Gendhis yang sedang bermain dengan putri sang kakak, dikejutkan dengan kedatangan ibunya. Ibu Novi duduk di sofa yang ada di hadapan gadis itu.
"Ghendis, apakah kamu sangat menyayangi Alice?" tanya Ibu Novi.
"Pertanyaan macam apa ini, Bu? Tentu saja aku sangat menyayanginya. Tak perlu Ibu tanyakan itu," balas Ghendis.
"Jika kamu memang menyayangi Alice, menikahlah dengan Aksa. Jadilah pengganti Grace. Hanya kamu yang pantas menjadi ibu untuk ponakan kamu itu. Ibu tak percaya dengan gadis lain. Mamanya Aksa juga berpikir begitu. Kamu wanita satu-satunya yang pantas menjaga Alice dan bisa menyayanginya seperti anak sendiri," ucap Ibu Novi.
Ghendis sangat terkejut dengan permintaan ibunya itu. Walau pun dia sangat menyayangi Alice, tapi untuk menjadi ibu pengganti bagi sang ponakan itu tak pernah dia bayangkan. Apa lagi dia harus menikah dengan Aksa, kakak iparnya yang irit bicara dan juga sangat dingin.
Ghendis saja tak tahu, bagaimana bisa Grace mencintai pria seperti Aksa. Sangat irit bicara dan juga sangat dingin pada siapa pun.
"Bu, aku tak bisa. Lagi pula ibu tahu, jika aku memiliki seorang kekasih. Aku dan Dicky telah merencanakan pernikahan," jawab Ghendis.
Dia dan Dicky telah berpacaran selama lima tahun. Sejak mereka masih bersekolah. Telah merencanakan pernikahan tahun depan.
Ghendis lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Alice dengan sang ibu. Namun, baru saja kakinya melangkah, suara bocah itu yang memanggil namanya, membuat kakinya berhenti bergerak.
"Mimi ...," panggil Alice dengan suara cadelnya. Bocah itu memang memanggil Ghendis dengan sebutan Mimi.
"Ada apa, Sayang?" tanya Ghendis dengan suara lembut. Dia memang sangat menyayangi bocah itu. Sejak bayi itu lahir, dia ikut menjaganya.
Grace, kakaknya Ghendis meninggal saat melahirkan sang putri. Sejak hari itu, dia dan sang ibu membantu Aksa menjaga putrinya.
"Ikut ...," ucap Alice dengan merentangkan kedua tangannya minta di gendong.
Ghendis menarik napas dalam dan membuangnya. Padahal saat ini perasaan dan hatinya sedang tak nyaman. Ingin menyendiri. Namun, apakah dia sanggup menolak permintaan bocah itu.
Ghendis kembali berjalan mendekati sang ponakan. Dia menggendong bocah berusia dua tahun itu. Sang bocah tertawa dalam pelukannya dan mencium pipi gadis itu berulang kali.
"Kamu lihat sendiri, Ghendis. Dia begitu menyayangi kamu. Dia juga sangat terikat denganmu. Apakah kau tega membiarkan dia dijaga oleh wanita lain? Apakah wanita itu bisa menyayangi Alice seperti kamu?" tanya Ibu.
"Bu, anggap saja aku menerimanya. Apakah Ibu yakin Mas Aksa juga bisa menerimaku? Ibu tahu sendiri jika dia sangat mencintai Mbak Grace. Tak ada yang bisa menggantikannya," ucap Ghendis.
"Aku menerima kamu sebagai ibu pengganti untuk putriku," ucap Aksa dengan suara datar.
Entah sejak kapan pria itu ada diantara mereka. Melihat Aksa, sang bocah tertawa riang.
"Papi ...," panggil Alice. Dia memberontak minta turun dan ingin di gendong pria itu. Aksa mendekati Ghendis dan meraih putrinya.
"Kamu dengar sendiri, Ghendis. Aksa setuju kamu jadi ibu untuk Alice. Apa lagi yang kamu pikirkan. Kedua orang tua Aksa juga setuju kamu menjadi menantu mereka menggantikan Grace," ucap Ibu lagi.
"Bu, aku sudah punya kekasih," jawab Ghendis dengan penuh penekanan. Dia lalu berjalan masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Gadis itu sedang tak ingin di ganggu.
Bukan pertama kalinya sang ibu meminta dia menikah dengan Aksa. Bagaimana mungkin dia menikah dengan pria kutup es itu. Selama lima tahun pernikahannya dengan Grace, tidak pernah dia tersenyum sekalipun dengan Ghendis.
Dia bisa tertawa riang hanya dengan almarhum sang kakak dan ibu kandungnya. Selain dia wanita itu, Aksa akan bersikap dingin.
Selain itu dia juga memiliki kekasih yang sangat dia cintai. Mereka telah merencanakan masa depan bersama.
Pintu kamar di ketuk dari luar. Ghendis yakin itu pastilah ibunya. Terdengar namanya di panggil beberapa kali. Dengan terpaksa gadis itu berjalan mendekati pintu dan membukanya.
"Ibu mau bicara!" ucap sang ibu dengan suara yang tinggi dan penuh penekanan.
Selalu saja begini. Ibu akan marah jika keinginannya tak Ghendis ikuti. Berbeda dengan almarhum Grace, ibunya tak pernah sekalipun memaksakan kehendaknya. Ibu selalu saja mengikuti apa kata kakaknya. Ibu juga akan setuju apa pun yang dikatakan sang kakak.
"Apa lagi yang ingin Ibu katakan? Masih tentang Mas Aksa? Aku sudah katakan, jika aku memiliki kekasih dan kami berencana akan menikah tahun depan," ucap Ghendis.
Dia membuka pintu itu lebar, agar ibunya bisa masuk. Ghendis berjalan menuju sofa yang ada di kamarnya.
"Ibu tak akan pernah merestui pernikahan kamu jika bukan dengan Aksa!" ucap Ibu.
Ghendis terkejut mendengar ucapan ibunya. Air mata tumpah membasahi pipinya. Kenapa dari dulu dia tak diizinkan memilih? Kenapa dia harus selalu mengikuti maunya sang ibu?
Saat mau mengambil jurusan kuliah dulu, dia juga harus mengikuti kata ibunya. Ghendis yang menyukai seni, ingin kuliah di kesenian. Namun, sang ibu memaksanya mengambil ekonomi. Dengan ancaman, dia tak akan dikuliahkan jika masih ngotot mengambil seni.
"Bu, apakah aku tak boleh memilih? Untuk masa depanku saja semua ibu atur. Kali ini saja, aku mohon Bu. Izinkan aku memilih pendamping hidupku," ucap Ghendis dengan memohon.
"Kamu tidak ada pilihan Ghendis. Apa kamu lupa, jika semua biaya hidup kita sejak ayahmu meninggal di tanggung oleh Aksa. Sebagai ucapan terima kasih, kamu bisa menikah dengannya. Apa kurangnya Aksa. Banyak wanita di luar sana yang ingin jadi istrinya. Seharusnya kamu bersyukur dia memilihmu!" ucap Ibu dengan suara yang mulai merendah dan memohon.
"Apa memang aku tak boleh memilih, Bu?" tanya Ghendis lagi.
"Jangan egois, Ghendis. Ini semua juga demi Alice. Jika dia memiliki ibu tiri, ibu takut dia tak lagi disayangi. Masa depan Alice ada ditangan mu. Kamu pasti ingat betapa sayangnya Grace denganmu, sekarang saatnya kamu membalas semua kebaikan kakakmu. Apa yang harus ibu lakukan agar kamu mau menerima Aksa. Apa ibu harus memohon dan berlutut," ucap Ibu.
Wanita itu lalu turun ke lantai dan berlutut di hadapan sang putri. Tentu saja Ghendis tak akan mau ibunya memohon. Dia lalu mendekati sang ibu, memintanya berdiri.
"Bangunlah, Bu! Jangan memohon begini," ucap Ghendis. Gadis itu meminta sang ibu berdiri, tapi tak digubris wanita itu.
"Ini akan terus begini, sampai kamu bersedia dan mau menikah dengan Aksa," ucap Ibunya.
Ghendis menarik napas dalam. Tak mungkin dia membiarkan sang ibu memohon padanya. Dia tak mau dikatakan anak durhaka. Akhirnya dengan terpaksa dia menjawab.
"Baiklah, Bu. Aku bersedia menikah dengan Mas Aksa," ucap Ghendis dengan suara lirih.
...----------------...
Hari ini di rumah kediaman orang tuanya, Ghendis akan melangsungkan pernikahan dengan kakak iparnya, Aksa. Dia akhirnya menyetujui pernikahan ini karena tak mau ibu berlutut dan memohon padanya.
Sudah dua hari Ghendis mematikan ponselnya. Dia tak siap menerima chat atau telepon dari kekasihnya Dicky. Gadis itu merasa sangat bersalah pada pria yang telah lima tahun ini menjalin hubungan dengannya.
Air mata tak bisa Ghendis tahan. Impian untuk membina rumah tangga dengan kekasih hati harus kandas.
Ibu Novi masuk ke kamar. Melihat sang putri menangis, dia lalu menghampiri. Sebenarnya tak tega melihatnya. Namun, ini harus dia lakukan agar Aksa tak jatuh ke pelukan wanita lain. Novi merasa sayang jika menantunya itu memilih orang lain, takut hartanya yang melimpah tak turun ke sang cucu.
"Hapus air matamu, Ghendis! Apa kau ingin seluruh dunia tahu jika kamu terpaksa menikah dengan Aksa? Seharusnya kamu bersyukur Aksa memilihmu sebagai pendamping. Di luar sana banyak wanita yang menginginkan posisi kamu ini!" ucap ibu dengan penuh penekanan.
Tanpa kata, Ghendis menghapus air matanya. Tak ada guna menjawab ucapan sang ibu, justru akan membuat ibunya makin meradang.
Setelah selesai berhias, Ghendis di bantu sang perias keluar kamar menuju ruang tamu. Di mana telah berkumpul tamu undangan yang terdiri dari keluarga dan tetangga terdekat saja.
Ghendis memang meminta tak ada pesta besar-besaran. Dia tak mau Dikcy tahu tentang pernikahannya. Gadis itu belum siap bertemu sang kekasih, karena tak tahu alasan dia menikah dengan pria lain dan mengubur mimpi mereka.
"Maafkan aku, Dicky. Aku telah mengingkari janji kita. Aku terpaksa menerima pernikahan ini. Aku tak memiliki pilihan lain. Maafkan aku, Sayang, ku harus pamit pergi. Sampai di sini kisah kita jalani. Aku berharap dirimu bisa mengerti. Selamat tinggal kekasih hati. Maaf jika aku mengecewakan kamu. Membuat kamu kesal. Tapi percayalah, aku sangat mencintaimu. Dan sesungguhnya aku takut kehilanganmu. Tapi aku tak punya pilihan. Aku harus menerima pernikahan ini. Aku harap kamu bisa mengerti, Sayang."
Ghendis duduk berdampingan dengan Aksa. Di depan pria itu ada wali hakim yang akan menikahi mereka. Ijab kabul pun segera di mulai. Dengan satu kali ucapan dan satu kali tarikan napas Aksa mengucapkannya. Saksi mengatakan pernikahan sah.
Saat ini Ghendis dan Aksa telah resmi menjadi suami istri. Air mata tak bisa gadis itu tahan. Semua orang mungkin mengira dia menangis karena terharu dan bahagia. Seperti kata ibunya, banyak wanita yang ingin menjadi istri seorang Aksa, pria tampan dan mapan. Namun, pesonanya tak membuat Ghendis jatuh cinta karena dia hanya menganggap pria itu sebagai kakak iparnya.
Setelah ijab kabul berlangsung, para tamu undangan menyantap hidangan yang di sediakan. Ghendis duduk sendirian bersanding di pelaminan. Sedangkan Aksa duduk bersama rekan kerjanya. Gadis itu mencoba menahan sebak di dadanya.
"Jangan menangis. Tidak ada yang peduli. Tersenyumlah, tidak ada yang peduli bagaimana perasaanmu. Saat canggung adalah ketika kamu berbicara dan kamu menyadari tidak ada yang peduli dengan apa yang kamu katakan. Tidak ada yang peduli, mereka hanya berpura-pura. Pikiranku membunuhku, tapi tidak ada yang peduli."
Pesta berlangsung hingga sore saja karena tamu memang tidak banyak. Aksa dan Ghendis masuk ke kamar pengantin. Kamar tamu yang biasa Grace dan Abang iparnya itu tempati jika berkunjung ke sini.
Alice tidur dengan ibu. Tadi Ghendis ingin mengajak ponakannya tidur bersama mereka, tapi ibu melarang.
Aksa masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Setelah selesai mandi dan memakai piyamanya, pria itu langsung naik ke ranjang membaringkan tubuhnya.
Ghendis lalu masuk ke kamar mandi dan juga membersihkan dirinya. Setelah mandi dan memakai baju tidurnya gadis itu keluar dari kamar. Dia berdiri terpaku memandangi Aksa yang terbaring di atas ranjang. Dia tak tahu harus bagaimana. Apakah tidur di samping pria kutup utara itu?
"Kenapa kau memandangi aku seperti itu?" tanya Aksa dengan wajah datar.
"Aku ngantuk, mau tidur," jawab Ghendis dengan lugunya.
"Tidur di sofa. Jangan di ranjang ini. Aku tak mau tempat Grace di isi wanita lain. Kau harus ingat, aku menikahimu hanya untuk Alice, bukan menggantikan posisi Grace di hati ini," ucap Aksa dengan penuh penekanan.
Ghendis merasakan hatinya bagai tertusuk belati mendengar ucapan pria itu. Apakah dia pikir, aku bahagia dengan pernikahan ini? Aku juga menikah karena terpaksa. Itu yang gadis itu ucapkan dalam hatinya.
Dia berjalan menuju sofa yang ada di dekat jendela. Membaringkan tubuhnya di sana. Tanpa terasa air mata jatuh membasahi pipinya yang putih mulus.
Aku seorang anak perempuan yang sedang menyembunyikan rasa sakit yang sedang dirasakan dalam dirinya. Aku yang setiap malam menangis tanpa suara. Seorang anak yang berusaha menguatkan diri sendiri tanpa ada yang tahu keadaannya. Anak perempuan yang berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja, padahal dia sendiri ingin melarikan diri dari hidupnya sendiri. Dia yang berusaha terlihat baik-baik saja di depan semua orang padahal dia dalam keadaan down. Begitu kerasnya hantaman yang menabrak pikiran dan hatinya sehingga dia sendiri kehilangan arah. Kemana dia harus berlindung? Siapa yang dapat memberikan rasa aman? Anak perempuan yang selalu memeluk lukanya sendiri. Anak perempuan yang selalu menopang dirinya sendiri. Dia yang selalu berusaha untuk kuat sendiri.
...----------------...
Pagi hari seperti biasa, Ghendis bangun dan membantu ibu memasak buat sarapan. Setelah mandi gadis itu langsung menuju dapur.
Ibu dan bibi telah mulai memasak. Sepertinya ibu memasak cukup banyak. Mungkin karena ada menantu tersayangnya.
"Ada yang bisa Ghendis bantu, Bu?" tanya Ghendis mendekati sang ibu.
"Kamu duduk saja. Pengantin baru pasti capek," ucap Ibu Novi dengan tersenyum.
Ibu mendorong pelan tubuh putrinya, dia meminta Ghendis untuk duduk manis saja. Gadis itu tampak sedikit heran. Tidak biasanya ibu melarang dia membantu memasak. Bukankah selama ini, walau harus bekerja, dia tetap memasak untuk sarapan.
Dari ruang keluarga terdengar langkah kaki menuju dapur. Tenyata si bocah cantik Alice. Ghendis tersenyum dan langsung berdiri, menyusul ponakannya. Gadis itu langsung menggendong dan menghujani dengan ciuman. Di balas dengan hujanan ciuman juga dari bocah itu ke wajah mulus sang tante. Tanpa keduanya sadari, Aksa melihat tanpa kedip dan diam-diam tersenyum.
Inilah salah satu alasan kenapa dia memilih Ghendis sebagai pengganti Grace. Walau banyak wanita yang mendekati dirinya, pilihan terbaik jatuh pada adik iparnya itu.
"Papi ...," panggil Alice dengan suara khas anak-anaknya.
Aksa tersenyum dan mendekati putrinya. Mengambil dari Ghendis dan menggendongnya. Dia tersenyum manis dengan Alice. Tak akan ada yang mengira jika pria itu sangat kaku dan sombong jika melihat dia tersenyum saat ini.
Aksa memangku sang putri saat sarapan. Dia menyuapi makanannya.
"Bu, hari ini juga aku akan bawa Ghendis untuk tinggal denganku di rumah kami," ucap Aksa meminta izin.
"Silakan. Sebagai istri kamu tentu Ghendis harus ikut kemana pun kamu pergi," jawab Ibu Novi dengan semangat.
"Bu, aku juga mau minta izin, mungkin lusa aku akan pergi liburan. Mumpung pekerjaan kantor lagi luang," ujar Aksa selanjutnya.
Ghendis hanya diam mendengar obrolan antara ibu dan Aksa, pria dingin yang telah berstatus sebagai suaminya itu.
"Kamu tak perlu minta izin. Sekarang Ghendis itu telah menjadi istri kamu, mau kamu bawa kemana dan diapakan, itu hak kamu," jawab Ibu Novi.
Ghendis cukup terkejut mendengar ucapan ibunya. Seperti melepaskan tanggung jawab saja.
Setelah sarapan, Ghendis memasukan pakaiannya. Hanya sedikit yang dia bawa. Jika butuh lagi masih bisa ambil ke rumah ini. Jaraknya cuma satu jam perjalanan.
Ghendis juga membawa perlengkapan kantornya. Setelah itu dia pamit dengan ibunya.
"Ghendis, saat ini kamu telah menjadi istrinya Aksa. Ikuti apa kata suamimu. Jangan membantah," ucap Ibu menasehati saat mereka akan meninggalkan rumah.
**
Selama di perjalanan menuju rumah kediamannya Aksa, antara Ghendis dan suaminya tiada obrolan. Hanya suara Alice yang terdengar. Sesekali gadis itu membalas ucapan ponakannya.
Satu jam perjalanan, mereka sampai di rumah kediaman Aksa dan kakaknya Grace. Ghendis hanya beberapa kali ke rumah ini. Saat itu dia kuliah di luar kota.
Memasuki ruang tamu, pemandangan pertama yang dilihat adalah foto pernikahan Aksa dan Grace. Kakaknya terlihat bahagia di dalam foto itu. Melangkahkan kaki makin ke dalam, di ruang keluarga juga terpajang foto pernikahan mereka yang cukup besar dan didampingi foto Alice.
Aksa yang berjalan di belakang Ghendis melihat tatapan gadis itu yang tak berkedip memandangi foto pernikahan mereka. Dia lalu mengatakan sesuatu dengan lantang.
"Foto pernikahan kami akan tetap berada di sana selamanya. Tidak ada yang boleh menurunkan. Itu semua agar Alice tahu wajah cantik maminya! Satu lagi yang harus kamu ingat ... Jangan merubah apa pun di rumah ini, barang-barang itu harus tetap ditempatnya. Ini semua berdasarkan keinginan Grace. Dia yang menatanya. Jadi aku tak mau ada yang pindah letaknya!" ucap Aksa dengan suara penuh penekanan.
"Jangan takut, Mas. Aku sadar diri. Aku tahu posisiku di mana. Bukankah aku kau nikahi hanya sabagai pengasuh Alice. Jadi sebagai pembantu, aku tak akan berani merubah rumah majikanku!" ucap Ghendis dengan suara setenang mungkin.
Ghendis menarik napas dan membuangnya. Dia juga tak ada niat merubahnya. Dia sadar posisinya hanya sebagai pengganti.
"Jaga ucapanmu, Ghendis! Apa kau ingin membuat citraku buruk di mata pelayan?" Aksa bertanya karena Ghendis mengatakan itu di depan bibi.
"Aku tak ada maksud begitu. Biar saja mereka menilai sendiri!" balas Ghendis.
"Bi, antarkan Ghendis ke kamar tamu!" perintah Aksa. Dia tidak ingin gadis itu terlalu banyak bicara di depan pelayan.
Bibi lalu mengajak Ghendis menuju lantai dua dimana kamar tamu berada. Kamar utama ada di lantai dua juga, bersebelahan. Semua kamar di rumah ini ada di lantai dua.
Ghendis memperhatikan isi kamar tanpa kedip. Grace memang memiliki selera tinggi. Dia menyukai kemewahan, berbeda dengan dirinya yang lebih suka dengan kesederhanaan.
Gadis itu membuka jendela kamar. Pemandangan di luar begitu indahnya. Taman dihiasi berbagai bunga. Pasti itu juga kakaknya Grace yang menginginkan. Dia penyuka bunga, berbeda dengan Ghendis yang lebih suka dengan binatang peliharaan seperti kucing.
Ghendis duduk di sofa dekat jendela. Pandangannya entah kemana. Dia tampak termenung.
"Aku saat ini sedang berusaha bersama dengan diri sendiri. Berdamai dengan sesuatu yang tak bisa diubah. Belajar mengikhlaskan sesuatu yang sudah terjadi. Belajar menerima keadaan dan belajar untuk tidak memaksakan sesuatu," ucap Ghendis dalam hatinya.
Membuka ponselnya dan melihat foto-foto kebersamaan dengan Dicky. Pria yang dia cintai. Ghendis masih berpikir bagaimana menghadapi Dicky saat mereka bertemu. Pasti dia sudah mendengar tentang pernikahannya karena salah seorang sahabat pria itu tetangganya.
Ghendis menarik napas dan membuangnya, melakukan itu berulang kali untuk membuat hatinya sedikit tenang. Dia mulai menata barang pribadinya tanpa merubah apapun di dalam kamar itu. Dia sudah berjanji pada Aksa, tidak akan mengganti apa pun.
Setelah itu dia masuk ke kamar dan membersihkan diri. Alice saat ini ada bersama Aksa sehingga dia bisa tenang berdiam diri di kamar. Gadis itu masih terus memikirkan apa yang akan dia katakan saat nanti bertemu sang kekasih.
"Hari ini masih sama. Aku gagal memberikan ketenangan pada diriku sendiri. Kepalaku sedang berpesta ria oleh pikiran, yang datang tanpa di undang. Satu persatu kesedihan dan kekecewaan memenuhi isi kepalaku. Entah bagaimana menyembuhkannya. Satu hal yang pasti sakitnya itu nyata."
"Ada keresahan yang tak mungkin diceritakan. Ada kesedihan yang tak sanggup diungkapkan. Dan ada tangisan di balik sebuah senyuman. Luka yang dalam sering kali tidak terlihat oleh kasat mata. Di balik ketenangan seseorang ada seribu kisah yang tersembunyi. Kalau kamu pernah merasakan hujan di saat langit tidak mendung, berarti kamu tau rasanya air mata turun saat bibir tersenyum."
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!