NovelToon NovelToon

Kakak Ipar, I Love You But I Hate You

Part 1

This is just fiction.

•••••••••••••••••••••••••

    Rumah sakit, 15 Desember 2022 adalah hari bersejarah bagi Navian Narendra Devandra, sosok pria gagah berambut mullet dengan pahatan bibir yang tipis, aroma mint menyebar di segala penjuru tempat tunggu di dalam rumah sakit itu, aroma mint mengembara ke setiap ruas lorong di rumah sakit.

    Tepat di satu lorong kosong bernuansa putih yang sunyi, Navian bersama kedua orangtuanya dan tentunya bersama kedua mertuanya pula serta adik dari sang istri, mereka terduduk di beberapa kursi tunggu di depan ruangan operasi.

    Berbeda dengan pria pemilik tubuh tegap nan kekar di depan pintu ruang operasi di mana lampu di atas pintu itu masih menyala berwarna merah, itu menandakan jika operasi masih berlangsung.

    Tuhan ... Tolong selamatkan istri dan anak yang sedang diusahakan untuk dilahirkan oleh istriku.

    Batin Navian menggema, harapannya hanya satu, istri tercintanya melahirkan sang putra dengan selamat dan istrinya kembali sehat.

    "Navian, duduk sayang ... Kamu tidak perlu khawatir, istri kamu pasti baik-baik saja, kita percayakan pada Tuhan yang maha segalanya," pinta ibu dari Navian.

    "Tidak Ma, sebelum dokter dan suster di dalam memberikan kabar baik padaku, aku tidak akan pergi dari sini, istriku sedang berjuang di dalam melahirkan putraku," tepis Navian tegas, pria itu enggan untuk enyah dari pintu ruang operasi yang tertutup rapat.

    Di dalam kaca kecil yang menempel di atas pintu itu hanya menampilkan lorong putih yang kosong dan tak ada kehidupan di sana, hanya para pawana yang mengelana di ruang sana, atau bahkan di sekitarnya pun hanya angin yang membisik.

    Seorang wanita berpenampilan modis, wanita paruh baya itu mengenakan gaun di bawah lutut dengan warnanya yang mencolok menyesar dasi posisi awalnya mendekati sang menantu, ya! Itu adalah ibu dari istrinya Vianna Dewi, model cantik berusia 25 tahun yang dia pacari lebih dari empat tahun.

    "Sudah Nak, kamu tenang aja, anak Mama sangat tangguh, dia bisa menaklukan pemotretan di mana pun dengan sempurna, begitupun dengan hari ini. Percayakan semuanya pada yang bertugas," bujuk wanita itu mengelus punggung Navian dengan lembut.

    "Tapi Mam, Vianna pasti sedang kesakitan sekarang." Navian masih menangkis untuk bersikap tenang.

    Rasanya sangat egois jika dia bersikap tenang, sedangkan sang istri sedang berjuang di dalam ruangan operasi seorang diri, Navian membenturkan dahinya pada kaca yang ada di depannya, bola matanya menyurut pada ketakutan yang tak pernah dia inginkan.

    Dia mengingat saat ibunya melahirkan adiknya yang kini telah bersama Tuhan, wajah sang ibu terekam dengan jelas dalam lumbung batinnya, Meriza mengerahkan seluruh tenaganya sampai dia kehilangan kesadaran untuk melahirkan adik dari Navian, tapi sayang Tuhan berkehendak lain.

    Adik Navian dilahirkan dalam keadaan tidak bernyawa, semua usaha Meriza saat itu sia-sia, seluruh tenaganya yang terkuras tidak membuahkan apapun, Meriza menangis dan Navian melihat segalanya.

    Kala itu Navian masih berusia 14 tahun, dia frustasi melihat sang ibu menangis sampai dadanya sesak dan air matanya tak terjatuh lagi, Navian bertekad akan menjaga istrinya kelak dengan sangat baik, tak peduli dia harus kehilangan segalanya demi istri tercintanya.

    Di saat waktu berpagutan dengan sunyi dan menyisakan suara-suara troli yang suster-suster itu dorong serta suara mesin-mesin yang bertugas untuk menyelamatkan para manusia yang tengah didekap oleh rasa sakit, dokter dan suster yang melakukan operasi kelahiran putra dari pimpinan perusahaan N2D Corporation itu keluar dengan wajah yang berseri-seri.

    Melihat kehadiran dokter dan suster itu Navian sungguh bersemangat, dia yang baru saja mengistirahatkan kakinya, gegas kembali berayun ke dekat sang dokter dan suster tersebut, dengan penuh antusias dan dada yang berguruh Navian terhenti di samping dokter wanita tersebut.

    "Dokter, bagaimana keadaan istri saya dok, anak saya selamatkan dok?" tanya Navian beruntun, bola matanya menampilkan betapa lelaki itu tidak sabar mendengar kabar dari dokter itu.

    Sementara orangtuanya, mertua serta adik iparnya masih terdiam di belakangnya dan tidak ikut berbicara seperti yang dilontarkan Navian. Dokter dan suster itu tersenyum, mereka sangat sabar menghadapi berbagai macam bentuk pasien.

    "Tenang Pak, istri Anda baik-baik saja, begitupun dengan putra Anda, semuanya selamat tanpa ada kekurangan suatu apapun," terang dokter itu membuat dada Navian yang sempat tercekik merasa lega.

    "Ah syukurlah ...," seru Navian lega, wajahnya tertadah ke atas sembari dia menyugar wajahnya dengan penuh suka cita, punggungnya terseret pada dinding yang semula ada di sampingnya.

    Seluruh anggota keluarga bersuka cita bersama-sama termasuk adik dari Vianna, gadis cantik yang baru berusia 23 tahun itu sungguh bahagia mendengar kakaknya berhasil melahirkan seorang putra, dia tersenyum lebar sampai dia tak tahu harus berbuat apa.

    Dia bergeming di area paling belakang dan tak berani untuk mendekati siapapun yang ada di depannya, Tiara Dewi Violina sang adik dari Vianna mulai bergerak ke dekat ayahnya yang berdiri tenang di samping Viara, ibu dari Vianna dan Tiara.

    "Kamu mau apa, cepat ke belakang lagi, ini bukan urusan kamu, sudah sana pergi saja," bisik Viara kasar mendorong Tiara ke belakang lagi.

    Tanpa bersuara, Tiara menerima perlakuan kasar yang selalu dia terima selama ini. Dia tak ingin menciptakan keributan yang membuat keluarganya malu, Tiara melipir ke arah lain dan membawa langkahnya menuju arah keluar dari rumah sakit besar itu.

    Sang ayah tidak terima dengan perlakuan istrinya. "Kenapa kamu mengusir anak kita, dia juga ingin melihat kakaknya, kenapa sih selalu saja begitu," tegur Nando berbisik di telinga istrinya.

"Sudah, tidak usah dibahas, ini lagi di rumah sakit."

    Navian yang ada di depan semua orang segera berlari kala istrinya dibawa oleh beberapa suster untuk dipindahkan ke ruangan rawat, lantas semua orang yang tersisa di sana pun ikut mengekor langkah Navian dari belakang.

    Setelah beberapa saat proses pemindahan Vianna dari ruangan operasi ke ruang rawat selesai, suster memperbolehkan Navian untuk menjenguk istrinya, tetapi tidak dengan yang lainnya, karena pasien membutuhkan oksigen yang lebih.

    Saat melahirkan putranya, Vianna banyak kehilangan oksigennya sehingga wanita itu harus menghirup bantuan oksigen dari rumah sakit. Wanita cantik bertubuh indah itu terlelap tenang di atas ranjang empuk dalam keadaan menyamping.

    "Sayang ... Kamu baik-baik saja?" tanya Navian lembut, kemudian dia menerjunkan bokongnya ke atas kursi yang tersedia di dekat ranjang itu.

    "Kamu pikir sendirilah," ketus Vianna yang ternyata dia tidak benar-benar terlelap.

    Navian menyeringai, wajahnya yang lembut bercucuran dan mengalir pada tatapan Vianna yang sepertinya dia sedang dalam keadaan kesal, wanita cantik itu melempar wajahnya ke arah lain, dia enggan melihat wajah suaminya.

    "Sudah aku bilang, aku itu tidak menginginkan anak, kenapa kamu malah memaksaku untuk melahirkan anak, dan sekarang kamu lihat tubuhku, aku sudah tidak cantik lagi, dan ini gara-gara kamu," kesal Vianna, tatapannya sinis.

    Navian mengendur mendengar kekesalan istrinya. Tatapannya sendu, ia tidak hanya senu, tetapi juga getir, lantas dia menghela napasnya panjang, mengukur kemarahannya untuk segera meredam atau bahkan menyuruhnya untuk padam.

    "Maafkan aku, tapi pernikahan ini harus memiliki anak, karena keluargaku menginginkan penerus, maaf jika aku memaksamu, aku tidak akan memaksamu untuk melahirkan anak lagi," kata Navian lirih.

    "Semuanya sudah terlambat Navian!" bentak Vianna tiba-tiba saja menggetarkan dinding-dinding sunyi di sana seraya dia membawa tubuhnya untuk terduduk.

    Sontak Navian terkesiap hebat dengan tindakan istrinya, kedua netranya menjegil lantas mengedar keluar pintu ruangan itu, pria tampan pemilik hidung lancip itu membantun tubuhnya dari kursi dan menjatuhkannya di atas pesisir ranjang yang di mana istrinya tengah terduduk.

    "Ssstt!" desis Navian meletakkan satu jarinya di atas bibir Vianna yang mengeras, "jangan teriak-teriak di rumah sakit, itu tidak baik," pinta Navian meremas salah satu tangan Vianna penuh dengan kelembutan.

    "Biar saja! Kalau kamu adalah suami yang egois dan mau enaknya sendiri, sekarang lihat tubuhku, jelek, tidak cantik, bagaimana bisa aku bekerja dengan tubuh buruk rupa seperti ini," berang Vianna, wajahnya memerah.

    Lantas dia melempar tangan Navian yang meremas salah satu tangannya dengan kasar, wanita itu mencengkeram kerah kemeja suaminya, tatapannya getir seperti ingin melahap sang suami hidup-hidup.

    "Kembalikan tubuhku yang indah! Aku ini model papan atas, bisa-bisanya kamu menghamiliku dan memaksaku untuk melahirkan anak sialan itu!" geram Vianna, dia frustasi karena kehilangan tubuhnya yang indah. "Menjadi model adalah impian terbesarku dan kamu yang katanya mencintaiku malah kamu yang menghancurkannya, aku benci kamu Navian Narendra Devandra!" Vianna mengguncang tubuh Navian kasar.

    "Stop!" Navian mencengkeram kedua tangan Vianna dan menariknya dari kerah bajunya, "apa salahnya? Hah?! Kita menikah karena cinta bukan? Kenapa kamu menyalahkanku karena kita bercinta dan melahirkan anak itu adalah kehendak Tuhan, pernikahan itu membutuhkan anak, kenapa kamu sepertinya tidak menginginkan hal itu," balas Navian kasar, dia melepaskan cengkeramannya pada tangan Vianna.

    Pria berambut mullet itu enyah dari hadapan Vianna yang mengerang frustasi, dengkusan wanita itu berderai kasar bersamaan dengan dinding kamar sunyi itu yang mengurai jengah akan pertengkaran suami-istri ini.

    "Jika ini bukan kemauanmu, lantas mengapa kamu menyetujui untuk menikah denganku, kedua orangtuaku," gerundel Navian menunjuk pintu ruangan yang tertutup rapat, "menginginkan penerus keturunannya, aku anak tunggal karena adikku meninggal sesaat setelah dilahirkan, itu kewajiban kita sebagai anak-anaknya untuk melahirkan keturunan, aku hanya meminta satu saja, apa salahnya?" sambung Navian mulai merendahkan nada suaranya.

...See you next Part...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Part 2

This is just fiction.

••••••••••••••••••••••••••

    Vianna tidak gentar, paras cantik wanita itu mengeras, matanya memerah, bibir tipis itu pun bergetar, dia cengkeram selimut yang sedang melindunginya dari hunjaman dinginnya pendingin ruangan yang ada di ruangan itu.

    "Salah! Karena aku harus melahirkan anak dan menghancurkan tubuhku yang indah, aku menikah denganmu karena cinta, tetapi bukan berarti aku ingin melahirkan anakmu," sungut Vianna geram.

    "Jika klienmu itu tidak menginginkanmu lagi ya sudah, lepaskan saja dan kamu bisa fokus mengurus anak dan keluargamu," sahut Navian berdiri tak jauh dari keberadaan sang istri.

    "Jaga mulutmu ya! Kamu tidak berhak mengatur hidupku, jangan lancang kamu menyuruhku untuk meninggalkan pekerjaanku!" berang Vianna, hidungnya mengerut dengan tatapan tajam yang menghunus.

    "Aku suamimu!" Navian terpancing emosinya, nada suaranya memuncak menggetarkan dinding rumah sakit yang membisu.

    Getaran di kaca membuat semua yang menunggu di luar menyadari jika ada pertengkaran yang terjadi di dalam ruangan itu, Viara bersama sang istri gegas masuk ke dalam ruangan di mana putrinya dirawat.

    Begitupun dengan Meriza dengan sang suami mengekor di belakang besannya, deru jantung keduanya berdebaran, ada ketakutan yang tak diinginkan dalam diri Meriza. Dia genggam dadanya.

    "Ada apa? Jangan bertengkar di rumah sakit, malu sama pasien lain dan suster, dokter di sini," tegur Viara, wanita berpenampilan modis itu bergerak ke samping Vianna, dia mengelus punggung sang putri dengan lembut.

    Navian di depan menyugar wajahnya dengan kasar, lantas dia menghela napasnya panjang nan berat, embusannya terdengar sangat kasar, dia mendelik, kedua tangannya menggantung di pinggang.

    Meriza dan Marwan melekatkan langkahnya dengan sang putra yang ketara tak senang, wajah merahnya menandakan kemarahan tengah mendekap pria berahang tegas itu, Meriza berusaha mendekatkan dirinya dengan menggenggam tangan putranya.

    "Tenang Nak, jangan emosi. Kenapa? Istrimu baru saja melahirkan putramu, salah besar kamu memarahi istrimu," bujuk Meriza.

    Walau dia tidak tahu pokok permasalahan yang tengah merundung putranya, tetapi wanita itu ingin mendidik putranya agar tetap berlaku baik dan meredam emosinya dalam menghadapi sang istri.

"Mama ...," rengek Vianna menoleh pada sang ibu dan melabuhkan dirinya dalam pelukan Viara. "Navian menghancurkan masa depanku." Vianna menangis di dalam pelukan sang ibu.

    Mendengar penuturan sang istri Navian semakin berang, embusan napasnya kembali kasar terburai keluar. "Ya! Salahkan saja saya, kalian yang menginginkan cucu dan saya yang salah! Terserah! Saya capek!" Navian beranjak dari sana berlari keluar dari ruangan itu dan membanting pintu ruangan itu dengan kasar, kaca yang menempel di pintu itu bergetar begar.

    "Navian ... Nak, kamu mau ke mana?" panggil Meriza berayun untuk menyusul putranya.

    "Sudah biarkan saja dulu, Navian tidak bisa dibujuk, kalau dia marah terus dibujuk jadinya malah makin marah dia," tahan Marwan.

    Tatapan Meriza meleleh, dia menoleh ke arah Vianna yang masih terisak dalam pelukan ibunya, lantas dia mengangguk. Meriza tentu tahu pokok permasalahan antara putra semata wayangnya dengan sang istri.

    Itu adalah anak, Vianna memang sudah sering bermanuver jika dia tidak ingin melahirkan karena takut tubuhnya yang indah akan menurun. Vianna adalah seorang top model yang tengah naik daun, pernikahannya dengan Navian sangat diagung-agungkan oleh semua pihak.

    Hanya saja manager wanita itu mewanti-wanti untuk tidak melahirkan terlebih dulu, setidaknya sampai Vianna siap untuk pensiun dari dunia modeling, dengan pemikiran itu Vianna meracuni pikirannya sendiri untuk menentang tentang kelahiran seorang putra.

    "Jika tidak menginginkannya kenapa dia selalu meminta untuk berhubungan, dia yang selalu meminta jatah berhubungan intim, bahkan saat aku dalam keadaan lelah pun dia selalu memaksa, ahh ...," gerutu Navian di lorong putih menuju lokasi di mana putranya berada.

    Vianna melahirkan bayi laki-laki dalam keadaan sehat berparas tampan layak sang papa, Navian. Vianna melahirkan secara normal, bayi itu di bawa ke ruangan khusus untuk dimandikan dan dibersihkan.

    Navian hendak mengunjungi ruangan itu untuk melihat putranya yang baru saja lahir beberapa jam yang lalu, dia seret langkahnya dengan gerakan cepat sampai dia menyaksikan sosok gadis muda yang hanya terpaut umur dua tahun saja sedang menuliskan sesuatu di kaca ruangan para bayi.

    "Tiara?" serunya menyebutkan nama seseorang.

    Tangannya dia bawa ke dalam saku, tertidur di sana adalah kebiasaannya, sudah terlalu sering dia memerintah kedua tangannya untuk tertidur di dalam saku tanpa melakukan apapun, tetapi hal itu membuatnya nyaman, terkadang membantunya meredam emosi yang tengah membuncah.

    "Duh tampannya ponakan ateu, anak ganteng yang sehat ya ... Ateu gak bisa kunjungi kamu sering-sering ya, nanti oma marah, nanti ateu ke sini lagi," urai Tiara, matanya mengembun, dia memerah membendung air mata yang bertumpukan di kelopak matanya.

    Punggung tangannya dia seret di antara pipinya, menyeka tetesan bening yang hangat yang mulai mengunjungi pipi tirusnya, dia tempelkan kedua tangannya di depan kaca di mana bayi tampan milik Vianna dan Navian tertidur di sana.

    Sebenarnya bayi itu tidak tertidur, matanya terbuka sedikit, bibirnya tersenyum tipis, membayangi Tiara yang merekamnya dan menyimpan sang bayi dalam bola mata pipihnya.

    "Anak pinter ... Ateu pergi ya, mungkin kalau kamu udah pulang, ateu gak bisa lihat kamu lagi, oma kamu sangat membenci ateu, tapi ateu yakin kalau sama anak ganteng pasti sayang banget deh, percaya sama ateu," papar Tiara sendu, suara paraunya menjaring tetesan bening Tiara untuk berhamburan.

    Dari kejauhan Navian menyaksikan perbincangan pilu Tiara dengan putranya, tetapi dia sengaja tidak medekati Tiara, karena dia tahu, jika gadis itu akan segera berlari dan menghindarinya.

    Tiara kerap kali berlari kala Navian berada di dekatnya, entah saat sekarang di mana mereka sudah terjalin ikatan ipar, atau kala beberapa tahun yang lalu saat status mereka hanya sebagai orang lain.

    Denting jarum jam tiba-tiba saja berdering memisahkan pertemuan Navian dan Tiara, lagi dan lagi, denting itu menunjukan pukul 23.00 wib, dan benar saja Tiara segera berlari. Gadis berambut panjang lurus hitam legam itu mengayuh kakinya hingga tembus ke lorong di ujung sana.

    "Ada apa dengan adiknya Vianna, kenapa kayaknya dia selalu menghindari siapapun, bahkan saat ada acara keluarga pun dia selalu tidak ada, aneh," ujar Navian menyadari suatu hal setelah beberapa kejadian terjadi.

    Navian berayun, berjalan sampai dia menepi di depan kaca yang semulanya ditempati oleh Tiara, netranya terus menangkap angin di depan, memasati lorong putih di ujung sana, lorong yang telah menelan Tiara hingga lenyap.

    "Jika dia ingin melihat keponakannya kenapa harus sembunyi-sembunyi seperti itu." Navian heran dengan tingkah adik iparnya itu.

    Berulang kali dia menyaksikan Tiara yang selalu bersembunyi dari siapapun tentang apapun yang dia lakukan, dan ini adalah kesekian kalinya Navian menyaksikan Tiara menangis sambil berbicara dengan bayinya.

    "Ada yang aneh dengan keluarga istriku, tapi apa? Tanya Vianna pun dia selalu menghindar dan aku tidak pernah mendapatkan jawaban apapun," ujar Navian lagi sembari dia melepaskan kancing lengan kemejanya dari lubangnya, lalu dia melingkisnya.

    "Navian ...," panggil seseorang dari arah yang berlawanan dengan sorotnya yang kini masih terhipnotis oleh lorong itu.

    Mertua dan kedua orangtuanya datang menghampiri, bisikan angin mendorong Navian untuk menoleh, memutar tubuhnya sampai dia mendapati ke-empat orangtuanya tengah mendekat padanya.

    "Kamu lagi lihat apa Nak?" tanya Meriza sesaat dia tiba di depan Navian.

    "Euum ...," gumam Navian menolehkan kembali kepalanya ke arah yang tadi, dia terdiam beberapa saat.

    Tiara ... Dia baik-baik aja kan?

    Batin Navian mengkhawatirkan adik iparnya itu.

    Navian kembali menoleh.

    "Tidak ada, aku hanya ingin melihat bayiku," kilah Navian.

    Entah mengapa hatinya mengatakan Tiara dalam masalah jika dia mengatakan jika gadis itu mengunjungi bayinya tadi, untuk itu dia terdiam dan tidak mengatakan apapun, pria bertubuh kekar itu sengaja menutupi semua hal yang dia lihat tadi.

    "Maafkan Vianna ya sayang, dia masih terlalu kecil untuk melahirkan seorang putra, jadi emosinya sangat tidak terkendali, tetapi sepertinya Vianna membutuhkan baby sitter dan asisten pribadi untuknya selama masa pemulihan pasca melahirkan," urai Viara yang membuat Navian semakin berang.

    Hah?! Wanita berumur 25 tahun? Masih kecil untuk melahirkan seorang anak, kocak.

    Sepertinya Vianna mendapatkan hasutan dari ibunya ini, sialan!

    Aku harus menyelamatkan rumah tanggaku tanpa campur tangan siapapun termasuk orangtua kita.

    Batin Navian geram.

    "Jika Vianna belum siap melahirkan putra, kenapa dia bersedia untuk menikah denganku?" tanya Navian menekan ibu mertuanya itu.

...See you next part....

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Part 3

This is just fiction.

••••••••••••••••••••••••••

    Viara mengeras, dia tak terima jika menantunya itu berani menentang argumennya, hidungnya mengkerut, dadanya berguruh, hanya saja dia tidak berani untuk menghakimi atau memaki Navian di hadapan semua orang.

    Tentu saja tidak, Viara mendapatkan banyak uang dari Navian berkat putri kesayangannya itu, Navian tidak pernah membatasi kartu kredit ATM Vianna—sang istri, bahkan pria itu tidak pernah memedulikan berapa banyak uang yang sudah keluar dari rekeningnya yang digunakan oleh Vianna.

    "Ya sudah, lebih baik Mama tolong beri pengertian pada Vianna tentang situasi ini, kita melakukannya dalam keadaan suka sama suka, jadi di sini bukan hanya aku yang salah," papar Navian menautkan kedua alisnya. "Ah tidak, ini bukan kesalahan, sudah sepantasnya seorang wanita yang menikah itu melahirkan, bahkan Mama pun melahirkan bukan?" sambung Navian.

    Semua orang yang ada di sana terdiam, satu pun dari mereka tidak ada yang berani membuka mulutnya untuk menimpali perkataan Navian, Meriza, Marwan, Viara dan Ridzwan seketika membisu.

    Dari saat-saat bisunya waktu itu, Navian beringsut dari hadapan semua orang, meninggalkan atmosfer sunyi yang ada di sana, dinding-dinding rumah sakit yang meluruh mendorong Navian untuk melompat dari situasi tidak mengenakkan ini.

    Pria berambut mullet itu berayun ke arah yang tak menentu, dia tertadah menyaksikan langit yang berderai biru, warna birunya yang pekat membuat Navian silau, tatapannya terjatuh dengan penglihatan samar-samar.

    Navian menghela napasnya di hadapan jalan raya yang tak lagi ramai, seluruh kendaraan entah ditelan apa, sehingga keadaan jalanan begitu tampak sangat sunyi, pria itu terus berjalan sampai menemukan sebuah pohon besar yang berserat kasar.

    "Vianna!" pekik Navian geram, buku-buku tangannya mengeras, ia pun memerah.

    Punggungnya berputar dan bersandar pada pohon besar di belakangnya, dia merosot ke bawah dan akhirnya terjatuh terbaring lemah di bawah. Satu kakinya dia tekuk, tangannya tergolek di atas lututnya, lantas dia tekuk lagi kakinya yang lain, wajahnya terbenam di sana.

    Vianna ... Apa yang sebenarnya dia pikirkan?

    Kenapa dia semarah ini?

    Hari ini adalah hari kelahiran putra kita, tetapi dia menghancurkan hari yang seharusnya membahagiakan menjadi hari yang mengerikan.

    Keegoisannya tidak pernah berubah.

    "Sepenting itukah pekerjaannya? Sehingga dia berani membentak dan memaki suaminya sendiri hanya karena pekerjaannya," gerutu Navian berbicara pada rombongan pawana yang bersibak ke sisinya.

    Navian memancang, punggung gagahnya mengeras, dia berputar kembali menghadap pada pohon besar itu, dia berkacak pinggang dengan pernapasan yang melurut deras, rahangnya kembali menguat.

    Tangannya berayun dan menghantam pohon di depannya, seluruh kemarahannya terpecah bersamaan dengan pukulannya, pohon besar itu bereaksi, daun-daun kering yang menggantung di dahan yang lemah berjatuhan menghujani Navian yang meregang di bawah.

    "Aaargh ...." Suara pekikan Navian mengguncang para burung-burung yang tengah bertinggung di antara pepohonan.

    Dia ayunkan tangan yang sama sekali lagi menggocoh pohon besar di hadapannya dengan satu tangannya yang lain berpegangan pada sang pohon, dedaunan kembali berjatuhan ke bawah, mereka terbawa angin menerjang paras Navian yang sendu.

    "Sialan! Kenapa semuanya seolah salah gua!" hardik Navian geram, berulang kali dia meninju pohon itu hingga melukis luka di buku-buku tangannya.

    Tatapannya memerah dan mengembun, ia getir menatap setiap serat pohon besar itu yang gagah, sorot sang baskara di langit meredup terbungkam oleh awan yang ingin melindungi Navian dari panasnya sang mentari.

    Tangannya berayun ke bawah, terkelepai rengsa. Dadanya berguruh, mengabaikan luka yang menorehkan nyeri yang berdenyut di tangannya, ia tidak mengeluarkan darah, hanya saja kulit tangan dia area buku-buku tangannya tampak nyata terkelupas.

    Dari jarak lima meter dari keberadaan Navian, sosok gadis cantik berambut panjang lurus berwarna hitam legam seperti tengah menyaksikan kemarahan Navian di sana, dia meringis, wajahnya mengkerut.

    "Kak Navian kenapa ada di situ, kenapa enggak di rumah sakit, ada apa ya di rumah sakit?" ujar gadis itu sembari menggenggam tali tas kecil yang tersampir di tubuhnya.

    Gadis berparas elok itu mengayunkan kedua kakinya ke dekat Navian berada, langkah bokoh gadis itu tampak terbata-bata, dia gelagapan membaca setiap langkahnya, seolah darah yang merabas terhenti beberapa saat dan terjadi secara berulang kali.

    K-kak Navian? Aku selalu menatap punggungnya, dari sejak dulu hal itu selalu aku lakukan. Bahkan saat ini pun aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan, sungguh aku tidak sanggup.

    Batin gadis itu mengurai perasaan yang tak pernah dia gerai, pertemuannya dengan Navian selalu berulang kali pada rasa sakit yang membuatnya lemah.

    Dia mengurungkan niatnya untuk mendekati Navian, kata-kata yang menghunus jantungnya kembali masuk dan merobek keberaniannya, gadis itu lemah, dia mengendur dan berputar membelakangi Navian.

    Jangan! Kamu jangan berani mendekati Navian, dia suami Kak Vianna, jangan Tiara ...

    Namun, langkahnya kembali terhenti ketika mendengar embusan napas Navian memberat dia kembali berputar menghadap pada Navian, bukan pada Navian, melainkan pada satu tangan pria itu yang terjuntai ke bawah.

    Tiara melihat luka yang menghiasi tangan pria itu, kulit punggung tangan Navian terkelupas di antaranya ada darah yang keluar dari sana, tetapi darah tidak mengalir. Gadis bermata pipih itu meringis, seolah dia ikut merasakan nyeri yang mencangkum tangan pria bertubuh tegap itu.

    "Kak Navian, kenapa dengan tangan Kakak?" Secara impulsif gadis itu mendekati Navian, sorotnya tidak melepaskan diri dari tangan Navian.

    Pria berparas rupawan itu menoleh dan mengangkat tangan yang sudah mengirim rasa nyeri, dia awasi tangan yang dipenuhi dengan bercak-bercak darah dan kulit yang terkelupas itu.

    "Bukan apa-apa, tidak usah khawatir, ini akan sembuh dengan cepat, tapi hati tidak akan sembuh begitu saja," jawab Navian mendelik ke arah lain, dia lemparkan tangannya ke bawah.

    "Tidak apa-apa apanya sih, itu tangan Kak Navian luka, habis ngapain sih?" tepis Tiara tak percaya dengan semua ucapan Navian.

    Tiara memikat tangan Navian yang terluka dan menariknya untuk terduduk di atas rerumputan hijau di bawah, Navian terdiam, pria itu tampak pasrah menerima perlakuan dari adik iparnya ini.

    "Kak Navian kenapa sih? Kenapa bisa terluka seperti ini, kalau Kak Vianna tahu pasti dia khawatir banget, Kak Navian hati-hati dong, Kakak sekarang sudah menjadi ayah," celoteh Tiara yang tidak pernah berani menatap Navian secara nyata, gadis itu sibuk mencuci tangan Navian dengan air mineral botol kemasan yang ada di dalam tasnya.

    "Tidak, Vianna tidak pernah mengkhawatirkanku, dia hanya mengkhawatirkan karirnya, bahkan dia tidak menginginkan putranya," jawab Navian membuat Tiara mengkerut tidak mengerti.

    Tiara tertadah sejenak, tatapannya kembali pada tangan Navian yang berusaha dia obati, gadis itu menyeka tangan Navian dengan tisu yang selalu dia bawa kemana pun dia melangkah, Navian mengernyit dan meringis menahan perih yang menerjang tangannya.

    "Mungkin Kak Vianna cuman terkejut pasca melahirkan, Kak Navian sabar aja dulu, dekati Kak Vianna secara perlahan," saran Tiara sembari dia merekatkan plester luka ke atas luka yang tergolek di atas buku-buku tangan Navian.

    Navian terdiam mendengar penuturan Tiara, lantas dia mengangguk menyetujui apa yang dikatakan oleh Tiara. Rumput kuning di depannya menari-nari bersama angin dan sorot Navian mengarah pada mereka yang terus menggodanya.

    "Mungkin saja, tapi ...," sahut Navian yang tiba-tiba saja terhenti.

    Pria dengan hidung lancip itu mendadak terbenam pada pikirannya, dia terantuk pada ingatan yang belum lama ini terjadi, saat malam Navian pulang terlambat karena kecelakaan kecil.

    Navian tersandung akar yang menjorok ke tangah jalan, dia tersandung dan akhirnya terjatuh, mengakibatkannya harus mendapatkan luka parut di area siku dan kedua kakinya, bahkan celana yang dia kenakan saat mengendarai motor itu robek.

    "Kamu dari mana aja sih, udah malam ini, ngapain aja sih di luar, kerja itu ada waktunya Navian," gerutu Vianna yang tidak peduli sang suami telah dipenuhi balutan luka di area tangan dan kakinya, wanita itu masih saja sibuk dengan ponselnya sembari dia menyerana di atas sofa saat kandungannya masih berusia empat bulan.

    "Kamu gak lihat aku kecelekaan, harusnya kamu tanya kenapa aku bisa pulang penuh luka seperti ini, bukannya malah marah-marah gak jelas," tangkis Navian geram melepaskan jas hitam yang menempel di tubuhnya lantas dia lempar ke sembarang tempat.

    "Heh!" timpal Vianna melempar ponselnya ke sofa di samping kanannya, tatapannya mengeras, melucuti sang suami berpenampilan lusuh dengan luka di area siku, lutut dan bagian betisnya masih basah. "Siapa yang suruh kamu pakai motor murahan itu hah?! Salah sendiri, punya mobil bagus malah pake motor murahan," sergah Vianna masih tidak peduli walau dia sudah tahu betapa berantakannya penampilan Navian.

    "Ah sudahlah, kamu emang egois, aku mati sekalipun sepertinya kamu tidak akan peduli."

    Pertengkaran yang selalu terjadi itu terus menikam Navian, tetapi entah mengapa pria itu masih saja bertahan dalam pernikahannya ini, rasa cinta yang dia miliki untuk Vianna terlalu besar, sehingga dia tidak memedulikan perlakuan buruk Vianna padanya.

    "Kak Navian lebih baik kembali ke rumah sakit, nanti banyak yang nyari," saran Tiara setelah dia selesai mengobati luka Navian.

    Navian mengerjap, terbangun dari abun-abunnya yang baru saja terantuk pada ingatan tentang pertengkaran itu dengan Vianna, walau hal itu sering terjadi, tetapi Navian selalu kembali untuk mencintai Vianna dengan tulus.

    "Terima kasih, kenapa kamu baik sekali, berbeda dengan Kakakmu?" tanya Navian, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa pria itu sadari.

...See you next part....

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!