Di sebuah universitas ternama di Jakarta
Langkah kaki seorang gadis muda plus atribut ospek nya. Suara kaki yang terburu-buru akibat dia kesiangan. Rentetan suara kaleng saling bersenggolan di pinggangnya. Tentu saja semua yang ada di sana mengalihkan atensinya ke arah suara.
.“Sebening Embun!” Pekik suara lantang yang di seberang sana.
Sang pemilik nama pun menghentikan aktivitasnya. Dia pun menoleh kearah hentakan kaki di hadapannya.
“Ini hari ketiga ospek kamu masih terlambat? Apa lagi alasannya? Kesiangan? Tidak dapat angkot? Alasan klasik!”
“Darren kita kasih hukuman apa?” tanya teman yang lain.
“Hmmm apa ya?” mata Darren mengarah ke seorang lelaki yang duduk sambil mengaktifkan laptopnya.
“Kamu lihat cowok baju kuning itu. Nyatakan cinta sama dia dan cium dia!” Embun menoleh kearah sosok yang di tunjuk. Sialnya ada dua pemuda yang memakai kemeja senada. Tentu saja dia pilih yang paling tampan di matanya.
“Apa tidak ada option lain? Masa saya harus menyatakan cinta pada lelaki yang tidak di kenal?” Darren menggelengkan kepalanya. Pemuda itu tetap kekeuh dengan hukuman yang sudah dia berikan.
“Saya tidak....” nyalinya sedikit menciut melihat tatapan tajam dari para senior.
Langkah kaki Embun seperti terseok-seok. Bagaimana mungkin dia harus menyatakan cinta pada orang asing. Lagi-lagi dia bingung lelaki mana yang di tunjuk. Embun memilih lelaki kedua yang sedang asyik pada tumpukan bahan.
“Assalamualaikum, Kak. Maaf mengganggu sebentar.” Sapa embun malu-malu.
“Maaf, saya lagi banyak kerjaan. Jadi saya tidak bisa di ganggu. Kamu mahasiswa baru kan?” Embun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Embun menoleh kearah Darren cs. Seakan memberi kode pada dirinya untuk terus melanjutkan rencana. Tangannya menggenggam erat ujung bajunya. Rasa canggung dan grogi menyapa dirinya. Lama dia terdiam. Menarik nafas dalam-dalam.
“Maaf saya banyak pekerjaan...” Pemuda itu berdiri hendak meninggalkan bangku.
Melihat hal itu, Embun buru-buru menyelesaikan tugasnya. Dia tahu dari ujung sana gerak-geriknya di pantau kakak tingkatnya.
“Kak, saya cinta sama kakak. Sejak pertama kali melihat kakak disini jantung saya sudah berdebar. Kakak tahu nama saya Embun, memberikan kedamaian pada setiap orang yang di dekatnya.” Embun melirik nama yang tertengger di kantong jas pemuda.
“Kakak tahu kan, Di mana ada Fajar pasti ada Embun. Nama kita di pertemukan seakan memberi tanda semesta merestui kita.” Darren mendengar ucapan embun hanya bisa melongo.
Pemuda itu terdiam mendengar pernyataan cinta gadis asing di depannya.
Entah magnet apa yang membuatnya mengikuti permainan gadis itu. Tubuhnya yang tegap dan tinggi pun kembali melabuhkan ke tempat duduk semula. Bak terkena sihir yang kuat, dia menopang dagunya hanya untuk mendengar gadis itu bicara.
“Bro, bagaimana ini? Masa dia malah nembak asdos. Padahal yang kita suruh bukan kak Fajar. Gawat salah sasaran ini namanya.” Bisik Adol.
“Kayaknya ini seru, Dol.” Kata Darren penuh semangat.
“Seru apanya?”
“Bukankah dia beberapa kali menolak perempuan? Nah kita lihat saja apa si Bening Embun ini bisa menggaet asdos kita. Kalau di tolak kan dia yang malu sama satu kampus.”
“Nama kamu siapa?” tanya pemuda itu.
“Embun. Sebening embun, panggil saja aku Embun.” Gadis itu memberikan secarik kertas pada pemuda di hadapannya.
Kakak saya minta maaf. Saya di minta kakak senior untuk menyatakan cinta sama kakak. Tolong jangan di permalukan depan umum. Anggap saja tidak terjadi apa-apa.
Fajar tersenyum kecil membaca surat dari Embun lalu mengembalikan kertas pada gadis itu.
Ada tulisan balasan di belakang kertas yang dia pegang.
“Mulai sekarang kamu jadi pacarku yang sebenarnya. Ucapan itu janji dan janji adalah hutang.”
Embun membulatkan matanya.
...****...
Jam istirahat telah tiba. Embun mencari tempat duduk untuk melepas rasa lelahnya. Kejadian tadi dia anggap angin lalu. Toh lelaki yang mengaku pacarnya sudah kembali ke aktivitas semula.
Tas berbahan karung berisi beberapa minuman mineral. Sengaja dia bawa lebih dari satu. Takutnya dia susah mendapati kantin. Nyatanya ekspetasinya salah, kantin tetap beroperasi walaupun sedang masa ospek.
Beberapa mahasiswa senior sudah memenuhi area kantin. Embun merasa sungkan di dekat mereka. Tak lama ada memegang pundaknya, menuntunnya duduk diantara beberapa senior.
Dia adalah Darren. Lelaki yang sudah membuat dia malu di depan banyak orang. Hanya karena terlambat datang harus menyatakan cinta pada lelaki asing.
“Aku minta maaf soal tadi, Bun. Sebenarnya kamu tadi salah nembak orang. Yang aku suruh itu Yosep bukan kak Fajar. Tapi Kenapa kamu malah pilih kak Fajar. Dia itu dingin sama semua perempuan. Aku rasa dia suka sesama jenis, buktinya sepanjang dia jadi mahasiswa disini tidak pernah dekat dengan perempuan. Apa dia tadi menolak mu juga?” kata Darren.
Embun melahap satu sendok batagor. Setelah meneguk satu botol air mineral baru menjawab ucapan kakak tingkatnya.
“Enggak. Dia tidak menerima ku dan juga tidak menolak ku.” Kata Embun sekenanya.
“Benar kan dugaanku. Itu kak Thalia.” Darren menunjuk gadis yang duduk di seberang mereka.
“Kak Thalia banyak di bantu sama kak Fajar. Sikap kak Fajar seakan kasih harapan gitu. Tapi nyatanya dia di tolak sama kak Fajar. Alasannya satu, dia merasa tidak ada feeling sama kak Thalia. Padahal kurang apa kak Thalia.”
“Tapi benar yang di bilang kak Fajar, hati itu tidak bisa di paksakan. Kalau tetap di jalani yang tersiksa si cewek.” Jawab Embun.
“Oh, kalau dari pikiran cewek mah selalu begitu. By the way pulang nanti boleh kan aku antar. Untuk perkenalan awal kita.”
Embun menggeleng, sudah pasti anak buah papanya yang akan menjemput. Sudah sejak zaman SMP dia di tunggu sama papanya. Kadang papanya menyuruh asisten menjemput dirinya. Sudah hapal di luar kepala sikap papanya yang protektif. Anehnya adiknya lintang tidak pernah di kekang seperti itu. Apa mungkin mereka tidak sedarah. Entahlah Embun enggan berspekulasi.
“ Nanti malam ada acara penutupan ospek. Jadi semua mahasiswa dan mahasiswi baru harus ikut berpartisipasi. Kamu ikut kan?”
“Aku bilang sama papa dulu.” Embun meraih teleponnya mengabari terkait acara di kampusnya.
“Papa tidak akan izinkan kamu ikut. Suka tidak suka kamu tetap pulang ke rumah, nanti papa suruh David buat jemput.”
“Pa, kalau aku tidak ikut nanti bermasalah di akademik kampus. Aku juga tidak enak sama teman yang lain.” Rengek Embun.
“Pokoknya kamu tidak boleh ikut. Mana panitia kampus kamu biar papa yang bicara.” kata Trias sang papa di sambungan telepon. "Kalau perlu papa bilang sama dekan kamu. Papa kenal sama petinggi kampus kamu." sambung Trias.
Embun enggan menyerahkan teleponnya pada Darren cs. Yang ada dia di tertawakan sama orang-orang di kampus. Dia kembali menyelesaikan bekalnya dan juga makanan pesanannya.
Selesai istirahat mereka pun kembali berkumpul di lapangan. Embun dan beberapa teman seangkatannya sudah berada dalam barisan. Mata Embun menangkap sosok lelaki yang berjalan bersama beberapa mahasiswi. Mereka terlihat akrab, pemuda itu tetap fokus berbicara tanpa melempar pandangan lain.
“Kenapa aku harus peduli sama tuh cowok? Mau dia sama siapa juga bukan urusan aku.” Keluh Embun.
"Ya ampun, ingat, Bun. Ucapan dia tadi cuma sekedar basa-basi doang. Belum tentu juga dia mau jadi pacarku. Ingat Bun! Ingat! Papa melarang kamu dekat dengan lelaki manapun." kata Embun tentu saja dalam hati.
Setelah dia kembali fokus pada kegiatan di lapangan. Mata pemuda itu memandang ke arah gadis yang berada di barisan paling belakang. Senyumnya mengembang lalu masuk dalam ruangan kelas.
"Dia cantik sekali" puji nya dalam hati.
“Apa! Jadi pihak di sana tidak mau menjual perkebunannya?” Pekik seorang lelaki di dalam ruangan.
“iya, pak Trias. Saya sudah berusaha memberikan iming-iming. Tapi ternyata pemilik pabrik yang melarang warga di sana.” Lapor orang suruhannya.
“Aduh bagaimana ini? Bos bisa marah kalau seperti ini hasilnya. Yasudah kamu tetap berusaha apapun caranya. Saya akan ikut pantau juga.” Komunikasi mereka pun di hentikan.
Saat ini Trias menikmati tahun-tahun terakhirnya sebelum pensiun. Usianya yang tidak lagi muda menuntutnya untuk beristirahat. Walaupun dia sering berpikir bagaimana menafkahi anak-anaknya yang masih sekolah dan kuliah.
Trias Atmaja adalah orang kepercayaan dari perusahaan property. Dia juga mendengar kalau atasannya mengincar tanah di daerah Lembang. Tanah yang di klaim atasan masih milik ayahnya.
Karena dulu si pemilik pabrik PT. Bramantyo adalah orang kepercayaan ayah bos nya. Maka dari itu, bos nya memperjuangkan kembali tanah itu.
Ting!
"Pihak dari PT. Bramantyo mengusir camp kita. Mereka merasa terganggu dengan kehadiran kita. Mana cara mengusirnya anarkis sekali." Adu Dewo, staf yang memantau di Lembang.
"Kali ini kalian menjauh dulu dari tempat itu. Kita rembuk lagi strategi yang baru. Nanti kita laporkan ini pada pak Rayyan."
"Baik, Pak." Dewo menutup pesannya.
Trias keluar dari ruangan kerjanya. Posisi ruangan berdekatan dengan ruang tamu. Matanya melirik jam di handphone. Kedua putrinya belum terlihat batang hidungnya.
Baru saja dia akan duduk tampak gadis berseragam putih abu-abu. Diikuti gadis muda yang menentang buku. Memakai kemeja kotak-kotak merah.
“Lintang, kamu diantar sama papa, Ya. Dan kamu Embun nanti diantar sama pak Sapto.”
“ Embun bisa naik angkot, Pa. Lagian nanti di lihat teman-teman malu aku. Di bilang anak mami nanti.”
“Kenapa harus peduli sama kata mereka? Bukan mereka yang kasih kamu jajan, tapi papa. Jadi jangan membantah perintah papa!"
“Mungkin ada yang menunggu kak Embun di depan gerbang. Makanya dia malu dianterin. Ya kalau tuh orang gentle dia yang jemput kakak ke sini.”
Trias menaikan alisnya. Tentu dia ingin melindungi putrinya dari orang-orang asing. Termasuk pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan. Di matanya Embun itu beda dengan lintang. Embun itu fisiknya sedikit rapuh. Apalagi waktu kecil Embun pernah hilang waktu bermain di Lembang. Untung ada beberapa warga yang menemukan anak gadisnya. Sejak saat itu, Trias menjadi protektif pada Embun.
“Kalau mamamu masih ada pasti dia akan senang melihat kalian berdua sudah tumbuh besar. Sudah SMA kelas 3 dan sudah semester 1.” Trias menyeka air matanya.
“Papa jangan sedih. Embun dan lintang janji akan menjadi orang yang sukses. Bikin papa bangga, dan mama diatas sana juga bangga.” Embun menggenggam erat jemari sang papa.
“Makanya papa minta kamu jangan pacaran dulu, Bun. Biarlah papa yang memilihkan pasangan untuk kamu dan Lintang. Jangan pernah ada mencoba melangkah keinginan papa.” Embun dan Lintang menunda suapan yang hampir masuk ke mulut. Embun sedikit tenang, karena sementara ini belum ada pria yang bermaksud mendekatinya.
Fajar? Entahlah, sejak kejadian ospek, pemuda itu belum menunjukkan kalau dia mengakui status pacaran. Seperti yang pernah di ucapkan Fajar.
Janji adalah hutang dan hutang harus di lunasi.
Lalu bagaimana dengan janji ucapan Fajar. Sampai sekarang belum di buktikan. Apa itu dia berharap Fajar menempati ucapannya? Tidak. Embun berharap Fajar tidak akan ingat janji itu. Tidak bisa di bayangkan murka papa nantinya.
Tapi kenapa dia masih penasaran sama Fajar. Kenapa cerita di ospek selalu mengejar ingatannya? Lagi-lagi dia mencoba menepis pikiran konyol.
Seperti kata kak Darren, Kak Fajar itu tidak tertarik sama perempuan. Jadi tidak mungkin dia mau menepati janjinya.
Aaaaarggggh!
Tuh cowok ganggu aja!
Sementara Lintang harus memutar otak agar hubungannya dengan Rhido tidak ketahuan. Kalau tidak bisa kiamat sugra nantinya. Lintang pernah lihat papa nya sedang murka. Seram sekali, itu juga karena anak buahnya mencoba menggoda Embun. Tiada ampun bagi papa. Bahkan keluarga anak buahnya kena imbasnya.
“Kalian papa antar ke sekolah dan kampus.” Papa Trias sudah berjalan meninggalkan meja makan. Suara klakson mobil menandakan mereka harus berangkat.
“Kak gimana ini?” Lintang tentu cemas. Janjinya sama Ridho menunggu di ujung jalan punah sudah.
“Ya nggak gimana juga. Kakak kan emang tidak punya pasangan. Beda sama kamu. Masih SMA sudah tahu pacaran.” kata Embun sambil menyantap satu genggam roti isi.
Lintang hanya mencibir. Dia yakin kalau kakaknya tidak jauh beda. Hanya belum ke endus sama papa saja. Gadis 17 tahun itu meninggalkan kakak perempuannya di meja makan. Tak lama dia kembali membawa tas sekolahnya.
“Kamu harus ingat pacar kamu itu mahasiswa, Lintang. Gaya pacaran mahasiswa dengan anak sekolah itu beda.” Sahut Embun.
Embun mencibir adiknya terlalu mabuk cinta. Dia harus mencari tahu seperti apa si Ridho, pacar adiknya. Seruan papa Trias untuk bersiap berangkat ke tempat belajar masing-masing. Keduanya gadis beda dua tahun itu sudah masuk ke mobil. Masih dalam mode diam seta pandangan saling membuang muka. Trias sedikit aneh atas sikap kedua putrinya.
Ternyata dia sudah terlambat.
Embun baru turun dari mobil langsung berlari memasuki ruang kelasnya. Apalagi dia harus naik ke lantai atas tempat dia belajar dalam dua minggu ini. Sesaat dia berhenti mengatur nafas. Apalagi dia terlambat untuk mata pelajaran pak Viktor. Dosen yang katanya terkenal killer.
Kakinya terhenti sebelum sampai di depan kelas. Terdengar suara lelaki sedang mengajar, dari suaranya sepertinya sosok yang masih muda. Embun menyembulkan kepalanya di balik pintu.
“Katanya pak Viktor sebaya papa. Kok ini lebih muda ya? Apa itu asistennya? Aduh gimana ini masa baru angkatan pertama sudah bermasalah. Ah bodo amat! Kan dia cuma asisten ngapain takut.” Embun pun menyelonong ke kelas tanpa peduli tatapan teman-temannya.
“Sebening Embun!”
kok dia tahu namaku
Embun membalikkan badannya. Matanya membulat setelah tahu siapa yang menjadi asisten pak Viktor.
“Kamu tahu ini jam berapa? Peraturan mata kuliah pengantar manajemen harus ada di kelas lima menit sebelum pelajaran di mulai. Tapi kamu malah seenaknya nyelonong. Saya minta kamu keluar! Nanti temui saya di ruang dosen."
Embun menatap kearah Fajar seakan memelas. Kalau dia bisa berontak dan mengatakan kalau lelaki itu pernah mengajaknya pacaran. Tapi itu bukan ide yang bagus. Sudah terbayang jika nanti teman sekampus akan mencemoohnya. Tanpa melepaskan tatapan ke arah fajar, Embun akhirnya keluar kelas. Sambil mendorong pintu dengan keras.
“Baru jadi asisten dosen sudah berasa dosen beneran.” Umpatnya.
Embun duduk salah satu taman area kampus. Hari ini benar-benar sial. Dia sudah di pusingkan dengan peraturan dari papanya. Sekarang dia tidak bisa masuk ke kelas karena terlambat. Parahnya, dia di usir sama lelaki yang enggan dia ingat.
Sekitar dua jam menunggu jam istirahat. Embun pun tertidur di kursi taman. Dia bermimpi ada seorang pangeran yang membawa ke tempat yang indah.
Sayangnya wajah sosok itu tertutup kilauan cahaya putih. Rasanya dia tidak ingin bangun dalam mimpinya. Tangan Embun pun mengeratkan pelukan di leher lelaki itu. Mencari celah seperti apa tampangnya.
Embun membuka matanya. Cahaya putih menjadi pemandangan pertamanya. Seperti sedang dalam ruangan kecil. Embun meraba tangannya, merasa ada yang empuk.
“Kok di UKS, apa yang terjadi?” Embun memutar pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada siapapun. Lalu siapa yang membawanya kesini?
“Sudah bangun, Bun.” Suara manis menyapa dirinya.
“Kinar, kenapa aku disini?” tanya Embun.
“Kamu tadi kayaknya pingsan di taman. Sudah di kasih minyak angin tapi tetap saja tidak bangun. Untung saja ada kak Fajar. Dia yang bawa kamu kesini.” Kata Kinar.
“Oh ya. Kak fajar nitip ini buat kamu. Makanan sebanyak ini, mungkin dia pikir kamu pingsan karena belum makan. Dia bahkan memberikan bekalnya untuk kamu, Bun.”
Embun menemukan catatan kecil di balik alat makan milik Fajar.
Maaf soal tadi. Aku harus profesional. Semoga cepat sembuh, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa.
Pukul 14.00
"Kak Fajar!" sapa gadis manis berlesung pipi.
"Kak Fajar suka sama Embun, Ya?" goda gadis itu.
"Menurut kamu?"
"Yah, gagal dong jadi mantunya papa." kata gadis itu dengan ekspresi menggemaskan. Lalu ekspresi berubah jadi ceria.
"Heleh! kamu bukannya lagi di dekati sama Vano. Aku nggak mau saingan sama adik sendiri." kata Fajar.
Vano adalah adik sepupu Fajar. Anak kedua dari Tante Ayu.
"Yaelah, di masukin ke hati. Siapa juga yang mau sama manusia kulkas seperti kakak. Sama kayak Embun rada kulkas juga. kalian cocok." gadis itu mengacungkan jempol.
"Adek Kinara, bantu kakakmu ini. Nanti kakak bantu kamu sama Vano."
"Yang lain deh jangan Vano." sungut Kinara.
Kinara adalah anak teman Papanya Fajar. Mereka sudah saling kenal sejak kecil. Marcelino yang merupakan pengusaha teh sama dengan keluarga Fajar. Memang Kinara sangat di sayang sama keluarga Fajar, setara dengan Mentari, anak perempuan di keluarga Fajar.
"Ya deh, nanti aku bantu. Tapi kakak juga harus banyak bantu aku kalau ada tugas dari kampus. Kan kakak mahasiswa sini."
"Nggak janji, ya" Fajar melengos pergi meninggalkan Kinara.
"Eh, kakak mau kemana?"
"Bimbingan skripsi." kata Fajar dari jauh.
Selesai mata kuliah Embun pun pergi ke kantin kampus. Dengan alasan menumpang cuci piring. Tentu saja yang dia bersihkan tempat makan dua tingkat milik Fajar. Tidak enak mengembalikan barang dalam keadaan kotor.
Setelah cuci piring embun pun meninggalkan kantin. Berjalan menuju area gedung belajar. Dia masih buta akses sekitar kampus. Pada akhirnya dia bertanya pada salah satu mahasiswi.
“Kak maaf mau tanya ruangan pak Fajar di mana, ya?” Tanya Embun.
“Owh, Fajar asdos. Kayaknya dia sering di aula kampus. Kan dia juga lagi bimbingan skripsi.” Jelas mahasiswa yang bernama Arif.
“Aula ya? Terimakasih, kak.” Embun pun berjalan menuju aula kampus. Suasana kampus terlihat sepi, masih ada sebagian mahasiswa beraktivitas. Kebanyakan sudah memasuki kuliah sore. Embun mendapati papan nama bertuliskan aula serbaguna. Kepalanya menyembul untuk melihat apa ada kehidupan disana.
“Ramai juga di sini. Baru tahu gedung seperti ini boleh di jadikan tempat nongkrong mahasiswa.” Kata Embun dalam hati.
Langkah kakinya mengitari sekitar aula. Matanya menangkap sebuah taman di belakang aula. Banyak tanaman yang menurutnya unik dan cantik. Dia sudah memasuki area taman, di mana banyak bunga warna-warni. Di tambah ada banyak spot selfie.
“Kamu harus lebih giat lagi, Nak. Kamu sudah masuk semester sembilan artinya sudah terlalu tua disini.” Suara lelaki dewasa terdengar paruh baya.
“Terimakasih atas semangatnya,Pak.” Fajar dan dosennya berbalik arah. Sesuai tujuan masing-masing.
Fajar melihat embun sedang memandang ke arah taman belakang aula. Perlahan langkah mendekati gadis itu. Kapan lagi bisa bicara sedekat ini.
“Cantik ya, tapi aku merasa lebih indah bidadari di sampingku.” Embun tersentak mendengar ada bicara kepadanya.
Kini keduanya saling bertatapan. Embun merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Apalagi saat Fajar memegang kedua tangannya. Kini jarak mereka sangat dekat. Pesona lelaki itu sangat kuat. Embun memilih membuang muka.
“Papa tidak akan mentolerir siapapun yang melangggar. Kamu dan Lintang tidak boleh mendekat pada pria manapun. Karena hanya papa yang boleh menentukan pasangan kalian.”
Embun segera melepaskan tangan Fajar dengan kasar. Segera dia ingat tujuan utamanya menemui pemuda itu.
“Ini saya mau mengembalikan tempat makanan anda. Terimakasih atas perhatian dan maaf jangan lagi memberikan saya harapan. Karena saya tidak akan pernah membuka hati untuk anda.” Embun langsung berlari meninggalkan fajar sendirian.
“Tunggu!”Fajar berusaha mengejar Embun. Mereka sudah berdiri di depan gerbang. Fajar berusaha menahan Embun, sayangnya Embun mengelak.
"Ada apa lagi kak? Saya tidak punya banyak waktu dengan anda." Embun menghempaskan tangan Fajar dengan kasar. Bagai angin berhembus cepat embun segera berlari meninggalkan area kampus.
Embun bersembunyi di balik dinding teras gerbang kampus. Nafasnya terputus-putus, merebahkan punggungnya di dinding.
“kamu kenapa, Embun?”
“Papa!”
...*****...
Embun baru saja duduk di kursi mobil. Meletakkan barang bawaan kuliahnya di sebelahnya. Seperti biasa ada Lintang yang dengan segala celotehan, menceritakan permasalahan di sekolah nya. Saat ini Lintang sudah kelas tiga. Adiknya lebih tertarik dengan dunia fashion ketimbang kuliah di universitas akademik.
Akan tetapi Lintang pasti sudah diatur papanya untuk tempat kuliah. Sama seperti dirinya yang mau ambil jurusan psikologi tapi diminta kuliah jurusan manajemen. Katanya biar ada yang bantu atau gantikan perkejaannya. Papanya sekarang menjabat sebagai general manajer di perusahaan property. Papa punya cita-cita mau buka usaha property setelah pensiun. Dia bahkan bilang mau cari menantu yang bisa jadi asistennya untuk menggantikan di usahanya nanti. Tapi bagi Embun obsesi papanya berlebihan. Masa usaha sendiri suruh menantu yang pegang. Kenapa bukan dia dan Lintang saja? Kalaupun bukan anak tehnik sipil paling tidak dia paham manajemennya.
“Lintang mana, Pa? Belum di jemput ya? Bukannya sekolah Lintang searah sama kantor papa?” tanya Embun.
“Lintang pergi tugas belajar di tempat Rina. Tadi papa yang antar ke rumah Rina. Kamu di depan, Bun. Papa pengen ngobrol tidak enak kalau ngobrol sementara kamu di belakang.”
Embun pun akhirnya pindah ke depan. Sudah duduk manis di samping papanya. Trias menghidupkan mobilnya meninggalkan area kampus. Embun hanya memandang kearah parkiran motor. Memperhatikan sosok yang berjalan kearah parkiran. Ada Kinar teman baiknya berjalan bersama dengan Fajar.
Kinara munafik! Dia yang kemarin mendukung aku membuka hatinya pada kak Fajar. Ternyata dia juga suka sama kak Fajar.
Aduh kenapa juga aku pikirin soal mereka. Lagian juga kak Fajar bukan siapa-siapa aku.
Mobil yang di kendarai Trias dan Embun sudah jauh meninggalkan kampus. Mencoba menghempas pikiran soal Kinara dan Fajar. Toh itu bukan urusan dia. Pandangannya menoleh kearah papa Trias. Lelaki itu masih bungkam padahal tadi bilang ada yang mau di bahas.
“Tadi katanya ada yang mau di bahas? Ada apa, Pa?”
Trias menghentikan laju mobilnya. Mereka berhenti di daerah yang sepi penduduk. Embun masih menunggu. Kalau sampai sejauh ini perjalanannya Embun yakin ada yang sangat penting untuk di bahas.
“Perusahaan tempat papa bekerja sedang ada masalah. Mereka berseteru dengan salah satu pabrik teh di Lembang. Kalau seandainya papa salah satu orang yang mereka PHK kita pindah ke Salatiga, kota kelahiran papa. Seperti janji papa mau buka usaha property mandiri.”
“Aku tidak ikut ya, Pa. Sudah terlanjur nyaman kuliah di sini. Papa tidak lupa kan? Aku dan Lintang sudah beberapa kali pindah sekolah, Karena dinas papa yang terus berpindah-pindah. Kami capek, Pa. Biarkan aku dan lintang menyelesaikan sekolah disini saja. Jakarta juga tempat kelahiran aku dan Lintang, Pa."
“Papa tidak mau tahu, selesai Lintang ujian akhir kita pindah! Papa akan ajukan pensiun lebih cepat. Kalau kamu dan Lintang disini siapa yang menjaga kalian? Nanti kalian malah dekat dekat sama laki-laki sembarangan.”
“Bisakah Papa percaya pada kami. Okelah kalau soal Lintang. Tapi aku sudah besar, Pa. Aku juga ingin sama seperti anak yang lain. Punya teman bisa jalan-jalan. Lintang saja Papa masih percaya untuk ke rumah temannya. Sementara aku mau keluar rumah saja harus di kawal.”
“Siapa bilang? Lintang juga papa utuskan orang mengawalnya. Jadi kalau memang dia belajar pasti akan ada laporannya.” kata Trias sambil menyunggingkan senyuman.
Embun mendengus kesal. Dia capek di kuntit orang orang papanya.
Ting!
"Kakak tolong bilang sama papa suruh anak buahnya pulang saja. Mereka malah bikin rusuh rumah temanku. Keluarga Rina risih sama anak buah papa." pesan singkat dari Lintang.
"Papa lihat kan apa yang di lakukan anak buah papa. Mereka malah buat keluarga Rina resah. Aku mohon sama papa suruh mereka pulang." Embun memperlihatkan pesan yang di kirim sama Lintang.
"Oke, mereka papa suruh pulang. Tapi Lintang tidak usah dekat lagi sama Rina." kata Trias tegas.
"Capek aku ngomong sama papa." Embun masuk ke mobil duduk di kursi belakang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!