NovelToon NovelToon

Jess & Eza (2004)

Perpindahan Yang Tak Diinginkan

Jessica Angelina Salim masih terpaku di dalam sebuah mobil travel, yang kini bertolak meninggalkan kota tempat dimana ia dibesarkan. Akhirnya hari ini datang juga, meski ia berharap tidak akan pernah terjadi.

Ia yang sudah menginjak semester dua di kelas 3 SMP tersebut, terpaksa harus mengikuti kepindahan orang tuanya. Ke tempat yang ia sendiri tak tau dimana.

Ia lahir dan besar di kota, jika jalan-jalan pun mereka akan pergi ke kota lain atau luar negri. Sama sekali ia belum pernah menginjak daerah pelosok.

Semua bermula karena ibunya di terima saat menjalani test CPNS. Dan sebagai guru sang ibu harus rela ditempatkan jauh.

Tak mungkin ia pulang pergi, mengingat jarak kecamatan tempat sang ibu ditugaskan adalah sekitar 9 jam dari pusat kota.

Jessica dan adik kembarnya Shena dan juga Shane tak ada yang mengurus, jika sang ibu memilih mengajar dan pulang sebulan sekali.

Bisa saja mereka menyewa pembantu, tetapi alasan lain ibu Jessica bersikeras mereka pindah adalah, ia ingin agar sang suami Jonathan Salim tak lagi terlibat jaringan narkoba.

Belasan tahun menikah, ayah Jessica menggeluti bisnis terlarang tersebut. Mereka hidup berkecukupan, boleh dibilang kaya raya. Tetapi, Franda ibu Jessica ingin menyudahi semua itu. Ia ingin hidup tenang tanpa was-was. Ia tak mau lagi hidup dengan uang yang tidak halal sumbernya.

"Kita harus pindah, Jessica sebentar lagi akan masuk SMA. Apa kamu nggak kasihan sama dia. Kalau seandainya ada laki-laki yang suka sama dia, lalu orang tuanya tau kamu bisnis apa. Bisa jadi mereka akan menjauhkan anak mereka. Apa kamu tega menyakiti Jessica?"

Jonathan diam, ia tidak membantah sedikitpun. Sebab ia sangat mencintai keluarganya, meski bisnis yang ia geluti selama ini salah.

"Kalau masih disini, kamu akan terus terlibat dengan semua itu. Sebab circle kamu semuanya ada disini." ucap Franda.

"Kalau aku mau, dari mana pun aku bisa mengendalikan bisnis ini." tukas Jonathan.

"Kalau begitu aku mohon kali ini. Kita pindah dan jangan lagi menyentuh barang itu. Kita jual rumah, kita beli tanah yang murah dan bangun rumah disana. Sisanya bisa kita pakai untuk memulai usaha."

"Tapi aku nggak punya keahlian untuk usaha lain, Fran. Kamu tau itu."

"Kita bisa mulai semuanya dari awal. Pelan-pelan sambil belajar, kita pasti bisa."

Franda menatap sang suami dalam-dalam.

"Aku ingin hidup kita tenang, Jo. Kita akan menua nantinya. Mau sampai kapan seperti ini?"

"Apa kamu siap merintis dan hidup pas-pasan?" tanya Jonathan.

"Aku sangat siap." jawab Franda tegas.

Percakapan itu pun berlanjut. Sementara dari ruangan lain Jessica berbalik arah dengan wajah murung dan juga dingin.

"Ci, apa kita akan pindah?" tanya Shane diikuti tatapan kembarannya yang perempuan, yakni Shena.

Tetapi Jessica tak menjawab.

"Shane harus ninggalin teman-teman Shane disini dong ci?" tanya Shane lagi.

Jessica tetap tidak menjawab dan memilih untuk berlalu. Gadis berusia hampir 14 tahun itu kemudian masuk ke dalam kamar.

Kini didalam perjalanan ia mengingat semua itu.

"Maafkan mama, Jess." ucap Franda pada Jessica, sementara gadis itu membuang tatapan ke kaca mobil travel.

Mereka memiliki mobil pribadi. Tetapi itu nantinya akan dipakai oleh Jonathan setelah semua pembayaran rumah usai dan rencananya beberapa barang akan tetap dibawa ke tempat yang baru. Maka dari itu Franda dan ketiga anaknya memilih untuk naik travel.

***

Sehari kemudian, ditempat yang baru.

Jessica sudah akan memulai hari pertama masuk sekolah. Dimana Shane dan Shena sudah diantar duluan ke sekolah baru mereka, yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja.

Mereka tinggal di rumah kakak dari Franda untuk sementara waktu. Tanah telah didapat sebelum kepindahan. Kakak dari Franda yang mengurus dan saat ini mereka telah mulai membangun rumah sederhana. Meninggalkan kehidupan mereka yang mewah selama ini.

"Mutia."

Istri dari kakak Franda memanggil seseorang. Saat Jessica tengah bersiap memakai sepatu di teras. Tampak seorang anak perempuan berseragam SMP datang menghampiri.

"Iya tante." ucap gadis bernama Mutia tersebut. Jessica kini melihat ke arahnya.

"Ini keponakan tante, namanya Jessica. Hari ini dia akan mulai masuk di sekolah kamu." ucap tante dari Jessica.

Maka Jessica dan Mutia pun saling berkenalan, meski masih agak canggung. Mutia sepertinya pendiam dan begitupula dengan Jessica.

"Mutia berangkat saja duluan, nanti Jessica diantar sama om nya. Nanti om nya akan minta supaya kalian sekelas." ucap tante dari Jessica.

"Baik tante."

Mutia melihat sekilas ke arah Jessica seraya tersenyum tipis, kemudian gadis itu pun berlalu.

Selang beberapa saat kemudian, Jessica berangkat ke sekolah baru dengan diantar oleh suami tantenya. Disana suami sang tante meminta kepada kepala sekolah, supaya Jessica ditempatkan di kelas Mutia.

Supaya Jessica memiliki teman, sebab kebetulan rumah tante Jessica dan rumah Mutia hanya berjarak beberapa meter saja.

Kepala sekolah menyetujui, lalu Jessica diantar oleh seorang anak laki-laki yang menurut Jessica cukup aneh.

Dari cara berbicaranya anak itu seperti anak berkebutuhan khusus. Hanya saja di daerah tersebut tidak terdapat sekolah luar biasa, sehingga anak itu disekolahkan di sekolah umum.

Meski agak ngelantur, tetapi anak itu sangat sopan dan diketahui namanya adalah Fandi. Fandi kemudian mengantar Jessica sampai ke kelas 1.3. Dimana Mutia sudah menunggu dan menyiapkan tempat duduk disamping dirinya.

Jessica memperkenalkan diri dan ada satu anak perempuan terlihat sangat tidak senang padanya. Jessica pun sama angkuh dan memilih untuk tidak takut, sebab ia merasa dirinya berasal dari kota dan tidak harus tunduk pada mereka yang hidup di desa.

Jessica pantang diintimidasi maupun di bully. Jika itu sampai terjadi ia akan siap untuk melawan.

Jessica duduk di ruang kelas yang bahkan cukup panas. Dulu di sekolahnya yang lama, didalam terdapat air conditioner dan juga kipas angin. Tapi disini tidak demikian.

Ketika jam istirahat ia diajak Mutia ke kantin dan kantin yang Jessica lihat sangat jauh dari ekspektasi.

Hanya warung tenda yang menjual makanan seperti gorengan dan juga bakso serta nasi. Awalnya Jessica merasa tak bisa makan disana, namun karena lapar akhirnya mau tidak mau ia pun menyerah.

Banyak yang memperhatikan Jessica, sebab ia adalah anak baru. Hal itu tak luput pula dari pandangan mata Donny dan teman-temannya. Donny sendiri merupakan adik Mutia.

"Kakak Lo sama siapa tuh?" tanya salah satu temannya yang bernama Hendri dan sontak teman-teman Donny yang lain mengikuti arah pandangan mata remaja tersebut.

"Kayaknya anak baru deh, soalnya gue baru lihat." jawab Donny.

Tak lama Jessica dan Mutia masuk, seorang anak laki-laki tiba dan menghampiri Donny.

"Lama amat lu, Za. Udah mau masuk juga." ucap Donny.

"Tadi gue nemuin Hana dulu." jawab remaja bernama Eza itu.

"Lo jadian beneran?" tanya Gustav.

"Ya kan kalian yang nantangin gue bisa apa nggak nembak tuh cewek."

Eza berseloroh kemudian mengambil gorengan yang ada di depan matanya.

"Eh di kelas 3 ada anak baru tau." ucap Boby.

"Oh ya, cantik nggak?" tanya Eza.

"Cantik, lucu mukanya." jawab Hendri.

Tak lama kemudian bel tanda masuk berbunyi. Mereka semua akhirnya kembali ke kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran seperti sebelumnya.

***

Adaptasi

Hari berikutnya Jessica sudah mulai bisa menerima keadaan. Meski ia masih sangat ingin kembali ke kota. Mengingat di desa ini ketika habis Maghrib pun, orang-orang sudah sepi dan masuk ke dalam rumah.

Sangat berbeda jauh dengan di kota yang bahkan on terus hingga 24 jam. Mau mencari makanan di tengah malam pun ada.

Apalagi disini tak ada sinyal handphone. Kalaupun ada, harus menggunakan antena panjang yang di ikatkan ke perangkat.

Tontonan televisi harus menggunakan receiver, jika tidak hanya akan ada dua channel yang bisa di tonton. Semuanya serba membosankan.

"Hai Jess."

Salah satu teman sekelas Jessica yang bernama Reina mulai menyapa. Jessica tersenyum lalu mereka sama-sama masuk ke dalam kelas.

Tetapi Jessica kaget beberapa saat kemudian, banyak anak laki-laki dari kelas lain sengaja mampir ke kelas tersebut.

Ada yang mengobrol dengan temannya, ada juga yang malah bermain sepak takraw di dalam kelas. Dan bola rotan takraw tersebut tanpa sengaja mengenai kepala Putri. Gadis yang sejak awal sangat sinis pada Jessica.

"Brengsek." teriak Putri dengan nada penuh kemarahan. Sehingga membuat anak laki-laki yang tengah bermain sontak terdiam.

"Kan udah disediakan lapangan, ngapain pada main disini sih?. Bilang aja kalian mau cari perhatian sama anak baru ini."

Putri langsung menjudge mereka semua. Mereka terlihat malu dan Jessica sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Para anak laki-laki itu juga memang salah, tetapi bukan berarti Jessica menyukai Putri.

Tak lama guru pun tiba dan mereka memulai pelajaran. Ketika jam menunjukkan pukul 11 siang, satu persatu anak laki-laki dikelasnya izin ke toilet.

Jessica awalnya terlihat biasa saja, namun akhirnya ia pun sadar jika mereka semua tak ada yang kembali ke kelas.

"Mereka pada kemana, Mut?" tanya Jessica pada Mutia.

"Biasa, minggat." jawab Mutia dengan nada santai, seolah itu semua memang normal terjadi.

"Minggat maksudnya?" tanya Jessica tak mengerti.

"Ya cabut dari sekolah." jawab Mutia lagi. Kali ini dibarengi tatapan mata dan sebuah tawa kecil di bibirnya.

"Mereka kabur dari sekolah ini?" lagi-lagi Jessica keheranan.

"Iya, Jess. Emang di sekolah lo dulu nggak ada yang suka kabur gitu?" Mutia balik bertanya.

"Nggak ada." jawab Jessica polos.

Sebab gadis itu dulunya bersekolah di sekolah elit yang mana seluruh siswanya memiliki minat belajar dan persaingan yang tinggi. Ia tak tau jika ada hal-hal seperti ini disekolah.

"Pasti sekolah lo, sekolah anak orang kaya kan?. Nggak seru berarti." ucap Mutia.

"Emangnya kalau cabut sekolah itu, seru?" Jessica semakin penasaran.

"Seru, Jess. Nanti lo gue ajakin deh." ucap Mutia.

Jessica yang masih merasa aneh hanya mencoba tersenyum tipis, lalu kembali melanjutkan pelajaran.

***

Hari demi hari berlalu, di suatu pagi tiba-tiba Jessica mendengar suara seperti sebuah helikopter melintas dan terbang rendah diatas sekolah mereka.

Dan secara serta merta seluruh siswa berhamburan pergi keluar kelas, termasuk Mutia. Jessica benar-benar bingung dan hanya tersisa dirinya serta Putri saja di dalam kelas.

Jessica menoleh dan begitupula dengan Putri. Untuk beberapa saat mereka saling bertatap mata, sampai akhirnya Putri tersenyum bahkan tertawa kecil. Lalu Jessica pun membalas semua itu.

"Heran ya ngeliatnya?" tanya Putri kemudian.

"Kenapa sih mereka, nggak pernah ngeliat helikopter gitu?" tanya Jessica.

"Ya, gitu deh. Disini kan bukan perlintasan pesawat, jadi mereka semua nggak pernah lihat. Helikopter yang lewat tadi juga punya TNI biasanya. Makanya mereka norak." ucap Putri.

"Waktu pertama pindah juga gue sempat heran koq." lanjutnya lagi.

"Lo juga pindahan?" tanya Jessica.

"Iya, waktu kelas 4 SD." jawab Putri.

Lalu keduanya berbincang sampai siswa-siswi lain kembali masuk ke kelas.

Sejak itu Jessica pun berteman dengan Putri, bahkan Putri memperkenalkan temannya yang berada di kelas lain.

Hari demi hari berlanjut, Jessica mulai belajar untuk kabur sesekali dari sekolah. Dan itu ia lakukan bersama Mutia, Putri dan beberapa siswa lainnya.

Pada akhirnya ia pun mulai beradaptasi dan menikmati tempat tersebut. Hingga tanpa terasa enam bulan sudah berlalu dan mereka harus menghadapi ujian kelulusan.

Jessica lulus dengan nilai yang bagus dan ia meraih juara ke 2. Sementara juara pertama ditempati Putri dan juara ketiga diraih oleh Riko, salah satu teman mereka yang laki-laki.

Mutia sendiri ada di peringkat 5 setelah Reina. Mereka semua akhirnya menyelesaikan sekolah menengah pertama mereka di tahun tersebut.

***

"Lo kenapa Jess?"

Putri bertanya pada Jessica ketika mereka bertemu di suatu sore.

"Nyokap bokap gue nggak ngasih gue SMA di kota, minimal ke kabupaten deh kayak beberapa teman yang lain." ucap Jessica dengan nada penuh kekecewaan.

"Gue juga sama sih, tapi ya udahlah. Toh disini udah dibangun SMA baru, kita sekolah disini aja. Kan enak, sekolah baru biasanya peraturannya nggak terlalu ketat." ujar Putri.

Maka Jessica menghela nafas, meski ia masih kecewa sebab tak bisa kembali ke kota. Paling tidak disini ada Putri dan juga Mutia yang menemani.

Teman-teman yang lain juga masih akan berada disini. Sebab hanya segelintir saja yang dikirim oleh orang tuanya untuk sekolah di kabupaten ataupun di kota.

***

"Lo pernah pacaran nggak sih Jess, di kota?"

Putri bertanya pada Jessica ketika mereka sama-sama mendaftar SMA. Itu terjadi setelah beberapa hari kelulusan.

"Nggak pernah." jawab Jessica.

"Lo sendiri?"

"Nggak pernah juga." jawab Putri.

"Mutia nih mantannya banyak."

Putri menggoda Mutia yang saya itu juga bersama dengan mereka. Jessica menatap temannya yang satu itu, kemudian melontarkan pertanyaan.

"Beneran, Mut?. Lo udah pacaran.

"Kan waktu kita jelas tiga, lo pernah gue kasih tau." jawab Mutia seraya senyum-senyum.

"Oh iya, gue lupa. Dia suka sama anak SMA." ucap Jessica.

"Ih, siapa?" tanya Putri antusias.

"Jangan, jangan!. Jangan kasih tau!" Mutia menghalangi, namun jessica akhirnya memberitahu.

"Cie, cie." Putri pun meledek Mutia dan wajah Mutia kian bertambah merah.

Sejatinya gedung SMA baru saja dibangun di kecamatan tersebut. Namun tahun ajaran telah dimulai sebelum mereka, dengan menumpang di SMP pada siang hari. Juga ada SMA swasta dan juga SMK disana.

Jessica dan teman-temannya akan menjadi angkatan kedua, bila gedung sekolah SMA tersebut rampung nanti.

"Eh, kita jalan aja yuk." ajak Putri.

"Kemana?" tanya Jessica dan Mutia secara bersamaan.

"Udah pokoknya lo berdua ikut aja. Gue jamin kalian pasti suka tempatnya.

Maka Jessica hanya menuruti saja, rupanya Putri mengajak mereka untuk mendatangi sebuah telaga kecil nan indah, di jalan dekat sebuah areal persawahan.

Jessica sampai takjub dan ia pun menikmati semua itu. Sementara dikediaman Mutia, Donny bertanya pada ibunya.

"Mbak Mutia mana mi?" tanya nya pada sang ibu.

"Lagi main sama Jessica." ucap sang ibu.

"Jessica, Jessica itu yang mana sih. Kayaknya gue doang nih yang belum pernah lihat." ucap Eza seraya menyedot es cekek yang ia beli di warung Donny.

"Emang lu nggak pernah merhatiin Kakak kelas kalau lagi upacara?" tanya Hendri.

"Kagak pernah, yi. Gue aja di belakang melulu." ucap Eza lagi.

"Elu mah, gajah lewat juga nggak bakal kelihatan." seloroh Randy.

Lalu mereka pun tertawa-tawa.

Jejak Pertemuan Awal

Jessica akhirnya memasuki masa orientasi di sekolah SMA. Ada banyak anak dari SMP lain yang juga masuk kesana. Bahkan ada beberapa yang berasal dari kabupaten.

"Ah mereka mah pasti anak buangan dari kabupaten." Putri mulai julid dan berkata pada Jessica serta Mutia.

"Yakin gue, pasti nggak dapat sekolah negri di sana. Terus masuk sekolah sini dulu biar nanti bisa pindah." timpal Jessica.

Ia sudah mulai julid ketularan Putri dan juga Sandi, teman mereka sejak SMP yang agak gemulai. Sedang Mutia tetap pendiam tetapi ikut-ikutan tersenyum.

"Sok ganteng banget, yang cewek sok cantik." ucap Putri.

"Padahal mah nggak pinter." Mutia kali ini nyeletuk dan mereka semua menahan tawa.

"Jangan ada yang ngobrol."

Kakak kelas yang mengorientasi menegur mereka.

"Iya kaaak." jawab Jessica dan Putri dengan berani.

"Kakak cantik deh." celetuk Riko.

Kakak kelas itu dari yang hendak marah langsung tersipu malu.

"Ada yang lo taksir nggak, Jess?" tanya Sandi.

"Nggak ada, sok ganteng semua. Males gue." jawab Jessica.

"Eh tapi tadi banyak yang ngeliatin kalian." ujar Mutia.

"Oh ya?"

Jessica dan Putri sama-sama tidak sadar jika mereka sebenarnya cantik. Plus mereka pintar dan sudah tersebar gosip tentang siapa mereka dikalangan angkatan baru.

Lalu orientasi pun dilanjutkan sampai di hari ke tujuh. Semua berjalan cukup menyenangkan bagi Jessica. Dan ketika sekolah benar-benar dimulai.

Jessica mulai menunjukkan eksistensi nya dalam berbuat kenakalan. Ia kerapkali masih sering cabut sekolah, dan kali ini kedapatan oleh orang tuanya.

"Jess, cabut boleh. Mama sama papa juga dulu gitu koq. Tapi kami nilai tetap bagus dan tetap jadi juara kelas." ucap sang ibu.

"Kamu pilih aja, kalau mau bandel harus pintar. Kalau males jadi pintar, setidaknya jadilah anak baik." Jonathan menimpali ucapan Franda sang istri.

"Jangan udahlah bandel, bodoh pula." tukas Franda.

"Iya, pa, ma." Jessica mendengarkan ucapan kedua orang tuanya tersebut.

"Satu lagi, kalau cabut itu harus ada timing. Nggak boleh berturut-turut. Setidaknya sebulan dua kali, di minggu berbeda." ujar Jonathan.

"Dan pulang ke rumah, jangan ngelayap." lanjutnya lagi.

"Iya Jess, nanti sekolah kamu malu ngeliat anak didiknya berkeliaran pake seragam." Lagi-lagi Franda menimpali.

Melihat kedua orang tuanya yang tak masalah, Jessica pun jadi seolah menemukan kenyamanan tersendiri.

Sebenarnya hal itu tidak baik, tetapi bagi Franda dan juga Jonathan, mereka tak mau terlalu memaksakan harus disiplin ketat pada Jessica. Sebab mereka tau dunia remaja dan sekolah itu penuh warna.

Lagipula dari pada sang anak kabur entah kemana dan melakukan hal yang tidak-tidak, lebih baik mereka mengizinkan. Asal Jessica bisa dipantau di rumah.

***

Suatu pagi, disaat jam pelajaran fisika.

"Jess, cabut yuk!"

Tiba-tiba saja Mutia menawarkan permintaan laknatnya kepada Jessica.

"Masih pagi, Mut. Ini aja masih ada pak Wiyono." ujar Jessica seraya menatap sekilas ke arah guru fisika yang masih mengajar di depan kelas.

"Lu mau kita dihukum kalau ketahuan?" tanya Jessica lagi.

"Bentar lagi kan istirahat dan jam nya dia habis. Gue males banget habis istirahat nanti jam nya si Adiwinata." ucap Mutia.

Adiwinata adalah guru matematika yang sangat tidak disukai oleh mereka berdua dan beberapa siswa lainnya.

Sebab mereka telah bertemu dengan guru tersebut sejak jaman SMP dan kini harus bertemu kembali. Lagipula Adiwinata dianggap memiliki cara mengajar yang buruk serta tidak asik. Ia juga dikenal suka marah-marah tidak jelas baik kepada siswa maupun siswi.

"Gue juga sebel sih sama dia." Jessica mulai mempertimbangkan ajakan Mutia.

Mereka lalu menoleh pada Putri.

"Gue nggak dulu." ucap Putri.

"Tiga hari yang lalu gue udah cabut sama Evelyn. Waktu kalian nggak mau ikut." lanjutnya lagi.

"Ayolah ikut!" Jessica mulai meracuni pikiran Putri.

"Nggak, ntar gue disuruh push up lagi seratus kali sama bapak gue. Kalau bulan depan oke deh." jawab Putri.

Memang agak menyeramkan, mengingat ayah Putri merupakan anggota TNI. Tetapi ia pun tak begitu ketat sama saja seperti ayah Jessica.

Akhirnya Jessica dan Mutia sepakat, mereka akan kabur sehabis jam istirahat. Sebab bilamana hal itu dilakukan tepat di jam istirahat, dikhawatirkan akan ada yang melihat dan mendadak menjadi cepu.

Bisa saja mereka diadukan pada guru dan orang tua mereka akan dipanggil ke sekolah. Tentu Jessica dan Mutia tak ingin hal tersebut terjadi.

"Buruan, Jess."

Mutia yang sejatinya pendiam tersebut memberi instruksi pada Jessica. Ketika seluruh siswa-siswi telah masuk ke kelas masing-masing. Kebetulan guru matematika belum datang dan mereka telah bersiap.

Area sekitar sekolah yang masih baru tersebut banyak ditumbuhi semak dan masih banyak pepohonan. Sebab tanah tersebut terhubung langsung ke sebuah hutan.

"Buruan, Jess!"

Mutia menginstruksikan sekali lagi dan akhirnya mereka pun kabur. Saat mereka berlari, ternyata dari kelas lain juga ada siswa siswi yang kabur. Tetapi mereka kemudian ketahuan oleh guru BK, yang saat itu masih BP sebutannya.

"Hey mau kemana kalian?" Seru sang guru dengan nada lantang.

"Jess, kabur Jess."

Mutia pikir mereka juga ketahuan, karena sudah kepalang basah akhirnya mereka berlari pontang panting.

Sang guru mengambil motor trill dan mencoba mengejar anak-anak tersebut. Secara serta merta Mutia menarik Jessica untuk tiarap di semak belukar. Jessica menjatuhkan diri dan sang guru BK berlalu dengan motornya, guna mengejar anak-anak lain.

Baru saja Jessica dan Mutia hendak bernafas lega, tiba-tiba...

"Buuuk."

"Buuuk."

Dua buah durian jatuh tepat di depan mata keduanya. Mereka pun kaget, ternyata mereka tiarap di bawah pohon durian yang tengah berbuah lebat.

Tak lama terdengar lagi suara motor sang guru BK. Keduanya lalu kabur dengan membawa durian tersebut. Mereka berlarian tak tentu arah hingga masuk ke dalam hutan. Tak ada raut penyesalan, keduanya malah tampak tertawa-tawa.

Di usia tersebut remaja memang sedang bandel-bandelnya demi menunjukkan eksistensi. Walaupun ada banyak juga yang memilih menjadi tokoh protagonis yang hidupnya lurus-lurus saja.

"Sumpah Mut, gue nggak pernah kayak gini dulu." ucap Jessica sambil tertawa.

"Tapi seru kan?" tanya Mutia.

"Seru dan tegang." jawab Jessica.

Detik berikutnya mereka pun tertawa bersama. Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama, pasalnya di beberapa saat kemudian terdengar suara motor trill milik sang guru BK.

"Itu pak Hendrawan." ucap Mutia panik.

"Motornya ke arah sini deh." balas Jessica.

Secara serta merta mereka pun berlarian. Mutia entah kemana dan kini Jessica sendirian tanpa tau arah.

Sementara di lain sudut ada beberapa anak SMP yang juga tengah berlarian. Salah satu dari mereka berteriak.

"Za, buruan!"

Remaja yang diteriaki itu mempercepat mengayuh sepeda. Agaknya mereka juga tengah cabut dari sekolah.

Jessica terus berlarian sambil menoleh ke belakang. Dan tiba-tiba saja,

"Braaaak."

Tubuhnya ditabrak oleh sepeda seorang remaja laki-laki berseragam SMP. Dan keduanya kini sama-sama terjatuh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!