NovelToon NovelToon

Suamiku Mantan Adikku

Pamit.

" Sudah sayang nangisnya kasihan Ayah kalau kamu nangis terus, nanti kasurnya jadi basah semua lho, coba kamu mau tidur dimana." Pinta Dion sedikit menggoda demi menenangkan sang pujaan hati.

Ya sejak di kabari jika Ayah kandungnya meninggal beberapa menit yang lalu, gadis yang bernama lengkap Indah Ayu Mentari itu terus saja menangis di dalam kamarnya.

Dan kekasihnya lah yang sedari tadi menemani lewat sambungan video call. " Nggak lucu!" Sungut Tari sedang tidak ingin bercanda.

Beberapa saat kemudian, panggilan itupun terputus dengan sendirinya. Entah pukul berapa Tari tertidur karena mungkin kecapekan bekerja di siang hari lalu malamnya letih karena menangis.

Sambil menunggu pagi hari tiba setelah menunaikan ibadah malamnya ia membaca kitap suci untuk membacakan doa yasin untuk Ayahandanya.

Saat ini ia sedang berada di luar pulau, jadi tidak memungkin untuknya untuk bisa langsung kembali pulang ke rumahnya untuk berkumpul bersama keluarga.

Tari sudah hampir lima tahun merantau di pulau ini, ia sudah pernah pulang ke kampung halamannya namun itu sudah setahun yang lalu. Sebab di pulau ini ia ikut Pamannya yang memang dulunya pernah merantau kesini dan sekarang bahkan sudah berkeluarga dengan warga asli suku pulau ini.

Tari berniat akan berangkat pagi pagi sekali ke bandara untuk mencari tiket, semoga saja ia mendapatkan penerbangan cepat pagi ini.

Tadi malam sang kekasih mengabari jika dirinya akan berangkat setelah subuh dari kontrakannya sana yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya saat ini.

Ya Tari dan kekasihnya tinggal berbeda kota, dan jarang sekali bertemu hanya lewat sambungan udara lah mereka berkomunikasi selama ini.

Namun jika sang kekasih tidak sengaja mengantar barang kiriman ke kota ini, mereka akan bertemu walau hanya sebentar saja untuk melepas rindu.

Setelah ibadah subuh, Tari pun hendak pergi ke tempatnya bekerja untuk sekedar berpamitan kepada Bossnya, sebab memang keadaannya yang serba mendadak.

Hanya berjalan kaki lima menit saja, Tari sudah sampai ke tempatnya bekerja sekaligus rumah sang Boss, memang Tari sengaja mencari kontrakan di dekat tempat kerjaanya agar tidak memerlukan kendaraan lagi.

Untungnya hari masih terlalu pagi dan juga di luar masih gelap, sehingga para warga sekitar tidak akan melihat wajah cantiknya yang saat ini sudah pasti sembab karena menangis semalaman suntuk.

Sebelum masuk ia menatap sendu ke arah rolling door toko yang tertutup rapat, tempat kerjanya yang berada tepat di samping rumah Bossnya. Kerja yang sudah hampir tiga tahun ia nikmati setelah pindah dari tempat kerjanya yang lama.

Rasanya sedih harus berhenti bekerja karena hal mendesak seperti ini..

Karena tidak ingin terlalu lama mengulur waktu, Tari segera melangkah hingga teras depan lalu mengucapkan salam dari luar.

" Assalamualaikum.. Yuk Rahma." Ucapnya pelan dengan suara sengaunya.

Tak lama muncullah seorang wanita yang sudah tidak muda lagi, bahkan sudah di karuniai empat orang anak laki laki dan satu anak perempuan. Dia lah Rahma wanita yang tidak lain adalah Boss nya Tari.

" Eh, Waalaikumsalam, Tar. Tumben subuh subuh sudah kesini, ada apa?" Tanyanya yang pasti bingung melihat karyawannya datang sepagi ini.

" Eh, tunggu! Itu kenapa wajah kamu?! Kamu habis menangis ya, berantem lagi?" Selidiknya curiga dengan menyipitkan kedua matanya indahnya.

Rahma tentu saja mengira Tari sedang berantem dengan kekasihnya. Sebab bukan sekali dua kali saja Tari dan Dion bertengkar. Dan kepada sang Bossnya lah terkadang Tari jadikan tempat curhat.

" Eh, ,maafkan Tari Yuk, Tari baik baik saha kok dengan Bang Dion, sebenarnya kedatangan Tari kesini untuk berpamitan. Tari mau pulang ke jawa, Ayah Tari.." Ada jeda sesaat untuk menghirup udara dari hidungnya yang tersumbat. "Ayah Tari meninggal tadi malam Yuk..hiks, hiks,," Dengan sekuat tenaga Tari menahan air matanya agar tidak kembali tumpah, bahkan suaranya sudah terdengar sesenggukan, tapi Tari mencoba untuk menjelaskan maksud kedatangannya.

" Innalillahi wainna ilaihi roji'un.. Ayo masuk, duduk dulu, Ayuk ambilkan minum." Bergegas wanita yang di panggil Yuk Rahma oleh Tari itu berlari ke dapur.

" Ini minum dulu." Ujarnya seraya menyodorkan segelas air putih.

Lalu setelah tenang, Rahma pun kembali bertanya pada Tari karyawannya, yang sepertinya sebentar lagi akan menjadi mantan karyawannya.

" Ayahmu sakit apa? Terus ini kapan berangkat? Nanti naik apa ke bandaranya?" Sang Boss bertanya begitu lembut, bahkan menatap Tari penuh Iba.

Rahma tidak tahu pasti bagaimana perasaannya Tari setelah mendengar kabar duka ini, sebab Ayah kandungnya sendiri masih hidup bahkan sehat walafiat, jadi Rahma tentu belum bisa merasakannya.

Yang Rahma tahu, saat ini Tari pasti sangat terluka dan juga hancur. Dan ia juga tahu pasti usia Ayahnya Tari lebih muda dari Ayahnya sebab Tari anak sulung, sementara dirinya anak ke tiga dari enam bersaudara. Sambil menunggu Tari tenang ia beranjak ke kamarnya entah sedang apa.

" Tari tahunya Ayah nggak sakit apa apa Yuk, Tari juga nggak di kasih tahu pasti. Sebentar lagi Bang Dion akan menjemput Tari dan mengantarkannya ke Bandara." Jawab Tari setelah Bossnya sudah kembali duduk di sampingnya.

" Begitu, gimana kalau di antar Ayuk dan Bang Tomi saja biar lebih cepat sampai?" Tawar sang Bossnya yang sepertinya berat kehilangan satu karyawannya ini.

Memang Rahma akui Tari adalah gadis yang sangat jujur selama bekerja dengannya kurang lebih hampir tiga tahun ini, kerjanya juga cekatan tentu saja ia sudah sesayang itu padanya, tapi mau bagaimana lagi bagi Tari keluarga tetap nomor satu, begitupun dengannya.

" Maaf Yuk bukannya tidak mau, tapi Tari sudah terlanjur janjian dengan Bang Dion, dan sekali lagi Tari mau minta maaf jika selama ini Tari ada salah sama Ayuk dan juga Abang Tomi selama bekerja disini." Jawab Tari merasa tidak enak hati.

" Baiklah titip salam buat keluargamu di rumah. Apa kamu sudah mengabari Pamanmu yang di sini?" Rahma semakin iba saat melihat Tari menggelengkan kepalanya.

Dan tentunya Rahma juga mengenal kekasih Tari yang selama ini sering gadis itu ceritakan padanya.

" Mungkin nanti Yuk, Tari belum sempat. Kalau begitu Tari pamit Yuk, salam buat Bang Tomi beserta keluarga Ayuk dan juga teman teman." Tari langsung berdiri bersiap melangkah pergi.

" Iya sama sama Ayuk juga minta maaf sekeluarga kalau ada salah sama kamu ya Tar. Nanti Ayuk sampaikan, ini gajimu bulan ini dan untuk pesangon, mungkin tidak banyak tapi semoga bermanfaat." Rahma menyalipkan satu amplop putih lagi bersama amplop gaji Tari.

" Waduh, maaf jadi ngerepotin Ayuk."

" Tidak repot kok. Turut berduka cita ya, kamu yang sabar, Ayuk tahu kamu gadis yang kuat. Hati hati di jalan moga sampai rumah dengan selamat, jangan berhenti berdoa." Keduanya melangkah beriringan sampai depan teras.

" Aamiin, terima kasih banyak Yuk, Tari pamit, Assalamualaikum." Tari bergegas berjalan cepat bahkan sebelum mendengar balasan salam dari mantan Bossnya. Rahma pun sadar pasti gadis itu sangat kalut saat ini.

Semoga kamu kuat Tari,, Ayuk hanya bisa mendoakan untukmu.. Semoga kamu selalu jadi wanita yang kuat dan sabar.

Sesampainya di depan kontrakan, sang kekasih rupanya sudah sampai dan menunggu di atas motor. Bahkan kekasih Adiknya juga ikut kesini. Lalu ketiganya bergerak cepat untuk segera sampai ke bandara.

Setengah jam kemudian ketiganya berlari lari masuk untuk mendapatkan tiket. Namun sayang seribu sayang, rupanya penerbangan tercepat ke kota besar Tari sudah berangkat pukul tiga pagi tadi. Dan kabarnya penerbangan berikutnya pukul setengah dua belas siang nanti.

Tari melangkah dengan lemas kearah ruang tunggu beserta Dion dan juga Anto. Ketiganya

" Huff,, Sabar lima jam lagi. " Seru Anton kekasih dari adikku Aya yang semakin lemas, padahal seharusnya akulah disini yang harusnya lemas.

" Eh ngomong ngomong Ayah sakit apa sih Mbak Tari?" Tanya Anto yang penasaran. Begitupun dengan Dion saat tidak sengaja tatapan mereka bertemu.

Huff...

.tbc

Assalamualaikum.. terima kasih sudah mampir di karyaku yang ke enam ini.

Minta dukungan dari semuanya ya, terima kasih.. 🙏🙏

LDR

Tari pun mulai menceritakan kejadian tadi malam saat ia baru saja terlelap beberapa menit, tak lama di kejutkan oleh suara gawainya yang berbunyi nyaring.

Tari mengernyit saat sebuah panggilan masuk dari Adik sepupunya yang bernama Mira, tidak biasanya Adiknya itu tiba tiba menelfon, apalagi malam malam begini.

Sekilas Tari juga melihat saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, ia masih berpikir sembari mengumpulkan nyawanya antara malas juga penasaran ada apa kira kira, begitulah pikirnya.

Dan pada akhirnya dengan sedikit mengantuk dan masih dalam posisi berbaring, Tari segera menempelkan benda pipih itu di atas telinganya, tak lama panggilan pun tersambung.

" Ya, kenapa Mir..?" Tanya Tari dengan suara sedikit lemas karena baru bangun tidur, bahkan kedua netranya kembali memejam karena masih mengantuk, hanya indra pendengarannya saja yang tajam untuk bisa terus mendengar.

" Assalamualaikum Mbak Tari, pulang Mbak... Ayah Mbak Tari udah nggak ada Mbak, cepat pulang Mbak.." Terdengar suara panik Mira di tengah tangisannya yang langsung membuat mata Tari terbuka sempurna.

Bahkan gadis itu spontan duduk saking terkejutnya dengan kabar yang di sampaikan oleh Adiknya Mira.

" Tu-tunggu! Kamu bilang apa tadi?" Tari bertanya lagi guna memastikan, siapa tahu ia mungkin salah dengar karena baru saja bangun. Namun sayup sayup ia juga mendengar ada suara tangisan lain di tempat Mira saat ini, dan sepertinya banyak orang yang menangis.

"Jangan bercanda kamu Dek!" Cecar Tari yang seolah mengira Mira sedang iseng saja dengannya seperti biasanya.

" Sumpah Mbak Tari, Ayah Mbak Tari udah nggak ada, cepat pulang ya, semua keluarga nunggu Mbak pulang, hiks,, hiks,," Sahut Mira sesenggukan, tak lama panggilan itupun terputus.

Entah siapa yang memutuskan, Tari hanya bisa mematung sembari melihat nanar ponselnya yang sudah kembali senyap.

Tari sungguh shock berat, dalam diamnya tak terasa air mata tiba tiba mengalir semakin lama semakin deras, bahkan gadis itu sudah sesenggukan tanpa bisa terkontrol lagi.

Di saat itulah teman satu kontrakannya datang saat tidak sengaja lewat di depan kamarnya, dan begitu tahu penyebabnya Tari menangis perihal hal itu, ia hanya bisa mencoba menenangkan Tari dan memberi suport.

" Sudah hubungi Pacarmu belum?" Ujar teman Tari seolah mengingatkan gadis itu jika ia tidak sendirian di pulau kecil ini.

Dan setelah disadarkan, Tari segera meraih gawainya dan langsung mengubungi kekasihnya yang mungkin saat ini sedang asik bermimpi.

Begitulah sepenggal cerita tadi malam yang ia ceritakan kepada Dion dan juga Anton. Saat ini sudah pukul sepuluh lewat, dan Tari juga sudah membeli tiket menuju Kota besarnya.

" Makan dulu, biar perutmu nggak kosong. Aku tahu pasti sejak tadi pagi perutmu belum terisi apapun, jangan sampai merepotkan orang lain jika tiba tiba kamu pingsan di pesawat atau bahkan di jalan." Titah Dion setengah memaksa.

Pria itu tahu jelas, jika kekasihnya sedang dalam kondisi kalut seperti ini, pasti tidak akan memikirkan kondisi kesehatannya sendiri.

Setelah terus di paksa akhirnya Tari pun memakan sebungkus Roti walaupun dengan sangat terpaksa, bahkan air mata menetes dalam diamnya.

Kedua pria itu menatap iba ke arah Tari, mereka sangat prihatin dengan apa yang menimpa gadis malang itu. Jika saja rumah gadis itu dekat sudah pasti tidak perlu menunggu, sejak semalam pasti mereka sudah langsung berangkat.

Ketiga orang itu memang saat ini sedang merantau ke kota itu, Dion kekasih Tari adalah orang asli BL, sedangkan Anton dan Tari memang berasal dari kota yang sama, bahkan satu kabupaten, namun berbeda desa saja.

Dan kebetulan Anton ini adalah kekasihnya Aya, Adik kandungnya Tari yang saat ini tengah berada di kampung tidak ikut kembali merantau. Dan kedua pria itu bekerja di satu tempat yang sama.

" Oh ya Mbak Tari, nanti biar aku saja yang mampir ke rumahnya Paman untuk menyampaikan kabar duka ini, pasti belum di kabari kan?" Seru Anton mengintrupsi keadaan yang sejak tadi hening di antara mereka bertiga.

" Oh, ya makasih Ton, maaf jadi ngerepotin kamu. " Sahut Tari sekenanya saja.

Anton hanya mengangguk, ia paham sekali gadis yang usianya di bawahnya ini pasti masih sangat kalut. Karena tidak tahu mau ngapain, akhirnya Anton pun pamit ke toilet sebentar.

" Kamu yang sabar sayang, ini buat tambahan siapa tahu di butuhkan saat di jalan nanti. Maaf cuma segini, kamu pasti tahu aku belum gajian. " Dion menyodorkan beberapa lembar uang merah ke dalam tangan Tari. Sungguh Dion sendiri bingung saat ini, sebab semua serba mendadak.

" Makasih, maaf aku terus ngerepotin kamu selama disini. Seandainya aku tidak balik lagi kesini pasti..."

Dion langsung menggenggam sebelah tangan Tari, ia kecup berulang ulang sebagai pertanda mereka sebentar lagi akan berpisah dan mungkin sangat lama.

"Sstt,, sudah. Tidak ada yang perlu di sesali, semuanya sudah takdir dari yang di Atas, kita hanya menjalaninya saja. terus doain Ayah ya. Aku tahu kamu gadis yang kuat sayang.." Satu kecupan kali ini mendarat di kening gadisnya cukup lama.

Dion bahkan tidak menghiraukan tatapan tatapan aneh dari orang orang yang lalu lalang, yang pasti bisa melihat adegan romantis mereka.

" Kamu akan datang kan? " Suara Tari sudah kembali bergetar, Dion yakin gadis itu menahan sekuat tenaga tangisannya agar tidak pecah kembali.

" Iya, tunggu aku datang kesana." Balas Dion yang entah mengapa sedikit tidak yakin. Sebab mereka akan kembali menjalin hubungan LDR an lagi.

Tidak terasa pesawat yang akan di tumpangi Tari akan segera berangkat, " Aku pergi, jaga diri baik baik." Pamit Tari tanpa berat hati meninggalkan kekasihnya.

" Ya hati hati sayang. " Pesan Dion sedikit mencelos dengan sikap sang kekasih yang ia anggap biasa saja, cenderung tidak memikirkan hubungan mereka yang sudah terjalin hampir empat tahunan ini.

Dion masih berpikir positif bagaimana mau memikirkan hubungan mereka, sedang kekasihnya saat ini sedang berduka yang mendalam.

" Hati hati Mbak Tari, semoga selamat sampai rumah, salam buat Aya dan semua keluarga." Teriak Anton yang tak mau ketinggalan.

Anton segera merangkul Dion, pria itu tahu apa yang tengah di rasakan temannya saat ini. Keduanya masih menunggu hingga Tari hilang dari pandangan mereka.

" Ayo Bro pulang, tenang saja Tari pasti akan setia, justru aku yang tidak yakin denganmu disini. " Kekeh Anton yang seperti mengerti bagaimana tingkah Dion selama ini jauh dari kekasihnya.

Anton tentu sangat faham sikap dan sifat Dion selama ini, sebab mereka tinggal bersama satu kontrakan beserta dengan satu orang lagi yang tidak lain adalah Adik sepupu Dion.

Tanpa berniat ingin menjawab, Dion segera memutar tubuhnya keluar bandara bergegas pergi pulang kembali ke kontrakan kekasihnya untuk mengambil barang barang yang memang cukup banyak di tinggalkan oleh Tari.

Entah bagaimana hubungan kita setelah ini Tari.. karena aku sendiri tidak yakin..

.tbc

Suasana Berduka.

Pesawat sudah terbang di antara awan awan putih sejak setengah jam yang lalu, seharusnya Tari menikmati perjalanannya.

Tetapi gadis itu bahkan tidak bisa menghentikan air matanya yang terus saja mengalir, sembari membacakan surah yasin yang entah ke berapa kalinya di bacanya berulang ulang. Beruntung tempat duduknya di samping jendela, sehingga tidak ada yang melihat wajah sembabnya.

Tari juga seolah tenggelam dalam pusara dukanya sendiri, bahkan terkesan cuek tidak menghiraukan keberadaan orang yang duduk di sampingnya dan orang orang di sekitarnya yang mungkin menetapnya curiga.

" Maaf Mbak, apa Mbak sedang ada masalah?" Tanya seorang pria yang duduk di sampingnya dengan nada pelan terlihat sekali jika ia tidak tahan untuk tidak bertanya dan juga takut menyinggung gadis di sampingnya.

Bukannya reda dan segera menjawab, tangis Tari justru terdengar semakin menjadi membuat si pria muda itu kelimpungan sendiri sembari menatap kanan kirinya.

Dan benar saja, orang orang yang duduk di dekat mereka menatap curiga ke arahnya." Mas itu pacarnya di apain kok bisa menangis kenceng gitu?!" Tanya si Ibu Ibu berbadan bongsor menatap semakin curiga ke arahnya.

" Iya lho saya saja sampai hampir ikut menangis karena tangisannya terdengar nyesek sekali di dada, tanggung jawab kamu Mas!" Timpal si Ibu berjilbab merah yang tampak geram sekali.

" Lho, maaf Ibu Ibu bukan karena saya kok Mbak nya menangis, kenapa jadi saya yang harus tanggung jawab, kenal saja tidak!" Si pria menjawab dengan bingung juga sedikit panik, karena takut jika ia di salahkan di sini. Lalu ia pun menoleh ke samping tepatnya ke arah Tari." Mbak tolong jelasin dong, kalau kita tidak saling mengenal." Ujarnya sedikit keras meminta bantuan.

Tapi sayangnya Tari hanya menatapnya sekilas lalu kembali menunduk karena saking tidak bisa menahan rasa sesaknya dan juga gadis itu sebenarnya tengah menahan rasa malu.

Di lain sisi Tari ingin sekali tertawa karena membuat semua orang salah paham dan menuduh pria yang tidak salah apapun kena imbas amukan dari mereka. Namun di sisi lainnya ia saat ini sedang berduka, lukanya menganga lebar bagaimana caranya tertawa.

" Tuh, Mbaknya saja nggak mau jawab kan! Berarti kamu memang penyebabnya!" Cecar si Ibu bongsor lagi, membuat suasana semakin panas saja. Karena sebagian orang orang menatap heran juga curiga ke arah pria muda itu.

Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya Tari hanya bisa melambaikan tangannya ke atas, berharap semua orang tidak terus menyudutkan si pria di sampingnya.

Namun dugaan Tari salah besar, kini yang mendatanginya justru seorang pramugari yang tentu saja sangat cantik jelita, Tari mah tidak ada apa apanya di bandingkan dengan wanita yang sedang berjalan anggun ke arah bangkunya.

" Maaf Mbak ada yang bisa saya bantu?" Suaranya begitu lembut membuat si pria yang tadinya pucat pasi karena tersudutkan kini berubah tegang karena menahan napas saking grogi dengan jantung yabg tertalu talu.

Dasar jantung si4lan! Untung buatan Tuhan, kalau buatan manusia mungkin sudah lepas saking tidak kuatnya menahan debaran yang begitu kencang.

Bisik si pria dalam hati, ternyata semua pria sama saja buaya! Ada wanita cantik sudah pasti tidak berkedip saking terpesonanya.

" Tidak Kak, maaf kalau sudah membuat kericuhan. Saya sedang dalam suasana berduka, dan saya juga tidak mengenal Mas nya ini." Jawab Tari setelah memastikan tangisannya sedikit reda, sembari menunjuk teman bangkunya dengan ekor matanya.

" Baiklah, semoga Mbak nya kuat. Permisi.."

Begitu sang pramugari pergi, pria itu pun langsung meraup udara sebanyak banyaknya.

Dasar! Buaya buntung!

Sesaat Tari langsung terdiam, pikirannya mencelos. Bagaimana dengan kekasihnya sendiri yang kini bahkan hubungan mereka sudah LDR an.

Kalau masih satu pulau Dion tidak mempermasalahkan, ia bisa datang kapan saja untuk bisa bertemu. Tapi ini sudah berbeda pulau, entahlah Tari belum bisa berpikir jauh tentang hubungannya dengan kekasihnya setelah ini. Sebab semua pikirannya cuma satu semua tentang Ayahnya.

" Hufh, terima kasih Mbak." Ujar si pria merasa lega. Dan mulai detik itu si pria langsung mengunci mulutnya, karena takut kejadian yang sama terulang lagi, bahkan badannya ia condongkan ke samping menghadap ke bangku seberangnya.

Satu jam kemudian Tari sudah sampai di bandara Ibu kota negara di karenakan ia harus transit terlebih dulu. Tidak lupa ia mengirimkan pesan kepada Adiknya agar jenazah Ayahnya jangan dulu di kebumikan.

Bagaimana pun Tari hanya ingin melihat wajah sang Ayah untuk yang terakhir kalinya, atau barang kali foto terakhir, itu sudah lebih dari cukup sebagai obat rindunya selama ini tidak bisa pulang.

Setelah menunggu hampir setengah jam an, barulah ia kembali naik pesawat lagi yang akan mengantarkannya menuju Ibu kota provinsi.

Setelah pesawat mendarat dengan sempurna, Tari langsung naik ke Bus Damri, satu satunya Bus yang akan mengantarkan penumpangnya ke terminal.

Perjalanan tentu masih sangat jauh, Tari bahkan harus naik bus antar kota lagi agar bisa sampai di kota kelahirannya.

Tari perkirakan sekitar pukul empat atau lima sorean ia sudah sampai di kampung halamannya. Namun dugaannya justru meleset, Bus yang ia tumpangi justru sampai ke kotanya pukul setengah sembilan malam, karena tadi sempat muter muter di kota besar dulu sebelum pada akhirnya keluar kota.

Tari hanya bisa menjerit dalam hati, berharap bisa melihat jenazah sang Ayah. Walau dalam hatinya mengatakan jika sudah pasti sudah di kebumikan sebab hati memang sudah malam, namun siapa yang tahu nanti, Tari masih mengandalkan doa doanya.

Sudah batinnya sakit karena kepergian sang Ayah di tambah raganya letih berdiri sepanjang perjalanan karena tidak kebagian tempat duduk.

Ya sedari awal naik bus kota ia sudah berdiri, entah dalam rangka apa penumpangnya bisa penuh begini, padahal lebaran masih dua bulan lagi.

Untungnya saat bus baru memasuki kotanya tadi ia sempat mengirim pesan kepada Adiknya untuk menjemputnya di dekat pasar ternak, pemberhentian terakhir sebelum bus melaju pergi ke kota lainnya.

Dua puluh menit menunggu akhirnya Pamannya datang, Kakak kandung Ibunya dengan salah seorang tetangga yang masih kerabat mereka.

" Assalamualaikum Pak Poh." Seru Tari sembari menyalami kedua pria dewasa tersebut.

" Wa'alaikumussalam, ayo segera naik." Titah sang Paman yang terkesan tegas juga galak.

Setengah jam kemudian sampailah Tari di depan rumahnya. Para tetangga yang kebetulan sedang berada di depan rumah mereka masing masing pun tak ayal langsung menyoroti gadis itu yang nampak sudah melemas saat baru saja menginjakkan kakinya.

Bisik bisik tetangga pun mulai terdengar, walau Tari tidak menggubris mereka sama sekali, yang terpenting sekarang keadaan keluarganya di dalam rumah. Dan Tari menjuluki para tetangganya itu sebagai para wartawan.

Tari segera berlari masuk, bahkan melupakan tas juga kopernya yang masih teronggok di atas motor. Sekilas ia melihat Nenek kesayangannya duduk terdiam di dapur bersama para Ibu Ibu tetangga.

" Assalamualaikum.."

Dan begitu masuk, Tari langsung di sambut oleh wajah sembah dan pucat sang Ibu, juga Adik Adiknya. " Ibuu.."

Pecah sudah tangisan Tari, bahkan suaranya cukup keras, ia sudah tidak menghiraukan tatapan tatapan tetangganya, ia terus meraung dalam pelukan hangat sang Ibu.

Sang Ibu mengelus elus punggung putrinya sambil sesekali mengusap kasar air mata yang kembali jatuh.

" Sudah sudah, minum dulu." Ujar Ibu Tari seraya mengambil segelas air yang baru di sodorkan oleh salah satu Ibu tetangga mereka.

Keadaan duka masih menyelimuti keluarga Tari, para tetangga juga masih banyak yang berkumpul di belakang. Sementara di depan sana sedang di adakan acara tahlilan oleh para santri.

.tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!