" Kemalaaaaa...."
Di setiap pagi pasti akan terdengar suara teriakan dari suamiku. Entah sudah terbiasa, atau memang hobi nya jika memanggilku harus selalu berteriak-teriak.
Para tetangga sudah hapal dengan teriakannya itu. Bahkan anak ku Aska yang berumur 4 tahun juga terbangun mendengar suara nya yang menggelegar.
"Iya bang, Mala disini. Ada apa Abang memanggil Kemala?"
"Ada apa, ada apa katamu! Ini, ini, makanan apa ini semua? Bukannya tadi malam aku minta nya ayam? Kenapa makanan nggak jelas begini yang kamu sajikan."
"Tapi bang, ayam nggak akan cukup untuk kita bertiga jika dibeli dengan uang sepuluh ribu."
"Siapa yang bilang untuk kita bertiga! Ayam itu hanya untuk aku, karena disini hanya aku yang bekerja. Kalian kan hanya santai-santai saja dirumah. Enak aja mau makan ayam." Sungutnya.
"Tapi bang, Aska kan anak Abang. Kalau Abang nggak mau beli untuk Mala setidaknya belikan untuk Aska bang. Kasian dia."
"Nggak pake tapi! Mulai membantah ya kamu sekarang. Cepat belikan atau ku ten- dang kau dari rumah ini."
Bang Burhan yang marah langsung menepis seluruh piring yang ada di meja. tempe goreng, sambal terasi dan ikan asin semua meluncur jatuh ke lantai yang masih berupa tanah itu.
Aku hanya pasrah, tidak berani melawan karena nanti tubuhku akan ba-bak belur dibuatnya. Yang ku pikirkan sekarang adalah Aska anakku. Makan apa nanti dia.
Setiap hari suamiku akan marah-marah jika keinginan nya tidak di turuti. Aku bahkan sudah hapal betul seperti apa tabiatnya.
Bergegas aku pergi ke warung yang menjual sarapan pagi. Mudah-mudahan masih ada menu ayam. Karena jika harus ke pasar pasti uang ini tidak akan cukup.
"Wak, ayam nya apa masih ada?"
"Masih Mala, kamu mau beli ayam untuk suami mu lagi? Apa uang mu sepuluh ribu? Lagi?"
"Iya Wak." Mala menjawab sambil menunduk.
"Ini ambil ayam nya, tidak usah bayar ya nak. Emang nggak waras itu suami kamu. Ngasih uang kok segitu. Untuk dia sendiri aja nggak cukup."
"Tapi Wak, apa Wawak nggak akan rugi?"
"Nggak apa-apa kok Mala. Ini rejeki kalian, ambillah."
"Terima kasih Wak. Mala janji kalau punya uang akan Mala bayar hutang-hutang Mala."
Ucap ku sambil sesekali menyeka air mata yang jatuh.
Aku bergegas pulang ke rumah. Bang Burhan pasti akan memarahi ku lagi jika aku pulang terlambat.
Kebanyakan warga di sini sudah tahu seperti apa kelakuan bang Burhan yang sangat pelit kepada kami. Apakah bang Burhan malu? Tentu saja tidak. Ia bahkan senang jika banyak yang membantu istrinya. Setidaknya ia tidak perlu bersusah payah memberikan nafkah untuk kami.
"Assalamualaikum Aska."
"Waalaikumsalam Bunda, udah pulang?"
"Iya ni Bunda cuma pergi sebentar aja kok. Ayah nya aska mana?"
"Ayah tadi udah pergi dijemput Tante Tiwi."
Kemala menghembuskan nafasnya kasar. Sudah beberapa kali Tiwi dan suaminya bepergian bersama-sama dengan alasan yang tidak masuk akal.
"Yaudah, sekarang gimana kalau kita makan aja? Ni bunda belikan ayam untuk Aska."
"Asyiiik hari ini Aska bisa makan ayam. Terima kasih bunda."
Aku pun makan dalam diam. Hari ini aku bisa memakan nasi yang lembut. Kalau biasanya, hanya makan kerak nasi sisa yang ada di periuk. Itu pun jika kerak itu tidak gosong.
"Hebat sekali ya kamu Kemala! Suami mu nggak kamu sediakan makan, dan kamu malah enak-enakan makan nasi pake ayam."
Aku sangat terkejut dengan kedatangan mertua ku itu. Aku pun langsung bangkit dan mencoba menghampiri mertua ku yang sedang berkacak pinggang.
"Mala udah beli ayam buk. Tapi pas Mala pulang bang Burhan udah pergi dijemput kak Tiwi."
"Jangan cari alasan! Kamu itu memang nggak becus menjadi istri nya Burhan."
Ibu mertua yang masih marah langsung melempar piring yang berisi makanan yang sedang dimakan Aska. Seketika piring beserta makanan langsung berjatuhan.
"Jika anak ku tidak bisa makan ayam, maka anak mu juga tidak boleh. Ingat itu!"
"Tapi bu, kok ibu tega sama cucu ibu sendiri. Aska cucu ibu, di dalam tubuhnya mengalir darah bang Burhan anak ibu." Ucap Mala menahan tangisnya.
"Ku-rang a-jar kamu!"
Plak plak plak
Aku di tampar berkali-kali oleh ibu mertua, bahkan tidak segan-segan ibu mertua ku menarik jilbab usang milik ku. Jarum pentul yang berada di bawah dagu, tidak sengaja menggores kulit ku dan menyebabkan luka.
Tidak berhenti sampai disana, ibu mertua juga menen dang ku hingga tersungkur dan membentur meja.
Hati ku begitu pilu. Tidak mengapa aku dipukuli hingga babak belur. Tidak mengapa jika aku di caci, di maki bahkan tidak di anggap manusia.
Hanya saja kali ini semua itu terjadi didepan anak ku sendiri. Aska menyaksikan ku di siksa. Namun ia tidak menangis. Ia bahkan tidak menjerit. Ia hanya diam dan memandang ke arah nenek nya dengan pandangan yang menusuk.
Aska ku. Anakku. Buah hatiku. Kini masa kecilnya telah terenggut oleh keadaan. Maafkan bunda mu yang lemah nak. Maafkan bunda.
Baru ku sadari entah sejak kapan senyum dan tawa miliknya telah hilang. Aska ku kini berwajah dingin dengan tatapan menghunus ke arah nenek nya.
Setelah puas menyiksa ku, ibu mertua langsung pergi meninggalkan kami begitu saja. Aska ku masih diam di tempatnya dengan air mata yang menggenang. Ia seperti sedang menahan sesuatu agar air mata itu tidak tumpah.
Ibu mertuaku tidak akan mau tahu apapun. Yang paling penting bagi nya adalah anaknya, Tiwi dan Tika. Bagi nya kami hanya lah orang lain yang bisa saja dibuang kapan pun mereka inginkan.
"Aska sayang, maafin Bunda ya. Karena Bunda sudah membuat Aska melihat hal yang tidak perlu Aska lihat. Sekali lagi Bunda minta maaf nak." ucapku sambil mendarat kan beberapa ciuman di keningnya.
"Bunda nggak salah. Selama ini mereka yang udah jahat sama Bunda. Bunda yang sabar ya, tunggu Aska besar nanti akan Aska bawa bunda pergi dari rumah penyihir ini."
"Aska sayang, nggak boleh ngomong kasar begitu ya nak. Itu nenek Aska. terhadap orang yang lebih tua kita harus sopan sayang."
Kemala memeluk anak laki-laki nya dengan erat sambil mencium ubun-ubun kepalanya dan mengucapkan kata-kata baik. Ia tidak ingin anak nya menyimpan dendam.
Walau bagaimanapun Ibu mertua ku adalah nenek nya. Nenek yang harus ia hormati dan kasihi.
Memang selama ini kami tinggal dirumah pemberian mertuaku. Rumah yang beralaskan atap Rumbia, berdinding papan dan berlantaikan tanah yang sudah padat.
Setelah menenangkan Aska, Aku membereskan sisa nasi yang sudah tidak layak di sentuh. Sepotong ayam yang ku sisakan untuk bang Burhan ku berikan kepada Aska anak ku. Biarlah, aku sudah tidak peduli jika nanti ia murka.
Ku lihat jilbab satu-satunya milik ku yang masih layak pakai kini telah robek. Aku bahkan tidak memiliki jilbab lain yang bisa menutupi aurat ku.
Dengan kain bekas gendongan Aska semasa kecil, aku pergi mencari nafkah. Kain itu ku pakai di atas kepala sebagai pengganti jilbab yang telah koyak.
Sandal yang sudah tidak layak pakai lagi, ku ikat disana sini dengan tali plastik agar tidak putus. Baju ku jangan ditanya lagi seperti apa bentuk dan warnanya.
Tambalan sana sini untuk menutupi sobekan nya. Untung saja ada tetangga yang baik hati mau memberikan kain perca kepadaku.
Setelah memakai celana, aku melapisi nya lagi dengan kain sarung usang. Aku takut celana yang lemah ini akan sobek ketika aku sedang mencari berondolan (sawit yang sudah terlepas dari tandan nya.)
Pekerjaan ku sehari-hari adalah mencari berondolan untuk uang jajan anakku. Uang sepuluh ribu ditambah dua ribu tidak lah cukup untuk makan kami sehari-hari. Bang Burhan menambahkan uang dua ribu untuk uang jajan ku kata nya.
"Lihatlah perempuan diluar sana tidak ada yang seberuntung kau Kemala! Bahkan kau ku beri jajan setiap hari nya." Ucap bang Burhan kala itu.
Aku tidak pernah menjawab ucapan nya. Aku selalu menunduk jika ia berbicara. Bang Burhan bisa marah jika aku menatap wajahnya. Ku terima setiap uang pemberian nya dengan ikhlas. Walaupun uang itu akan terpakai lagi untuk nya nanti.
Uang yang sering ia berikan terkadang habis untuk bang Burhan sendiri. Aku bersyukur masih kuat dan mencari nafkah sendiri. Tidak bisa ku bayangkan nasib Aska tanpa ku.
Uang dari mencari berondolan sebagian ku tabung untuk masa depan Aska. Dan sebagian nya lagi ku beri kan kepada Aska jika aku sedang mencari berondolan. Aku tidak ingin anak ku hanya menelan ludah saat temannya yang lain membeli jajan. Sekarang yang jadi fokus ku saat ini adalah Aska anak ku.
Jika mengharap dari bang Burhan, aku bukan hanya mendapat makian dan cacian. Tapi bisa saja bang Burhan akan melayang kan tamparan ke pipi tirus ku ini.
Aku tidak ingat kapan terakhir kali membeli pakaian. Sabun mandi saja selalu ku belah menjadi empat bagian agar hemat. Dan terkadang sabun dan sampo ku jadikan satu.
"Bunda, lihat disana banyak jamur sawit. Ayo kita ambil bunda."
Seketika lamunan ku buyar karena suara Aska yang memekik keras.
Hari ini ia minta ikut untuk mencari berondolan. Mungkin rejeki kami bisa mendapatkan banyak jamur. Aska sangat menyukai nya.
"Iya sayang, ayo kita ambil. Dan ingat, jangan di ambil semua."
"Kenapa Bunda? Kan ini rejeki kita."
"Kita nggak boleh serakah ya nak. Ambil secukupnya untuk kita. Biarkan orang lain juga merasakan jamur ini seperti kita."
"Baik Bunda. Aska senang punya Bunda yang baik seperti ini."
Ucapan Aska membuat pipi ku memerah. Anak ku memang sangat manis.
seandainya bang Burhan bisa semanis itu. aku pasti akan sangat beruntung. namun itu semua hanya lah dalam hayalanku saja.
Bang Burhan dulu pernah semanis madu saat pertama kali mendekatiku. Dia adalah salah satu dari sekian banyaknya pemuda yang ingin meminang ku.
Saat itu orang tua ku terlanjur kecewa, pemuda yang di tunggu-tunggu akan datang melamar ku ternyata tidak tampak batang hidung nya.
Bukan hanya orang tua ku. Aku pun sangat kecewa dan terpukul dengan perlakuan nya terhadap keluarga kami. Pemuda itu adalah satu-satunya cinta yang hadir dalam hati ku.
Namun cinta itu di hancurkan sebelum berkembang. Pemuda itu menghilang tanpa jejak setelah terakhir kali kami bertemu.
" Aku siap mengganti kan calon suami Kemala pak." ucap bang Burhan kala itu.
Dengan berani nya ia mengatakan ingin menggantikan Pemuda yang tidak bertanggung jawab itu.
Aku yang sudah sakit hati, dan orang tua ku yang kecewa, akhirnya menerima bang Burhan. Dan kami pun bertunangan hari itu juga.
Tidak ada senyuman di bibir ku. Hati ku telah patah menjadi dua. Akhirnya ku terima dengan lapang dada apa yang telah menjadi takdir ku.
Kami pulang setelah beberapa jam mencari rejeki di perkebunan sawit. Pemilik sawit biasanya tidak mengambil berondolan itu. Mereka mengikhlaskan berondolan di ambil oleh kami orang pinggiran perkebunan.
Aku berharap pemilik nya sehat selalu agar aku bisa terus bekerja dan mencari nafkah disana.
"Baru pulang kau Kemala!"
Suara bang Burhan membuatku terkejut. Aska bahkan sampai bersembunyi di balik tubuhku. Tidak biasanya ia pulang ketika siang. Karena pekerjaan nya akan selesai di sore hari.
"Iya bang."
"Cepat buka pintunya, aku sudah lapar."
Tidak pernah ada basa basi diantara kami. Ku lihat bang Burhan menenteng plastik yang didalamnya pasti nasi bungkus.
Aku meletakkan berondolan disamping rumah, dan tidak lupa pula jamur yang kami petik tadi di dapur.
Ku lihat bang Burhan membuka bungkusan nasi itu, yang ku tebak pasti nasi Padang. Aroma nasi itu membuat cacing dalam perut ku meronta-ronta. Bukan hanya aku, disana Aska menatap ayah nya yang sedang asyik menyantap makan siang nya.
Seketika air mataku menetes, anak ku sedang menatap Ayah nya yang sedang menggigit daging rendang.
"Apa kau lihat-lihat! Buat selera makan ku hilang saja!"
Ucapan bang Burhan membuat Aska terkejut. Aska pun langsung berlari ke arah ku.
"Nanti kita masak jamur kesukaan Aska ya nak. Pasti rasanya lebih enak." Ucapku sambil berbisik.
Aku terpaksa menyembunyikan jamur yang kami dapatkan di kebun tadi. Kalau bang Burhan sampai tahu, pasti ia akan mengambil dan memberikannya kepada Tika anak nya Tiwi.
Terkadang apapun yang di inginkan anak ipar ku itu, harus selalu di turuti seperti waktu itu. Padahal Aska sudah sangat lelah dan lapar ketika mencari jamur di kebun sawit tetangga. Namun dengan enak nya bang Burhan mengambil paksa.
"Jamur ini lebih baik kita berikan ke Tika. Tika itu anak yatim. Banyak pahala kau nanti Aska."
"Bang, Aska belum makan dari pagi demi mencari jamur kesukaannya. Boleh lah di bagi dua jamur itu bang." Ucapku kala itu.
"Dasar kau pelit Mala! Apa begini cara mu mengajarkan anak ku? Ingat! Tika itu keponakan ku yang sudah menjadi yatim. Kewajiban kita untuk memberikan apa yang kita mampu."
Aku langsung terdiam dan memeluk Aska yang hampir menangis. Setiap kali Aska memiliki sesuatu yang di inginkan Tika, Aska harus mengalah.
Iya. Abang Ipar ku yang tak lain adalah Abang nya bang Burhan telah meninggal dunia. Namun Tiwi istrinya banyak di tinggalkan harta warisan yang tidak akan ada habisnya.
Ibu mertuaku pun sangat menyayangi Tika, karena hanya dia satu-satunya cucu perempuan di keluarga suamiku. Tiwi ipar ku bahkan masih tinggal dirumah mertua ku.
Yang di pikirkan bang Burhan hanyalah Tika dan Tika saja. Bahkan selama menjadi seorang Ayah, tidak pernah ia membelikan apa yang Aska inginkan.
Pernah bang Burhan mengajak Tika dan Tiwi pergi liburan ke kolam renang, dan saat itu aku protes kenapa tidak mengajak serta Aska.
"Kenapa kami tidak di ajak bang? Bukankah Aska anak Abang yang harus Abang perhatikan?"
"Pintar sekali mulutmu itu bicara Mala . Buat apa aku mengajak kau. Bisa diketawain orang-orang aku dikira mengajak orang-orangan sawah."
"Kalau Abang malu membawa Mala, apa Abang nggak bisa mengajak Aska?"
" Untuk apa? Aska kan bisa mandi di kali. Tidak cocok dia mandi di kolam renang seperti Tika. Sudah, jangan banyak sekali mau mu."
Terkadang aku merasa heran dengan keadaan, Tika atau anak ku yang sudah menjadi yatim.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!