Apa yang kau tahu tentang sejarah? Bagi Eurashia, sejarah hanyalah dipenuhi oleh satu hal. Perang. Satu kata itu cukup untuk membuat semua makhluk bergidik. Bagaimana tidak, sudah banyak korban berjatuhan dalam perang.
Apa yang menarik dari perang di Eurashia? Tidak ada. Hanya ada perselisihan antara dua kubu yang berbeda. Dua kubu yang mencoba mempertahankan ego dan hak mereka, tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya mereka harapkan. Entah apa yang sebenarnya memicu dua kubu itu untuk mulai mengangkat senjata mereka, yang mereka tahu hanyalah kegelapan dari dua belah pihak.
Apakah mungkin semua ini akan berakhir? Mereka sudah lelah bertarung hanya untuk melihat darah tumpah di mana-mana, kekejian terhampar luas di setiap sudut dan perbudakan yang merajalela. Lucunya, para dewa hanya asyik menikmati tanpa berbuat apa-apa, terlebih sang raja dari para dewa. Ia hanya mengatakan seuntai kalimat yang menjadi sebenih harapan.
“Tenang saja, perang akan segera berakhir.”
Tahun 506, Mandalika, sebuah perbatasan Respher dan Ceshier
Sudah tidak terhitung berapa banyak mayat yang tergeletak bersimbah darah yang menguarkan aroma besi berkarat yang sanggup melumpuhkan indra penciuman siapapun di tempat segersang Mandalika. Tidak ada satupun makhluk yang mampu bertahan lebih dari sehari di padang gurun itu. Meski begitu, masih ada beberapa orang yang merintih menahan rasa sakit dan menunggu sang malaikat kematian datang untuk membawa mereka dari rasa sakit itu. Tanah gersang itu kini terlihat seperti lautan darah.
Terlihat seorang gadis berambut ikal merah sebahu berlutut di hadapan sepasang mayat yang terbaring di atas kolam darah, tubuh mereka saling menindih satu sama lain. Seorang lelaki berumur dengan rambut sewarna dengan darah dan wanita berambut ungu violet. Tatapan mereka kosong dan nampak lubang besar bersarang di dada kiri mereka. Tubuh sang gadis gemetar hebar, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Perlahan ia meraih tangan mereka dan menggenggamnya erat-erat.
"Papa, Mama? Bangun, ayo bangun," panggilnya lirih. Hati-hati ia menepuk pipi mereka, namun tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Perlahan ia memeluk mereka yang dingin bagai es, mencoba membagi kehangatan tubuhnya. Sekeras apapun dia mencoba, keduanya tidak mengedipkan mata dan memeluknya. Ia tidak menyadari seorang demi human serigala dengan rambut dan mata berwarna pirus berjalan ke arahnya dengan tatapan dingin dan penuh kebencian.
"Gadis penyihir malang. Kehilangan sangat menyakitkan bukan?" tanyanya datar, namun ada sedikit nada menghina di sana. Gadis itu tersentak dan langsung mengangkat kepalanya, melihat pemuda demi human serigala tersebut memamerkan senyum sinis. Di bahunya bersandar sebuah sabit besar dengan ukiran bahasa kuno dan tengkorak sebagai hiasannya. Tatapannya dingin, merendahkan dan jijik. Penyihir itu mencoba bangkit, namun kedua lututnya lemas dan kelelahan hingga ia jatuh berlutut di hadapan pemuda itu.
"Penyihir bodoh, kalian seharusnya tau perbedaan diantara kita," sindirnya. "Aku ini monster, dan kau hanyalah penyihir rendah yang suka memamerkan kemampuan konyol kalian."
"A...aku bukan...penyihir rendah!" balasnya ketakutan. Pemuda itu tertawa lantang dan menendangnya hingga ia terpental cukup jauh dari jenazah orang tuanya tanpa ampun.
"Hah! Memangnya kau bisa apa? Melawan saja tidak!" tanyanya sembari terus menendang sang gadis yang tak berdaya. "Jawab aku, hei penyihir! Kau tidak mau berakhir seperti mereka kan?"
Dia tidak menjawab dan hanya menerima tendangan dengan pasrah. Air mata kembali mengalir deras, namun bibirnya tidak mengeluarkan suara apapun. Pemuda itu mulai bosan, matanya beralih pada mayat orang tua gadis itu. Tanpa suara dan rasa hormat ia mulai menendang mayat-mayat itu hingga daging mereka mulai terkoyak dan terdengar suara tulang patah beberapa kali yang cukup menyayat hati.
"Jangan! Hentikan! Jangan sakiti mereka!" jeritnya. Ia berlari dan menahan kakinya dengan air mata mengalir deras di kedua pipinya, namun pemuda itu tidak merasa iba sedikit pun.
"Lepaskan aku, penyihir kotor!" sahutnya sambil menampar wajahnya. Si gadis terjungkal dan mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya sudah tidak sanggup. Ia melihat si pemuda dengan tatapan kebencian dan kemarahan yang memuncak, meremas batu hingga hancur berkeping-keping.
"Kumohon, jangan sakiti mereka!" teriaknya. Pemuda itu tertawa keras mendengarnya, lalu menarik rambut merah menyalanya dengan kasar.
"Memang kau bisa apa? Menyerangku saja tidak mampu," cibirnya. Gadis itu menggertakkan gigi, mencoba memberontak sekuat tenaga namun genggamannya malah semakin erat hingga membuatnya kesakitan. Pemuda itu hanya diam, menatapnya dengan tatapan sedingin mungkin hingga terlihat seperti seekor serigala yang tengah menanti mangsanya untuk menyerah. Ia melempar gadis itu dan berjalan meninggalkannya sembari menyeret mayat orangtuanya tanpa beban, membuat emosi gadis itu meledak. Tiba-tiba tubuhnya bercahaya, membuat sang pemuda terkejut dan berpaling. Wajah sang gadis dipenuhi oleh tato tribal berwarna merah darah. Tubuh langsingnya dibalut oleh bahasa kuno yang tidak pernah ia lihat. Rambutnya memanjang hingga menyapu tanah bagai api yang menyelimuti dirinya. Pemuda itu terkejut dan berbalik dengan posisi siap menyerang.
"Kau...brengsek! Sejak awal kau menyembunyikan kekuatanmu?!" teriaknya. Sang gadis mengabaikannya, tatapannya kosong dan tak berjiwa. Pemuda itu maju dan mencoba menyerang, namun sang gadis mampu menahan serangannya dengan pedang di tangan. Tak habis akal, dia mengayunkan sabitnya dan menggores lengan gadis itu hingga darah menyembur cepat. Meski luka besar menganga, ekspresinya tidak berubah sama sekali. Dengan santai ia menjentikkan jemarinya dan mengurung pemuda itu di dalam penjara gelembung air.
"Sialan!" makinya sambil mencoba memecahkan gelembung yang mengurungnya sekuat tenaga, namun tidak ada tanda-tanda gelembung itu pecah. Si gadis kembali menjentikkan jarinya dan ratusan pedang muncul di sekeliling gelembung. Wajah pemuda itu mulai panik.
"Sialan! Sialan! Sialan!" makinya sembari memberontak dengan keras.
"Sudah cukup, Nona. Tidak perlu membunuhnya," ujar seseorang. Di belakang gadis itu muncul sesosok pria bertubuh besar dengan sayap seputih salju menahan tangan si gadis. Wajahnya ditutupi oleh tudung besar sehingga tidak ada celah untuk memamerkan wajahnya. Sang demi human merasakan kelegaan luar biasa, namun ia tidak mampu menutupi kecurigaan pada pihak ketiga itu.
"Tidurlah" ujarnya. Ia menyentuh dahi si gadis dan detik berikutnya ia roboh.Wajah pemuda itu berubah terkejut dan makin curiga akan orang itu.
'Dia menidurkannya hanya dengan sentuhan?! Siapa dia? Penyihir? Tidak, auranya berbeda! Sayap itu...apa milik flugel?' tanyanya dalam hati. Pria itu membaringkan si gadis perlahan dan berjalan mendekati si demi human. Ia menyentuh gelembung itu dan dalam hitungan detik gelembung itu pecah. Demi human itu bangkit dan mencoba menyerang, namun rantai mendadak muncul dari tanah dan membelit tubuhnya dengan cepat.
"Siapa kau!?" sahutnya.
"Aku adalah sekutumu dan juga sekutu gadis itu. Aku tidak ada niat untuk membunuh kalian. Pulanglah, perang ini berakhir," ujarnya kalem. Pemuda itu tertawa mendengarnya.
"Berakhir? Hah! Meski perang berakhir sekalipun, Respher dan Ceshier tidak akan mencapai kedamaian semudah itu," jawabnya sinis. Pria itu hanya menghela napas, lalu menjentikkan jarinya dan rantai yang membelitnya jatuh ke tanah hingga menimbulkan suara keras. Tanpa menunggu lama demi human itu berlari meninggalkan medan tempur menahan rasa malu demi keselamatan nyawanya. Pria besar itu menghela napas, lalu berpaling pada gadis yang tidak sadarkan diri tersebut.
"Saciel Arakawa, takdirmu mungkin terlihat penuh dengan bahaya, tapi percayalah bahwa kau akan menemukan kebahagiaan di balik ini semua," ujarnya lembut sembari menggendongnya dengan hati-hati dan pergi meninggalkan tempat itu bersama dengan ratusan jenazah penduduk Respher yang melayang di belakangnya. Ia tidak menyadari seorang anak kecil berdiri jauh dari tempat itu mengawasinya dengan mata berkilauan.
"Ck ck, kau melanggar apa yang seharusnya tidak boleh kau lakukan. Oh, biarkan saja, toh cuman sekali. Harus pergi, banyak tugas menanti," ujarnya riang. Dalam sekejap mata ia sudah menghilang dengan meninggalkan setangkai bunga lili di atas batu tempat ia berpijak.
Kota Careol, 5 tahun kemudian
Suasana tegang dan hawa berat menyelimuti ruangan sebesar 30 meter persegi tersebut. Para peserta yang terdiri dari sembilan orang tua berbalut jubah bertudung putih gading dan seorang gadis berambut merah ikal sedada tengah fokus pada sang pembicara dengan wajah separuh dihiasi luka bakar dengan nada lirih namun terkesan serak mendekati cempreng bagi sang gadis.
"Perang terlihat berakhir, tapi jangan lupa bahwa musuh kita masih mempersiapkan diri untuk berperang. Lihat saja bagaimana mereka memasang banyak perangkap di perbatasan hingga beberapa penjaga kita terluka,” ujarnya setengah memprovokasi.
“Benar. Salah satu bawahanku juga terluka di sana. Kudengar mereka menggunakan racun dari ikan buntal untuk melumpuhkan sekaligus mematikan musuh. Beruntung ada tim medis yang sanggup bekerja cepat,” sahut sang pria berbadan ringkih, pendek dan bungkuk, dengan rambut putih namun masih ada beberapa helai berwarna hitam yang mencuat di bagian dekat tengkuk. Hampir semua peserta mengangguk, kecuali sang gadis yang memasang ekspresi bosan, seakan-akan ia sudah tahu jalan pembicaraan itu. Sang pembicara kembali mengoceh, sesekali mata tajamnya mengarah pada gadis itu, menahan diri agar tidak melepaskan kekesalan yang sudah menumpuk di dalam hati.
Rasa kantuk perlahan menggerogoti gadis itu, matanya yang berkilau bagai topaz perlahan mulai kehilangan cahaya. Ia menguap cukup keras di ruangan hening hingga semua mata terpaku padanya. Wanita tua itu sudah kehabisan kesabaran dan memukul meja dengan tangan kosong.
BAM
"Saciel Arakawa! Beraninya kamu mengabaikanku? Apa orang tuamu tidak mengajarimu sopan santun?" sentaknya kasar. Si gadis nyaris jatuh dari kursinya, namun berhasil menguasai diri dan mengerjap mata. Hati-hati ia bangkit berdiri dan menatap wanita dengan tatapan tenang, namun terselip kilat kesombongan darinya. Ia tertawa kecil.
"Mohon maaf, Tetua Erika. orang tua saya tewas di medan pertempuran, jadi tidak ada yang mengajari saya tata krama," balasnya riang. Semua orang yang ada di dalam terkejut dan tersinggung.
"Apa kau mengejek kami?" tanya Tetua Erika sembari menahan amarah. Perlahan senyum si gadis berambut merah makin terlihat sinis dan menyebalkan.
"Oh, apa aku menyinggungmu? Padahal aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Tetua Erika, kalau kau sering marah nanti keriputmu bertambah lho~," sindirnya pedas.
"Kurang ajar!"
"Memalukan!"
"Dasar sampah!"
"Sampah? Kau memanggilku sampah?" tanyanya, mengalihkan pandangan kepada seorang lelaki ringkih bertubuh kecil di sampingnya dengan tatapan kesal. "Orang yang kalian panggil sampah ini adalah yang terkuat diantara kalian. Bahkan," ujarnya sembari mengangkat tangan kirinya, "dia bisa saja membakar habis tubuh kalian hanya dengan satu jentikan."
Semua terdiam, bahkan beberapa menundukkan kepala. Tetua Erika diam, tapi wajahnya merah padam menahan kesal. Gadis itu mengulum senyum penuh kemenangan, lalu berjalan menuju pintu keluar tanpa menoleh sekalipun. Tiba-tiba ia berhenti.
“Oh iya, daripada kalian meributkan perang dan omong kosong soal perangkap itu, kenapa kalian tidak mencari kaisar baru untuk negeri kita? Kudengar beberapa negara sekutu kita mulai meragukan kekuatan penyihir yang kehilangan kaisar beserta seluruh anggota keluarga kerajaan. Kau tidak ingin dikudeta oleh sekutu sendiri, bukan?” sarannya sembari menyeringai.
Saciel kembali berjalan meninggalkan aula dengan langkah tegap, namun terhenti ketika seorang lelaki sepantaran dengan rambut pirang nyaris mendekati platinum menghadang jalurnya.
"Ah, Kak Phillip. Minggir,” usirnya kalem. Pria itu mengerutkan kening.
“Kak? Aku tidak salah dengar, kan? Seorang Saciel Arakawa yang terkenal judes, nyebelin dan kasar memanggilku Kak? Mau ke mana kau? Rapat belum selesai, kan?” balasnya ketus. Saciel memajukan bibirnya.
"Rapat apaan? Mereka hanya omong kosong di dalam sana, lagian kenapa juga hanya aku yang diutus ke dalam? Kan masih ada anggota lain,” keluhnya.
“Karena yang lain sedang sibuk mengurus politik negara ini, sedangkan kau kan hanya santai-santai dan asyik berpetualang ke negara sekutu seenaknya. Nggak salah kan, Duke Requiem menyuruhmu ikut ke dalam rapat?”
Saciel kembali mengerucutkan bibir dan melipat kedua tangannya, melempar tatapan ke luar jendela. Phillip menghela napas dan mencubit pipi kirinya dengan gemas.
"Aduh, Phillip! Sakit, sialan! Lepas nggak?” jerit Saciel
"Makanya lihat aku dan bertingkahlah selayaknya seorang bangsawan, bocah. Aku heran kenapa kau tidak mau mengambil gelar almarhum Duke Arakawa, padahal umurmu sudah cukup,” balas Phillip setelah melepaskan gadis itu dengan senyum puas. Saciel mengelus pipinya dan mendengus.
"Gelar itu tidak ada gunanya untukku sekarang. Lagipula, siapa juga yang berani mengambil alih harta keluargaku?” balas Saciel. Phillip termangu.
“Memang keluarga besarmu tidak berniat mengambilnya?”
"Oh? Mereka sudah habis duluan karena pernah berseteru di hadapanku perkara gelar itu. Kubakar mereka hingga tak habis bersisa, meninggalkan beberapa yang hanya diam.”
"…kau tidak serius, kan?” tanya Phillip, menahan diri untuk tidak mengumpat. Saciel hanya mengangkat bahu dan berjalan menuruni tangga, diikuti Phillip hingga tiba di lobi yang penuh dengan penyihir berlalu lalang, tenggelam dalam kesibukan mereka.
"…menurutmu apa aku berlebihan dalam membunuh mereka?” tanya Saciel. Phillip menghela napas, tidak tahu harus berkata apa terhadap gadis yang lebih muda tiga tahun darinya. Ia memijat pelipisnya dan menghela berat.
"Sejujurnya ya, sangat berlebihan. Tapi karena sudah terjadi, mau apa lagi? Kurasa sudah tidak ada yang berani mengungkit gelar duke itu untuk waktu yang cukup lama,” jawabnya tenang. “Kau benar-benar aneh, ya? Tidak ada niat sedikitpun untuk mengambil gelarnya?”
“Gelar itu hanya akan kuambil jika keadaan memaksaku,” jawabnya tegas. “Toh aku tidak akan kehilangan hakku sebagai pewaris. Saat ini kekuasaan berada di bawah naungan Seven Eternal Wizards, bahkan para tetua tidak bisa ikut campur dalam urusan politik. Yah, meski terkadang mereka bisa sedikit melakukannya.”
"Kau benar. Baiklah, lakukan saja semaumu. Berdebat denganmu hanya akan memperpendek umurku. Tahu begini aku mending pergi saja,” gumam Phillip, sedikit dongkol. Saciel melirik dan menyeringai.
"Kenapa? Gagal kencan lagi, ya? Ahahaha! Calon Marquess Arlestine sampai saat ini belum punya pacar? Gila,” ledeknya girang. Wajah Phillip merah padam. Ia meraih gadis itu dan memitingnya hingga jerit kesakitan meluncur dari bibir ranumnya. Setelah puas, ia melepaskan gadis itu dan mendengus.
"Bocah sialan,” gumamnya. Saciel meringis dan melihat ornamen bendera merah dengan lambang matahari hitam di tengah, lalu teringat sesuatu dan menggenggam tangan Phillip cukup erat.
"Ayo pergi ke kuil.”
"Kuil? Kuil Oorun?” tanyanya heran. Saciel mengangguk antusias. “…kau tidak berniat menemui Cerlina, kan?”
"Memang itu tujuanku. Ayolah, sudah hampir sepuluh tahun aku tidak melihatnya,” rengeknya. Phillip menggeleng.
"Ini sudah mendekati Festival Matahari Merah, Ciel. Kita tidak diizinkan mendekati kuil sebelum hari H. Itu sama saja menodai kesucian…”
“Persetan dengan kesucian, tidak ada yang suci di dunia ini. Kalau kau tidak mau ikut, aku bisa pergi sendiri,” balasnya kesal. Ia berjalan sembari menghentakkan kakinya, raut kesal terukir di wajah cantiknya. Phillip bergegas menyusulnya dan menahan gadis itu.
“Oke, aku akan ikut. Kuyakin tanpaku kau bisa saja membuat keonaran di sana. Biar kuminta pengawal untuk mencarikan kereta,” ujarnya menyerah. Saciel mengernyitkan keningnya.
“Kita bisa terbang dan teleportasi, kenapa juga harus pakai kereta kuda?” tanyanya heran.
“Karena kurasa peradaban kita nyaris mengikuti manusia normal, meski di wilayah kita hampir tidak ada manusia. Lagian, mendekati kuil tidak bisa menggunakan sihir, paham?” ujarnya sembari memberi instruksi pada pengawal di dekatnya. Tidak lama kemudian, kereta kuda yang mewah bergerak mendekati kedua bangsawan muda tersebut. Saciel mendongak.
“Ke Kuil Oorun. Dan jangan coba-coba kau tanya alasannya sebelum kupatahkan lehermu,” ancamnya dingin. Sang kusir segera turun dan membukakan pintu kereta dengan elegan, meski keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Keduanya langsung naik dan duduk tanpa sepatah kata pun. Perlahan kereta tersebut bergerak meninggalkan gedung tersebut.
"Sudah berapa lama kita tidak bertemu dengannya?" kenang Phillip sembari menumpukan kepalanya di dekat jendela.
"Sepuluh tahun, bodoh. Tidak kusangka aku hanya bisa menemuinya setahun sekali, padahal dia itu kan saudariku. Aku jadi kasihan padanya,” ujar Saciel. “Seharusnya dia tumbuh dengan indah dalam naunganku, bukan dalam tangan kotor para pendeta di sana.”
"Hush, jika ada yang mendengarnya, kau bisa dalam masalah. Meski kuakui perkataanmu ada benarnya juga. Kuil beserta isinya sudah dinodai oleh para tetua, kudengar bahkan beberapa anak manusia yang mereka beli dijadikan pelayan di sana,” celetuk Phillip. Saciel terkesiap.
"Sebentar, apa katamu? Ras manusia? Bukannya mereka berada jauh dari wilayah kita?"
"Makanya, cobalah sesekali berbaur dengan bangsawan lainnya. Jadinya kau ketinggalan gosip, kan? Ada rumor mengatakan para tetua menyelundupkan budak manusia dari seorang pedagang misterius dan dipekerjakan di kuil. Makanya tidak banyak yang boleh mengakses kuil kecuali Seven Eternal Wizards dan para tetua,” papar Phillip.
“Bagaimana bisa si brengsek itu membiarkan mereka berlaku seenaknya? Ini pelanggaran perjanjian kita dengan manusia,” gumamnya. Phillip hanya angkat bahu dan melihat ke luar, mendapati mereka hampir tiba di kuil. Langkah kaki kuda perlahan melambat dan berhenti tepat di depan pintu masuk kuil. Sang kusir bergegas membuka pintu dan membantu Saciel turun. Gadis itu mengangkat kepala dan heran melihat bangunan berarsitektur Roma yang dulu ia ingat sebagai tempat yang sederhana, kini berubah total dengan lapisan emas dan permata pada setiap pilarnya.
"Perasaanku atau kuil ini berubah total?" tanyanya, setengah menyindir sembari mengamati permata besar yang melekat pada dada patung dewa bertubuh tegap dan berambut panjang, memegang sebuah pedang yang diangkat dan matahari di tangan lainnya. “Aku penasaran berapa banyak Furst yang mereka habiskan hanya untuk kuil dewa paling tidak berguna… ”
"Hush, diam,” Phillip berbisik sembari membungkam mulut Saciel ketika beberapa pendeta tua datang menyambut mereka dengan tudung yang menutupi wajah mereka. Mereka memberi hormat dengan elegan.
"Selamat datang, Nona Arakawa dan Tuan Arlestine. Suatu kehormatan bisa menyambut kalian di kuil kami," ujar seorang pendeta yang berdiri paling depan dengan jubah yang cukup mewah di mata Saciel. Dia mendengus.
"Sudah lama tidak berjumpa, kulihat kulit keriputmu tertutup oleh sutra terbaik dari negara peri, ya?" sindir Saciel sembari mendorong tangan Phillip. Pendeta itu hanya tertawa kecil, membuat Saciel sedikit kecewa karena ia tidak terpancing oleh sindirannya.
“Anda berdua datang kemari untuk menemui Pendeta Agung, bukan?” tanyanya kalem.
"Kalau kau sudah tahu, tunjukkan jalannya. Kesabaranku sudah di ambang batas, nih,” perintah Saciel.
“Mohon maaf, Nona. Pendeta Agung saat ini sedang bermeditasi dan tidak boleh diganggu oleh siapapun,” balasnya. Saciel memiringkan kepalanya sedikit, raut wajahnya tenang, namun aura kematian terpancar darinya, bahkan membuat Phillip bergidik.
"Oh? Begitukah? Kenapa ya, setiap kali aku kemari jawaban yang kau berikan selalu sama? Bisa berikan alasan yang lebih baik ketimbang hanya mengatakan ‘sedang bermeditasi’? Aku bosan mendengarnya. Bawa aku menemuinya sebelum kubakar tempat ini,” ujarnya kalem. Para pendeta di belakangnya mulai kasak-kusuk, namun sang ketua hanya mengulum senyum tipis.
“Bagaimana reaksi Duke Requiem jika beliau dengar salah satu anak buahnya bertingkah di luar batas dengan menekan pendeta tua demi menemui Pendeta Agung yang tengah menyucikan diri?” tanyanya, setengah mengancam. Saciel terkikik.
“Wah, kudengar di sini ada budak manusia, ya? Kalau kuberitahu para petinggi Seven Eternal Wizards, kuyakin reputasi kalian akan langsung hancur dan kuil ini langsung diratakan,” balas Saciel. Ujung bibir sang pendeta berkedut. Meski tertutup oleh tudung, Phillip bisa melihat wajahnya menggelap akan tuduhan Saciel.
“Bawa mereka ke dalam dan beritahu Pendeta Agung, Nona Arakawa dan Tuan Arlestine datang berkunjung. Jangan lupa sucikan mereka,” ujarnya sembari berjalan masuk. Salah satu pendeta memanggil beberapa gadis kuil untuk mengantar mereka masuk ke dalam. Seorang anak laki-laki dengan mata sebelah kanan ditutupi perban mendekat dan membawakan secawan air dengan kelopak bunga dahlia merah, lalu salah satu gadis kuil mencelupkan sebuah aspergilum dan memerciki kedua penyihir itu. Gadis kuil yang lain langsung merapalkan pujian dan kidung untuk menyucikan mereka.
“Silakan masuk,” ujar salah satu gadis kuil sembari membuka pintu ruang tamu yang megah. Saciel hanya diam dan melirik pada anak laki-laki itu dengan tatapan tajam. Dengan cepat diraihnya dagu anak itu dan memaksanya menatap kedua bola mata emasnya.
“…benar-benar deh, mereka berani menunjukkan buktinya,” gumam Saciel, setengah terkikik dengan anak di depannya. “Ahahaha!”
Phillip bergegas melepaskan anak itu dan menyuruhnya pergi, diikuti para gadis kuil di belakangnya. Ia berpaling pada Saciel dan menghempaskan diri di kursi dengan hela napas berat.
“Kau membuatnya ketakutan.”
“Aku tahu. Sudahlah, urusan anak manusia itu bisa diselesaikan nanti. Aku mau fokus menemui Cerlina terlebih dahulu,” balasnya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Phillip menghela napas mendengarnya.
Sudah sepuluh menit mereka menunggu, namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Pendeta Agung maupun pendeta senior. Phillip dan Saciel mulai kehilangan kesabaran, namun mereka tetap bertahan demi menemui Cerlina.
“Ciel, kurasa membakar tempat ini bisa mempercepat urusan kita,” gumam Phillip dengan kilat kekesalan yang tidak disembunyikan. Saciel menyeringai.
“Ide bagus, Phillip. Tapi kau siap menerima hukuman berat?”
“Oh, tenang saja. Aku bisa melemparkan semua kesalahanku padamu. Kau kan kambing hitam terbaik…hmph!” sebuah bantal kursi mendarat tepat di wajahnya, sementara sang pelaku hanya memasang ekspresi kalem namun mematikan.
“Teman laknat,” ujarnya. Suara ketukan pintu mengakhiri pertengkaran mereka dan seorang gadis kuil masuk.
“Mohon maaf telah membuat Anda menunggu, Pendeta Agung akan segera menemui Anda berdua,” ujarnya sembari memberi jalan para pelayan untuk membawakan kudapan dan teh dengan tea set terbaik berlukiskan burung merak. Sang gadis kuil membungkuk dan meninggalkan ruang tamu terbuka lebar.
“Mereka sepertinya mulai berani memamerkan budaknya,” celetuk Saciel.
“Kurasa mereka tidak takut denganmu,” balas Phillip. Saciel hanya tertawa dan menyesap tehnya. “Wow, kupikir kau tidak akan meminumnya.”
“Aku haus. Beruntung tidak ada racun di dalam tehnya, kau coba makan saja kuenya,” ujar Saciel santai. Phillip melirik ke arah kue-kue cantik yang disusun sedemikian rupa dan mengambil satu, lalu menggigitnya.
“Manis banget,” keluhnya sembari menyesap teh. Tak lama kemudian sebuah parade kecil berjalan mendekati ruang tamu. Keduanya melirik dan terpaku pada sesosok wanita berbalut pakaian yang kelewat terbuka untuk ukuran seorang pendeta. Kaki jenjangnya nyaris tidak tertutup oleh sehelai benang, kerahnya terlalu rendah untuk memperlihatkan belahan dada dan meski sebuah jubah menutupinya, masih ada sedikit celah untuk melihat punggungnya.
“Bajingan mana yang membuat pakaian Pendeta Agung sedemikian hina ini?” maki Saciel. Phillip menyikutnya agar tutup mulut. Sang Pendeta Agung berjalan mendekat dan mengulum senyum di balik tudungnya, lalu menyuruh para pengikutnya untuk pergi. Setelah mereka pergi dan pintu ditutup, ia langsung menyibakkan tudung dan tampaklah seraut wajah yang sama persis dengan Saciel, namun rambut panjang sepinggang berwarna kecubung menjadi pembeda.
"Kakak!" jeritnya dengan kebahagiaan yang tak bisa dibendung dan langsung menghambur dalam pelukan saudari kembarnya. Saciel memeluknya seerat mungkin dan mengelus kepalanya.
"Kau mirip sekali dengan Mama, Lina. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa dan kau tumbuh menjadi gadis cantik."
"Kau juga. Aku tak menyangka kau bisa senekad itu datang menemuiku," ujar Cerlina. "Bahkan Kak Phillip juga ikut. Apa kau memaksanya ikut?”
"Ya," ujar Phillip.
"Enak saja. Kau yang ingin ikut, kenapa menyalahkanku?" sindir Saciel. Phillip memasang muka lempeng.
“Kalau aku tidak ikut, kuyakin bakal ada pembantaian di sini,” balasnya kalem. Ia berpaling pada Cerlina dan tersenyum. “Kau terlihat sehat.”
"Ya. Mereka merawatku dengan baik, bahkan memperlakukanku seperti putri," jawabnya. Saciel memutar bola matanya, lalu melotot pada pakaiannya.
“Katakan padaku siapa yang menyuruhmu memakai pakaian hina ini? Ini pertama kalinya aku melihat baju pendeta sehina ini,” tanya Saciel. Cerlina menggelengkan kepala. “Lina, jangan bilang kau berniat melindungi mereka?”
"Lupakan saja, Ciel. Jangan buat kerusuhan di sini, ada banyak mata-mata,” ujarnya lirih. Saciel mengedarkan pandangan dan mendapati beberapa alat sihir yang asing di beberapa titik.
“Itu bukannya penemuan terbaru dari para alkemis?” tanyanya sembari membakar salah satu alat tersebut dan mengambilnya. “Mirip seperti kamera, namun lebih kecil. Aku penasaran apa yang bisa dilakukan benda ini. Phillip, kau bisa menemukan alkemis yang membuat ini?”
“Bisa, kau ingin aku mencarinya sekarang?” balas Phillip sembari mengambil alat itu dan mengembalikannya. Saciel mengangguk. Tiba-tiba para pendeta senior mendobrak masuk dan mengarahkan pandangannya pada alat mereka, lalu berpaling pada Saciel dengan tatapan marah.
“Nona Arakawa, Anda benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa Anda merusak properti kuil? Anda ingin dihukum atas tindakan Anda?” geram salah satu pendeta senior. Saciel hanya menghela napas.
“Astaga, aku tidak sengaja merusaknya. Bagaimana jika kuganti? Berapa yang kau butuhkan?” tanyanya kalem.
“…silakan pergi. Waktu berkunjung sudah habis,” ujarnya dingin. Saciel memicingkan mata.
“Bagaimana jika tidak?”
“Panggil penjaga dan seret mereka keluar!” sahutnya. Phillip bergegas memeluk pinggang langsing Saciel dan melakukan teleportasi hanya dengan sekali jentikan. Mereka berhasil mendarat tepat di depan kediaman Saciel, namun pria berambut platinum blonde itu langsung ambruk. Tubuhnya panas hingga mengepulkan uap dan ada simbol tribal merah menyala, seakan-akan simbol itu hidup di lehernya. Saciel langsung membawanya masuk.
“Bibi! Bibi Claudia! Tolong!” jeritnya panik. Seorang wanita tua bertubuh pendek dengan rambut putih disanggul serapi mungkin berlari tergopoh-gopoh dan terkejut melihat kondisi Phillip yang mengenaskan.
“Nona, apa kalian melakukan teleportasi di wilayah kuil?” tanyanya sembari mengecek simbol yang mulai merambat hingga ke dada. Saciel mengangguk ketakutan. Bibi Claudia langsung membuka baju Phillip dan menggigit bibir bawahnya.
“Tuan Arlestine, Anda mendengar saya?” panggilnya. Tidak ada jawaban, membuat Bibi Claudia mengeluarkan sebuah botol berisi air berkilauan dan menuang semua isinya ke dada bidang Phillip. Simbol tersebut mulai meredup dan berhenti menandainya.
“Belum cukup. Kita perlu lebih banyak air suci…”
“Bawakan lebih banyak air suci!” sahut Saciel. Para pelayan bergegas membuka gudang rahasia dan membawa beberapa jerigen berukuran 2 liter ke hadapan Saciel. Gadis itu langsung membuka dan menuang semua isinya dengan sihirnya. Setelah mengguyur sang pemuda yang tidak sadarkan diri itu, simbol tersebut sudah berhenti merajah tubuhnya.
“Bekasnya akan bertahan cukup lama. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan,” ujar Bibi Claudia sembari menyuruh pelayan membawakan baju ganti dan handuk. “Nona dan Tuan harus berhati-hati saat menggunakan sihir di kuil. Tempat itu suci dan netral dari sihir, hanya orang tertentu saja yang diizinkan menggunakan sihir. Nona beruntung tidak terkena kutukan itu.”
“…maafkan kami, Bibi,” ujar Saciel lirih. Para pelayan langsung memindahkan Phillip ke kamar tamu dan mengganti pakaiannya, sementara Bibi Claudia mengeringkan sofa dengan sekali jentikan.
“Apa lagi yang Nona buat di kuil?” tanya Bibi Claudia. Saciel mengalihkan pandangan, nampak bulir-bulir keringat dingin meleleh di pelipisnya. “Nona?”
“Aku merusak properti dan menantang salah satu pendeta tua,” cicitnya, Bibi Claudia hanya menghela napas, pasrah terhadap majikannya yang sulit diatur tersebut. Belum cukup kekacauan yang terjadi, suara bel melengking memenuhi mansion. Sang kepala pelayan langsung membuka pintu dan terkejut melihat pasukan kecil pengawal istana berdiri di hadapannya.
“Kami kemari untuk menangkap Nona Saciel Arakawa dan Tuan Phillip Arlestine atas tuduhan membuat keonaran di Kuil Oorun. Di mana mereka?” tanya sang kapten. Sebelum sang kepala pelayan menjawab, Saciel bergegas menemui mereka dengan tatapan dingin.
“Menangkapku dan Phillip dengan tuduhan itu? Atas laporan siapa?”
“Salah seorang pendeta senior, Nona Arakawa. Mohon kerjasamanya untuk ikut…”
“Tutup mulutmu dan pergi, aku tidak akan menyerahkan diri,” tolak Saciel. Para pengawal mengarahkan senjata mereka pada Saciel seakan wanita itu adalah kriminal kelas kakap dan berbahaya, namun gadis berambut sewarna darah itu hanya mengulum senyum sinis dan berpaling pada sang kapten.
"Kau yakin bisa menangkapku? Perlukah kuingatkan bagaimana memalukannya kalian berjuang sekuat tenaga mengalahkanku dalam tes?” tanyanya santai. Sang kapten hanya diam, namun tangannya terlihat menggenggam erat tombak hingga kuku jarinya memutih. Sebelum Saciel kembali melancarkan bisanya, seorang pria flamboyan dengan rambut cokelat mahoni sebahu dan diikat ala kadarnya berjalan maju dengan senyum penuh percaya diri. Sepasang mata jamrud terlihat teduh dan menenangkan, namun Saciel langsung memasang kuda-kuda melihatnya.
“Ck ck, Ciel, kau benar-benar kelewatan. Jangan melawan dan ikutlah kami, ini perintah langsung dari para tetua dan juga Duke Requiem,” ujarnya kalem.
“Aku tidak tahu Seven Eternal Wizards bekerja sama dengan para tetua,” sindir Saciel. Pria itu memiringkan sedikit kepalanya.
“Yah, karena kasusmu agak unik sih. Kalau hanya perkara kecil, kami tidak akan turun tangan, jadi menurutlah dan ikut. Aku akan melepaskan Phillip demi dirimu,” balasnya santai. Saciel tersentak dan bersiap menyerang, namun tubuhnya sudah terbelit sulur dengan cepat.
“Jangan meremehkanku, Ciel,” ujarnya sembari mendekat dan berbisik, “aku sudah mengirim pesan pada Cerlina untuk mengurus Phillip nanti. Kau tahu Lao tidak suka menunggu, bukan?”
Ia menegakkan punggung dan berjalan, disusul para pengawal yang membawa Saciel meninggalkan kediamannya. Gadis itu berkata lantang pada seluruh pegawainya.
“Jangan khawatirkan aku, urus Phillip baik-baik!”
Sebelum pengawal mencoba melempar Saciel ke dalam kereta khusus kriminal, pria itu menahannya.
“Dia akan bersamaku.”
“Marquess Zografos, Nona Arakawa adalah seorang penjahat…”
“Kau mendengarku dengan jelas, bukan? Dia akan bersamaku dalam satu kereta. Atau aku harus mengulangnya dengan cara lain?” ancamnya sembari mengarahkan beberapa bunga terompet yang masih tertutup di dekat mereka. Para pengawal langsung bergegas memasukkan gadis itu di kereta kudanya dan meninggalkan mereka, disusul pria itu melompat masuk dan tertawa kecil.
“Mereka takut sekali dengan bunga cantik ini.” ujarnya kalem.
“Kau pernah membuat mereka lumpuh selama seminggu dengan bunga yang sama, Julian. Tidak lucu,” ujar Saciel. Julian mengulum senyum dan mengelus pipi halus miliknya selembut mungkin.
“Kau masih mengingatnya dengan jelas, gadisku?” godanya.
“Kau beruntung aku terikat, Julian. Kalau tidak sudah kupatahkan setiap jari yang ada di tanganmu,” ancamnya. “Berhentilah memanggilku begitu atau kuremukkan gigimu.”
"Kasarnya, padahal aku sudah membantumu menjauhkan Phillip dari hukuman. Yah, walau harus kuakui hukuman dari Dewa Oorun lebih mengerikan sih,” ujarnya santai. “Kau sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik seperti ibumu.”
“Apa maumu?”
“Wah, wah. Kau benar-benar tidak bisa berbasa-basi ya? Tapi kurasa itu yang menarik darimu. Kau sudah dengar sendiri tuduhan dari pendeta tua, kan? Bisa-bisanya kau berbuat onar di sana. Jangan karena kau kuat kau bisa seenaknya di kuil,” ujar Julian. “Aku yakin Lao pasti marah besar denganmu.”
“…aku tahu,” ujarnya lirih, terselip nada bersalah di dalamnya. “Tapi bagaimana bisa aku tidak marah melihat adikku berpakaian seperti wanita penghibur di kuil suci?”
Julian terkejut dan menatapnya intens, namun ia tidak mengatakan apapun padanya dan menatap keluar. Tangannya perlahan menumbuhkan setangkai mawar merah dan menyelipkannya pada telinga gadis itu.
“Berdoalah semoga hukumanmu tidak terlalu berat.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!