Seharusnya sebuah rumah di isi dengan suasana baik. Namun, berbeda dengan sebuah rumah di perkampungan kumuh. Para tetangga hanya bisa pasrah jika sudah mendengar percekcokan antara pasangan suami istri itu.
"Cepat berikan uang nya! Cepat!" bentak Herman setengah sadar. Ia baru saja abis mabuk.
"Enggak! Pasti mau di pakai buat mabuk lagi, kan? Aku gak akan kasih!"
"Sialan!"
Sang suami dengan tega melemparkan gelas kepada istrinya hingga mengenai badan. Sang anak bernama Ayana Rosmalia yang baru pulang sekolah pun terkejut.
"Ibu!"
Ia memeluk ibunya erat. Tangisnya memilukan karena melihat badan ibunya di penuhi oleh serpihan gelas. Sang ayah malah menyeret paksa istrinya itu untuk mengambil uang di dalam lemari.
"Ayah, hentikan!"
"Cepat berikan uangnya!"
Di depan lemari mau tak mau beliau pun memberikan uang lima ratus ribu untuk bayar kontrakan itu ke suaminya. Senyum sumringah terpancar jelas saat uang tersebut di tangannya.
"Wah, bisa buat beli minuman lagi."
"Ayah, balikin uangnya! Itu untuk bayar kontrakan. Ayah, balikin ...."
Tak hanya tega dengan istrinya. Herman juga dengan tega nya menendang tubuh Ayana yang bersimpuh di kakinya. Dewi terkejut anaknya di perlakukan seperti itu. Beliau langsung memeluk memeluk nya erat.
"Sayang, kamu gak apa-apa?" Dewi mengelus rambutnya lembut. Beliau sangat khawatir.
"Aku baik-baik saja, Bu."
"Kalian ini memang sama! Sama-sama sialan!" tunjuk Herman kepada keduanya. Setelah itu pergi keluar tanpa perasaan bersalah.
Ayana dan Dewi sudah tak bisa berbuat banyak jika Herman dalam keadaan di pengaruhi oleh alkohol. Semua bisa di lakukan termasuk menyakiti mereka. Ayana menatap ibunya sendu.
"Ibu, baik-baik saja, kan?"
"Ibu, gak apa-apa, sayang. Tapi, uang itu seharusnya di pakai buat bayar kontrakan. Bagaimana jika ibu Tuti kesini? Ibu bingung ...."
Ayana menghembuskan napasnya pelan. Uang itu hasil ibunya menjadi buruh cuci selama sebulan. Tak ada cara selain dirinya meminjam.
"Ibu, gak usah khawatir. Aku akan pinjam ke bos ku."
Ayana kerja sebagai bersih-bersih di sebuah cafe. Ia kebagian sift malam karena paginya harus berangkat sekolah.
"Kamu serius? Yang kemarin aja kamu baru kasbon dua ratus ribu. Gajian kamu itu delapan ratus ribu, sayang. Kalau kamu kasbon lagi sekarang, nanti kamu gajian cuma dapat seratus ribu. Memang nya cukup buat jajan selama sebulan?"
Ayana paham. Uang seratus ribu mana cukup selama sebulan. Gajian kemarin saja sisa tiga ratus ribu habis di ambil paksa oleh Herman buat mabuk. Selebihnya di pakai kebutuhan sehari-hari.
"Insyaallah, lagian di sekolah juga aku jarang jajan karena malas ke kantin," ucapnya sambil tersenyum manis.
Dewi langsung memeluk anaknya. Beliau mengerti kalau Ayana bukan malas ke kantin, melainkan karena tak ada uang.
"Maafkan Ibu ya, sayang? Maaf karena gak bisa membahagiakan kamu ...."
"Enggak Bu, aku bahagia banget punya seorang Ibu yang hebat. Semoga kita selalu bahagia."
"Aamiin ...."
...****...
Keesokan paginya, Ayana sudah rapi dengan pakaian seragam sekolah nya. Walaupun terlihat usang karena tak pernah beli baru. Sepatu nya pun yang rusak ia tambal menggunakan lem agar rekat kembali.
"Bu, aku pergi sekolah dulu," pamit Ayana sambil menghampiri ibunya yang berada di dapur sedang masak air.
"Iya. Hati-hati ya, sayang. Belajar yang rajin."
"Siap."
Dewi mencium dan memeluk Ayana penuh kasih, penguat hidup satu-satunya. Begitu pula dengan Ayana, menjadikan Dewi sebagai penyemangat dalam belajar.
"Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu."
"Aku yakin Tuhan akan mengabulkan segala do'a Ibu. Ya sudah, aku pergi dulu."
"Hati-hati. "
"Iya. Aku sayang Ibu."
"Ibu juga sayang kamu."
Setelah pamitan Ayana pun berjalan kaki menuju sekolah lumayan jauh memang. Tapi, tak apa. Sehat dan juga menghemat ongkos.
Beberapa kali ia melihat teman-temannya di bonceng oleh ayah mereka menggunakan motor ataupun berangkat naik angkutan umum. Sedangkan dirinya berjalan kaki. Namun, Ayana terus menguatkan hatinya agar menerima keikhlasan dalam hidupnya.
"Tak apa. Aku yakin akan ada kebahagiaan untuk ku suatu hari nanti. Semangat Ayana! ucapnya sambil melangkahkan kakinya menuju sekolah.
Setengah jam kemudian akhrinya Ayana sampai di sekolah yaitu SMA Permata dalam keadaan lelah. Walaupun demikian, ia kembali menyemangati dirinya sendiri.
"Ayo semangat! Katanya mau jadi orang sukses ya harus semangat."
Selama di lorong para murid terus memperhatikan nya. Sudah biasa, setiap kali Ayana datang akan menjadi sorotan. Bagaimana tidak, sekolah itu memang elit, semua murid-muridnya berasal dari menengah atas. Ia bisa masuk ke sana karena jalur beasiswa.
Setiap tahun ajaran baru memang sekolah tersebut membuka pendaftaran gratis bagi murid kurang mampu yang ingin bersekolah di sana tanpa di pungut biaya sedikitpun sampai lulus. Namun, melalui jalur beasiswa.
Sebenarnya banyak murid yang sama seperti dirinya bisa masuk karena beasiswa. Namun, mereka semua memilih pindah karena malu bersekolah di antara orang-orang kaya, hanya Ayana saja yang tersisa.
Lebih tetap nya bukan malu, melainkan tak tahan karena selalu mendapatkan bully dari mereka. Ayana juga selalu di-bully. Namun, ia memilih bertahan.
Selama berjalan menuju kelas, para murid bergosip tentangnya. Termasuk tentang kehidupan nya saat berada di rumah. Saking niat ingin membully, mereka rela mencari tau kehidupan Ayana. Mereka tau kalau Herman sering mabuk.
"Tau, gak? Katanya kemarin ayahnya ngamuk-ngamuk lagi."
"Benarkah? Pasti minta uang buat mabuk."
"Ya jelas. Buat apalagi selain mabuk."
"Emang gak bener ya ayahnya itu. Gua rasa dia juga gak bener."
"Iya. Gua gak percaya dia polos. Gua yakin diam-diam dia juga mabuk."
Suara tertawa terdengar di telinga nya. Ayana hanya bisa pasrah mendengar omongan mereka. Ia tidak mau mencari keributan. Datang kesini untuk belajar apalagi sekarang ia kelas tiga SMA. Artinya sebentar lagi lulus.
Sesampainya di kelas, ia langsung duduk dan membuka buku karena hari ini ulangan harian matematika. Para murid masih memberikan tatapan sinis.
Walaupun Ayana miskin, ia di cap guru sebagai murid terpintar karena banyak prestasi yang di raih nya. Sering mengikuti lomba cerdas cermat antar sekolah. Dan yang pasti selalu menang juara satu.
Tak lama bel pembelajaran pun di mulai. Ulangan harian ini adalah matematika.
"Selamat pagi semua."
"Selamat pagi, Bu."
"Hari ini kita akan mengikuti ulangan harian matematika. Sudah belajar semua?"
"Sudah."
"Baiklah, mari kita mulai."
Ulangan pun di mulai. Para murid begitu serius mengejarkan. Ayana sangat fokus pada soal-soal itu. Ia bersyukur karena soal nya sama dengan materi yang ia pelajari semalam.
"Bismillah. Semoga nilai ku bisa memuaskan agar beasiswa ku tetap aman."
Ayana belajar dengan sungguh-sungguh karena takut nilai nya jelek dan bisa menghilangkan beasiswa nya. Peraturan bagi murid beasiswa yaitu setiap mata pelajaran harus nilai yang bagus. Tidak boleh memiliki penurunan. Jika itu terjadi maka beasiswa di cabut seratus persen.
Satu jam kemudian ulangan pun selesai. Mereka mengumpulkan hasilnya ke guru untuk di berikan nilai saat itu juga. Semua menunggu dengan perasaan tegang. Selama lima menit akhrinya guru pun selesai memberikan nilai.
"Saya bangga dengan hasil pembelajaran kalian. Tetapi, ada satu nama yang membuat saya merasakan puas." Guru itu mengambil kertas ulangan dan membaca namanya.
"Dia adalah Ayana Rosmalia. Selamat Ayana, nilai kamu sempurna. Seratus."
Mau tak mau para murid bertepuk tangan. Ayana sangat senang kalau dirinya mendapat nilai sempurna. Ia pun maju ke depan. Guru itu menepuk-nepuk pundak nya.
"Saya puas dengan nilai kamu, selamat ya. Semoga selalu seperti ini. Pertahankan nilai mu."
"Makasih Bu, saya akan mendengarkan ucapan Ibu."
Ia kembali duduk sambil menatap kertas ulangan nya. Habis ini ia akan pulang dan memberitahu nilai itu kepada ibunya.
...****...
Jam menunjukkan pukul empat sore waktunya pulang sekolah. Ayana membereskan buku nya sambil menatap jendela.
"Wah, gerimis. Aku harus cepat-cepat pulang biar gak kehujanan di jalan."
Tanpa ia sadari, beberapa murid menatapnya penuh amarah. Setelah itu ia buru-buru pergi meninggalkan kelas.
"Sepertinya dia sudah terlalu jauh. Mari kita hentikan langkahnya."
"Baiklah."
...****...
Saat di tengah jalan benar saja hujan deras disertai angin kencang pun turun. Ayana berteduh di sebuah toko tua. Ia sengaja tidak lewat jalan raya melainkan melewati jalanan yang lumayan sepi sebab jalanan tersebut lebih dekat sedikit ketimbang lewat jalan raya. Di sekeliling hanya ada lapangan rumput biasa tempat anak-anak main bola dan banyak pohon jambu.
Selama sepuluh menit hujan belum juga berhenti. Ayana menggosok kedua telapak tangannya untuk memberikan kehangatan. Tak lama sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depannya.
Ayana berpikir kalau hanya sekedar berhenti. Namun, secara tiba-tiba empat orang keluar dari mobil tersebut dengan pakaian serba hitam menggunakan penutup wajah dan salah satu nya mendorong tubuh Ayana hingga terjatuh. Tak sampai di situ, tubuhnya di seret ke arah pohon jambu. Ayana berteriak minta tolong.
"Tolong! Tolong!"
Hujan dan angin kencang membuat para warga malas keluar rumah.
Begitu masuk ke dalam rindang nya pohon jambu, tubuh Ayana pun langsung di aniaya. Di tampar, di pukul, rambutnya di potong tak beraturan. Bahkan, saking tega nya ke empat orang itu menginjak perut Ayana hingga membuatnya kesakitan.
Terakhir adalah aksi keterlaluan mereka. Yaitu membuka paksa kancing seragam baju nya sampai terlepas. Rok sedengkul nya pun di potong sepaha. Setelah itu mereka tertawa sangat puas tak peduli keadaan Ayana yang menangis terisak sambil memegang perutnya.
"Rasakan! Makannya jangan sok pintar!"
"Betul itu! Rasakan!"
"Ayo kita tinggalkan dia."
"Bye Miskin!"
Keempat nya berlari menuju mobil dan kabur. Meninggalkan gadis bernama Ayana yang lemah. Sisa tenaga nya ia pakai untuk minta tolong, walaupun suara lirih.
"Tolong ... tolong aku ...."
Di mobil, seorang pria berusia 27 tahun sedang menelpon sambil menyetir mobil.
"Kamu sudah bilang ke pak David kalau meeting di tunda dulu?" tanya nya. Namun, ekspresi wajahnya terlihat mengkerut bingung.
"Bagus kalau begitu. Sudah dulu, saya lagi menyetir mobil soalnya. Nanti kita bicarakan lagi."
Pria itu menutup telpon secara sepihak. Ia melihat sekeliling dengan aneh.
"Saya di mana? Apa jangan-jangan tersesat? Astaga! Gara-gara jalanan biasa di tutup karena pohon tumbang jadinya di arahkan kesini. Tapi, saya gak tau lewat mana."
Ia terus berusaha mencari arah keluar. Namun, mobilnya tiba-tiba saja berhenti.
"Kenapa ini? Apa jangan-jangan mogok? Astaga! Ya tuhan ... kenapa saya malah pakai mobil ini." Ia pun menelpon pak Dodo.
"Halo Pak, ini mobilnya mogok."
"Ya ampun Tuan muda, tadi sudah saya bilang jangan di pakai dulu karena belum saya servis selama lima bulan. Kenapa masih di pakai?" Pria itu terkekeh kecil.
"Maaf. Saya pikir Pak Dodo ngomong seperti itu karena jail sama saya."
"Sekarang posisi Tuan muda di mana?"
"Gak tau karena sekeliling saya cuma pohon jambu."
"Ya ampun, ya sudah Tuan muda kirimkan lokasi saat ini. Saya akan panggil tukang bengkel dan menjemput Tuan muda di sana."
"Oke."
Setelah itu telpon di tutup. Pria itu mengacak-acak rambutnya karena kebodohan dirinya sendiri. Di garasi padahal banyak mobil yang lebih mewah. Tapi Ia malah memakai mobil itu yang berada di pojok.
ia pun hanya bisa menunggu di dalam mobil. Namun, matanya membulat sempurna karena dari dalam kap mobil terlihat kepulan asap. Segera ia keluar dari mobil untuk menyelamatkan diri.
"Kenapa lagi ini?" tanya nya frustasi.
Tak tau apapun tentang mobil. Jadinya ia hanya bisa berjongkok dalam keadaan basah kuyup sambil menatap mobil nya dengan lesu. Suara sayup-sayup minta tolong terdengar di telinga pria itu.
"Seperti ada yang minta tolong? Tapi, di mana?"
Ia menatap sekeliling yang hanya di isi pepohonan jambu. Suara itu masih terdengar. Matanya kini tertuju ke dalam rindang nya pohon tersebut.
Setelah berpikir sepuluh detik akhrinya ia memberanikan diri untuk masuk ke sana perlahan-lahan. Beberapa langkah kemudian ia pun di kejut kan dengan seorang gadis seragam SMA tergeletak dalam keadaan mengenaskan. Wajah nya babak belur dan kancing seragam nya copot hingga dalaman gadis itu terlihat.
Ia bingung harus bagaimana. Menyelamatkan gadis itu atau membiarkan nya?
"Tolong ...."
Akhrinya segala perasaan bingung ia singkirkan. Niatnya hanya untuk menolong gadis tersebut. Ia menaruh kepalanya di atas paha sambil di tepuk pipinya pelan.
"Hei, kau tidak apa-apa?"
Gadis itu memegang tangan nya dan berkata lirih. "Tolong aku ...."
Tiga detik saling bertatapan sang gadis pun tak sadarkan diri. Wajahnya pucat dan badannya dingin. Pria itu menepuk-nepuk lagi pipinya.
"Hei, sadarlah! Hei, aku mohon bertahan lah ...."
Saat ingin mengangkat tubuh gadis itu tiba-tiba muncul seorang warga dengan wajah sangat terkejut melihat keduanya dan membuat perasaan nya di isi oleh hal negatif.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu melecehkan dia!" tuduh si bapak.
"Pak, ini bukan seperti yang bapak lihat. Saya gak--"
"Bohong! Sudah jelas-jelas kamu melecehkan nya! Lihat baju gadis itu! Saya akan meneriaki warga! Tolong! Ada gadis di perkosa di sini! Tolong!" teriakan kencang si bapak benar-benar mengundang para warga datang. Hujan pun sudah tak turun hanya gerimis kecil.
"Ada apa?"
"Pak, lihat! Pria ini melecehkan gadis SMA!"
"Enggak pak, saya gak melakukan nya!"
"Dasar kurang ajar! Gak mau ngaku kamu!" Para warga pun tanpa peduli mendengar perkataan pria itu lebih lanjut langsung menghajar nya sampai babak belur.
"Ayo kita bawa dia ke kantor desa!"
"Sekalian kita harus membawa gadis ini segera ke rumah sakit!"
"Ayo!"
Sebagian warga membawa tubuh sang gadis ke rumah sakit, sedangkan pria itu di bawa paksa ke kantor desa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!