NovelToon NovelToon

Azka: The Basketball Captain Ghost

BAB 1

Kecelakaan beberapa tahun lalu membuat raga ini mati, tapi tidak dengan jiwa ini. Rasa cinta itu membuatku tersesat di dunia ini. Kamu yang sekarang telah bahagia bersamanya, hanya mampu aku lihat tanpa aku bisa menyentuhmu.

"Azka, sini sayang ...."

Tapi aku bahagia setiap kali mendengar suaramu menyebut namaku. Ya, meskipun aku tahu kamu sedang memanggil nama putra pertamamu yang kamu beri nama Azka, sama seperti namaku.

Aku tidak tahu, untuk apa aku berada di dunia ini? Apa ada sesuatu yang belum aku selesaikan? Atau aku diutus untuk menemani anak yang bernama Azka ini? Aku hanya bisa berada di sisi Azka, tanpa ada yang bisa melihatku.

...***...

Azka duduk dengan resah di bangku cadangan. Dia hanya bisa melihat tim basket sekolahnya bertanding di liga antar sekolah. Dia sudah satu tahun bergabung di tim basket sekolah, tapi skillnya masih jauh di bawah standar. Dia selalu saja berada di bangku cadangan setiap kali ada pertandingan. Tapi hal itu tak menyurutkan dirinya untuk berlatih dan tetap bertahan di tim basket sekolahnya.

Tinggal dua babak lagi, tapi skor mereka masih imbang. Tim sekolah Azka belum juga berhasil menyusul tim basket lawan. Hingga akhirnya kapten basket yang bernama Ezra terjatuh dan mengalami cidera pada kakinya.

"Aduh, bagaimana ini? Kita tinggal dua babak lagi." Pak Zaki selaku pelatih tim basket itu berpikir sesaat untuk mencari solusi. Dia melihat Azka yang sedang berdiri sambil menatap serius pemain lawan. "Azka, kamu masuk lapangan!" suruh Pak Zaki dengan terpaksa. Meskipun dia tidak yakin dengan skill yang dimiliki Azka.

Azka tak percaya dengan perintah Pak Zaki. Dia sempat me-loading beberapa saat, hingga akhirnya lengannya ditarik oleh Tio saat peluit telah ditiup.

"Azka, ayo!"

Azka menggantikan posisi Ezra sebagai pemain kunci. Dia sebenarnya ragu dengan kemampuannya, tapi saat bola basket itu mengarah padanya tiba-tiba tubuhnya dikuasai oleh satu kekuatan. Permainan Azka menjadi sangat hebat dan dia seperti seorang pemain basket profesional.

Baru saja dia mendrible bola, dia sudah berhasil memasukkan bola basket di garis triple poin.

Teman-teman Azka semakin bersorak mendukung tim basket sekolahnya.

"Azkaaa! Hebat sekali. Azka ...."

Tatapan mata tajam Azka sangat berbeda, dia mengintai bidikan lawan dan menggagalkannya, lalu dengan cepat dia masukkan bola itu ke dalam ring.

Akhirnya tim basket sekolah Azka unggul dan mereka memenangkan pertandingan itu.

"Azka, gila! Lo hebat banget sekarang!" Tio menepuk bahu Azka.

Seketika kekuatan itu menghilang dan Azka merasa tubuhnya sangat lelah. Dia bingung dengan suara sorakan yang memenuhi lapangan basket itu dan juga pelukan dari teman satu timnya.

Apa yang sudah aku lakukan? Aku tidak merasakan apapun barusan. Seperti ada yang mengendalikan tubuh ini.

"Hebat juga lo! Anak bawang yang biasanya berada di bangku cadangan bisa menggantikan Ezra di posisi playmaker," kata Raka, kapten basket dari tim lawan. "Gue kira cuma Ezra yang hebat dari tim basket SMA 1, ternyata lo jauh lebih hebat. Harusnya gue gak menganggap remeh lo!"

Azka hanya terdiam, dia tidak menimpali perkataan Raka. Dia kini berjalan ke pinggir lapangan dan duduk di bangku pemain.

Ezra yang masih berada di tempat itu sambil meluruskan kakinya hanya menatap Azka. Sepertinya dia takut jika posisi kapten basket tahun ini akan direbut Azka.

"Azka, kamu hebat sekali." Nadia duduk di sebelah Azka sambil memberikan sebotol air mineral. Nadia adalah pacar Azka. Dia sedikit tomboy dan juga pintar bermain basket. Azka seringkali bermain basket dengan Nadia saat latihan.

Azka hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih seperti orang linglung.

"Minum dulu. Kamu kenapa tidak senang begini?" Nadia membuka tutup botol itu lalu diberikan pada Azka.

Azka segera meminumnya. Dia seperti hidup dalam mimpinya. Apakah benar dia bisa bermain basket sehebat itu? Menjadi pemain basket profesional memang impiannya tapi entah mengapa skill yang terus dia asah tidak juga berkembang.

Setelah menghabiskan satu botol air mineral itu, Azka mengambil tasnya lalu berdiri.

"Kita makan-makan dulu yuk merayakan kemenangan kita," ajak Tio.

"Nanti sajalah, setelah Ezra sembuh," kata Azka. Dia memang setia kawan, jika ada salah satu yang tidak bisa ikut, lebih baik ditunda saja.

"Iya, setuju. Nunggu Ezra sembuh saja," kata teman lainnya.

Ezra hanya terdiam. Dia berdecak pelan karena dia sangat kesal dengan kondisi saat ini. "Gue duluan," kata Ezra yang kini duduk di kursi roda lalu didorong Pak Zaki keluar dari lapangan basket. Dia segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan.

"Kak Azka!" panggilan itu menghentikan Azka saat akan melangkah. Dia melihat adik perempuan satu-satunya yang berlari ke arahnya.

"Vania, dari tadi kamu lihat pertandingan?"

Vania yang hanya selisih satu tahun dengan Azka kini bergelayut manja di lengannya. "Iya, aku tadi sama teman-teman. Kak Azka langsung pulang kan?"

Azka menganggukkan kepalanya lalu memakai jaketnya. "Nad, kamu bawa motor sendiri kan?" tanya Azka pada Nadia.

Nadia menganggukkan kepalanya. "Bawa kok."

"Ya sudah, aku duluan ya sama Vania."

"Oke." Nadia mengikuti langkah Azka dan Vania keluar dari GOR menuju tempat parkir.

Setelah Vania naik ke boncengannya, Azka segera melajukan motornya menuju rumah. Selama perjalanan dia masih memikirkan apa yang sudah terjadi padanya. Benarkah ada kekuatan asing yang menguasai tubuhnya? Semua itu benar-benar di luar logikanya.

"Kak Azka, tadi hebat banget loh. Akhirnya Kak Azka bisa bermain dan memenangkan pertandingan dengan tangan Kak Azka sendiri."

Azka tak menyahuti perkataan adiknya itu. Dia masih memikirkan apa yang sudah terjadi di dirinya. Hingga dia menghentikan motornya di depan rumahnya, Azka masih saja terdiam.

"Kak Azka kenapa sih? Harusnya senang dong sudah berhasil memenangkan pertandingan." Vania kini turun dari motor kakaknya.

"Ya, aku senang. Aku lagi banyak pikiran, kamu jangan banyak bertanya dulu." Azka melepas helmnya lalu masuk ke dalam rumah.

"Mama, Kak Azka hari ini ikut bertanding dan menang," teriak Vania membuat laporan pada mamanya.

"Iya? Mama ikut senang dengarnya." Ibu dua anak yang masih terlihat muda itu tersenyum saat kedua anaknya mencium tangannya.

"Iya, hebat sekali Ma. Sudah seperti pemain basket profesional," kata Vania lagi.

Azka tak menyahutinya karena pada kenyataannya dia memang tidak sehebat itu.

"Azka kamu kenapa?" tanya Airin yang melihat putranya hanya diam saja.

Azka hanya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak sehebat apa yang dikatakan Vania. Itu semua hanya kebetulan." Kemudian Azka masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu itu.

Dia kini duduk di tepi ranjang sambil menatap kedua tangannya. "Sebenarnya kekuatan apa yang aku rasakan barusan? Baru kali ini muncul dalam diriku. Tubuhku seperti dikuasai dan ingatanku memudar."

💞💞💞

Azka versi baru sudah up ya...

Jadikan favorit. Like dan komen ya biar rajin up... 🤭

BAB 2

"Azka, kamu sedang apa? Boleh Mama masuk?" tanya Airin sambil mengetuk pintu kamar putranya sore hari itu.

"Iya, Ma." Azka membuka pintu kamarnya. Dia melihat mamanya sedang membawa sesuatu di dalam sebuah kardus.

"Mama lihat kamu muram saja sedari tadi. Ada apa? Bukannya kamu berhasil menunjukkan bahwa kamu bisa memenangkan pertandingan," kata Airin yang kini duduk di samping putranya di tepi ranjang.

"Apa menurut mama aku keluar saja dari tim basket sekolah?" tanya Azka. Setelah apa yang dia alami tadi siang, dia semakin ragu untuk bertahan di tim basket sekolahnya karena dia benar-benar merasa bukan dirinya sendiri yang memenangkan pertandingan itu.

"Kanapa? Bukannya kamu ingin menjadi pemain basket profesional. Kamu tadi sudah ikut bertanding dan berhasil memenangkannya, itu tandanya pemainan basket kamu semakin berkembang."

Azka hanya terdiam. Dia juga tidak bisa menjelaskan apa yang sudah dia alami.

Airin membuka satu kotak kardus itu lalu mengeluarkan satu kaos basket dengan nama Azka di punggung kaos itu.

"Azka? Ini punya siapa? Ini kan kaos basket timnas basket Indonesia. Tapi desain dan logo sponsor sepertinya sudah lama sekali." Azka meraih kaos basket yang masih tersimpan rapi itu. Dia kini menatapnya sambil meraba nama Azka di punggung kaos itu.

"Kaos ini sudah berumur dua puluh tahun," kata Airin yang membuat Azka terkejut. "Azka adalah sahabat Mama dan Papa. Dia seorang pemain basket yang hebat, tapi sayang sekali saat akan mewakili Indonesia bertanding di Spanyol, dia kecelakaan dan meninggal. Impiannya sudah berada di depan matanya, tapi dia sudah pergi untuk selamanya."

Kemudian Azka mengambil handban yang bertuliskan captain itu. "Dia kapten basket?"

Airin menganggukkan kepalanya. "Iya, selalu menjadi kapten basket sejak SMP."

"Kenapa Mama memberiku nama Azka? Apa Azka mantan Mama?"

Seketika Airin tertawa. "Iya, ada kisah spesial di masa lalu kita. Tapi selain itu, Mama ingin mewujudkan mimpi Azka."

"Mama, aku payah. Aku tidak bisa bermain basket." Azka kembali memasukkan barang-barang itu ke dalam kardus.

"Ya sudah, Mama tidak memaksa kamu. Tapi Mama yakin, kamu pasti bisa menjadi yang terhebat." Kemudian Airin meletakkan kardus itu di dekat meja belajar Azka. "Ini untuk kamu, sebagai motivasi."

Azka hanya menganggukkan kepalanya.

Setelah Mamanya keluar, Azka merebahkan dirinya dan menatap langit-langit kamarnya. "Menjadi pemain basket profesional," gumamnya lirih.

...***...

"Azkaaa ...." Teriakan dari para penonton semakin keras memenuhi GOR. Seorang kapten basket melewati musuhnya dengan mudah sambil memantulkan bola basketnya, lalu memasukkan bola basket itu tepat masuk ke dalam ring.

Berbagai penghargaan dan piala terus diraihnya. Alur cerita itu berjalan begitu cepat hingga akhirnya sebuah mobil menabrak tubuhnya dengan keras yang membuat tubuh itu terpental jauh dan semua gelap. Dunianya telah berakhir.

Azka terbangun dari tidur singkatnya. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Baru saja dia bermimpi tentang seorang pria bernama Azka. Apa dia Azka masa lalu mamanya?

Azka mengusap wajahnya lalu beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya. "Apa pria dalam mimpi aku itu Azka yang Mama maksud?"

Setelah itu, dia keluar dari kamar mandi dan mengambil ponselnya. Ada sebuah pesan masuk dari Nadia.

Azka, kita ke taman yuk! Untuk merayakan keberhasilan kamu.

Tanpa pikir panjang Azka membalas pesan singkat itu dan mengiyakan ajakan Nadia. Dia segera berganti pakaian lalu memakai jaket bombernya. Dia sisir rambutnya singkat dan keluar dari kamar.

"Kak Azka mau kemana?" tanya Vania yang baru saja keluar dari kamarnya juga.

"Mau keluar sebentar." Azka menuruni tangga dengan cepat. "Papa, aku mau keluar sebentar," kata Azka berpamitan pada Papanya yang sedang berada di teras rumah.

"Mau kemana? Jangan pulang larut malam."

"Iya, Pa. Hanya ke taman sebentar." Azka menaiki motornya dan menghidupkannya, lalu dia mulai melajukan motornya meninggalkan halaman rumahnya. Dia melajukan motornya pelan untuk menikmati udara malam hari itu yang tidak begitu dingin.

Beberapa saat kemudian, dia telah sampai di taman yang berada di tengah kota. Dia memarkir motornya lalu masuk ke dalam taman itu. Dia berjalan menuju air mancur dan duduk di bangku taman seperti biasanya saat dia membuat janji dengan Nadia.

Sampai hampir sepuluh menit, Nadia tak juga datang. Azka mengambil ponselnya dan berniat menghubungi Nadia tapi ternyata Nadia sudah mengirim pesan singkat untuknya.

Maaf ya Azka, aku tidak jadi ke taman. Aku harus antar Mama.

Azka berdengus kesal. Tidak sekali dua kali Nadia seperti itu. Dia hanya membacanya tanpa membalasnya.

"Udah terlanjur ke sini. Males banget gue mau balik." Azka menyandarkan punggungnya sambil menatap air mancur yang bergerak tertiup angin dan terkadang membasahi wajahnya.

Beberapa saat kemudian, ada seorang gadis yang duduk di sampingnya dengan kasar. Azka hanya menatap wajah kesal gadis itu. Dari samping saja gadis itu terlihat cantik dengan memakai gaun floral selutut.

"Ih, pakai mati segala nih hp. Terus gue pulangnya gimana?"

Azka mengulurkan ponselnya pada gadis itu yang membuat gadis itu terkejut. "Pakai hp gue saja."

Gadis itu tak juga menerima ponsel Azka. Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu mengalihkan pandangannya dari Azka.

"Kenapa? Lo mau hubungi siapa?" tanya Azka.

"Sorry, gue gak tahu kalau lo ada di sini."

"Tidak apa-apa. Nih, lo pakai saja." Azka masih saja memberikan ponselnya pada gadis itu.

Gadis itu memberanikan diri menatap Azka. Berulang kali tatap matanya memandang ke sebelah Azka yang tidak ada siapa-siapa itu.

"Hei, lo lihat apa?" Azka menoleh ke samping tapi tidak ada apa-apa. "Nih, pakai saja. Tidak apa-apa."

"Lo ada aplikasi ojek online?" tanya gadis itu.

"Tidak ada. lo instal saja kalau butuh." Azka memberikan ponsel itu padanya.

Baru kali ini ada seorang pria yang percaya meminjamkan ponsel itu pada gadis yang baru dikenal. Dia menekan playstore tapi aplikasi ojek online itu tak juga berhasil dia instal karena ruang penyimpanan ponsel Azka penuh.

"Tidak bisa." Gadis itu mengembalikan ponsel Azka.

"Rumah lo dimana? Gue antar saja," kata Azka.

Gadis itu hanya terdiam tak menjawabnya. Dia kembali mengalihkan pandangannya.

"Gue gak akan macam-macam sama lo."

Gadis itu akhirnya menganggukkan kepalanya. "Gue tinggal di Perumahan Bulan Terang."

"Gue juga tinggal di sana. Lo di blok mana?" tanya Azka.

"Gue di blok F."

"Gue di blok E, depan blok F. Tapi gue gak pernah lihat lo."

"Gue baru pindah."

Azka mengulurkan tangannya dan mengajak gadis itu berkenalan. "Gue Azka."

Gadis itu ragu menjabat tangan Azka. "Gue Amira." Amira akhirnya menyentuh tangan Azka. Seketika angin dingin bertiup menerpa tubuhnya, buru-buru Amira melepaskan tangannya. Dia kini menatap takut Azka.

"Hey, kenapa?"

Amira hanya menggelengkan kepalanya. "Gue bisa pulang sendiri, terima kasih tawarannya." Kemudian Amira berlari meninggalkan Azka.

"Ck, aneh. Dia takut apa?" Azka melihat sekelilingnya lagi. "Ya, mungkin saja dia sudah punya pacar, sama kayak gue," gumam Azka kemudian dia berdiri dan pergi meninggalkan taman itu.

BAB 3

"Vania, cepetan!" teriak Azka dari depan rumahnya. Dia sudah menaiki motornya dan menghidupkannya tapi adik satu-satunya itu belum juga keluar dari rumah. Usia mereka yang hanya terpaut satu tahun, membuat mereka selalu berada di dalam satu sekolah yang sama, bahkan banyak yang mengira mereka kembar karena wajah mereka berdua memang sangat mirip.

"Iya, Kak. Sabar, ih! Ini juga masih pagi." Vania memakai helmnya lalu naik ke boncengan kakaknya.

Azka segera melajukan motornya menuju sekolah. Tapi di tengah jalan, tiba-tiba ban motornya kempes. Azka menghentikan motornya dan memeriksa ban depan motornya. "Bannya kempes lagi!" Azka berdengus kesal lalu turun dari motornya dan menendang ban yang bocor itu. "Kesel banget kalau ban motor pagi-pagi udah kempes gini."

"Kenapa, Ka?" tanya Tio. Dia menghentikan motornya di dekat motor Azka.

"Ban motor gue bocor. Lo bonceng adik gue ya ke sekolah, biar gue tambal ban dulu," kata Azka sambil menahan stang motornya dengan kedua tangannya.

"Kak Azka nanti bisa terlambat," kata Vania.

"Nggak apa-apa. Aku bisa loncat pagar."

"Ayo, adik manis," kata Tio sambil tersenyum menatap Vania.

"Tio, awas kalau kamu ganggu Vania!"

"Oke, oke. Gue pastikan sampai di sekolah dengan selamat." Setelah Vania naik ke boncengannya, Tio segera melajukan motornya menuju sekolah.

Sedangkan Azka menuntun motornya menuju tempat tambal ban terdekat. Untunglah tambal ban itu telah buka. Dia menunggu motornya selesai sambil memainkan ponselnya.

"Sebentar lagi sudah masuk," gumam Azka.

Beberapa saat kemudian, ban motornya telah selesai ditambal. Setelah membayarnya, Azka segera menaiki motornya lalu melajukannya dengan kencang menuju sekolah.

Azka kini menghentikan motornya di depan gerbang sekolahnya yang telah tutup. "Baru juga telat lima menit tapi sudah ditutup."

Azka memutar motornya, dia melihat seorang gadis yang memakai seragam putih abu-abu sama sepertinya sedang berlari ke arahnya.

"Yah, pintu gerbangnya kok sudah ditutup," kata Amira dengan kesal.

Azka membuka kaca helmnya dan melihat gadis yang baru dia kenal semalam. "Amira."

Amira kini menatap Azka. "Azka ya? Lo sekolah di sini juga?" tanya Amira.

"Iya."

"Ini hari pertama gue masuk, aduh, gimana nih? Pak satpamnya baik gak ya?" Amira akan mendekati pos satpam tapi dicegah oleh Azka.

"Lo ikut gue saja. Kita lompat tembok pagar. Gak mungkin dibukain sama Pak Edi," kata Azka.

Amira terdiam sejenak untuk berpikir.

"Ya udahlah kalau lo gak mau ikut. Gue bisa lompat sendiri." Kemudian Azka melajukan motornya ke belakang sekolah.

"Azka tunggu!" Amira akhirnya mengikuti Azka ke belakang sekolah dan berhenti di dekat warung kopi yang biasa digunakan Azka nongkrong bersama teman-temannya sepulang sekolah.

"Bu, titip motor ya. Nanti sepulang sekolah aku ambil," kata Azka sambil membuka helmnya lalu turun dari motor.

"Oke."

Setelah mengunci motornya, Azka mendekati pagar yang cukup tinggi itu. Kemudian dia mengambil bangku dan menumpuknya. "Gue naik dulu, terus lo naik nanti gue bantu," kata Azka sambil menaiki bangku itu. Setelah sampai di atas tembok, dia mengulurkan tangannya untuk membantu Amira.

Amira ragu meraih tangan Azka, tapi jika dia tidak melompati pagar itu, dia tidak akan bisa masuk sekolah di hari pertamanya bersekolah di tempat itu. Akhirnya Amira meraih tangan Azka dan naik ke atas pagar itu.

"Sekarang gue turun dulu, nanti gue tangkap. Awas, jangan teriak biar Pak Bakri tidak dengar." Azka melompat terlebih dahulu tapi Amira masih saja duduk di atas tembok sambil menahan roknya agar tidak terbuka.

"Ayo, turun!" kata Azka dengan suara yang pelan.

Amira ragu untuk turun ke bawah, tapi tiba-tiba dia jatuh ke tubuh Azka tanpa aba-aba seperti ada yang menariknya.

Azka yang belum siap menerima tubuh Amira terjatuh ke tanah.

Amira yang berada di atas tubuh Azka meringis kesakitan melihat tangannya yang tergores tembok. "Yah, tangan gue berdarah."

"Aduh, itu cuma luka sedikit. Cepat turun dari atas gue berat tahu!"

Amira menganggukkan kepalanya, kemudian dia buru-buru turun dari tubuh Azka. Dia kembali menatap Azka, dan lagi Amira ketakutan melihat Azka. Dia segera berlari meninggalkan Azka menuju ruang guru.

"Aneh tuh anak, udah gue bantuin, gak bilang makasih malah lari ketakutan. Emangnya gue hantu." Azka mengibaskan celananya yang kotor terkena tanah, kemudian dia segera berlari menuju kelasnya.

Untunglah belum ada guru yang masuk ke dalam kelas meskipun do'a sebelum belajar sudah selesai.

Azka kini duduk di belakang Nadia sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

"Kirain bolos lo!" kata Tio.

"Ya untung saja waktunya keburu, biasa gue lompat pagar," kata Azka sambil mengeluarkan bukunya.

"Rambut kamu berantakan sekali." Nadia menata rambut Azka yang berantakan itu. "Sorry, kemarin aku tiba-tiba membatalkan acara kita padahal aku yang buat janji sama kamu."

"Iya, it's ok," kata Azka dengan singkat. Dia masih kesal dengan Nadia. Lain kali dia tidak akan mengiyakan ajakan Nadia jika akhirnya berujung batal secara sepihak.

Beberapa saat kemudian, Bu Rita selaku wali kelas mereka dan yang mengajar mereka di jam pertama masuk ke dalam kelas dengan seorang murid baru.

"Selamat pagi, anak-anak."

"Pagi, Bu," jawab mereka semua dengan serempak.

Azka hanya menatap Amira. Sebenarnya dia sangat penasaran kenapa Amira ketakutan setiap berada di dekatnya.

"Hari ini kalian kedatangan murid baru. Ayo, perkenalkan nama kamu."

Amira tersenyum mengedarkan pandangannya tapi senyumannya memudar saat melihat Azka. "Perkenalkan namaku Amira. Aku pindahan dari Banyuwangi. Salam kenal semua."

"Iya ...." jawab mereka semua dengan serempak. Terutama para buaya jantan yang merasa mendapat mangsa karena paras Amira memang cantik dengan tubuh yang proposional.

"Silakan duduk di bangku kosong itu," tunjuk Bu Rita pada bangku kosong yang berada di sebelah Azka.

Amira menganggukkan kepalanya kaku. Bangku itu memang kosong, tapi tidak bagi Amira. Dia melangkah dengan kaki yang berat lalu berdiri di dekat meja itu. Dia menatap bangku kosong itu dengan takut dan tangan yang gemetar.

"Kenapa?" tanya Azka yang membuat Amira terkejut.

Amira hanya menggelengkan kepalanya lalu duduk di bangku itu dengan terpaksa. Dia mengambil bukunya dan mulai menyimak pelajaran hari itu.

Azka melihat tangan Amira yang berdarah dan belum dibersihkan, lalu dia mengambil plester luka di tasnya dan meletakkan satu plester luka itu di meja Amira. "Buat luka di tangan lo," bisiknya.

Amira hanya mengambil plester luka itu tanpa berani menatap Azka.

Melihat gelagat ketakutan Amira, Azka mengambil ponselnya lalu melihat pantulan dirinya di kamera depan.

Kenapa Amira takut lihat gue? Emang wajah gue nakutin?

Kemudian Azka kembali menyimpan ponselnya dan menyimak pelajaran hari itu.

"Nanti lo bisa gak pindah dari samping gue. Gue takut sama lo," kata Amira dengan lirih.

Azka hanya menganggukkan kepalanya. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Amira selalu takut jika berada di dekatnya.

💞💞💞

Like dan komen ya...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!