Kegemparan terjadi pagi itu, kala seorang petugas kebersihan sekolah menemukan sesosok jasad gadis yang tergeletak di halaman sekolah tersebut.
Kerumunan semakin membesar, seiring surya yang naik ke atas, disertai dengan para siswa yang mulai berdatangan.
Diduga, gadis itu sudah tergeletak di sana semalaman, tanpa ada yang mengetahuinya.
“Apa dia jatuh dari atas?”
“Ini bunuh diri kan?”
“Wah... Banyak sekali darahnya,”
Berbagai macam spekulasi terjadi diantara semua yang melihat sosok tak bernyawa itu.
Sekitar tiga puluh menit setelah penemuan pertama, petugas akhirnya tiba di lokasi kejadian. Mereka mulai mengolah tempat kejadian perkara, lalu kemudian memindahkan jasad tersebut ke rumah sakit untuk keperluan otopsi.
“Hei, bukankah itu si pecundang?”
“Kau benar. Itu gadis bernama Andrea dari tahun ketiga, bukan?”
“Wah... Apa dia sudah tidak sanggup di bully oleh Ivanka dan teman-temannya?”
“Hush! Jangan bicara seperti itu. Apa kau mau bernasib sama dengannya?”
Semua bisik-bisik itu ramai beredar di tengah para murid sekolah Petra. Tak ada yang tak mengenal Andrea, seorang gadis dari golongan sosial menengah, yang mendapatkan beasiswa dari yayasan Petra.
Andrea adalah seorang siswi pintar, yang berhasil masuk ke sekolah menengah bergengsi lewat jalur prestasi. Dia juga sangat ceria, dan membuat orang disekitarnya bisa merasakan kebahagiaan.
Sang ibu selalu membanggakan Andrea di manapun berada, karena tak banyak anak dari kalangannya yang bisa mengenyam pendidikan di sekolah sebagus itu.
Namun, Sang ibu tak tahu, jika putrinya menyembunyikan sebuah luka besar yang menganga di dalam dirinya. Andrea sudah mengalami masa sulit semenjak hari pertamanya di sekolah tersebut.
Andrea menjadi sasaran perisakan dari salah seorang siswi bernama Ivanka, yang memiliki pengaruh di sekolah tersebut, hanya karena dia adalah penerima beasiswa.
Rasa benci Ivanka bertambah, terlebih karena keberadaan Andrea yang membuatnya selalu menjadi nomor dua di sekolahan tersebut.
Meski begitu, Andrea selalu berusaha untuk terlihat ceria di depan Sang ibu, hanya karena tak ingin melihat ibunya bersedih. Dia tak mau ibunya sampai tahu kesulitan apa yang dialaminya selama ini di sekolah yang begitu dibanggakan ibunya.
Setiap hari, Andrea tak pernah bisa belajar dengan tenang di kelas. Hampir setiap pagi, dia harus membersihkan mejanya terlebih dahulu sebelum pelajaran dimulai, karena sengaja dikotori oleh teman-teman Ivanka yang juga jahat padanya.
“Sepertinya, pekerjaan kita akan sedikit berkurang,” ucap Jennifer, seorang kapten cheerleader.
“Kau benar. Si pecundang itu sudah benar-benar tamat. Baguslah kalau dia memilih mengakhirinya sendiri,” sahut Lola.
“Jadi, apa kita akan merayakannya?” tanya Jennifer pada seorang gadis lagi yang berdiri diantara mereka berdua.
“Apa kau gila? Kita harus melakukan pemakaman untuk dia, atau kita akan benar-benar berdosa,” ucap gadis bernama Ivanka, yang tak lain adalah putri tuppp9inggal ketua Yayasan Petra.
“Ah... Kau benar. Tentu saja, pemakaman,” sahut Jennifer dengan tawa sinis.
“Ayo kita pergi. Tidak ada gunanya lagi kita di sini,” seru Ivanka.
Gadis berambut panjang dengan warna agak coklat, berjalan dengan melipat kedua lengannya di depan dada, mendahului kedua temannya.
Dia berjalan menjauh dari kerumunan, dan membiarkan semua bisik-bisik tersebut.
...🌓🌓🌓🌓🌓...
Sementara itu di ruang guru, terjadi rapat dadakan yang membahas mengenai situasi tak terduga yang menimpa seorang siswi di sekolah mereka.
“Berita ini pasti akan menyebar dengan cepat. Aku yakin sebentar lagi para wartawan akan berdatangan,” ucap salah satu guru.
“Benar. Hal ini akan berimbas pada siswa kita. Orang tua mereka pasti akan meragukan tentang kualitas di sekolah ini. Bagaimana jika mereka beramai-ramai menarik anak mereka dari sini?” timpal guru yang lainnya.
“Iya, kau benar. Harusnya sejak awal, kita tidak mengadakan program beasiswa. Siswa yang tak semestinya di sini hanya akan membuat kacau saja,” tambah yang lain.
“Sebagai seorang guru, bagaimana Anda bisa berkata begitu? Andrea adalah siswi yang baik. Dia pintar dan berbakat. Dia selalu mendapatkan nilai yang bagus. Harusnya kita bangga dengan hal itu. Yang perlu kita cari tau sekarang adalah, apa yang sebenarnya terjadi padanya,” sanggah salah seorang guru perempuan.
“Aku setuju dengan Bu Davira. Yang harus kita fokuskan sekarang adalah, membantu petugas untuk menyelidiki kasus ini,” timpal yang lain.
“Tidak bisa begitu,” sanggah yang lain lagi.
Perdebatan pun terjadi antara dewan guru yang hadir dalam rapat tersebut.
“Berhenti. Tidak ada gunanya kalian berdebat seperti ini. Untuk sekarang, sebaiknya kita semua diam dulu, dari pada nanti salah bicara. Saya akan diskusikan dengan ketua yayasan, dan mencari solusi tentang masalah ini,” ucap kepala sekolah Petra.
Semua pun akhirnya diam. Bahkan sebagian besar guru memilih mengorbankan Andrea yang saat ini telah tewas, dan mencari aman sendiri.
...🌓🌓🌓🌓🌓...
Di rumah sakit, seorang wanita terlihat berlarian di lorong, dan mencari sesuatu.
“Nona, dimana anakku? Aku mendapat kabar bahwa dia dibawa kemari oleh petugas,” tanyanya kepada seorang perawat.
Dia terlihat panik karena tiba-tiba mendengar kabar bahwa putrinya yang sejak semalam tak pulang, dilarikan ke rumah sakit.
Emily Grizelle, wanita berusia 40 tahun itu tak lain adalah ibunda Andrea. Dia belum tau bahwa putrinya telah meninggal sejak ditemukan oleh petugas kebersihan sekolah.
“Nyonya, bisa beri tahu siapa nama putri Anda?” tanya sang perawat.
“Namanya... Namanya Andrea Clarissa. Usianya delapan belas tahun. Dia kemungkinan memakai seragam sekolah Petra,” jelas Emily.
“Sekolah Petra? Tunggu sebentar,” perawat itu terlihat menuju ke konter yang berada di dekat ruang UGD.
Emily pun mengikuti dan berusaha mendengarkan informasi dari tempat tersebut.
Namun, kedua perawat itu terlihat berbisik sambil sesekali melirik ke arah Emily dan membuat wanita paruh baya tersebut semakin khawatir dengan nasib putrinya.
Tak berselang lama, perawat itu kembali menghampiri Emily yang masih menunggu di depan ruang UGD.
“Maaf, Nyonya. Sepertinya saya harus memberitahukan kabar buruk pada Anda,” ucap si perawat.
“Kabar... Kabar buruk? Apa maksud mu, Nona?” tanya Emily.
“Saya juga belum yakin. Tapi, sebaiknya Anda pastikan sendiri. Mari ikut saya,” ajak si perawat.
Dia pun lalu membimbing ibu yang kehilangan putrinya itu ke suatu tempat. Tempat itu begitu jauh dari ruang UGD, dan berada di bagian belakang gedung utama.
“Anda mau membawa saya kemana, Nona?” tanya Emily.
Perawat tersebut lalu berhenti di depan sebuah ruangan satu-satunya yang ada di sana.
“Tadi pagi, ada seorang siswi sekolah Petra yang meninggal dan berada di ruangan ini. Untuk memastikan itu putri Anda atau bukan, sebaiknya Anda memastikannya sendiri,” ucap sang perawat.
Emily nampak tak percaya. Dia merasa perawat itu sedang bermain-main dengannya.
“Nona, tolong jangan bercanda seperti ini. Ini sangat tidak lucu. Apa siswi sekolah Petra hanya putriku saja? Aku yakin itu siswa lain. Aku akan cari dia di ruangan lainnya,” elak Emily.
“Tapi tak ada lagi siswa Petra yang dibawa kemari, Nyonya,” ucap sang perawat cepat, hingga Emily pun seketika berhenti.
“Hanya jenazah ini saja yang datang. Kau bisa mengkonfirmasinya jika memang ini bukan putrimu. Itu juga akan sangat membantu kami,” sambung si perawat.
Emily mencoba menguatkan diri. Meski dia terus menolak, tapi kemungkinan itu bisa saja terjadi.
Andrea tak pernah sekalipun tidak pulang, meskipun dia bekerja paruh waktu hingga malam hari.
Namun tadi malam hingga hari ini, tak ada kabar sama sekali dari gadis itu. Dia sudah mencoba mencari ke sana kemari, hingga dia menyadari bahwa putrinya yang sudah bersekolah hampir tiga tahun, tidak pernah sekalipun membicarakan mengenai teman sekolahnya di Petra.
Dengan ragu-ragu, akhirnya Emily pun berbalik dan berjalan ke arah kamar mayat yang ada di depannya.
Perawat tersebut terlihat membukakan pintu dan menunggu wanita itu masuk ke dalam.
Jantungnya benar-benar gak bisa dikendalikan. Detaknya membuat wanita itu merasa hampir tak bisa bernafas.
Namun demi bisa memastikan siapa mayat yang ada di dalam, serta meyakinkan diri bahwa sang putri baik-baik saja, Emily pun perlahan maju mendekat.
Tangannya terulur meski nampak ragu-ragu, dan beberapa kali terlihat menjauhkannya dari sosok terbujur kaki itu.
Ini pasti bukan Andrea. Putri ku pasti masih hidup, batinnya meyakinkan diri.
Dengan memejamkan mata dan mencoba menghirup nafas dalam-dalam, wanita tersebut pun meraih kain putih yang menutupi jasad itu.
Dengan tarikan kasar, Emily berhasil membuka kain itu hingga terlihat lah wajah seorang gadis yang telah pucat, dengan darah yang mengering di sekitar wajahnya.
Emily perlahan membuka mata, dan seketika dia lemas melihat tubuh putrinya yang telah terbujur kaki di atas ranjang jenazah.
.
.
.
.
TUNGGU NEXT BAB, JANGAN LUPA LIKE DAN DUKUNGANNYA ☺
Kematian Andrea benar-benar memberikan pukulan berat bagi Emily. Wanita itu terus menangisi kepergianmu putri satu-satunya.
Sejak hari itu, dia terus berada di sisi peti mati Andrea, hingga upacara pemakaman dilangsungkan.
Namun, alih-alih bersimpati pada nasib Emily dan putrinya, orang-orang justru terdengar menyalahkan sikap Emily yang seolah membebani Andrea selama ini.
“Putrinya pasti tertekan karena obsesi ibunya,”
“Kudengar, Emily selalu meminta putrinya untuk selalu juara,”
“Gadis malang. Hanya karena obsesi orang tua, dia sampai nekat bunuh diri,”
“Orang tua yang keterlaluan,”
Berbagai desas-desus berseliweran sepanjang waktu persemayaman Andrea di rumah duka.
Banyak siswa siswi yang datang memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang, termasuk Ivanka dan kedua temannya yang selalu merisak Andrea.
Polisi pun beberapa kali datang dan menanyakan perihal tingkah laku Andrea sebelum dia menghilang di malam itu.
“Apa ada hal aneh dengan putri Anda, Nyonya?” tanya seorang petugas yang datang ke rumah duka.
“Aku tidak tahu. Dia selalu terlihat ceria setiap kali berbicara denganku,” jawab Emily lemas.
“Lalu, apa mungkin dia pernah bercerita tentang kedekatannya dengan seseorang?” tanya petugas itu lagi.
“Aku....” Emily terlihat ragu menjawab.
Dia kembali menyadari kelalaiannya. Ada hal penting yang selama ini tak pernah ia hiraukan.
Benar. Selama ini putri ku sama sekali tak pernah bercerita tentang temannya. Ibu macam apa aku ini sampai tak memperhatikan hal yang sepenting ini, batin Emily.
Wanita itu seketika merasa lemas, dan tak bisa lagi berdiri di atas kakinya. Dia duduk bersimpuh dengan linangan air mata yang tak kunjung berhenti, membuat petugas kesulitan melanjutkan interogasi.
“Nyonya, Anda tidak apa-apa?” tanya petugas tersebut.
“Putri ku yang malang. Apa yang sudah terjadi padamu, Nak?” gumam Emily ditengah tangis.
Dia memukul-mukul dadanya yang terasa kembali sesak, saat menyadari kesalahannya pada sang putri. Hal itu membuat dia semakin percaya dengan kata-kata orang yang menyalahkan dirinya atas kematian sang putri.
Kasus siswa bunuh diri di sekolah Petra benar-benar menjadi topik terhangat di seluruh negeri. Pasalnya, baru kali ini sekolah elit tersebut mengadakan program beasiswa bagi siswa kurang mampu yang berprestasi.
Namun, siswa pertama penerima program tersebut justru ditemukan meninggal dunia terjatuh dari atap gedung.
Spekulasi pun bermunculan. Mulai dari sistem peringkat yang membuat stress, jam belajar yang tidak manusiawi bagi peserta beasiswa, sampai perisakan terhadap siswa penerima beasiswa tersebut.
Namun hingga penyelidikan berakhir, kejadian itu sama sekali tak terungkap. Kamera CCTV yang mengarah ke atap gedung tersebut tak pernah ditemukan, sehingga tak ada bukti apakah ini kecelakaan, pembunuhan atau pun bunuh diri.
Akhirnya, setelah kurang lebih satu bulan penyelidikan, karena kurangnya bukti dan juga keterangan para saksi, polisi pun menutup kasus tersebut dan menetapkannya sebagai kasus bunuh diri.
...🌓🌓🌓🌓🌓...
Di sebuah klub malam dengan fasilitas private room service yang begitu luas, terlihat puluhan remaja tengah menggelar pesta dengan meriah.
“Ivanka, terimakasih sudah mengundangku ke party mu,” ucap salah seorang pemuda dengan setelan kemeja putih dan jas maroon.
Dia terlihat memegang segelas sampanye, dan menyapa si pemilik pesta.
“Nikmatilah, karena malam ini mood ku sedang sangat baik,” sahut Ivanka.
Gadis kaya itu terlihat begitu cantik dengan balutan dress hitam selutut tanpa lengan, kerah bundar serta aksen berlian disekitarnya.
Rambut panjangnya yang lurus, serta eyeliner yang panjang membuat tampilannya bak ratu Cleopatra.
“Wah... Party mu benar-benar meriah yah. Ku kira hanya pesta minum teh saja,” ucap Jennifer.
“Oh, ayolah, Jennie. Bukankah tadi dia bilang, moodnya sedang sangat bagus malam ini? Pasti karena berita pagi tadi. Benarkan, Ivanka sayang,” sahut Lola.
Ivanka terlihat diam dengan tatapan tajamnya, menerawang jauh ke depan. Tangannya menggenggam gelas red wine, dengan senyum yang tersungging dari salah satu sudut bibirnya.
“Bukankah sudah kubilang, setidaknya kita harus melakukan upacara untuk si pecundang itu. Jadi ku rasa, sekarang waktu yang tepat untuk merayakan kepergiannya,” ucap Ivanka dengan seringai licik.
Gadis itu mengangkat gelas dan bersulang dengan kedua temannya. Bunyi dentingan kaca yang beradu pun sayup-sayup terdengar disela hentakan musik DJ yang menggema di seluruh ruangan tersebut.
...🌓🌓🌓🌓🌓...
Sementara itu, di tempat dengan garis polisi yang masih melintang, sesosok bayangan terlihat tengah berdiri di tepi tembok pembatas yang berada di atas atap gedung sekolah.
Bayangan itu sudah sering muncul di sana sejak malam kejadian, namun tak ada seorang pun yang menyadari hal tersebut.
Ia terus berteriak meminta tolong kepada setiap orang yang ditemuinya, namun tak satupun dari mereka yang bisa mendengar teriakan putus asa dari sosok tersebut.
Dia bahkan mendatangi rumah duka untuk bertemu dengan ibunya. Namun percuma, karena sang ibu pun tak bisa melihat keberadaannya.
Hatinya semakin sakit saat banyak orang menyalahkan ibunya atas kejadian itu. Terlebih saat Emily mulai yakin bahwa kejadian tragis yang menimpa putrinya adalah kesalahannya.
Bahkan di hari pemakaman pun, sosok itu ada di sana, melihat raganya yang telah rapi terkurung di dalam peti mati, perlahan mulai tertimbun tanah.
Wajah-wajah orang yang sudah membuat hidupnya bagai di neraka pun hadir di upacara tersebut, dan semakin membuatnya marah.
Tak banyak yang bisa dilakukan oleh arwah penasaran sepertinya, apalagi untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya terjadi.
Hingga tadi pagi, berita tentang kasus kecelakaan sekolah Petra ditutup dengan menyatakan bahwa itu adalah kasus bunuh diri.
Kenapa? Kenapa mereka yang jahat selalu saja bisa bebas? Kenapa dunia ini tidak pernah adil pada orang yang lemah? ratapnya.
Dia terlihat menangis seorang diri di tempat gelap itu. Rintihannya mampu membuat bulu kuduk siapapun berdiri.
Amarahnya benar-benar sudah hampir meluap, hingga aura di sekitarnya yang sejak awal putih, berangsur menghitam, pertanda dia akan menjelma menjadi roh jahat.
Tepat di saat itu, terlihat seorang nenek tua dengan sebuah lampu pelita, berjalan lewat di bawah gedung.
“Marah bukanlah cara yang bijak untuk mengubah takdir. Kau hanya akan terjerumus dalam dosa yang akan membelenggumu,” ucap si nenek tua.
Meski dari bawah gedung, anehnya suara wanita tua itu terdengar jelas di telinga arwah Andrea. Arwah gadis itu pun lalu melihat ke bawah, dan tepat saat itu nenek tersebut menghilang.
Saat Andrea kembali memundurkan kepalanya, sosok nenek tua itu tiba-tiba sudah ada di sampingnya, dan membuat arwah gadis tersebut terlonjak kaget.
“Hantu!” pekik Andrea.
“Hahahaha... Hantu teriak hantu. Nona, kau ini lucu sekali,” kelakar si nenek tua.
“Si... Siapa kau? Apa mau mu?” tanya Andrea takut.
“Aku? Aku hanya ingin melihat hantu penasaran yang hampir termakan aura hitam,” jawab si nenek tua.
Andrea terdiam, dan menyadari bahwa dia hampir saja terselimuti bayangan hitam sebelum sang nenek datang.
“Apa kau marah dengan nasibmu? Siapa yang kau maki tadi, hah? Apa manusia-manusia itu? Atau tuhanmu?” cecar nenek tua.
Andrea kembali memalingkan wajah dan menatap lurus ke depan.
“Bagaimana aku tak marah? Selama ini aku selalu diam dan tak mau mencari keributan. Aku hanya ingin hidup tenang. Tapi, mereka terus saja membuatku kesulitan dengan semua siksaan yang mereka lakukan.”
“Hari itu aku ingat betul, kalau aku ingin menghentikan semua ini dan memberi tahu mereka bahwa aku tak takut lagi dengan ancaman mereka. Tapi kenapa... Kenapa sampai matipun aku tetap jadi pecundang?”
“Siapa yang membuatku seperti ini pun aku tak bisa ingat. Aku yakin seseorang mendorongku dan membuatku jadi arwah penasaran seperti ini.”
“Tapi kenapa mereka yang melakukan semua ini pada ku bisa bebas dengan mudahnya? Kenapa justru ibu ku yang harus disalahkan? Kenapa? Kenapa Tuhan sangat tidak adil? Apa karma buruk yang telah ku lakukan sampai Tuhan pun tak memihak padaku?” ungkap Andrea.
Andrea menangis dengan suara tangis yang begitu mengerikan. Jika saja ada yang bisa mendengar, pasti mereka akan ketakutan setengah mati.
Nenek itu terlihat menaburkan sesuatu pada lampu pelita yang dipegangnya sejak tadi.
“Jika kau diberi satu kesempatan lagi oleh tuhanmu, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya tiba-tiba.
Andrea pun seketika menghentikan tangisnya dan menoleh ke arah si nenek tua.
“Apa kau yakin menanyakan hal itu? Tentu saja aku ingin membalas semua orang yang sudah membuat ku hidup bagai di neraka. Aku akan mencari siapa yang sudah membunuhku dan menjadikan ku arwah penasaran,” jawab Andrea penuh keyakinan.
“Benarkah? Bukankah kau itu pecundang yang selalu cinta damai? Apa kau yakin bisa melakukan apa yang kau katakan tadi?” ejek si nenek tua.
“Jika saja bisa, aku akan melawan kelicikan mereka dengan cara yang lebih licik lagi. Tapi... apa hal mustahil seperti itu ada?” sahut Andrea lemas.
“Bagaimana kalau aku bisa mengabulkan hal itu? Apa kau mau?” tanya si nenek tua.
“Benarkah?” tanya gadis itu
Andrea pun langsung membola, dan terlihat begitu antusias. Tapi sejurus kemudian, sorot mata itu kembali ragu.
“Ei... Kau pasti sedang mengerjaiku kan, Nek? Mana mungkin nenek tua seperti mu bisa melakukan keajaiban seperti itu,” ucap Andrea meremehkan.
PLETAK!
Sebuah pukulan tepat mendarat di kepala Andrea, hingga membuat gadis itu kesakitan meski dirinya sudah menjadi arwah.
“Hei, Nona. Jangan sekali-kali meremehkan ku. Apa kau pernah mendengar istilah malaikat, hah? Anggap aku ini malaikat penjaga mu. Aku bisa mengabulkan apapun permintaan mu, termasuk memberimu kesempatan mengulang semuanya kembali,” sanggah si nenek.
“Benarkah?” tanya Andrea yang terlihat masih ragu, sambil mengusap kepalanya yang sakit.
“Tentu saja. Tapi, dengan satu syarat,” ucap si nenek.
.
.
.
.
Hem... syarat apa yah 🤔
TUNGGU NEXT BAB, JANGAN LUPA LIKE DAN DUKUNGANNYA ☺
Pagi hari yang cerah, kicau burung terdengar bernyanyi di ranting pohon willow yang ada di halaman rumah seorang gadis.
Dari jendelanya, suara itu terdengar seperti alarm selamat pagi yang begitu nyaman di telinga.
Gadis itu mengerjapkan mata, dan perlahan membukanya. Bulu mata yang lentik berkeriap seiring dengan kelopak mata yang terangkat, membuat bola matanya yang indah terlihat.
“Ehm... Apa ini sudah pagi?” gumamnya.
Dia pun meregangkan kedua tangannya ke atas, mencoba melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah semalaman tertidur pulas.
Namun, tiba-tiba dia membuka mata lebar-lebar, dengan pandangan yang mengedar ke seluruh penjuru ruangan tersebut.
Ini... Bukankah ini kamarku? batinnya.
Dia bahkan seketika bangun dan duduk di atas ranjangnya, sambil meraba dirinya sendiri dari kepala, wajah, badan hingga kaki.
Lalu, dia bangun dan berjalan ke arah lemari, di mana terdapat sebuah cermin besar. Dia melihat pantulan dirinya di cermin tersebut, seolah tengah memindai setiap jengkal tubuhnya.
Setelah puas melihat, dia lalu mendekatkan wajahnya ke cermin dengan kedua tangan yang menangkup pipinya.
“Apa ini mimpi?” gumamnya.
Kemudian, dia kembali teringat akan kejadian yang dialaminya, yang seperti mimpi tadi malam.
Saat dia menjadi sesosok hantu putus asa karena kasus kematiannya yang belum terungkap, hingga seorang nenek tua mendatanginya.
Nenek itu berkata bahwa dia adalah seorang malaikat, yang bisa mengabulkan permintaannya.
FLASHBACK
“Aku bisa mengabulkan apapun permintaan mu, termasuk memberimu kesempatan mengulang semuanya kembali,” sanggah si nenek.
“Benarkah?” tanya Andrea yang terlihat masih ragu, sambil mengusap kepalanya yang sakit.
“Tentu saja. Tapi, dengan satu syarat,” ucap si nenek.
“Syarat? Apa syaratnya?” tanya Andrea.
“Kau tidak boleh menyebabkan orang yang tidak bersalah celaka, baik disengaja ataupun tidak. Anggap ini sebuah game. Kau hanya diberi kesempatan hingga tiga kali.”
“Ketika kau melanggar aturan hingga tiga kali, maka keberadaanmu di dunia ini akan benar-benar menghilang,” ucap si nenek tua.
“Apa maksud mu aku akan mati lagi? Apa peduli ku. Lagipula aku sudah pernah mati, jadi apa yang perlu ku takutkan?” sahut Andrea pongah.
PLETAK!
“Awww! Nenek, kenapa kau terus memukul ku? Meski aku arwah, tapi pukulan mu benar-benar sakit,” keluh Andrea.
“Apa kau pikir hukumannya semudah itu? Ku bilang menghilang, bukan mati. Kau akan dilupakan oleh semua orang. Mereka tidak akan ingat bahwa kau pernah ada. Dendam mu tak akan terbalas, tapi kau justru akan lenyap. Apa kau sanggup?” jelas sang nenek tua.
Andrea terlihat terkejut dengan perkataan sang nenek tua aneh itu. Entah kemungkinan itu benar atau tidak, tapi membayangkan dirinya kembali menjadi pecundang benar-benar membuat Andrea sedih.
Namun, tiba-tiba dia teringat kembali akan sang ibu yang paling menderita atas kepergiannya. Matanya kembali menyiratkan kemarahan. Kilatan tekad muncul dalam diri Andrea.
“Setidaknya, aku ingin mencoba. Jika kesempatan itu ada, setidaknya aku ingin mencoba melawan mereka. Setidaknya jika aku akhirnya lenyap, ibu tidak akan menderita seperti ini,” ucap Andrea lantang.
Nampak sekilas nenek itu tersenyum melihat kemauan kuat yang muncul di diri Andrea.
“Gadis baik. Kau selalu memikirkan orang lain dari pada dirimu sendiri,” gumamnya.
Dia lalu memberikan lampu pelita yang dipegangnya sejak tadi kepada Andrea. Gadis itu masih terlihat bingung dan enggan mengambilnya.
“Ambillah pelita ini, dan kau akan kembali ke tempat dimana semua ini berawal,” ucap sang nenek.
Dengan ragu-ragu, Andrea pun meraih pelita tersebut. Saat dia sudah memegangnya, tiba-tiba saja sinar pelita itu semakin terang hingga membuat Andrea kesulitan melihat.
Gadis itu sampai harus memejamkan mata untuk menghindari pancaran sinarnya yang begitu menyilaukan.
Saat Andrea kembali membuka mata, tiba-tiba dia sudah berada di kamarnya, di atas tempat tidurnya.
FLASHBACK END
“Benar. Nenek itu... Nenek itu yang melakukannya. Tapi, rasanya semua seperti mimpi. Apakah ini bukan halusinasi ku?” gumam Andrea yang masih memandangi dirinya di cermin.
Di saat dia masih mencerna apa yang terjadi, matanya menangkap sesuatu yang menggantung di balik pintu kamarnya.
Gadis itu pun kemudian berjalan mendekati benda tersebut. Tangannya terulur menyentuh benda yang tergantung itu.
Awal dari semua ini... tentu saja. Semuanya berawal dari sekolah ini. Aku harus kembali dan memberi pelajaran pada mereka, batinnya seraya menggenggam ujung seragam sekolah Petra.
Andrea ingat bahwa hari ini adalah hari pertama dia masuk ke sekolah Petra, setelah berhasil mendapatkan beasiswa jalur prestasi saat di sekolah menengah pertama.
Dadanya tiba-tiba sesak jika mengingat apa yang sudah terjadi di kehidupan sebelumnya. Namun, suara gemericik dari luar kamar membuyarkan lamunannya.
Gadis itu teringat akan seseorang yang menjadi alasan utamanya kembali lagi, dengan mempertaruhkan jiwanya sendiri.
Ibu, batinnya.
Andrea kemudian keluar dan melihat sang ibu sedang sibuk di dapur. Dia berlari menghampiri ibunya dan memeluk wanita itu erat-erat.
Dia masih ingat bagaimana terpukulnya sang ibu atas kematiannya.
Ibu, aku sangat merindukanmu, ucapnya dalam hati.
Gadis itu tak kuasa menahan tangisnya, saat bisa kembali melihat dan memeluk sang ibu.
Emily yang tidak tau pun merasa aneh dengan sikap sang putri. Dia mengurai pelukan Andrea, namun gadis itu enggan dan terus mempererat pelukannya.
“Mau sampai kapan kau memeluk ibu seperti ini, hah? Apa kau tidak lihat ibu sedang memasak?” tanya Emily.
“Sebentar... Tolong biarkan aku memeluk mu sebentar lagi, Bu,” pinta Andrea.
Emily pun terdiam karena merasa gadis kecilnya bersikap sangat aneh.
“Apa kau mimpi buruk semalam?” tanya Emily.
Andrea mengangguk, sambil menyedot ingusnya kembali ke dalam hidung.
Emily lalu meraih tangan sang putri, dan menepuk-nepuknya dengan lembut, mencoba menenangkan hati sang putri.
Hingga tak berselang lama, Andrea mau melepaskan pelukannya, dengan meninggalkan jejak basah yang cukup besar di baju belakang ibunya.
“Apa sudah puas menangisnya? Kau ini sudah besar, tapi masih saja suka menangis,” ucap Emily.
Wanita itu lalu memberikan segelas air minum kepada Andrea. Gadis itu langsung meraihnya dan meneguknya hingga tandas.
Dia ingat, di kehidupan yang lalu, dia bahkan melewatkan sarapan yang dibuatkan sang ibu karena begitu bersemangat di hari pertama masuk sekolah Petra.
Namun kali ini, dia tak mau menyia-nyiakan lagi momen berharganya dengan sang bunda.
“Ibu kira kau akan melewatkan sarapan mu karena terlalu senang dengan sekolah baru dan juga teman-teman barumu,” ucap Emily.
Wanita itu meletakkan sepiring omelet jamur dan daging, serta dua iris daging ham diatas piring, lengkap dengan salad. Tak lupa segelas susu untuk mencukupi kebutuhan kalsium sang putri yang dalam masa pertumbuhan.
“Untuk apa aku melewatkan makanan enak buatan ibu, hanya untuk menyapa teman-teman baru. Bukankah pagi atau siang sama saja. Hari pertama selalu diisi dengan acara saling sapa,” jawab Andrea.
Dia langsung menyuapkan potongan besar daging ham dan memakannya dengan lahap. Emily hanya tersenyum melihat sikap anak gadisnya yang seperti biasa selalu saja ceria dan percaya diri.
Hari itu, Andrea pun kembali ke sekolah Petra demi membuka tabir kematiannya, serta membalas orang-orang yang sudah membuatnya menderita hingga hampir menyerah.
Kejadian demi kejadian yang pernah dia lewati penuh air mata, kini akan dia balik dan melawan perlakuan semena-mena orang-orang itu.
Di upacara penerimaan siswa baru, semua siswa dibariskan dan dia berada di urutan paling depan, sejajar dengan anak ketua yayasan.
Andrea ingat setelah ini dia akan mendapatkan kesempatan untuk maju ke podium dan membacakan pidato ucapan terimakasih.
Dengan penuh percaya diri, dia berbicara di depan semua orang dan mengatakan dengan lantang bahwa dia akan menjadi yang terbaik di sekolah ini.
Dia tahu, bahwa kata-katanya itu akan memprovokasi seseorang yang sejak tadi terus melihatnya dengan tatapan tak suka.
Saat di kehidupan sebelumnya, Andrea akan menghindari tatapan mata itu. Namun kali ini, dia justru balas menatap dengan tatapan tak kalah tajam.
Kalian... Lihat saja apa yang bisa kulakukan pada kalian semua, batinnya.
.
.
.
.
TUNGGU NEXT BAB, JANGAN LUPA LIKE DAN DUKUNGANNYA ☺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!