NovelToon NovelToon

Dipaksa Menikah Dengan Dosen

1. Wasiat

"Ada apa ini?"

Seorang gadis mengernyit heran ketika mendapati dua buah mobil mewah terparkir di depan rumah, menandakan jika orang tuanya tengah menerima tamu. Kehadiran para pria bertubuh kekar berseragam hitam yang berbaris rapi di sekitaran mobil tersebut membuat kebingungannya semakin menjadi. Itu artinya tamu yang berkunjung bukanlah orang sembarangan. Dia mencoba menerka-nerka, tetapi otak kerdilnya hanya menemui kebuntuan.

Demi mengikis rasa penasaran, gadis itu memutuskan untuk melangkah masuk dengan membawa serta koper yang sejak tadi berada di sampingnya. Ketika mendekati pintu, telinganya bisa mendengar dengan jelas suara orang tengah bercakap-cakap. Salah satu suara yang ia kenal, yakni suara Indra Wasesa—sang ayah juga suara Indira—sang ibu, kemudian suara lain yang turut serta menimpali ucapan sang ayah. Namun, dia tidak mengenali suara itu.

Tak ingin ambil pusing, akibat lelah yang mendera. Andara memilih mengabaikan, melanjutkan langkah memasuki rumah, bahkan mengabaikan para tamu yang berada di ruang utama.

"Eh, kamu pasti Dara, ya ...."

Andara mengurungkan niat menaiki tangga ketika mendengar seorang wanita menyebut namanya. Dia hanya tersenyum kikuk menanggapi sapaan itu karena memang tidak mengenali wanita itu.

"Siapa dia, Ma?" Andara bertanya kepada sang ibu.

"Dara, gak sopan! Ada tamu main nyelonong gitu aja. Ayo, salim dulu!" Bukan langsung menjawab, Indira justru menegur putri semata wayangnya.

Dengan penuh keterpaksaan, Andara menuruti perintah sang ibu. Dia menyalami satu per satu pasangan paruh baya yang berada tepat di hadapan kedua orang tuanya.

"Uh, cantiknya ... Dulu waktu kecil kamu imut sampai bikin tante gemes. Sekarang udah besar cantik, sopan pula. Iya, 'kan, Pi?" Merriam meminta persetujuan sang suami yang hanya ditanggapi dengan anggukan pelan oleh Aksara.

''Kamu masa lupa, Sayang? Ini Tante Mer dan Om Aksa. Anak dan menantu sahabat kakek. Kamu masih ingat ‘kan sama Kakek Agung?" Indira mulai mengenalkan tamunya.

Gadis itu tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk mengiyakan.

''Itu kedua anaknya," sambung sang ibu seraya menunjuk ke arah sofa yang berada agak jauh dari tempatnya.

Andara pun mengikuti arah yang ditunjuk ibunya. Dia teramat terkejut ketika mendapati sosok yang sangat dikenal.

"Loh, kok–"

Gadis itu tak pernah menyangka jika tamu yang ada di rumahnya adalah Timotius Laksana Agung—dosen yang terkenal killer di kampusnya. Putra sulung dari pasangan Aksara Laksana Agung dan Meriam Belinda—seorang pebisnis kaya raya dan sosialita. Kemudian dia mengalihkan pandangan pada seorang gadis yang ada di samping pria itu yang tidak lain adalah Felisia Laksana Agung—putri bungsu pasangan tersebut.

''Lo juga ngapain di sini?" tanya Andara dengan ketus.

Pria yang disapa hanya diam seribu bahasa, sedangkan Felisia hanya melayangkan tatapan penuh kesinisan.

Seketika, sebuah cubitan kecil mendarat di lengan Andara, siapa lagi si pelaku jika bukan Indira.

"Dara, jaga sikap!" bisiknya penuh peringatan.

"Maaf, ya, Mbak Mer ... Dara memang begitu anaknya."

''Tidak apa-apa...."

"Maaf, Tuan dan Nyonya. Saya terlambat 15 menit dari waktu yang ditentukan." Seorang pria berjas rapi serta membawa sebuah tas kerja tiba-tiba masuk dan memotong pembicaraan mereka.

"Tidak apa-apa, Pak. Silahkan duduk." Indra menyambut ramah pria itu.

''Dara, kamu harus ikut mendengarkan pembacaan surat wasiat kakek."

''Buat apa, sih, Pa? Gak penting juga. Aku capek habis perjalanan jauh." Andara menolak lesu.

Sontak, jawaban itu berhasil menyulut api amarah sang ayah.

''Apa katamu? Gak penting! Wasiat kakek, kamu bilang gak penting? Keterlaluan! Gak ada bantahan! Kamu harus ikut duduk di sini."

"Mas, tenang!" ucap Indira berusaha menenangkan suaminya, kemudian berbisik, "jaga emosi! Malu ada tamu."

"Tapi, Pa—''

Ucapannya terhenti ketika mendapat pelototan tajam sang ibu yang memintanya untuk menurut.

Andara menghela nafas panjang. Dengan terpaksa gadis itu menurut, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada sofa yang berada tak jauh dari kedua orang tuanya, bahkan dia bisa melihat dengan jelas tatapan tajam dari pria yang berada tak jauh dari tempatnya.

''Baiklah, apa semuanya sudah lengkap?" tanya seorang pria yang merupakan pengacara yang dipercaya untuk menyampaikan wasiat.

''Sudah, Pak. Bisa dimulai," sahut Indra.

''Baiklah. Perkenalkan saya Roni Firmansyah, selaku pengacara yang ditunjuk Bapak Wasesa. Beliau memberikan beberapa amanat yang berupa pembagian aset....''

Suara pria itu menggema di ruang utama saat membacakan harta-harta peninggalan Wasesa yang berupa tanah dan bangunan serta beberapa aset yang harus dikelola Indra, bagian yang diperoleh sang menantu pun tak luput disebutkan, serta aset yang akan dihibahkan pada yayasan sosial, tanpa lupa pesan-pesan terakhirnya.

Sungguh, Andara merasa jengah mendengar serentetan kalimat panjang lebar itu. Menurutnya, sang kakek terlalu lebay. Ayahnya adalah anak tunggal yang otomatis semua harta yang ditinggalkan akan jatuh ke tangan sang ayah tidak perlu pakai surat wasiat segala, pikirnya.

Jika bukan karena takut akan kemarahan Indra mungkin Andara sudah pergi sejak tadi.

''Untuk poin terakhir dari wasiat Bapak Wasesa. Beliau ingin menjodohkan cucunya yang bernama Andara Wasesa dengan seorang pria yang bernama Timotius Laksana Agung, yang tidak lain tidak bukan adalah cucu dari sahabat karibnya Laksana Agung. Pernikahan keduanya akan dilangsungkan seminggu setelah surat ini dibacakan. Berikut lampiran pesan terakhir beliau:

–Andara Cucuku, kakek harap kamu mau menerima perjodohan ini dengan hati lapang dan ikhlas, demi memenuhi janji kakek pada Agung. Kakek sudah merencanakan perjodohan ini dengan sahabat Kakek—Laksana Agung—sejak lama. Dulu kami sepakat akan menjodohkan anak-anak kami demi mempererat tali persahabatan yang sudah terjalin sejak puluhan tahun lamanya. Akan tetapi, ternyata baik pihak kakek maupun pihak Agung sama-sama dikaruniai anak laki-laki. Oleh karenanya, kami kembali membuat kesepakatan, jika suatu saat kami dikaruniai cucu sepasang maka kami akan menjodohkan mereka. Kakek doakan pernikahan kalian langgeng dan penuh cinta.–

"Demikian surat wasiat ini saya buat secara sadar dan tidak ada paksaan dari pihak manapun. Untuk cucu, anak dan menantuku, janganlah kalian berlarut dalam kesedihan setelah kepergianku, jalani hidup kalian dengan baik. Salam sayang, Wasesa," pungkas pria itu seraya menutup map yang sejak tadi berada dalam kuasanya.

Andara mengepalkan tangan kuat saat mendengar kalimat terakhir wasiat tersebut. Hatinya menahan bongkahan-bongkahan kemarahan yang siap diledakkan. Gadis itu tidak habis pikir jika sang kakek bisa membuat keputusan sepihak tanpa meminta persetujuan darinya.

Saat itu pula, dia bangkit dari duduknya seraya berteriak, "apa-apaan ini! Gak, aku gak setuju! Aku menolak keras perjodohan ini."

Lain halnya dengan Andara, Timotius terlihat sangat tenang dengan wajah datarnya. Tidak ada senyuman ataupun kemarahan. Akan tetapi, tatapannya menghunus tajam pada gadis yang berada tepat di hadapannya.

"Saya hanya bertugas menyampaikan amanat, Nona. Selain itu, diluar wewenang saya. Karena tugas saya telah selesai, saya pamit undur diri permisi." Pria berpakaian rapi itupun menunduk dengan hormat sebelum berlalu dari rumah megah itu.

Gadis itu mengeram kesal, ingin raaanya dia memecahkan vas bunga yang ada di depannya. Kakeknya benar-benar menyebalkan, bahkan ketika sudah meninggal sekalipun. Jika bukan karena paksaan sang ibu, mungkin saat ini ia tidak akan berada di tempat memuakkan ini.

Beberapa hari yang lalu, Indira meminta Andara untuk pulang dengan dalih acara peringatan 40 hari kematian Wasesa—sang kakek. Awalnya, gadis itu menolak karena menurutnya itu bukanlah acara penting. Akan tetapi, berkat paksaan yang berbumbu ancaman dari sang ibu membuat gadis itu terpaksa mengiyakan permintaan itu.

"Dara!"

Indira segera menarik paksa tangan putrinya untuk kembali duduk, tetapi Andara tak bergeming sedikitpun. Raut kekesalan masih tergambar jelas di wajahnya, bahkan wanita paruh baya itu sampai harus menahan malu di depan para tamunya.

''Maaf atas sikap Andara, ya, Mbak, Mas...," ucap Indira yang merasa tidak enak hati.

''Tidak apa-apa, In. Maklum anak muda. Putri kami juga sering seperti itu," balas Meriam seraya mengulas senyum.

Sebuah deheman keras mengalihkan perhatian semua orang yang ada di sana.

''Baiklah, langsung saja ... Tujuan kami datang kemari selain untuk berbelasungkawa atas kepergian Om Sesa, kami juga bermaksud meminang Andara untuk putra kami, Timotius. Kami harap kalian bersedia menerima niatan baik ini." Aksara membuka pembicaraan diiringi raut penuh keseriusan.

"Kami menyambut baik pinangan Mas Aksa. Bagaimanapun juga kami sebagai keluarga almarhum wajib untuk memenuhi wasiat beliau." Indra menimpali dengan suara beratnya.

"Tapi, Pa, aku—

Andara yang merasa geram berniat untuk menyangkal. Namun, lagi-lagi niatnya harus urung saat lengannya mendapat remasan kuat dari tangan sang ibu.

"Lantas, bagaimana dengan Nak Timo sendiri? Bersedia atau tidak?" tanya Indra.

Pria yang ditanya hanya diam tidak menolak maupun mengiyakan. Mereka yang ada di sana mengartikan diamnya pria itu sebagai persetujuan.

"Baiklah, karena semua sudah setuju. Bagaimana kalau hari ini kita adakan pertunangan untuk mereka?" Aksara memberi usulan.

"Boleh-boleh, itu ide yang bagus. Baru setelah itu kita akan bahas mengenai pernikahan mereka."

Indra menyambut penuh antusias usulan tersebut, begitu pula dengan Indira, sedangkan Andara sendiri berusaha keras menahan gejolak amarah yang masih memuncak. Ingin rasanya dia melampiaskan semua amarah saat itu juga.

"Timo, keluarkan cincin yang sudah dipersiapkan, kemudian pasangkan pada calon istrimu!" titah Merriam.

Timotius pun menuruti perintah sang ibu. Namun, dia hanya meletakkan cincin itu tepat di depan Andara, kemudian berlalu keluar dari suasana yang sejak tadi serasa mencekik lehernya.

"Timo, mau kemana kamu! Acara baru akan dimulai." Meriam berteriak memanggil putra sulungnya.

"Timotius!"

Namun, Timotius seolah tuli. Dia tak mengindahkan sama sekali panggilan sang ibu justru mempercepat langkahnya menuju mobil. Tak berselang lama, terdengar suara deru mobil yang meninggalkan pekarangan luas itu.

2. Sandiwara

"Selamat dengan ini kalian sah menjadi suami istri dimata hukum dan agama."

Acara inti telah usai, seorang pemuka agama meresmikan pernikahan Andara dan Timotius.

Kedua mempelai hanya menanggapi dengan wajah datarnya. Sangat kontras dengan pengantin pada umumnya yang akan menyambut hari bahagia dengan penuh antusias, mereka akan selalu menebar senyum karena berhasil bersanding dengan seseorang yang sangat dicintai. Namun, hal itu tidak berlaku untuk pasangan tersebut. Jangankan untuk berbahagia, tersenyum pun keduanya terlihat enggan. Pernikahan ini terjadi bukan atas kehendak mereka, melainkan atas dasar paksaan demi sebuah wasiat.

Nyatanya, segala penolakan yang dilaungkan Andara selama beberapa hari terakhir tidaklah membuahkan hasil. Hal yang sama juga dialami Timo, Aksara selalu menekankan agar putranya menerima Andara dan pernikahan dengan sepenuh hati sebagai konsekuensi karena Timo menolak melibatkan diri dalam perusahaan, yang justru memilih mengabdikan diri untuk dunia pendidikan.

Pada akhirnya, pernikahan itu tetap terselenggara meski secara tertutup yang hanya dihadiri oleh keluarga inti. Orang terdekat seperti teman, sahabat maupun kekasih tidak ada yang diundang. Itu semua atas permintaan kedua mempelai yang telah bersepakat untuk menyembunyikan status mereka.

"Silahkan dilanjut dengan acara tukar cincin." Pria yang memimpin jalannya acara memberi arahan pada kedua mempelai.

Tanpa banyak kata, Timotius segera meraih kotak beludru warna merah yang ada di depannya. Dia mengambil satu cincin, lalu menyematkan ke jari manis istrinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Andara. Dengan wajah masam, gadis itu memasangkan cincin ke jari manis sang suami dengan kasar. Sontak semua orang yang menyaksikan acara sakral itu hanya menggeleng pelan melihat tingkah laku pengantin wanita.

"Pelan bisa, tidak?" Timo berbisik penuh penekanan.

"Bodo amat!"

Seketika itu pula, Timotius berhasil dibuat geram. Ingin rasanya, ia meremat mulut mungil gadis yang kini telah menjadi istrinya.

"Baru semenit, dia sudah menyebalkan. Bagaimana kalau setiap hari."

Dua keluarga yang telah bersatu berucap penuh syukur karena acara yang disusun sejak beberapa hari yang lalu berjalan dengan lancar. Meski sempat kecewa dengan keputusan putra putri mereka, tetapi hal itu tak menyurutkan kebahagiaan mereka.

''Akhirnya, Mbak Mer ... Kita bisa melaksanakan wasiat mertua. Beban menanggung sebuah wasiat itu sangat berat, Mbak. Terlebih setelah si pemberi wasiat tiada, serasa memikul batu besar seumur hidup."

Meriam mengangguk menyetujui perkataan wanita yang telah menjadi besannya. Dirinya pun merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Indira, terlebih mertuanya—Laksana Agung—berpulang lebih dulu satu tahun yang lalu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Agung juga menyampaikan pesan yang sama. Hanya saja, saat itu Agung menyampaikan secara langsung di depannya dan sang suami, tanpa ada kedua anak mereka.

Selama satu tahun penuh, Merriam harus menanggung beban itu. Akan tetapi, detik ini seakan beban yang menghimpit berangsur menghilang seiring diresmikan pernikahan putra sulungnya. Tanpa terasa setetes air mata haru luruh ke pipi wanita paruh itu, tetapi segera diseka sebelum ada yang melihatnya menangis.

''Tapi, tugas kita belum selesai." Merriam menimpali dengan nada pelan.

''Maksudnya?" Indira memandang dengan kening berkerut.

''Tidak hanya menjalankan, kita juga harus menjaga wasiat itu dengan baik. Tidak hanya mempersatukan, kita juga harus bisa membuat mereka saling menerima satu sama lain. Jangan sampai suatu saat nanti pernikahan mereka kandas di tengah jalan."

Indira terdiam mendengar penuturan Meriam. Ternyata wanita itu juga mengkhawatirkan hal yang sama. Mengingat pernikahan putra putri mereka atas dasar paksaan, tidak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti hal itu akan terjadi. Terlebih ketika mengingat sikap putrinya yang semaunya sendiri. Dia berharap Timotius bisa menjadi sosok yang lebih dewasa untuk Andara.

''Aku setuju, Mbak. Putriku masih sangat belia, sikapnya pun masih kekanakan. Aku harap Timo bisa ngemong Dara."

Pembicaraan kedua wanita itu masih berlanjut, tanpa mereka sadari hal itu bisa didengar jelas oleh seorang gadis yang sejak tadi berada di belakang dua wanita paruh baya itu.

''Lakukan saja apa yang ingin kalian lakukan. Aku juga akan melakukan apa yang 'kuinginkan. Aku gak pernah sudi menganggap Andara sebagai kakak ipar," gumam Felisia dalam hati.

Sejak acara berlangsung, gadis itu selalu menatap penuh ketidaksukaan kearah wanita yang bersanding di samping sang kakak. Felisia adalah teman sekelas Andara. Sudah tentu, dia sangat mengenal Andara dengan segala tingkahnya.

Sama halnya seperti Andara, sejak awal gadis itu juga tidak menyetujui perjodohan ini. Akan tetapi, dia juga tidak punya kuasa untuk ikut campur apalagi menolak. Nyalinya terlalu ciut untuk melawan orang tuanya terlebih sang papa yang terkenal akan ketegasannya.

Feli juga tidak mungkin mengatakan secara langsung di depan kedua orang tuanya jika dirinya dan Andara adalah musuh bebuyutan di kampus. Semua itu ia lakukan demi menjaga kewarasan telinga dari serentetan kalimat panjang lebar yang berisi petuah dari Merriam.

"Lihat saja nanti! Aku akan menghancurkan pernikahan mereka."

Gadis itu masih dengan ketidaksukaannya hingga sedetik kemudian terbesit sebuah ide dalam benaknya. Tanpa menunggu lama, dia segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang.

Seseorang yang ia yakini bisa membantu mewujudkan misinya. Namun, sepertinya usaha gadis itu tak semudah yang dibayangkan. Seseorang yang dimaksud tak kunjung menjawab panggilannya hingga membuat kekesalannya semakin bertambah. Tak patah arang, ia segera merekam dan memotret acara pernikahan itu, lalu mengirimkan hasilnya pada orang yang dituju.

"Setidaknya dia mengetahui acara ini," gumamnya seraya menatap file-file yang telah terkirim.

"Feli, temui kakak iparmu! Dari tadi mami perhatiin kok main hape mulu."

Suara sang ibu berhasil mengalihkan perhatian Felisia. Sebenarnya dia sangat malas bertemu dengan Andara, tetapi tidak mempunyai pilihan lain selain menurut.

Feli berjalan mengekori sang ibu. Ketika sampai di hadapan sang pengantin wanita, dia bisa melihat dengan jelas kebahagiaan Merriam.

Kedua wanita beda usia itu tampak bercipika-cipiki, bahkan seringkali terdengar pujian Merriam untuk sang menantu. Namun, sikap yang ditunjukkan Feli jauh berbeda dengan sikap ibunya. Gadis itu tampak ogah-ogahan mendekati Andara, bahkan terkesan jengah dengan situasi itu, sangat kentara jika dia tidak menyukai kakak iparnya.

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Andara. Namun, gadis itu mampu menyembunyikan ketidaksukaannya dengan baik. Gadis berbalut gaun pengantin itu selalu menunjukkan senyum, bersandiwara seolah-olah hari ini adalah paling bahagia dalam hidupnya.

"Feli, senyum dong ... Masa ketemu kakak ipar manyun begitu." Untuk kesekian kali, Merriam menegur putrinya.

Seuntai senyum paksa pun terlukis di bibir Felisia Namun, hanya beberapa saat. Setelahnya dia menunjukkan ekspresi wajah seperti semula.

"Cipika-cipiki, peluk kakak iparnya. Masa kaku begitu, sih? Kamu harus akrab sama dia, Fel."

"Yes, Mam."

Lagi dan lagi, Feli melakukan apa yang diperintahkan oleh sang ibu. Meskipun enggan, tetapi gadis itu tetap melakukannya, mencium dan memeluk Andara.

"Welcome in your hell, Dara," bisiknya seraya mengeratkan pelukannya.

Dara segera melerai pelukannya, lalu menatap Feli diiringi seringainya.

"Welcome in your hell too, Felisia."

3. Pilihan Sulit

"Kamu jahat! Apa salahku sampai kau tega melakukan ini?"

Seorang wanita berteriak histeris di hadapan Timotius. Wajahnya tampak basah oleh air mata yang menyatu dengan keringat. Deru nafasnya masih memburu layaknya seseorang yang habis lari maraton berpuluh-puluh kilometer. Di sekelilingnya tampak kekacauan di mana-mana, semua barang seperti bantal sofa dan beberapa jenis majalah teronggok mengenaskan di lantai, bahkan pecahan kaca pun turut ada di tempat itu. Penampakan apartemen mewah tak ubahnya seperti tempat yang habis terkena sapuan banjir bandang.

"Maafkan aku, Sayang ... Ini semua diluar kehendakku. Aku—"

"Cukup, Timo! Kamu beralasan cuma ingin pembenaran dari pengkhianatanmu, ‘kan? Aku gak mau dengar apapun. Sekarang kamu pergi! Aku gak mau lihat mukamu lagi.

"Pergi!"

Risya mendorong tubuh kekar pria itu, meminta untuk keluar dari unitnya. Dia benar-benar kecewa dengan kenyataan baru diketahui.

Beberapa jam yang lalu, Risya mendapat kabar dari Felisia mengenai pernikahan Timotius yang dilangsungkan hari ini. Awalnya, ia tidak mempercayai kabar itu, bahkan menganggap Feli sebagai pembohong. Wanita itu baru percaya ketika membuka foto dan video yang dikirimkan Felisia.

Seketika itu pula, Risya langsung menghubungi Timotius untuk menanyakan kebenaran mengenai hal itu. Dunianya seakan berhenti berputar ketika Timo membenarkannya. Seketika amarahnya tak terkendali, dia menghancurkan apapun yang ada di dekatnya, meskipun saat itu panggilan masih tersambung dengan sang kekasih.

Timotius yang merasa khawatir dengan keadaan Risya bergegas menuju ke apartemennya. Dia harus menjelaskan semuanya kepada sang kekasih mengenai semua ini.

"Tidak sebelum aku menjelaskan semuanya."

"Aku gak butuh penjelasanmu!" sahut Risya cepat diiringi nafas memburu, "kau sudah mengkhianatiku, Timo. Aku kecewa, kamu jahat!"

"Kamu jahat!"

Wanita itu memukuli dada bidang kekasihnya bertubi-tubi untuk melampiaskan kemarahan yang menggunung, sedangkan Timotius hanya bisa pasrah menerima semua itu. Dia segera menggenggam kedua tangan yang masih bergerak aktif, lalu mendekapnya erat dan menciumnya berkali-kali. Berharap perlakuannya bisa membuat wanita itu tenang.

"Ceraikan wanita itu." Ucapan itu terlontar begitu saja dari bibir Risya.

Timotius menatap lekat wanita itu. Dia hanya diam tidak tau harus menjawab apa. Permintaan Risya teramat sulit baginya.

"Maaf...."

"Apa maksudmu dengan 'maaf'? Kamu tidak mau menceraikan dia, iya?"

Risya menggeleng samar tidak percaya atas keputusan kekasih yang sangat dia cintai.

"Bukan begitu, Risya ... Aku menikahinya karena terpaksa. Semua karena wasiat kakek. Kamu tau sendiri ‘kan jika wasiat harus dijalankan meskipun berat? Aku mohon pengertianmu ... Percayalah! Aku terpaksa."

Timo berusaha menjelaskan semuanya secara perlahan, berharap wanita itu mau mengerti.

Akan tetapi, Risya tetaplah Risya. Wanita itu berperangai keras kepala cenderung ambisius. Semua keinginannya harus terpenuhi. Jika tidak, maka dia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

"Aku tidak mau kehilanganmu, Timo! Aku tidak rela melihatmu bersama wanita lain. Harusnya aku yang menjadi pengantinmu, bukan dia!"

Wanita itu mengiba di depan sang kekasih, air mata kembali berderai membasahi kedua pipinya. Penampilannya terlihat sangat kacau, sangat kentara jika ia tengah frustasi.

Timotius sendiri bingung harus bagaimana, berbagai cara telah dia lakukan untuk menenangkan dan memberi pengertian. Namun, Risya tetap bersikeras dengan keinginannya.

"Mau, ya ... Ceraikan dia. Please, demi aku, demi cinta kita," rengeknya seraya menggenggam erat tangan kekar itu disertai sorot penuh permohonan.

Gelengan menjadi jawaban yang membuat Risya secara perlahan melepas genggamannya. Wanita itu memundurkan tubuh beberapa langkah, masih tidak percaya dengan keputusan pria itu.

Tanpa sengaja netranya menangkap sebilah pisau buah yang tergeletak tak jauh dari posisinya. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung menyambar pisau tersebut, lalu mengarahkan pada dada bagian kiri.

Seketika Timotius membelalak sempurna melihat apa yang dilakukan kekasihnya.

"Apa yang kau lakukan?" teriaknya dengan panik.

Pria itu berniat mendekat untuk membuang benda tajam itu, tetapi peringatan Risya berhasil mengurungkan niatnya.

"Jangan mendekat kalau tidak ingin benda ini berpindah ke jantungku."

Pisau yang berada di tangan Risya semakin mendekat ke tempatnya yang berhasil membuat Timotius semakin panik. Rupanya wanita itu tidak main-main dengan aksinya.

"Jangan macam-macam, Risya!"

"Please ... Jauhkan benda itu! Jangan nekad!"

"Tidak akan sebelum kau mengiyakan permintaanku."

"Turunkan benda itu dulu, please ... Kita bicara baik-baik. Masalah ini harus dibicarakan dengan kepala dingin," pinta Timo dengan sorot memohon.

"Tentukan pilihanmu! Aku atau wanita itu."

Timotius menjambak rambutnya frustasi. Entah mengapa semua terasa begitu sulit saat diminta menceraikan Andara. Harusnya, ia bisa menjatuhkan pilihan dengan mudah. Dia mencintai Risya, seharusnya bisa dengan mudah mengiyakan saat diminta menceraikan Andara.

"Aku atau wanita itu!" Risya berteriak mengulang ucapan menuntut jawaban.

Akan tetapi, Timotius masih setia dengan kebungkamannya. Dia harus segera menentukan pilihan sebelum Risya semakin nekad.

"Oke, aku akan memilih tapi jauhkan benda itu dulu."

"Cepat katakan! Aku atau dia."

"Letakkan benda itu! Baru aku memberi jawaban."

Risya tampak diam berpikir. Situasi itupun dimanfaatkan Timo untuk membuang pisau yang berada di tangan kekasihnya.

"Nyawa bukan mainan. Tolong jangan lakukan itu lagi." Timo mendekap erat tubuh itu, meski tak mendapat balasan apapun dari wanitanya.

"Aku tidak bisa gegabah, semua harus dipikirkan matang. Beri aku waktu."

Risya melerai dekapan itu dan menatap kosong pria yang ada di depannya. Pria yang selama tiga tahun terakhir menguasai seluruh tempat di hatinya, memberi warna di hidupnya. Namun, kini telah menjadi milik wanita lain di saat masih menjadi miliknya. Sudut hatinya memberontak tidak rela, pikiran memaksa untuk melawan, tetapi tubuh enggan melakukan.

"Jawab, Timo! Aku atau wanita itu?" Risya bertanya dengan suara parau, kristal bening tampak menumpuk di pelupuk mata.

Hanya keheningan yang didapat. Dekapan pria itu justru terasa semakin erat.

"Aku butuh jawaban."

Lagi-lagi, hanya keheningan yang didapat.

Sebenarnya, Risya sangat yakin jika Timo masih sangat mencintai dirinya. Terbukti dari sikap pria itu. Akan tetapi, Risya butuh pengakuan secara langsung bukan sekedar sikap.

"Please, Timo ... Jawab! Jawab 'aku memilihmu','' batinnya penuh harap.

"Maaf, aku tetap pada pendirian awal. Pernikahan bukan sebuah permainan, meski aku melakukannya dengan terpaksa."

Setelah mengatakan hal itu, Timo segera melerai dekapannya, kemudian berlalu keluar apartemen meninggalkan Risya yang mematung seorang diri di tempatnya.

Nyatanya harapan hanya tinggal harapan. Timotius, pria yang sangat dia cintai telah menghancurkan harapannya menjadi berkeping-keping. Lantas, kini apa yang harus ia lakukan setelah semuanya hancur? Haruskah ia pasrah begitu saja, menerima semua pengkhianatan Timo akan cintanya?

Oh, tentu tidak. Itu bukanlah sifat seorang Risya. Risya Camelia tidak selemah itu.

"Lihat saja, Timo! Jika aku tidak bisa memilikimu, maka wanita lain pun tidak."

Wanita itu kembali mengamuk seperti orang kesetanan, melampiaskan semua amarah pada benda-benda yang ada di sekitarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!