Bella, gadis kecil yang tidak pernah mengerti tentang apa arti kasih sayang. Dia selalu menerima perlakuan yang kurang baik dari Mamanya. Untuk ukuran orang tua, Mamanya terbilang sangat keras dan tegas. Alasannya adalah karena Bella adalah putri satu-satunya keluarga mereka. Dimana keluarga mereka merupakan keluarga bangsawan yang terbilang cukup berpengaruh di kota di mana mereka tinggal.
Dia jarang sekali bertemu dengan Papanya. Pria pebisnis yang selalu pergi ke luar kota. Dalam kurun waktu satu tahun, Bella bisa menghitung berapa kali dia akan bertemu Papanya. Itu pun jika dia punya kesempatan untuk bertemu. Terkadang, Papanya akan pulang ketika dia sedang tidur, dan akan berangkat lagi ketika dia masih belum bangun. Hanya beberapa buah tangan dari luar kotalah yang menandakan bahwa sebelumnya, Papanya ada di rumah itu.
Sejak kecil Bella sudah di paksa untuk belajar tari Balet. Mamanya selalu mengatur jadwal latihannya sekali pun dia tidak suka. Lagi-lagi alasannya adalah tanggung jawab Bella sebagai putri tunggal keluarga Bangsawan. Menurut Mamanya, sebagai anak tunggal, Bella harus membawa nama besar keluarga, dan membuat keluarga bangga dengan prestasi yang dia punya. Dan prestasi yang dimaksud oleh Mamanya adalah seorang Balerina.
Menjadi seorang Balerina adalah hak milik orang-orang kaya dan para bangsawan. Karena pada waktu itu, hanya merekalah yang mampu membayar biaya sekolah balet, yang kategorinya cukup mahal. Mamanya berharap, lewat prestasinya ini, dia bisa membuat nama keluarga mereka semakin terkenal. Sesungguhnya Bella benci dengan hal itu. Tapi sebagai anak kecil, dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah Mamanya.
"Mama, Bella udah enggak kuat,” Gadis kecil berusia 9 tahun itu berusaha merengek membujuk mamanya.
"Kamu pasti bisa. Tidak ada yang tidak bisa. Kamu tidak melihat, orang-orang hebat itu juga bisa begitu karena mereka berlatih. Terus dan terus. Mereka tidak memikirkan soal makan dan bermain. Tidak seperti kamu!"
"Tapi Ma, Bella masih kecil.."
"Mereka justru berlatih waktu usia mereka dibawah kamu!"
"Tapi Ma.."
"Cukup Bella!!" Kata mamanya sambil melotot ke arah anak semata wayangnya itu.
"Ada banyak anak diluar sana yang ingin dapat kesempatan seperti ini. Kamu masih saja merengek. Teruskan latihannya!!" Kata mamanya sambil keluar dari ruang latihan.
"Aku mau kasih tau, aku terluka ma, kakiku sakit sekali.. Tidak bisakah kau memandangku sekali saja?? Hiks...hiksss", kata Bella dengan suara yang sangat kecil sambil berusaha menahan air matanya. Tapi itupun tidak mampu dibendungnya.
Dilepaskannya rasa sesak didadanya. Bella menangis sejadi-jadinya. Dia tidak takut kalau-kalau mama mendengarnya. Dia tidak peduli pelatihnya yang memandanginya terus menerus. Yang dia tau dia hanya ingin menangis. Hanya menangis.
***
Ingatan itu kembali seperti sedang menonton sebuah film. Bella sangat jelas mengingat, bagaimana sorot wajah marah mamanya, orang yang sangat dia sayang, sekaligus dia benci.
Itu pertama dan terakhir kalinya, dia melihat mamanya marah padanya. Sejak itu Bella tidak pernah melihat mamanya marah, karena dia memilih menjadi penurut. Dia memilih mendengarkan semua perkataan mamanya, sekalipun dia tidak suka.
Sebenarnya, dia suka menari. Dia sangat suka menari. Tapi bukan menari balet seperti keinginan mamanya. Dia lebih suka tarian bebas. Gerakan bebas yang beraturan, suasana yang tidak formal, itu yang dia sukai. Dikepalanya, dia membayangkan dirinya menari dengan bebasnya, bersama kelompok tari anak-anak muda, yang tariannya lebih hidup, lebih bersemangat, lebih berwarna.
Itulah yang dia lihat pertama kali. Ketika dia diajak keluar oleh mamanya, dia melihat sekumpulan anak muda menari-nari di tepi jalan. Mereka melompat, berpindah dengan sangat cepat, kekiri dan kekanan. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tarian.
Pertama kali dia mendengar dari mamanya kalau dia akan didaftarkan kelas menari, dia melompat
kegirangan. Menari yang ada dikepalanya, adalah yang dia lihat dijalan itu. Dia tidak tahu, bahwa yang dimaksud oleh mamanya sama sekali berbeda.
Mendapati semuanya asing di hari kertama kelas tarinya, Bella menangis. Bukan ini yang dia mau. Bukan ini yang dia inginkan. Mimpinya berbeda dari ini. Seiring berjalannya waktu, entah sejak kapan, Bella akhirnya mengerti. Setelah mengerti apa itu arti dari keluarga bangsawan, Bella mengurungkan niatnya. Dia mematahkan keinginannya dan menghapus visual-visual yang muncul dikepalanya.
Butuh waktu yang cukup lama untuk dia akhirnya bisa menerima keberadaan dirinya sebagai seorang Balerina. Tapi untuk ukuran gadis kecil yang tidak suka tari balet, dia adalah gadis yang hebat. Dia bisa menguasai gerakan-gerakan pada tarian itu dengan cepat. Bahkan tubuhnya benar-benar sangat lentur. Seakan dia bisa mengontrol tubuhnya kemana pun dia mau. Walaupun sekali lagi, sebenarnya dia tidak suka.
"Hhhh.. Sudahlah Bella, lagi pula sudah 10 tahun berlalu", katanya pada dirinya sendiri sambil bangkit dari tempatnya duduk. Dia selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menyemangati dirinya sendiri. Dia sedang berada di kamarnya ketika dia menikmati visual tentang masa kecilnya itu. Dia memang sedang dalam posisi istirahat, karena dia akan mempersiapkan diri untuk sebuah festival besar.
Tok..tok..tok.. Terdengar suara pintu kamarnya di ketuk. Bella bingung. Siapa yang datang mengganggunya saat dia sedang istirahat?
"Bolehkah...??" Tiba-tiba mamanya membuka pintu dan masuk seenaknya.
"Seperti biasanya ya Ma.." kata Bella sambil menaikkan senyumnya, tapi hanya sebelah.
"Maksud kamu??"
"Aku sedang istirahat dan Mama datang menggangguku. Mau apa Mama kali ini?"
"Ada apa denganmu??" kata mamanya sambil mondar-mandir mengecek kamar Bella.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama menggangguku istirahat, kecuali itu sesuatu yang sangat penting atau mendesak. Kali ini ada apa??” Tanya Bella dengan nada ketus. Sepertinya dia memang sengaja menunjukkan bahwa dia tidak suka Mamanya berada di kamarnya.
"Bella, ayolah.. Kita sudah baik-baik saja selama ini. Dari semua hari, haruskah hari ini??"
Bella tidak menjawab pertanyaan Mamanya. Ada sesuatu yang sebenarnya mengganggu fikirannya. Tapi di depan Mamanya, dia berusaha untuk tetap bersikap biasa saja.
“Kamu baik-baik saja kan?? Tanya Mamanya pada Bella.
“Aku baik-baik saja Ma..” Jawab Bella seadanya.
"Kamu yakin??"
"Ya Ma.."
"Ok, baiklah Bella. Malam ini pertunjukan besarmu. Persiapanmu sudah matangkan??" Mama berusaha mencari mataku dan menatapku dengan pandangan tajam. Sepertinya dia tidak ingin terjadi sedikit pun kesalahan pada festival nanti. Aku bisa melihat keinginannya itu dari matanya.
"As you wish Mam!” kataku dengan nada datar sambil membalas tatapan mamaku.
"Jangan coba macam-macam Bella. Ini kesempatan besarmu."
"Apa aku terlihat seperti sedang ingin macam-macam Ma??"
"Tidak Bella.. Mama percaya padamu. Ini kesempatan besarmu. Kau harus bisa melakukan yang terbaik" kata
mamanya sambil meninggalkan kamar Bella.
Tidak ada jawaban dari Bella. Kecuali tatapan datar.
"Maafkan aku Ma. Sepertinya kali ini aku tidak bisa mengikuti keinginan Mama.” Bella mengucapkan hal itu setelah Mamanya keluar dari kamar. Sesuatu yang dia sengaja sebenarnya. Ada sesuatu yang tersirat pada raut wajah Bella. Hanya Bella yang tahu apa yang akan dia lakukan nanti malam. Dia harus mengambil keputusan yang besar sebelum festival itu dimulai.
Di sebuah hutan tampak seorang gadis tertatih-tatih. Hampir sepanjang malam dia berjalan dan dia sudah merasa sangat lelah. Tiba-tiba dia melihat sebuah cahaya dari kejauhan. Dia berlari mengejar cahaya itu. Semakin lama semakin dekat. Dia berlari semakin kencang, berharap dia bisa mendapatkan sebuah pertolongan disana. Seketika langkahnya terhenti. Dia telah melihat sumber cahaya itu.
Sebuah bola raksasa yang berada di tengah-tengah hutan. Ada seseorang di dalam bola itu. Dia diam dan tenang. Dia tidak tahu bagaimana seseorang bisa masuk kedalamnya, tapi dia terlihat seperti seorang gadis. Perlahan dia mencoba mendekat dan semakin dekat. Dia mengelilingi bola itu dan dengan perlahan menyetuhnya. Tiba-tiba sebuah sinar memancar begitu terangnya dan...
"Hhhhhhh...Hhhhhh..."
Laura terbangun dari tidurnya. Dia mengambil posisi duduk di atas tempat tidurnya. Dia kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangannya dan mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia melihat jam di kamarnya. Sudah jam 7 ternyata. "Mimpi itu lagi. Tapi bagimana bisa??" Katanya sambil memeluk lututnya yang sedang dia tekuk.
***
Laura dan Adrian sedang berada di meja makan untuk menikmati sarapan yang sudah di sediakan di sana. Adrian sepertinya sangat menikmati sarapannya. Berbeda dengan Laura. dia sama sekali tidak selera dengan apa pun yang ada di hadapannya. Fikirannya terganggu dengan mimpi yang dia alami tadi malam. Merasa dia tidak tenang dan tidak bisa berfikir jernih, dia akhirnya memutuskan untuk menceritakan hal itu pada Adrian.
"Ian.." Panggil Laura. Dia meberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
"Hhmm..??" jawab Ian santai.
"Ian..!!"
"Ya Laura.." kata Ian tanpa memalingkan pandangannya dari sarapan yang ada didepan matanya.
"Tatap aku kalau aku sedang mengajakmu bicara Ian. Ini penting! Kata Laura dengan nada meninggi sambil menekuk wajahnya.
"Aku bisa mendengarmu Laura, aku sedang makan." Jawab Adrian acuh.
"Aku sedang bicara. Dengarkan aku dulu."
"Apa itu termasuk perintah??" Tanya Ian dengan nada datar. "Semakin lama, kau semakin mirip Nyonya." Adrian sengaja mengatakan itu pada Laura. Adrian tahu betul bahwa Laura sangat tidak suka jika dia dibandingkan dengan Mamanya sendiri. Dia tidak ingin menjadi mirip dengan figur Mamanya yang dingin.
"Ian bukan begitu.."
"Katakanlah, apa yang harus aku dengarkan," kata Ian sambil perlahan menghentikan sarapannya.
"Ian, maafkan aku.."
"Ayo lanjutkan.."
"Ian, maaf.." kata Laura sambil menundukkan kepalanya.
"Kau selalu berkata bahwa kau benci menjadi mirip dengan Nyonya. Tapi semakin lama, kalian semakin mirip."
"Ian.. Kau paham betul bagaimana cara merusak moodku. Berapa kali lagi harus aku katakan bahwa aku tidak suka disebut mirip dengan Mama. Lagi pula kenyataannya memang aku tidak mirip dengan Nyonya itu. Tapi sudahlah. Hal itu kita abaikan saja. Ada yang lebih penting dari itu." Kata Laura serius.
Ian mengernyitkan dahinya. "Yang lebih penting dari itu?? Memangnya ada??"
"Maka dari itu dengarkan aku Ian. Fokus.."
"Ok..ok.. sekarang apa??"
"Kau ingat tidak aku pernah bercerita tentang mimpi??"
"Ingat, bahkan kau menceritakan hampir semua hal padaku," kata Ian sambil tersenyum melihat perubahan drastis wajah Laura.
"Ian.. Ayolah.. Aku serius.."
"Ok.."
"Mimpi ini seperti potongan puzzle. Aku sudah lama tidak memimpikannya. Tapi tadi malam.."
"Kau memimpikannya lagi??" Kata Adrian mencoba menebak.
"Iya Ian. Tapi lebih tepatnya, ini adalah bagian selanjutnya dari mimpi terdahulu."
"Maksudmu, dia berlanjut setelah beberapa waktu??"
"Iya Ian."
"Memangnya kamu ingat, seperti apa mimpimu beberapa waktu lalu??"
"Ingat Ian. Ingat sekali."
"Bohong. Kau bahkan tidak ingat kegiatanmu seminggu yang lalu." Kata Adrian.
"Tapi aku mengingatnya Ian. Setiap detailnya, aku ingat."
"Kapan kau terakhir memimpikannya??"
"Beberapa waktu yang lalu Ian. Aku tidak begitu ingat kapan aku memimpikannya. Tapi aku ingat dan tahu persis bagaimana jalan ceritanya."
"Kau bercanda Laura."
"Aku serius Ian!!" Kata Laura sambil menatap tajam ke arah Ian.
Ian yang melihat perubahan raut wajah Laura, mendadak berubah fikiran. Terlihat dari raut wajah Laura bahwa dia tidak berbohong. Sepertinya dia serius.
"Tapi, bagaimana bisa??"
"Seandainya aku tahu Ian.. Tapi aku bingung dengan mimpi itu. Sepertinya ada bagian yang aneh."
"Bagian yang aneh? Apa?"
"Aku ada diluar, dan ada didalam juga."
"Maksudnya??"
Laura kemudian menceritakan bagaimana kondisi dalam mimpinya tadi malam. Dia juga menceritakan semua mimpinya dari awal kepada Ian.
"Jadi maksudmu, kau yang sedang berlari itu, melihat dirimu didalam bola??"
"Iya Ian. Itu benar-benar aneh. Bukankah demikian??"
Adrian kemudian tersenyum simpul ke arah Laura. dia kemudian menjelaskan apa yang dia tahu tentang mimpi. Dia berharap penjelasannya ini bisa membuat Laura tidak terlalu terbeban dengan mimpi yang baru saja dia alami.
"Laura...Laura.. Dengarkan aku. Kemungkinan seperti apapun bisa saja terjadi didalam mimpi. Mimpimu bisa berkembang menjadi aneh. Namanya juga bunga tidur. Dalam mimpimu, kau juga bisa berubah menjadi besar atau mungkin jadi malaikat bersayap." Kata Adrian.
"Ian, tapi ini berbeda.." Kata Laura sambil berusaha untuk meyakinkan Adrian.
"Aku bukan tidak mempercayaimu Laura. Tapi itu hanya mimpi. Untuk apa kau membuang-buang waktu untuk memikirkan mimpi yang jelas-jelas hanya bunga tidur. Kau harus fokus dengan acara kita sebentar lagi. Itu lebih penting dari apapun."
"Tapi, hatiku berkata lain Ian.." Kata Laura dengan suara lemas. Dia sepertinya sudah menyerah untuk meyakinkan Adrian.
"Aku tahu, dari dulu hatimu memang lebih peka dibanding siapapun yang ada disini. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu Laura. Kalaupun kita harus membicarakan soal kata hatimu, sebaiknya kita lakukan setelah kau selesai tampil. Kita bisa lebih fokus ke sana nantinya." Kata Adrian sambil melanjutkan sarapannya yang tadi sempat tertunda.
"Apakah ini perintah Adrian??" Kata Laura dengan nada bercanda. Dia mencoba untuk menerima masukan yang di berikan Adrian padanya.
"Hei.. Itu kalimatku.." kata Ian sambil mendelikkan matanya.
"Kau mengucapkannya dirumahku, maka itu menjadi kalimatku sekarang", kata Laura sambil tersenyum ke arah Ian.
Ian kemudian hendak melanjutkan sarapannya. Tapi mendadak ia tidak berselera. Dia mengingat sesuatu, ketika Laura menceritakan mimpinya. "Tapi apa ya??" Ian bergumam sendiri. Tapi ternyata Laura mendengarnya.
"Kenapa Ian??"
"Tidak apa-apa Laura. Tidak apa-apa. Ada sesuatu yang harus aku urus. Aku duluan." Kata Ian sambil beranjak meninggalkan meja makan. Dia bahkan membiarkan sarapannya bersisa.
"Ian, habiskan dulu ini.." Teriak Laura pada Adrian.
"Nanti saja, aku sibuk." Kata Adrian sambil berlalu meninggalkan Laura.
"Sejak kapan anak itu punya kesibukan??" Gumam Laura sambil menatap sarapannya.
Dia benci makan sendiri. Tapi berhubung Ian sudah pergi, dan dia juga lapar, akhirnya ia melakukannya. Dia menikmati sarapannya sambil masih memikirkan soal apa yang mereka bahas sebelumnya. Sekuat apa pun dia mencoba untuk mengabaikan mimpi itu, tampaknya tidak berpengaruh apa-apa. Tubuh dan fikirannya sendiri sepertinya sudah tidak bisa dia kuasai sendiri. Semuanya penuh dengan fikiran tentang mimpi itu. Bahkan, Laura punya keinginan untuk mencari hutan yang ada dalam mimpinya itu.
Dari kejauhan, Adrian memperhatikan Laura yang sepertinya sedang kebingungan. Dia kemudian mengingat bahwa seharusnya, saat ini Laura sudah berangkat dengan Nyonya untuk menghadiri sebuah pesta. “Tapi kenapa Laura masih belum berangkat?” Tanya Adrian dalam hati. Karena penasaran, akhirnya Adrian berjalan menghampiri Laura.
"Laura, bukankah sudah saatnya kau berangkat?" Tanya Ian sambil mendekati Laura.
"Kau terlalu sibuk mengurus kegiatanku. Kau lebih mirip pengasuh dibandingkan teman, Adrian. Kau itu temanku." Kata Laura yang sedang membalikkan tubuhnya sambil menunjukkan wajahnya yang cemberut. Dia mencoba berbicara dengan Adrian sambil mencari tatapan temannya itu.
"Aku tahu orang tuaku yang menolongmu. Tapi disini hanya ada kita berdua. Tidak bisakah kau santai sedikit?"
"Kita tidak punya waktu banyak Laura, kau harus berangkat."
"Aku tidak akan berangkat tanpamu!”
Adrian terkejut mendengar perkataan Laura. Dia tidak menyangka Laura akan berkata seperti itu. Saat Adrian hendak menjawab perkataan Laura, Adrian melihat seorang wanita berjalan mendekati ruangan dimana Laura dan Adrian sedang berbincang. Melihat hal itu, Adrian pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menjawab perkataan Laura sebelumnya. Wanita yang mendekat itu sangat cantik, sangat elegan. Nyonya Mel, begitulah Adrian memanggilnya. Mama dari gadis kecil yang sekarang sedang dihadapannya.
"Masih belum selesai juga?? Kita akan segera berangkat Laura." Kata Nyonya Mel dingin.
"Apakah Adrian akan ikut??"
"Tidak. Adrian akan tinggal."
"Maka aku juga akan tinggal." Kata Laura sambil menggenggam tangan Adrian.
"Tempat itu bukan tempat orang-orang seperti dia Laura. Jangan bercanda kamu!" Kata Nyonya Mel dengan nada setengah membentak.
"Aku tidak bercanda mama. Mama tahu sendiri bagaimana susahnya aku bergaul dengan orang lain. Dan hanya Adrian temanku."
"Disana kamu akan bertemu banyak anak sebayamu Laura."
"Tidak mau. Kalau selama ini mama memerintahku, maka kali ini aku hanya memohon. Biarkan Adrian ikut dengan kita." Kata gadis kecil itu dengan mata berkaca-kaca.
Nyonya Mel menghela nafas. Dia tidak menyangka gadis kecilnya itu akan menjadi keras kepala. Dia memperhatikan arloji yang dia pegang. Sudah tidak banyak lagi waktu yang mereka punya. Dengan berat hati, akhirnya dia pun menyetujui permintaan putrinya. Akan lebih repot lagi jika dia tidak menurutinya. Laura kemungkinan tidak akan ikut dengannya.
"Hanya kali ini Laura. Mama tegaskan kepadamu. Hanya kali ini! Bersiap-siaplah anak muda. Kau akan ikut dengan kami." Wanita itu berkata sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.
"Apa yang kau lakukan Laura?? Kau baru saja melawan Nyonya Mel." Kata Mel sambil memegang tangan Laura. Adrian sedikit ketakutan.
"Aku hanya memohon Ian. Aku tidak sepenuhnya salah."
"Tapi Nyonya Mel benar, aku tidak seharusnya ikut dengan kalian. Itu bukan tempatku."
"Adrian, semua tempat di dunia ini sama. Apa bedanya kau dan aku. Kalau aku bisa kesana, kenapa kau tidak??" Tanya Laura tanpa merasa bersalah.
"Hhhhh.. Kau masih terlalu kecil untuk tahu banyak hal Laura."
"Aku dan dirimu tidak jauh beda kan?? Sudahlah jangan banyak protes. Bersiap-siaplah. Aku akan menunggumu disini."
***
Di tempat yang berbeda, terlihat Bella yang sudah sangat cantik dengan balutan pakaian yang mewah. Sepertinya dia juga akan pergi ke sebuah tempat. Diperhatikannya dirinya dari atas sampai kebawah. Dia memang terlihat sangat cantik, tapi dia sendiri tidak suka dengan apa yang dia kenakan sekarang. Dia tidak suka menghadiri pesta-pesta. Dia bahkan sama sekali tidak punya keinginan untuk ikut dengan Mamanya. Ini semua hanya keinginan Mamanya, bukan dia.
Bella kecil yang sudah selesai dengan dandanannya pun, menghampiri Mamanya yang juga sudah siap untuk berangkat. Dia memberanikan diri untuk mencoba bernegosiasi dengan Mamanya. Dengan segenap keberanian yang dia punya, akhirnya dia memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
"Mama.. Apakah mama akan mengizinkan kalau Bella tidak ikut??" Tanya Bella pada Mamanya dengan perasaan takut.
"Menurutmu??" Mama Bella bertanya balik pada Bella.
"Dari nada bicara mama, sepertinya tidak. Tapi kenapa Bella harus ikut ma? Bukankah ini pertemuan orang dewasa?" tanya Bella dengan wajah polosnya.
"Ini adalah pertemuan orang-orang besar Bella. Kau harus menunjukkan sikap yang baik, agar mereka tertarik denganmu. Bertemanlah dengan anak-anak kalangan mereka. Dan jangan pernah membuat onar disana.
Bella yang mendengar jawaban tegas dari Mamanya menajdi takut dan tidak berani lagi membantah atau bahkan mengajukan pertanyaan. Dia pun akhirnya menjawab Mamanya.
"Tidak akan ma.." kata Bella dengan wajah datar.
***
Nyonya Mel, Laura dan Adrian sudah tiba di tempat di mana pesta di adakan. Adrian yang belum pernah mendatangi tempat semegah itu pun, menunjukkan kekagumannya. Dia benar-benar merasa bahagia bisa berada di tempat ini. Dan Adrian tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya itu.
"Laura, tempat ini bagus sekali. Aku belum pernah masuk ketempat sehebat ini. Aku akan sangat menyesal kalau tadi aku tidak ikut." Kata Adrian dengan antusias.
"Hahahaha.. Kemana wajah takutmu tadi??" Kata Laura sambil menatap Adrian. Dia senang melihat ekspresi Adrian sebebas itu.
"Eehhhmmm.." Nyonya Mel yang berada di antara mereka pun mengeluarkan suara sambil menatap ke arah Adrian. Adrian yang segera mengetahui ekspresi wanita itu, langsung menahan diri.
"Jangan mempermalukanku!" Kata Nyonya Mel dengan nada bicara yang dingin.
"Maaf nyonya." Kata Adrian sambil membungkukkan kepalanya lalu berjalan mengikuti mereka.
Sudah menjadi sebuah tradisi turun temurun dikota ini, bahwa orang-orang yang berpengaruh, para bangsawan, pejabat, dan orang-orang hebat, berkumpul untuk sekedar berbincang-bincang dan bertegur sapa. Lewat kesempatan inilah mereka akan saling mengenal satu sama lain. Baik memperkenalkan bisnis, keluarga, dan anak-anak mereka.
"Acaranya sudah mau dimulai, sebaiknya kalian berkumpul ditempat anak-anak berkumpul."
"Baik ma," kata Laura sambil meninggalkan Mamanya.
"Adrian!" Panggil Nyonya Mel.
"Iya nyonya??" Kata Adrian yang memberhentikan langkahnya keran dia di panggil.
"Pastikan kau menjaga Laura dengan baik. Untuk itulah aku membawamu kesini."
"Baik Nyonya." Kata Adrian sambil membungkukkan kepalanya, lalu pergi mengejar Laura yang sudah lebih dahulu keluar.
Adrian yang buru-buru mengejar Laura, tidak menyadari bahwa Laura berhenti mendadak. Adrian pun akhirnya menabrak Laura, yang berhenti tepat di depannya.
Bruukkkkk!!
"Aawwww..!" Jerit Laura pelan.
Sebuah benturan kecil mengenai tubuh Laura dari belakang. Beruntung dia tidak jatuh. Laura yang merasa dirinya terdorong dari belakang, menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa gerangan orang yang menabraknya. Dia terkejut ketika melihat bahwa ternyata Adrianlah yang menabrak dirinya.
"Adrian.. Apa yang kau lakukan." Kata Laura pada Adrian sambil setengah terkejut.
"Maafkan aku. Tapi kenapa kau berhenti tiba-tiba??" Tanya Adrian pada Laura.
"Apa kau melihat gadis yang ada disebelah sana? Aku tiba-tiba berhenti karena melihatnya. Dia cantik sekali.." Kata Laura yang sedang terkagum-kagum.
Adrian mencoba mencari dan melihat arah yang ditunjuk Laura. Dia melihat gadis itu. Benar kata Laura. Dia cantik sekali. Untuk ukuran seusia mereka, dia sangat bersinar.
Adrian menyadari sesuatu. Ada sesuatu yang aneh pada pergelangan tangannya. Sesuatu yang baru pertama kali dia lihat. Dia melihat sebuah tanda muncul di pergelangan tangannya, seperti sebuah gelang. Gelang tersebut mengeluarkan cahaya, yang semakin lama semakin nyata. Perlahan dia menurunkan lengan bajunya, dan sebisa mungkin menutup pergelangan tangannya yang mengeluarkan cahaya. Tanpa dia sadari, Laura ternyata melihat dan menyadari cahaya itu, tapi dia memilih diam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!