar dari jasad ini. Seperti di film-film itu,' tebak Kirana
'Aku harus segera berkaca. Jangan-jangan memang ini bukan tubuhku,' gumam Kirana dalam hati.
"Ingat Max, sudah beberapa kali wanita ini menyakiti kamu. Aku dengar dia kecelakaan saat sedang bersama dengan selingkuhannya. Apa benar itu?" ujar sang nenek.
'Wah...wah...selingkuhan? Nggak bahaya kah?' menurut Kirana, semakin kesini semakin ngeri aja tema pembicaraan nenek dan cucunya ini.
"Sebaiknya segera saja kamu ceraikan dia Max," saran nenek.
"Apa nenek nggak kasihan sama twins? Kalau aku cerai, twins tak akan dapat kasih sayang seorang ibu," tukas laki-laki yang dipanggil Max itu.
"Kamu ini memang bodoh sekali Max. Wanita di dunia itu tak cuman dia. Masih banyak yang lebih baik," kata nenek menimpali.
'Wah, jadi istri saja masih dibanding-dibandingkan. Apalagi aku yang masih berstatus tunangan. Tak salah juga sih, orang tua Firman mencarikan jodoh yang lebih baik buat anaknya. Bukan aku yang cuman gadis yatim piatu,' Kirana merasa sedih.
'Apa itu yang jadi alasan Firman mengkhianatiku?' pertanyaan yang belum mendapat jawaban karena Kirana masih terbaring di sana.
Nenek itu memperhatikan tubuh Kirana yang terbaring di ranjang.
"Sejak kapan istri kamu mau pakai baju tak bermerk? Dekil amat. Tumben tak seperti biasanya?" tanya nenek yang bisa didengar oleh telinga Kirana.
'Lama-lama suara wanita ini bikin telinga merah aja' kesal Kirana mendengarnya.
Kirana sosok gadis cantik dan sederhana. Saat siuman tiba-tiba dihadapkan pada situasi yang membuatnya berasa di dunia lain.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Nenek itu memperhatikan tubuh Kirana yang terbaring di ranjang.
"Sejak kapan istri kamu mau pakai baju tak bermerk? Dekil amat. Tumben tak seperti biasanya?" tanya nenek yang bisa didengar oleh telinga Kirana.
'Lama-lama suara wanita ini bikin telinga merah aja' kesal Kirana mendengarnya.
"Nek, sudahlah. Biarkan istriku istirahat," bela laki-laki yang mengaku sebagai suami Kirana itu.
"Tak akan kubiarkan Max. Nenek sudah membiarkan terlalu lama wanita ini menjadi benalu di keluarga ini," lanjut nenek yang ucapannya terdengar jelas di telinga Kirana.
"Apa nenek lupa, kalau ada twins yang dilahirkan oleh Kirani," ujar Maxime.
"Kirani? Itu kan bukan nama gue. Kebetulan aja sedikit mirip," oceh Kirana masih dengan mata terpejam.
"Apa dia pantas disebut ibu? Wanita yang hanya mau mengandung twins. Toh, apa yang dilakukan dia setelah anak-anak kamu lahir?" seru nenek.
"Non sense," lanjut nenek.
"Dia hanya seorang wanita culas. Hanya mau memanfaatkan kekayaan kamu Maxime," kata nenek dengan kesal. Gambaran yang disampaikan nenek sangatlah bertolak belakang dengan diri Kirana Larasati.
"Nek, aku yakin suatu saat dia akan berubah," ulas Maxime.
"Terserah kamu," ujar nenek dengan kadar kekesalan sampai ubun-ubun.
Kirana berpikir dalam diam.
Aku harus berpura-pura sadar dan mencoba menjelaskan ke mereka saja.
Aku tak mau terperosok dalam jurang kesesatan, yang aku sendiri tak tahu dasarnya.
Ihhh...ngeri. Itu yang dirasakan Kirana sekarang.
Semoga yang kuasa melindungiku, doa Kirana dalam hati.
"Arghhhhhh," Kirana mencoba membuka mata perlahan untuk menyempurnakan aktingnya.
Kedua orang yang sejak tadi berdebat itu menoleh ke arah Kirana yang terbaring di atas tempat tidur.
"Sayang, kamu sudah sadar?" Maxime mengecup beberapa kali kening Kirana.
Pandangan Kirana yang mulai jelas, maka dapat melihat wajah tampan yang kini berdiri di sampingnya. Wajah yang sempurna.
'Firman ini mah lewat, tak ada seujung kukunya,' batin Kirana.
Kirana seolah lupa dengan niatan awalnya.
"Sayang, makasih kamu sudah sadar. Apa ada yang masih sakit?" Kirana tak menjawab
Pesona laki-laki ini sungguh luar biasa. Maxime Bagaskara, pengusaha muda dengan wajah penuh pesona. Wajah oriental dengan kulit putih bersih bak pualam, bahkan serangga aja alergi jika nempel ke kulitnya.
"Heiiii.... Kok bengong? Apa ada yang masih sakit? Aku panggilin dokter ya," kata laki-laki yang kalau Kirana tak salah dengar dia bernama Maxime.
Laki-laki yang saat ini melambaikan tangan di depan wajah Kirana membuat Kirana sadar dari kebengongan hakiki. Kirana menggelengkan kepala sesaat, seolah tersadar dari mimpi.
"Aku panggil dokter saja," laki-laki itu hendak pergi.
"Enggak usah tuan, saya tak apa-apa kok," jawab Kirana.
"Tuan? Hello... Aku ini suami kamu. Ngapain panggil tuan segala," kata laki-laki gagah nan tegap itu.
"Anda ini siapa tuan? Saya ini bukan istri tuan," kata Kirana dengan sopan.
Kirana ingin segera menghilang dari ruangan ini, karena tak ingin terjebak dalam keluarga yang menurutnya aneh.
Apalagi tatapan sinis wanita tua itu, sungguh bagai nenek lampir versi terbaru. Versi terbaru karena nenek lampirnya cantik meski judes. Tuh kan otakku penuh body shaming, gerutu Kirana dalam hati.
Ucapan Kirana berakibat tangan Maxime memegang kening Kirana.
"Kamu demam? Aku rasa enggak," gumam Maxime.
"Tuan, maaf. Saya ingin pulang," Kirana beranjak duduk dan hendak turun.
"Enggak bisa. Kamu boleh pulang jika dokter mengijinkan pulang," cegah Maxime.
"Ta...ta...tapi... Saya tak ada biaya untuk membayar biaya perawatan di ruangan mewah ini. Lagian besok saya musti kerja," jelas Kirana dengan sesungguhnya.
"Apa kamu meragukan suami kamu ini? Tak akan kuijinkan kamu keluar selangkah pun dari sini," Maxime menahan tubuh Kirana.
Nenek mengernyitkan alisnya.
"Kelihatannya otak istri kamu gesrek deh Maxime? Sedari sadar tadi tingkahnya aneh banget," kata nenek.
"Issshhh nenek. Jangan ngasal deh," kata Maxime.
"Nama kamu siapa?" nenek mendekat ke Kirana.
"Kirana, nyonya," jawab Kirana.
"Tuh kan. Namanya aja beda, meski wajahnya sedikit mirip sih," tanggap nenek.
"Nek, aku lah yang lebih ngenalin istriku," tukas Maxime kesal.
"Sayang, sejak kapan nama kamu berubah? Nama kamu itu Kirani," jelas Maxime.
"Tapi namaku beneran Kirana tuan," Kirana mencoba menjelaskan.
"Kalau memang nama kamu Kirana, mana kartu identitasnya?" tanya Maxime layaknya petugas sensus aja.
Mana ada kartu identitas. Ponsel sama tas aku aja tak tahu di mana sekarang. Batin Kirana.
Kirana tak segera mengambil.
"Tentu saja kamu tak bawa sayang. Kartu identitas kamu ada di aku. Tadi aku pakai buat daftarin saat kamu masuk IGD," jelas Maxime.
'Apa bener aku amnesia? Apa memang aku istri tuan ganteng ini? Tapi aku nggak merasa tuh. Apa rohku bertukar jasad dengan istrinya? Hiiii...,' Kirana begidik ngeri.
'Apa memang cerita dalam drama Korea ada di dunia nyata?' batin Kirana.
Maxime membuka ponsel untuk ditunjukkan ke Kirana.
"Lihat ini!" suruhnya.
Netra Kirana pun beralih ke wallpaper yang ada di ponsel mewah itu.
Nampak di sana Maxime lengkap dengan keluarga kecilnya berpose.
'Keluarga idaman. Laki-lakinya tampan, wanitanya cantik. Putra putrinya pun sama' gumam Kirana dalam hati.
"Sayang, apa dengan ini kamu masih tak percaya jika kamu istriku?" dan dijawab gelengan Kirana.
'Mana mungkin aku istrinya? Penampilan aja dekil begini. Sebenarnya yang otaknya gesrek siapa sih?' keluh Kirana dalam hati.
'Gimana nih caranya kabur dari sini? Laki-laki ini kenapa tak pergi aja sih? Juga nenek ini," gerutu Kirana dalam benak.
'Pakai besok aku kena shift pagi lagi. Hadeh,'
"Tuan, saya ini beneran bukanlah istri tuan. Pasti anda salah orang deh," Kirana mencoba menjelaskan lagi.
"Nama saya Kirana Larasati, saya bekerja di sebuah minimarket. Dan kebetulan besok saya harus kerja pagi," sambung Kirana.
"Maxime, jangan-jangan istri kamu kesurupan tuh? Sejak tadi ocehannya aneh-aneh dan tak jelas," sela nenek.
"Atau dia beneran lupa ingatan? Syukurin deh," imbuh nenek.
"Semoga saja sifat baiknya yang tertinggal," sarkas nenek.
"Nenek!" Maxime tak setuju dengan ucapan sang nenek.
"Saya sudah menjelaskan semuanya dengan jujur tuan. Jadi bolehkah saya pulang sekarang," Kirana pamit pergi untuk kesekian kalinya.
"Never," tegas Maxime.
"Kamu harus tetap di sini, sampai dokter menyatakan kalau kamu benar-benar telah pulih," lanjut Maxime membuat Kirana mengurungkan niatnya.
"Tapi saya ingin pulang tuan," rengek Kirana.
"Sayang," Maxime memegang pundak Kirana membuat hati wanita yang barusan ditinggal tunangannya itu berdesir.
"Sekali ini saja, aku mohon kamu turutin kata-kataku. Semua demi kebaikan kamu sayang," mohon Maxime.
Tak lama, Maxime memeluk tubuh Kirana.
Dan anehnya pelukan itu membuat hati Kirana tenang.
Wah, bahaya laten datang nih. Hati-hati Kirana.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
To be continued, happy reading guyssss
Kirana beberapa kali menguap saat dokter yang merawat datang untuk memeriksa.
Semalaman dia tak bisa tidur nyenyak, karena laki-laki tampan yang mengaku sebagai suaminya itu terus saja menggenggam tangannya.
Jangan ditanya bagaimana irama jantung Kirana. Dari mode lagu melow, pop slow, rock bahkan sampai rap terdengar semua. Bahkan musik reggae yang jarang didengerin oleh Kirana, semalam pun ikut mengalun.
"Anda pucat sekali nyonya? Bisa tidur nyenyak?" tanya dokter itu dengan ramah.
Kirana menggeleng.
"Bengkak di wajah anda sudah jauh berkurang," beritahu sang dokter.
'Dokter ini kenapa sih? Aku kok merasa dia hanya basa basi ya,' batin Kirana.
"Wah, sepertinya anda tak sabar nih melakukan perawatan wajah? Saya ada rekom klinik kecantikan yang bagus deh nyonya," lanjut sang dokter.
'Ih, apaan sih,' Kirana merasa risih akan ucapan dokter itu.
"Dok, kelihatannya istri saya masih butuh istirahat. Apa anda sudah selesai memeriksa keadaannya?" sela Maxime.
"Oh, tentu saja," tukas dokter itu.
Dokter bersama suster keluar dari ruangan vvip itu.
"Biasanya kamu antusias sekali ketemu sama dokter tadi," kata Maxime sambil menutup pintu kamar.
"Dokter tadi?" tanggap Kirana.
'Boro-boro akrab. Kenal juga nggak,' kata Kirana membatin.
"Tuan, apa hari ini saya belum boleh pulang? Saya belum ijin tidak masuk kerja," ucap Kirana.
Maxime mengelus kepala Kirana lembut.
"Kerja di mana? Kamu tuh istriku, Kirani sayang. Mana mungkin aku membiarkan istriku kerja" kata Maxime dengan tenang dan jelas.
"Tuan, saya ini bukan istri anda. Nama saya Kirana. Kirana Larasati. Bukan Kirani," lanjut Kirana.
Kirana tak ingin ada salah paham lagi.
"Sayang, ternyata trauma benturan kemarin sungguh berefek luar biasa. Aku akan minta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh deh," ujar Maxime meraih ponsel di atas nakas.
'Wow, ponselnya aja seharga puluhan juta. Pasti beneran dia orang kaya nih. Hiii...ngeri gue,' pikir Kirana.
"Dok, tolong lakukan general check up buat istriku," perintah Maxime.
'Emang siapa dia? Beraninya memerintah dokter,' tanya Kirana, meski hanya membatin.
"Baik tuan Maxime," jawaban dokter itu bisa didengar oleh Kirana, karena Maxime sengaja meloudspeaker panggilannya.
"Saya tak mau tuan," tolak Kirana.
"Tak ada penolakan kalau soal kesehatan" tegas Maxime.
Beberapa orang datang untuk menjemput Kirana dan mengantarkannya untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
Kirana menurut saja karena tatapan Maxime.
"Nyonya, silahkan!" ujar salah satunya meminta Kirana untuk pindah duduk di kursi roda.
'Nyonya... Nyonya... Aku ini masih Nona. Bisa mati pasaran gue,' gerutu Kirana atas panggilan itu.
"Hati-hati. Yang kalian bawa adalah nyonya dari pemilik rumah sakit ini," kata seseorang yang sepertinya atasan dari beberapa orang itu.
"Baik tuan" jawab perawat yang hendak mendorong kursi roda yang sudah diduduki oleh Kirana.
'Nyonya pemilik rumah sakit?' Kirana tak berani membayangkan seberapa kayanya Maxime.
Bisa bawa bekal lauk ayam saat kerja saja sudah menjadi kebanggaan tersendiri buat Kirana, kok bisa-bisanya mereka menyebut dirinya nyonya pemilik rumah sakit.
Sebenarnya yang gila siapa sih?
Rombongan itu menyusuri koridor rumah sakit.
Di barisan belakang, nampak beberapa laki-laki tegap berdasi dan berjas rapi berjalan mengikuti rombongan Kirana.
'Aih, seperti di drakor aja. Pakai pengawal segala,' bangga hati Kirana.
Makanya rombongan itu pun menjadi perhatian seluruh warga rumah sakit.
'Atau malah kita yang aneh ya? Semua mata tertuju ke sini. Apa memang mereka mengira kita sedang syuting sinetron? Atau mereka semua malah mengira kita ini rombongan sirkus?' banyak dugaan yang melintas di otak Kirana.
Setiap yang berpapasan selalu menunduk hormat ke arah Kirana. Kirana yang merasa kikuk terpaksa membalas dengan senyum termanisnya.
Satu hal yang selalu diingat Kirana dari pesan ibu panti, sedekah tidak harus berupa materi. Dengan senyum ikhlas dan ramah itu juga sedekah. Makanya Kirana membalas dengan senyuman setiap orang yang menyapanya.
"Kamu ini kenapa sih? Mau pamer gigi?" kata Maxime yang berjalan di sampingnya. Mode cemburu sangat nampak di aura wajah tampannya
'Apaan sih?' ingin rasanya Kirana menampol pipi mulus pria tampan itu.
"Mommy," kedua bocil menghampiri Kirana yang sedang didorong naik kursi roda.
"Mom, mau kemana?" tanya bocah perempuan nan cantik itu.
"Mommy perlu pemeriksaan tambahan Cantika sayang," jelas Maxime.
"Biar mommy cepet pulang," imbuh Kenzo.
"Ih, kakak sok tahu deh," celetuk Cantika menggemaskan.
'Ih lucunya mereka. Pingin deh ciumin mereka berdua,' Kirana ikutan gemas.
"Betewe, Mommy kok diam aja sih?" kata Kenzo.
"Si...si...siapa nama kalian berdua?" tanya jujur Kirana.
"Mommy kok lupa sih nama anaknya," ujar Kenzo seraya menyilangkan tangan di depan dada.
"Huaaaaa..... Mommy nggak sayang lagi sama kita kak," air mata anak cantik itu pun mulai menggenang.
'Drama apa lagi ni Tuhan?' Kirana memijat pelipisnya.
Maxime duduk jongkok di depan kedua anaknya.
"Kalian sayang mommy kan?" ujar Maxime dan dijawab anggukan kedua bocil itu.
"Tuh lihat mommy sedang mijitin kepala. Itu tandanya mommy belum sembuh sayang. Mommy sayang kok sama kalian. Iya kan Mom?" Maxime menengok ke arah Kirana, menunggu jawaban dari Kirana.
Kirana terpaksa mengangguk.
'Dosa apa lagi yang aku lakukan Tuhan? Kenapa aku bohong pada kedua anak kecil ini?' batin Kirana.
'Tapi mereka begitu menggemaskan,' pikir Kirana sangatlah bertolak belakang.
"Sayang, ayo kita masuk!" ajak Maxime saat tiba di depan ruangan yang bertuliskan radiologi.
"Buat apa tuan?" tanya Kirana.
"Kamu akan dilakukan pindai CT, untuk melihat seberapa parah trauma pada kepala," jelas Maxime.
"Apa itu artinya aku gila? Apa beneran aku amnesia tuan?" tanya Kirana lagi.
"Biasanya Mommy panggil sayang ke Daddy? Kok sekarang panggilnya tuan," sela Cantika.
Kirana menoleh ke arah Cantika.
'Gimana aku ngejelasinnya kalau aku bukanlah mommy kalian? Semakin lama aku semakin bingung aja,' pikiran Kirana bertambah kalut.
"Mommy kalian biar masuk dulu ya? Jangan buat mommy tambah bingung karena harus menjawab pertanyaan kalian," kata Maxime.
"Oke Dad," kedua anak itu penurut sekali menurut Kirana.
Kirana dimasukkan ke sebuah kapsul raksasa.
'Alat ini canggih. Berapa biaya untuk sekali periksa? Jangan-jangan gajiku selama tahunan tak bisa buat bayar. Aku harus segera menghilang dari mereka,' niat Kirana sudah bulat.
Sebelum masuk tadi, Kirana sesekali melihat jalur evakuasi untuk melarikan diri. Seperti mendapat bencana saja Kirana ini.
"Tuan, boleh aku ke toilet sebentar?" ijin Kirana sesaat setelah pemeriksaan.
"Hhhmmm, boleh. Aku anterin deh," jawab Maxime.
"Eh, enggak usah tuan. Mana ada toilet perempuan dimasukin laki-laki," Kirana menolaknya.
"Siapa bilang? Tinggal perintah aja, maka toilet akan dikosongkan," ujar Maxime.
'Waduh, celaka nih. Susah banget cari jalan keluar,' Kirana mencoba memutar otaknya.
"Tapi aku akan lama tuan. Perut aku tak bisa dikondisikan ini," Kirana berakting memegangi perutnya.
Kirana sengaja berlama-lama di toilet agar Maxime bosan menunggunya.
"Sayang, sudah belum?" teriakan Maxime terdengar entah yang ke berapa kalinya.
Tak ada sahutan.
"Sayang.... Sayang....," panggil Maxime berulang kali.
Maxime pun memanggil beberapa anak buah untuk mendobrak pintu.
Bruaaaaaakkkkk....
Dan tak ada siapapun di sana.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
To be continued, happy reading
Like, komen, vote nya dong.
Jangan lupa favoritin juga ya 😘. Thanks
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!