Aluna Berlian, gadis dengan paras cantik di bingkai kegarangan perilaku, wanita namun menyerupai pria, dihujat sebagai salah satu tanda kiamat, terus melangkah ugal-ugalan sebagai jalan hidup pilihannya. Mengabaikan semua nasihat, mau ustadz, guru bahkan orangtuanya saja tak di dengar. Disekolahkan dan terus mengukir prestasi di ruang BK. Sesuka hati hutang di kantin sekolah, membebani orangtuanya saat pengambilan rapot dengan segala tagihan atas namanya. Harus kehilangan jati diri saat kenyataan pahit menimpa keluarga. Ayahnya jatuh sakit, mendengar Aluna akan dikeluarkan dari sekolah menjelang ujian nasional. Sakit bukan sekedar satu atau dua hari, ayahnya koma karena serangan jantung.
"Puas kau? Lihat, bahkan ayah menjadi korban kenakalan dirimu. Aku benci kau kak." Pekik Karin adik Aluna beda dua tahun.
Aluna melihat Karin pergi meninggalkannya seorang diri di ruang rawat ayahnya. "Maaf yah, aku keterlaluan."
"Maaf yah, aku tak tahu kalau sampai sefatal ini. Ku pikir kalian tak perduli denganku dan selalu memikirkan Karin yang penyakitan." Ungkap Aluna.
Aluna menggenggam jemari ayahnya yang terbujur tanpa kesadaran. "Aku akan jadi apa yang ayah inginkan."
Janji terpatri dalam diri, meski hanya satu bulan sebelum ujian sekolah dilaksanakan Aluna benar-benar menepatinya. Dia sekolah, pulang sekolah belajar giat mengejar ketertinggalan, semua dilakukan demi menstimulasi ayahnya untuk bangun. Aluna tak bisa melihat keterpurukan keluarga, dia memang tak berpikir dua kali dalam merusak diri, namun beda cerita jika menyangkut keluarga. Meski merasa dianak tirikan, bukan berarti dia benci kepada keluarganya. Justru dia menyimpang demi sebuah perhatian. Tapi bukan perhatian yang di dapat, kemalangan justru datang bertubi.
"Bagaimana hasilnya nak?" Mawar, ibunya dengan antusias bertanya akan hasil ujian masuk SMA yang diikuti Aluna.
Berat menyahut, tapi harus tetap diberitakan. "Tidak lolos."
"Terus bagaimana?" Bingung ibunya.
"Ya tak usah sekolah, Aluna mau kerja saja." Putus Aluna sepihak.
"Kau mau mencoreng nama baik keluarga lagi, kau masih anak baru lulus SMP, mau kerja apa? Lagipula kewajiban mu itu sekolah, bukan bekerja." Omel Mawar.
Lihat bukan, apapun yang ada di benak Aluna selalu salah jika diungkapkan dihadapan orangtuanya. "Terserah ibu saja, mau diapakan. Aluna ikut baiknya saja."
Dan Aluna menyesali perkataannya saat itu, memberi pilihan terserah pada ibunya adalah bencana. Bagaimana tidak, jika dia disekolahkan pada SMA swasta dan berbasis Islam, semua siswi diwajibkan mengenakan jilbab. Aluna menyesal membakar semua seragam kerennya untuk berubah jadi baik. Kenapa dia tak kepikiran harus pakai seragam SMP dulu di awal-awal masuk SMA. Pada akhirnya harus berpuas diri dengan baju pemberian anak tetangga yang kebetulan lulusan tahun kemarin.
"Bu, bajunya kedodoran, Aluna tak mau pakai." Melempar baju yang beberapa menit lalu dicobanya.
Mawar mendelik, sudah kepala hampir pecah karena harus mengurus Karin yang lemah dan suaminya yang koma. "Jangan berulah, kau harusnya banyak bersyukur. Ibu sekuat diri menyekolahkan mu seperti anak lainnya."
"Aku tak minta disekolahkan." Bantah Aluna.
Mawar meredam emosinya yang naik ke ubun-ubun dengan menggigit ujung lidahnya. "Itu kewajiban ibu."
"Kalau keadaan memang sulit tak usah dipaksakan, tak sekolah juga masih bisa hidup dan makan." Sejatinya Aluna tak ingin berkata kasar, tapi tabiat sulit dirubah.
Mawar diam, dia kewalahan merawat semuanya seorang diri. Tak marah, Mawar justru memeluk putri sulungnya. "Maafkan ibu nak, mungkin ibu terlalu sibuk dengan dunia hingga salah mendidik mu kala itu."
Mengurung diri di kamar, Aluna merenungi kebodohan sikapnya selama ini. Gadis tanggung dalam proses mencari jati diri, salah langkah lantas begitu jauh terjerumus. Aluna anak baik-baik, hanya saja pergaulan dan rasa gengsi begitu tinggi. Dia tak ingin dibilang beban keluarga, seperti saat ia tak sengaja dengar saat ayah dan ibunya mengobrol tempo itu. Baru beranjak dewasa saja tak enak, penuh pertimbangan dan rasa penyesalan. Harusnya Aluna hanya memikirkan beramin dan sekolah, tapi beban setiap anak berbeda. Kini Aluna memikirkan perasaan orangtuanya. Dia takut ditinggal mati orang-orang terdekatnya. Karena belum lama ini Aluna kehilangan adik bungsunya juga karena sakit yang tak tertolong.
"Aku berangkat." Aluna pamit tanpa menyentuh sarapan.
Mawar tersenyum tipis, siapa sangka anaknya terlihat seperti wanita untuk pertama kalinya saat sekolah. "Tak sarapan?"
"Aku telat kalau sarapan, lagian daftarkan sekolah sudah seperti mengusir anak, jauh sekali." Dumal Aluna.
"Yasudah bawa ini, makan di perjalanan." Mawar membekali Aluna dengan sebungkus roti.
"Isi coklat?" Mau mengkhianati jati diri seperti apapun, nyatanya Aluna tetaplah anak manja ibunya.
"Hmmm, rasa favorit mu." Sahut Mawar.
Aluna senang ibunya masih ingat apa yang di sukai olehnya. Menyalimi tangan mawar. "Nanti tunggu aku kalau mau ke rumah sakit. Assalamualaikum."
Mawar melihat Aluna pergi dengan mengucap salam. Beban berat di pundaknya terasa menguap begitu saja. Aluna tak pernah bertingkah manis selama setahun belakangan ini. Aluna sibuk dengan teman-teman seperkumpulannya yang terkesan menyimpang dari norma masyarakat. Rambut Aluna yang indah dan terawat, berubah jadi cepak layaknya pria, tak hanya penampilan, gaya dan tingkahnya dibuat-buat serupa dengan anak laki-laki. Mawar bersyukur, semuanya butuh proses dan ini langkah awal yang baik berdasarkan insting seorang ibu.
Disisi lain Aluna yang baru saja tiba di kelas sepuluh tujuh, kelas yang tercantum namanya, celingukan tak jelas. Terbiasa bergaul dengan anak laki-laki membuatnya bingung untuk bertegur sapa dengan anak gadis sepantaran. Matanya terus memindai, hingga deret ketiga dari kursi kedua dekat pintu, tak sengaja bersitatap dengan anak perempuan yang sedang celingukan dan duduk seorang diri. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan.
Aluna menengok ke belakang, menyangka kalau anak itu sedang melambai pada yang lain, nyatanya kosong. "Aku?"
Gadis itu mengangguk, justru berjalan menghampiri Aluna yang masih kebingungan. "Ayo duduk denganku."
"Ah, e..boleh." Aluna masih tak percaya semudah itu mendapat teman.
Kini pantatnya sudah duduk di bangku samping gadis yang belum dia kenal. "Aluna, kau siapa?"
"Tina, senang berkenalan denganmu, semoga kita bisa berteman dekat. Baik-baik denganku ya, aku tak punya teman dari SMP yang daftar di sekolah ini soalnya." Beber Tina.
"Sama." Aluna tak tahu pastinya, hanya asal tebak saja.
"Kenapa kau mendaftar disini?" Tina jelas sekali mencoba mengakrabkan diri dengan basa-basi.
"Tak diterima sekolah negeri." Jujur Aluna.
"Emm begitu, kalau aku memang permintaan orangtua." Tanpa ditanya balik Tina memberitahu.
"Oh begitu." Tolong jangan salahkan Aluna yang tak bisa menyambung obrolan.
"Aku pemalu dan sulit mencari teman, tolong jaga aku baik-baik ya." Pinta Tina penuh antusias diri.
"Sama." Memang dasarnya Aluna tak bisa diandalkan dalam hal mengobrol dengan teman sebaya.
Hari itu berlangsung singkat, Aluna senang karena hanya melihat dimana mereka ditempatkan. Setelah masuk dan menemukan partner duduk, diberi himbauan dan rangkaian kegiatan orientasi satu minggu ke depan. Lantas diperbolehkan pulang dan menyiapkan keperluan orientasi hari esok.
"Bagaimana hari pertama mu di SMA?" Mawar menanti anaknya kembali dari sekolah
"Biasa saja." Ya seperti sekolah pada umumnya.
"Kau ini ditanya selalu kaku jawabnya, yasudah ayo tempat ayah." Seru Mawar.
"Ganti dulu." Tawar Aluna.
"Tak perlu, ayo cepat nanti keburu Karin nangis." tadi dititipkan pada neneknya yang menjaga di rumah sakit.
orangtua macam apa yang melarang anaknya ganti baju sekolah dan langsung pergi. Ibunya sama sekali tak patut di contoh. Dengan perut keroncongan karena tak asupan tambahan sebagi teman si roti, Aluna tetap ikut ibunya dengan menggerutu.
Bersambung
Byurrr....
Tep, racikan air berwarna kecoklatan rasa debu, pembersih lantai dan jejak sepatu sedikit tertelan dalam mulut. Meludah otomatis, melotot tak percaya, pelajaran belum di mulai dan Aluna harus basah kuyup. Menelisik siapa penyebab kesialan pagi ini, setelah tahu Aluna ingin melayangkan bogem mentah namun tertahan karena orang itu lebih dulu menghampirinya dengan drama belas kasih.
"Astagfirullah, Aluna maaf aku kira tak ada orang." Eva mengelap tubuh Aluna yang kena siram serampangan dengan serbet di tangan.
"Hachim....Hachim." Seketika bersin-bersin, Aluna mulai curiga dengan lap yang digunakan Eva.
Mencegah tangan Eva yang aktif membersihkan sana sini. "Udah gak usah di lap, gak guna."
"Ya Allah Aluna maaf ya, aduh gimana dong ini, lagian kenapa sih lewat gak bilang?" Meski salah Eva tetap mencari pembenaran.
Aluna ingin menangis saja rasanya, kenapa harus di hari Senin, dia pakai baju putih abu-abu, sangat merepotkan mencucinya nanti. "Eva kau bisa pel kembali lantai ini, aku harus ke toilet."
"Yasudah, maaf ya aku tak bisa menemani." Timpal Eva dengan raut cemas.
Aluna melepas jilbab dan seragamnya, mengambil air bersih guna membasuh wajahnya yang terasa kotor. melihat jilbab abu-abunya tak begitu basah, beralih ke baju yang sepertinya tak bisa di selamatkan. Mengambil jaket yang sengaja disimpannya dalam tas. Melepas kaos dalam yang turut basah, Aluna membalut dirinya dengan jaket tersebut. Mengenakan jilbab secara asal karena tak ada cermin, lalu merapikan semuanya terburu karena bel sudah berbunyi.
"Arghhh sial." Masalah apalagi kali ini, pintu kamar mandi tak bisa dibuka.
"Halo, apa ada orang di luar?" Monolog Aluna tanpa sahutan.
"Duagh....duaghhhh....duaghhh." Aluna menggedor pintu kamar mandi dari dalam.
"Hah, terpaksa harus panggil bantuan." Jemari Aluna sibuk mengetik pesan yang akan dikirimkannya pada Tina.
Menunggu beberapa menit tak ada balasan, Aluna menghubungi Tina, kali ini Aluna menelponnya. "Berdering, lantas kenapa tak di angkat."
Menepuk jidat sendiri cukup santar. "Aih, pasti upacara."
Pupus sudah harapan Aluna untuk segera keluar dari kamar mandi. Menikmati keterjebakkan itu dengan memasang headset di telinga, lantas mendengarkan lagu metalik kegemarannya. Harus bersabar sampai upacara selesai, barulah dia bisa keluar. Harapan besar, mengingat lepas upacara murid pasti berbondong ke WC untuk sekedar buang air kecil atau bermalas-malasan dengan pura-pura cuci tangan dan lain sebagainya.
Tanpa sadar airmatanya merembes, Aluna begitu terpukul dengan kejadian merugikan ini. Dirinya baru saja ingin memulai sesuatu yang baik, namun jalan yang di tempuhnya begitu sulit. Upaya maksimal untuk bisa ikut upacara, namun harus gagal karena insiden tak terduga. Belum lagi guru BK yang sudah mewanti-wanti agar ikut upacara kali ini, dikarenakan sudah empat kali mangkir dari upacara.
"Kenapa begitu sial, kenapa juga harus hari Senin semuanya terjadi." Monolog Aluna.
"Kenapa harus terjadi saat aku ingin memperbaiki diri, dan kenapa tak ada yang mengerti semua begitu sulit untukku." Aluna semakin terpuruk.
Menarik nafas cukup dalam, Aluna segera menghapus jejak airmata, lantas menguatkan diri dengan tersenyum. "Kenapa harus curhat di WC, dikira setan sini aku curhat dengan mereka kan gawat."
Sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba Aluna dikejutkan dengan lampu toilet yang tiba-tiba padam. "Aduh, jangan bilang setannya ngambek nih."
Menyalakan senter ponsel, dia harus bersandar dalam kesendirian. Kakinya mulai pegal, tak mungkin juga dia jongkok seolah akan buang air besar di atas kloset. "Kenapa lama sekali selesainya."
"Ah, sudah satu jam, harusnya upacara selesai empat puluh menit saja." Gerutu Aluna.
"Pegel juga lama-lama." Memutuskan untuk duduk di tepian lantai yang tak basah.
Memeluk lutut yang ditekuk, Aluna menenggelamkan kepalanya diantara lutut itu. Hari ini bukan kali pertama dia dikecewakan keadaan. Meski terbiasa, rasanya tak adil saja. Sungguh jika diberi pilihan, Aluna memilih untuk tidur di kasurnya daripada berangkat sekolah. Namun kewajiban sebagai seorang pelajar membuatnya bertekad untuk sekolah meski tak optimal mengikuti pelajaran karena kantuk melanda. Naas, bukannya tidur di kelas Aluna harus rela tidur di dalam toilet dalam keadaan gelap. Ya, Aluna tertidur karena terlalu lama menunggu pertolongan.
Brakkkkk
Aluna terperanjat, nyaris terkena pintu yang di dobrak paksa dari luar. "Kau...."
Bondan menarik Aluna keluar dari kamar mandi. "Kenapa tak berteriak dan cari pertolongan, kenapa kau begitu bodoh?"
Aluna meringis, karena genggam jemari Bondan begitu sakit. "Ketiduran."
"Bisa kau tidur dalam kondisi seperti itu hah?" Teriak Bondan.
"Kenapa memarahi ku, memangnya aku sengaja mengunci diri di toilet, inginnya juga aku keluar daritadi. Ngomong-ngomong, tolong lepaskan tanganku, sakit." Sungut Aluna.
Tersadar kalau dirinya nyaris melukai Aluna. "Maaf, ayo pulang."
"Kau saja yang pulang, aku masih harus sekolah." Tolak Aluna.
"Tolong perhatikan sekitar, semua sudah pulang tersisa kau di kamar mandi." Pekik Bondan.
Aluna mengikuti saran Bondan, dan benar saja tak ada sepotong orangpun. "Hah, serius? Berapa lama aku tidur?"
"Kau latihan mati, bukannya tidur." Bondan menyentil kening Aluna.
"Aduh, sakit tahu." Mengusap bekas sentilan Bondan.
"Aku antar pulang!" Putus Bondan.
"Eits, tak mau. Aku mau naik angkot saja." Aluna tak ingin menambah masalah jika pulang diantar Bondan.
"Cerewet." Bondan menarik paksa Aluna.
"Eh....eh...eh, tunggu dulu." Sekuat tenaga Aluna melawan tarikan Bondan.
"Apalagi?" Kesal Bondan.
"Pintunya gimana?" Aluna menunjuk ke arah pintu kamar mandi yang copot berkat tendangan Bondan.
Bondan tak habis pikir dengan jalan pikiran Aluna, saat seperti ini masih sempat memikirkan pintu yang mengunci dirinya. "Brukkkk, bughh, brukkk...pintu sialan."
"Yak, kenapa semakin di rusak sih." Pusing Aluna, maksud hati agar diperbaiki sedikit malah semakin rusak.
Menghiraukan Aluna, Bondan terus menggandeng Aluna ke parkiran. Sesak dan padat, bahkan sulit untuk dilewati adalah gambaran parkiran sekolah. Namun detik ini, semua melompong, terlihat luar dan sedikit seram. Aluna tersenyum miris, sambil memandangi tangannya yang digandeng Bondan. Tangan lelaki yang kerap menolongnya dalam segala situasi. Terus menyatakan cinta, selalu ditolaknya namun tak berhenti ada untuk Aluna. Miris sekali bukan, harusnya Aluna bisa dengan leluasa membalas cinta Bondan. Tapi sulit, karena Tina lebih dulu menyukainya.
"Naik!" Pinta Bondan.
Aluna berpikir keras, bagaimana dia bisa menaiki motor ninja dengan rok span panjang. "Hehehe, susah."
"Harusnya aku bawa mobil tadi, yasudah ayo kita naik jasa online mobil saja." Ucap Bondan seringan bulu.
"Motormu?" Kadang pikiran orang kaya sulit dimengerti.
"Tinggal saja, sudahlah jangan memikirkan benda mati, kau lebih penting." Ujar Bondan, tak tahu saja dia Aluna berdebar.
"Emmm, sebaiknya kita naik motor mu saja." Tawar Aluna.
Berpikir sejenak, Bondan merogoh tasnya dan mengeluarkan celana olahraga. "Pakai ini!"
Mengambil dengan gesit celana pemberian Bondan, Aluna berlari ke arah kamar mandi untuk ganti. Tak tinggal diam, Bondan mengikuti Aluna. Bondan takut kejadian buruk menimpa Aluna dua kali. Sudah teramat sering hatinya sakit karena Aluna bernasib buruk. Keburukan yang berasal dari taman sekelasnya. Bukan berarti selama ini Bondan diam saja, namun lawannya wanita sulit menang melawan jelmaan ular.
Aluna keluar sedikit tak percaya diri. "Lihat, kedombrongan."
"Hahahah, kau seperti marmut saja." Gemas dengan Aluna, Bondan tak kuasa untuk tak mengusak kepala gadis pujaannya itu.
Tangan Aluna melingkar di perut berotot Bondan, dia lelah dan perjalanan masih cukup jauh. Kepalanya jatuh di pundak Bondan, Aluna sudah ijin lebih dulu melakukan itu. Aluna mana tahu kalau Bondan terasa melayang ke nirwana saat ini. Setengah perjalanan hujan deras mengguyur, Bondan menghentikan motornya di depan sebuah warung.
"Kau kedinginan?" Mata menelisik Aluna yang mengigil.
"Kita trabas saja boleh? Aku rindu kasur ku."
Berdebat tentu saja dilakukan untuk mencapai titik sepakat melanjutkan perjalanan. Selain kedinginan, sejatinya perut Aluna merasa perih, kelaparan. Bagaimana tidak kelaparan jika dia berangkat tanpa menyentuh sarapan, dan pulang pukul lima sore ditambah guyuran hujan. Memang benar dia tak melakukan aktivitas dan hanya terkurung di kamar mandi, tapi bukan berarti bernafas tak perlu energi. Aluna rasa energinya terkuras karena tidur tidak dalam posisi yang tepat.
"Astagfirullah, Aluna kenapa hujan-hujanan nak?" Mawar tergopoh melihat anaknya berdiri di depan pintu utama.
"Assalamualaikum, aku pulang Bu....
Brughhhh
"Astagfirullah!" Jerit Mawar, melihat anaknya tiba-tiba ambruk. Aluna pingsan.
Bersambung
Pikiran menjelajah ke seantero bumi, mencoba mencari celah dimana dia berpijak nantinya. Raga terbaring dengan selang infus di tangan, dahi berkerut tak henti memikirkan perkataan Bondan tempo hari. perkataan yang sulit diterima meski kemungkinan benar adanya. Buruk sangka hal lumrah bagi manusia, apalagi Aluna masihlah bocah. Ego belum dikendalikan dan dikelola dengan baik. Salah menempatkan perkara bisa berakibat fatal di kemudian hari, dan Aluna tak ingin semua terjadi.
"Sayang, ibu tinggal ke pasar sebentar ya, Karin ibu bawa." Mawar mengelus tangan putrinya yang kuat kini sedang lemah.
"Iya Bu." Sahut Aluna lirih.
Mawar mencium kening anaknya. "Terimakasih karena sudah mengerti, ibu nggak lama. Ada pelanggan yang pesen dari tempo hari, nggak bisa dibatalkan begitu saja, maaf ya sayang."
Aluna tersenyum menanggapi itu. "Hmm."
"Cepat sehat kak, aku sekolah dulu ya." Karin mendekati Aluna, lantas memberi pelukan hangat.
"Sekolah yang pintar." Aluna mengusak gemas rambut adiknya.
"Yakkkkk! Berantakan tau." Bibir Karin manyun.
Mawar tersenyum melihat keduanya akur kembali setelah sempat perang dingin karena ayahnya jatuh sakit. "Yasudah ayo berangkat, nanti telat."
Orang sakit sensitivitas meningkat, ditinggal orangtua bekerja Aluna menangis di balik selimut. Tak sangka ibunya lebih memilih bekerja daripada menemaninya yang sekedar ke kamar mandi saja sempoyongan. Merasa dianaktirikan karena Karin lebih diutamakan sedari lahir. Mungkin salah, namun Aluna yang merasa demikian, menurutnya baik ayah maupun ibunya cenderung lebih perhatian pada Karin. Aluna pernah menanyakan hal tersebut, jawaban karena Karin itu lemah dan mudah sakit jadi harus ekstra penjagaan. Orangtuanya lupa, bahwa Aluna juga seorang anak, meski lebih tua Aluna butuh perhatian juga.
"Hahaha, lucu sekali hidupku, tak dimana tempat selalu merasa sepi." Monolog Aluna di balik selimut.
Tangisnya tak terbendung, menyibak selimut karena pasokan oksigen menipis. "Bisa-bisanya aku berharap lebih, padahal sudah tahu pasti ujungnya seperti ini."
"Tahu begitu aku berangkat sekolah saja." Setidaknya di sekolah dia dikelilingi banyak manusia.
Aluna memegangi perutnya yang kram dan melilit. "Nasib baik, datangnya kenapa harus hari ini."
"Bagaimana ini?" Panik Aluna, karena saat meraba celana bagian pantat, ada bau amis disana.
"Arghhhhhh bagaimana aku bisa pakai pembalut dengan tangan satu." Pekik Aluna.
Tertatih namun pasti, Aluna memperbaiki posisi tubuh. Jika tadi sibuk berbaring dan merenungi nasib, kali ini dia berdiri, bersandar pada dinding dekat infus. Ibarat sinetron, mungkin dia sudah lepas selang infus itu dan kabur ke luar negeri lantas kembali saat sukses. Tapi ini bukan tentang perfilman, ini hidupnya yang takut pada jarum suntik. Nekad mencabut paksa infus di tangan, lantas keluar cari pembalut sangat mustahil.
DOrrr.....DOrrr.....dor.....
Aluna menengok ngeri ke jendela kamarnya yang di gedor brutal. "Yakk, kenapa kemari?"
"Hehehehe, buka." Bukannya menyahut, malah menyengir lebar.
"Tak mau, jadi tamu tak sopan sekali lewat jendela." Tolak Aluna.
"Ohh, ku sumpahi mati berdiri mampus kau!" Ancamnya garang.
"Iya-iya." Aluna tertatih menuju jendela.
"Coba minggir dulu ngapa, kau menghalangi jalan masuk!" Usirnya lantas masuk dengan serampangan.
"Kau tak sekolah?" Aluna menelisik temannya masih berseragam lengkap.
"Kau tidak lihat aku berseragam dan mampir kesini?" Galaknya.
"Ya lihat, kau pikir aku buta." Balas Aluna jadi kesal.
"Anggap saja aku sekolah di rumah mu, minggir aku mau numpang tidur." Main nyelonong ke dekat ranjang.
"Astagfirullah, Aluna darah apa itu?" Panik temannya.
"Darahku." Sahut Aluna sembari memegangi kantong infus.
"Kau sakit kronis? Tak sangka sebentar lagi mati. Untung aku mengunjungi mu." Gambaran kalimat seorang yang mengaku teman.
"Cuih, tak mungkin mati sebelum ku kalahkan dirimu dalam semua bidang." Sanggah Aluna.
Vebby, teman kecil Aluna yang menempel kemanapun. Sayang harus dipisahkan karena Vebby lolos seleksi masuk SMA negeri sedang dirinya tidak. Kelakuan sama minus, bedanya Vebby anak orang kaya. Dia anak orang terpandang di desa, makanya banyak yang tak suka kala Vebby berteman dengan Aluna. Masyarakat takut Aluna membawa pengaruh buruk bagi Vebby. Tak tahu saja mereka, kalau semua ide nakal berasal dari Vebby.
"Jorok sekali sih, aih untung seragamku tak kena darahmu." Bawel Vebby.
Mulut mengomel, tangan terampil membersihkan darah kotor Aluna. Selesai dengan urusan seprei bergegas mengurus Aluna. Mencari ganti, mengobrak-abrik lemari sesuka hati, menemukan yang pas dimatanya segera di ambil dan membantu Aluna bersalin. Bersyukur karena siklus menstruasi mereka selang satu atau dua hari. Jadi saat Aluna bilang tak ada pembalut, Vebby dengan tangan ajaibnya membawa pembalut untuk Aluna.
"Sayang kenapa ganti seprei?" Mawar masuk kamar Aluna sesegera mungkin saat kembali ke rumah.
"Sudah pulang Bu?" Aluna yang tertidur ayam langsung bangun.
"Maaf ibu kaget seprei mu ganti tanpa lihat kau sedang tidur. Maaf ibu membangunkan mu nak, iya ibu baru sampai." Mawar membawakan buah apel untuk Aluna.
"Seprei diganti Vebby Bu, tadi darah haid Aluna tembus, sekarang bocahnya sudah sekolah, dia bolos jam pertama dan kedua saja." Tutur Aluna.
"Alhamdulillah, untung ada Vebby. Kau sudah pakai pembalut belum, maaf ibu tak tahu kalau kau sedang datang bulan." Mawar segera mengecek kondisi Aluna.
"Aku sendiri saja tak tahu, oh ya Bu tadi Vebby sudah membantu Aluna pakai pembalut." Terang Aluna.
"Serius?" Ibunya saja tak percaya, pertemanan Aluna dan Vebby layaknya dua gadis dewasa yang saling tulus dalam pertemanan.
Tokk..tokkk....tokkk
"Assalamualaikum." Terdengar salam dari depan rumah.
"Sepertinya ada tamu nak, ibu ke depan dulu ya." Mawar bergegas melihat siapa yang bertamu siang hari begini.
"Waalaikumsalam." Balas Mawar sembari membuka pintu.
"Ibu, perkenalan ini Tina. Saya mau menjenguk Aluna Bu." Gadis lengkap dengan seragam sekolah itu datang seorang diri.
"Oh, iya-iya, em Tina ayo masuk." Mawar bungah, anaknya punya teman istimewa di SMA selain Bondan, dan rela menjenguk.
Membawa Tina langsung ke kamar Aluna, mawar lantas pamit meninggalkan mereka ke dapur. Mawar berencana menyeduh teh hangat dan kue kering untuk Tina, yang datang di kondisi hujan. Sementara itu, di kamar Aluna, Tina memindai ke segala arah. Dia mengamati kamar temannya.
"Aluna aku minta maaf, andai aku tahu kau mengirim pesan saat upacara, maka tak akan seperti ini jadinya." Sesal Tina.
Aluna tak ingin Tina merasa bersalah, toh bukan salahnya juga ia terkunci di toilet. "Bukan salahmu Tina, nasib apes saja hari itu."
"Aku teman sebangku mu, bisa-bisanya aku tak khawatir saat kau tak datang, aku pikir kau tak berangkat hari itu." Tutur Tina.
"Tak masalah, dengan begitu aku jatuh sakit, dan kau bisa tahu rumahku." Senyum Aluna begitu indah.
Tina menggenggam jemari Aluna. "Untung Bondan segera tahu kau terkunci di kamar mandi, dia memang lelaki idaman, sulit sekali menolak pesonanya." Membayangkan rupa Bondan saja wajah Tina berseri.
"Bondan tahu karena ibu menelponnya, mencari aku yang belum pulang. Jadi wajar kalau dia bisa menemukan ku. Maaf karena ingkar janji untuk tak berhubungan dengan Bondan." Aluna saja masih tak percaya, dari sekian banyak manusia kenapa harus Bondan yang menolong.
"Apasih, aku justru senang kau selamat, jujur aku memang suka padanya tapi masa teman sendiri sedang sulit tak boleh ditolong, meski sedikit cemburu, hehehe." Ujar Tina.
"Ngomong-ngomong kau dengan siapa kemari?" Aluna kepo, dia harus mengenakan jilbab takut ada anak laki-laki ikut masuk.
"Aku sendiri saja, teman-teman sudah aku ajak tapi tak bisa, mungkin karena sedang hujan." Bohong Tina, karena dia melarang teman sekelas ikut, berkata kalau Aluna tak mau dijenguk dan kecewa tak ada yang menolong dia terkunci di WC padahal Eva yang menyiramnya dengan air bekas mengepel.
"Oh begitu." Kecewa itu bersemayam dalam diri Aluna.
"Iya, maaf ya aku kurang berusaha mengajak mereka." Raut Tina kental akan rasa penyesalan.
"Baguslah mereka tak kesini, nanti ibu jadi repot, kau seorang sudah cukup bagiku." Aluna menenangkan Tina.
"Kau bisa saja, kau memang terbaik Aluna." Tina mengacungkan dua jempolnya.
Keceriaan Tina membuat Aluna serba salah, dia sudah susah payah menghindari Bondan satu minggu ini, namun pupus karena kejadian kemarin. Tak mungkin juga tiba-tiba dia bertingkah seolah tak kenal pada Bondan seperti saran Tina. Karena menurut Tina biasanya laki-laki mudah menyerah dan bosan jika tak ditanggapi. Tina lebih dulu cinta Bondan, bahkan awal masuk saja dia sudah begitu terpanan dengan Bondan. Jatuh cinta pandang pertama mengikat dirinya.
Jika Aluna sibuk mengkhawatirkan Tina dalam pikiran. Tina sibuk mengirim pesan provokator ke teman sekelas. Mengirim pesan suara, bagian Aluna berkata tak apa teman sekelas tak datang takut merepotkan ibunya. Definisi serigala berbulu domba.
"Rasakan, salah sendiri kau merebut cinta Bondan padaku." Lirih Tina.
"Hah, apa Tina?" Aluna tak dengar.
"Cepatlah sembuh kawan." Ucap Tina.
"Sepertinya besok aku sudah pulih, karena dapat dorongan semangat darimu." Bangga Aluna tanpa tahu isi hati temannya.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!