NovelToon NovelToon

Dendam Pendekar Kembar

Bab 1. Tamu tak Diundang

Halaman rumah keluarga Bisma Wiratama di desa Suryakanta terbentang luas dengan rumput hijau yang segar di bawah matahari pagi yang hangat. Halaman itu dikelilingi oleh pepohonan tua yang menjulang tinggi, tempat yang sempurna untuk latihan bagi Aditya dan Arya. Sinar matahari menyapu permukaan tanah, memancarkan warna keemasan yang mempercantik tiap gerakan mereka.

Aditya dengan rambut hitamnya yang tergerai liar, berdiri tegap dengan pedang kayu di tangan kanannya. Senyum ceria melengkung di wajahnya ketika ia bergerak lincah, melaju dan memutar pedangnya dengan kefasihan. Setiap gerakan Aditya penuh kegembiraan, seperti menari di atas rerumputan yang lembut.

Sementara itu Arya, dengan rambut yang sama hitamnya tetapi terikat rapi, menunjukkan keahlian yang sama gemilangnya. Langkahnya terukur, gerakan pedangnya terkoordinasi dengan sempurna, memancarkan kepercayaan diri yang mengalir begitu alami. Matanya yang cerdas memancarkan fokus yang dalam saat ia

mengamati setiap langkah yang diambil Aditya, sambil menemukan celah-celah kecil yang bisa dia manfaatkan.

Suara pedang kayu bertemu, menghasilkan getaran yang berdentum namun harmonis di udara.

Ayah mereka Bisma Wiratama, yang sedang sibuk di dekat tungku tempa besinya, sesekali melirik ke arah mereka. Tatapan penuh kasih dan bangga mewarnai wajahnya setiap kali melihat kedua anaknya yang penuh semangat dalam latihan mereka.

Ningsih muncul di halaman rumah dengan keanggunannya yang khas sebagai perempuan Jawa. Rambut hitamnya diterpa sinar pagi, memancarkan kilauan yang membuat wajah cantik ibu

muda itu terlihat makin memesona.

“Aditya, Arya, sudah waktunya sarapan," ucap Ningsih dengan lembut memanggil kedua anak kembarnya. Aditya dan Arya berhenti sejenak dari latihan mereka.

“Sebentar lagi,” sahut Aditya. Ningsih sudah paham dengan karakter anak sulungnya yang selalu bersemangat dalam berlatih. Bocah berusia 12 tahun itu memang berkeinginan untuk menjadi pendekar kuat yang kelak bisa berkelana mengelilingi dunia. Berbeda dengan karakter Arya yang cenderung lebih penurut dan selalu bersikap lembut.

“Kalian sudah berlatih dari subuh, kan? Sekarang mari istirahat dulu dan makan pagi,” bujuk Ningsih. Arya yang lebih dulu meletakkan pedang kayunya, lalu berlari menghampiri ibu mereka. Aditya pun akhirnya meletakkan pedang kayunya lalu menyusul Arya.

Bisma dengan cekatan meletakkan alat kerjanya, lalu menatap dengan penuh kasih pada istri dan anak-anaknya. Dalam sekejap, pekerjaannya sebagai seorang pande besi terlupakan. Ia tersenyum lembut, menyambut momen kebersamaan itu dengan penuh kehangatan.

Mereka berkumpul di bawah naungan pepohonan tua di halaman rumah, menikmati sarapan pagi yang disajikan oleh Ningsih. Namun kedamaian itu ternyata hanya sementara— semua berubah ketika sosok Gatot Kusumadi melangkah dengan mantap masuk ke halaman keluarga Wiratama.

Gatot Kusumadi adalah seorang pendekar yang menggabungkan kekuatan dan keanggunan dalam penampilannya. Tubuhnya tegap dan kuat, dengan postur yang kokoh dan berotot. Wajahnya ditutupi oleh jenggot tebal dan alis yang tampak tegas, memberikan kesan bengis.

“Selamat pagi, Bisma Wiratama," ucap Gatot dengan suara yang tenang namun mengandung kepastian. "Saya datang dengan maksud yang penting.”

Bisma menoleh, menatap Gatot dengan sikap hormat namun juga kehati-hatian. Ada

kekhawatiran yang tersirat di matanya saat ia menyambut kedatangan Gatot.

“Selamat pagi, Gatot Kusumadi,” jawab Bisma dengan tegas namun tetap menghormati kedatangan tamu tersebut.

Gatot dengan wajah yang serius, langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Aku menginginkan

pedang yang kuat. Aku dengar kau adalah seorang pande besi terampil di desa ini.”

Bisma terdiam sejenak. Tatapannya berpindah dari Gatot ke arah kedua anaknya yang berada di samping ibu mereka. Ia tahu betul akan peringai Gatot, seorang pendekar tangguh namun juga dikenal dengan kekejamannya. Meskipun Gatot meminta dengan sopan, Bisma bisa merasakan ketegangan dan ancaman yang tersembunyi di balik permintaannya.

Tanpa ragu, Bisma menegaskan, “Maaf, Gatot. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku hanya membuat senjata untuk kebaikan dan perdamaian, bukan untuk kekerasan.”

Suasana yang tadinya penuh kehangatan dan damai tiba-tiba berubah menjadi tegang. Gatot memandang Bisma dengan tatapan tajam yang mengisyaratkan kekecewaan dan ancaman yang tersamar.

“Maksudku baik, Bisma," ucap Gatot dengan suara yang sedikit memaksa. “Tapi jika kau tidak bersedia membantu, maka itu adalah kesalahan besar.”

Bisma meski merasa tertekan, tetap teguh pada prinsipnya. Ia menatap Gatot dengan mantap, menolak untuk menyerahkan pedang yang dibuatnya demi kebaikan dan perdamaian.

Ketegangan mencapai puncaknya saat Gatot tiba-tiba saja menarik pedangnya, mengarahkannya langsung ke leher Bisma. Udara seakan membeku, dan detik-detik berjalan sangat lambat di tengah kekacauan yang tiba-tiba menghampiri kehangatan pagi itu.

Sementara Ningsih, Aditya, dan Arya terkejut dan kaget melihat aksi penuh ancaman itu. Tubuh Ningsih gemetaran, namun dia segera merangkul anak-anaknya untuk berusaha menenangkan mereka.

“Ayah,” pekik Aditya dan Arya bersamaan. Aditya dan Arya, yang sebelumnya penuh semangat dan ceria, kini terpaku pada adegan menegangkan di hadapan mereka.Wajah mereka pucat karena ketakutan.

Dalam sekejap, Bisma dengan gesit meraih golok yang terselip di pinggangnya, mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman yang mendadak dari Gatot. Matanya memancarkan ketegasan dan keberanian, meskipun ia sadar betul akan keunggulan dan kekejaman Gatot.

Pertarungan pun pecah di tengah halaman rumah yang sebelumnya damai. Bisma mengandalkan keahlian dan kecepatannya dalam menggunakan golok, mencoba bertahan dari serangan-serangan mematikan yang dilancarkan Gatot. Meskipun terampil, dia menyadari bahwa lawannya ini jauh lebih berpengalaman dan lebih

kuat.

Aditya, Arya, dan Ningsih menyaksikan pertarungan yang tidak seimbang dengan campur aduk perasaan cemas dan ketakutan. Mereka merasa sedih melihat Bisma berjuang sekuat tenaga namun tampaknya tak mampu menyamai keahlian Gatot.

“Ayah…” Arya menangis karena mencemaskan ayah mereka yang mulai keteteran. Pertarungan sengit itu terus berlanjut, memenuhi udara dengan suara benturan logam yang tajam dan berdentum.

BRUG! Bisma jatuh terkapar setelah Gatot mendaratkan tendangan di perutnya.

“Ayaah!!” Aditya dan Arya memekik dan berlari menghampiri Bisma. Ningsih dengan berurai airmata juga menghampiri suaminya. Bisma bangkit dibantu oleh istri dan kedua anaknya. Bisma mengangkat tangannya, seolah memberi isyarat pada Ningsih kalau dia tidak apa-apa.

“Bawa anak-anak pergi!” pintanya dengan suara yang lemah namun tegas. Matanya menatap istri dan anak-anaknya dengan penuh kekhawatiran dan kasih sayang yang mendalam.

“Tapi, Mas—”

“Cepat pergi!” bentak Bisma yang menyadari situasi semakin membahayakan bagi keluarganya.

Ningsih, tercekat oleh permintaan Bisma, menangis hampir tanpa suara. Namun, dia mengerti bahwa situasi ini semakin berbahaya bagi keluarganya. Dengan perasaan berat, dia mengangguk dalam kepatuhan, memahami bahwa keselamatan anak-anaknya harus menjadi prioritas utama.

“Ayo,” Ningsih menarik kedua Aditya dan Arya.

“Tidak, aku tidak mau pergi tanpa ayah,” Aditya terus menatap penuh kekhawatiran pada Bisma. Arya pun menangis tidak tega pergi tanpa ayah mereka. Namun Bisma menatap mereka penuh ketegasan. “Menurut pada ibu kalian.”

Aditya dan Arya yang mendengar titah ayah mereka akhirnya terpaksa mengangguk. Meski penuh dengan kekhawatiran, mereka memahami keputusan yang diambil oleh orang tuanya. Mereka menatap Bisma dengan airmata yang terus berurai. Ningsih menarik Aditya dan Arya, berusaha membawa keduanya pergi sejauh yang ia bisa.

Bab 2. Kehilangan

Ningsih memimpin langkah cepat ke arah hutan, dengan Aditya dan Arya di sampingnya. Mereka berlari secepat yang mereka bisa, menyusuri jalan setapak yang berliku di antara pepohonan yang rimbun. Namun, dalam keadaan tegang dan penuh kekhawatiran, langkah Ningsih muali melambat saat melihat Arya mulai tersengal-sengal. Fisik anak bungsunya itu memang sedikit lemah.

“Kita istirahat dulu,” ucap Ningsih. Arya yang telah lunglai langsung duduk di atas akar pohon besar dengan napas terengah-engah. Aditya pun duduk di sampingnya. Ningsih meraih selembar daun besar, lalu menggunakan itu untuk menampung air sungai yang mengalir jernih. Ningsih langsung memberikannya pada Arya yang sudah tampak lemah.

“Minum dulu.”

Arya segera minum air tersebut hingga tak tersisa. Ningsih kembali mengambil air untuk Aditya. Sejenak mereka duduk tenang dengan suasana hutan membawa keadaan terasa damai. Pepohonan tua memberikan naungan yang teduh, menyediakan tempat perlindungan dari teriknya matahari. Namun, ketegangan dan kecemasan atas situasi yang mereka tinggalkan belum sepenuhnya hilang.

Dalam keheningan tersebut, Ningsih masih diliputi kekhawatiran atas keselamatan Bisma. Ningsih memandang dua anak lelakinya yang beranjak remaja itu. “Arya, Aditya, kalian harus melanjutkan perjalanan tanpa ibu. Ibu harus kembali dan memastikan ayah kalian selamat.”

Arya dan Aditya terkejut, namun mereka merasakan ketegasan dalam perkataan ibu mereka. Mereka saling pandang, penuh kekhawatiran namun juga penuh pengertian akan situasi yang sulit ini.

“Ibu, tapi orang tadi sangat berbahaya…” ucap Arya dengan cemas, memperlihatkan kekhawatiran mendalam.

Ningsih tersenyum lembut, mencoba menenangkan anak-anaknya. “Ibu tahu, Nak. Tapi ayah kalian dalam bahaya, dan ibu harus memastikan dia selamat. Kalian harus lanjutkan perjalanan ke tempat yang aman. Ibu akan segera bergabung dengan kalian setelah memastikan semuanya baik-baik saja.”

Aditya dan Arya masih terdiam seolah tidak sepenuhnya setuju dengan permintaan sang ibu. Arya bahkan langsung memegangi tangan Ningsih. “Kalau ibu kembali, aku ikut. Aku juga khawatir dengan keadaan ayah,” ucapnya. Ningsih mengusap kepala Arya dengan lembut. “Ibu tahu kau juga khawatir pada ayah, tapi coba mengerti perasaan ayah— mereka sangat ingin kalian terhindar dari bahaya.”

Arya akhirnya terdiam bingung. Ningsih menatap Aditya. “Jaga adikmu,” tegasnya. “Kalian harus pergi ke Padepokan Kusumaloka, di sana kalian bisa minta perlindungan.”

Aditya dan Arya masih terpaku di tempat, enggan untuk meninggalkan ibu mereka sendirian dalam bahaya. Seolah mereka bertekad untuk tidak meninggalkan Ningsih sendirian dalam situasi yang begitu genting.

“Kami tidak bisa meninggalkan ibu sendirian,”  ucap Arya dengan suara gemetar, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran.

Aditya menambahkan dengan tegas, “Kami harus bersama-sama, ibu. Kita tidak boleh berpisah di saat seperti ini.”

Ningsih mengangguk, memahami keteguhan hati anak-anaknya. Namun, dia merasa tanggung jawab yang mendalam untuk memastikan keselamatan keluarganya. “Ibu tahu kalian anak-anak yang baik— yang selalu menyayangi ayah ibu… karena kalian anak baik, tolong patuhi perintah ibu. Cepat pergi ke Padepokan Kusumaloka, bilang kalau kalian anak Bisma Wiratama.”

“Tapi ibu—”

“Jangan membantah lagi, turuti saja apa yang ibu minta,” tegas Ningsih. “Ibu pasti akan menjemput kalian, setelah semuanya aman.”

Aditya dan Arya masih ragu. Mereka memandang Ningsih dengan perasaan yang campur aduk, antara keinginan untuk melindungi ibu mereka dan ketakutan akan situasi yang semakin berbahaya.

“Cepat pergi!” Ningsih mendorong punggung dua anak kembarnya itu, hingga keduanya bersedia berjalan meninggalkannya. Dengan tatapan nanar, Ningsih memandang kedua buah hantinya itu melangkah menjauh, dengan kepala yang berkali-kali menengok ke belakang.

“Pergi!” teriak Ningsih mengiringi kepergian keduanya. Setelah memastikan Arya dan Aditya benar-benar pergi, Ningsih bergegas kembali ke kediamannya yang mungkin hanya berjarak sekitar dua kilometer dari tempatnya berdiri.

Ningsih kembali dengan hati yang berdebar-debar, khawatir akan nasib Bisma. Langkahnya terburu, menyusuri jalan setapak yang dulu mereka lalui bersama. Namun, ketika sampai di rumah, pemandangan yang menyakitkan menanti di depannya.

Bisma terbaring tak berdaya di lantai, tubuhnya terluka parah, dan bekas pukulan serta luka-luka lainnya menghiasi tubuhnya. Gatot, yang masih berada di sekitar, terlihat dingin dan tanpa belas kasihan, menyaksikan kondisi Bisma dengan tatapan dingin yang penuh kekejaman.

Ningsih terdiam sejenak, matanya terbelalak dan hatinya hancur melihat keadaan suaminya yang terluka begitu parah.

“Mas Bisma!” Ia segera berlari mendekati Bisma, mencoba memberikan pertolongan pertama dan meredakan penderitaannya.

Bisma, dengan napas yang terengah-engah, mencoba tersenyum lemah ketika melihat Ningsih datang. Dia menggenggam tangan istrinya dengan lemah, mencoba menenangkan Ningsih meskipun dirinya sendiri terluka parah.

“Kenapa kau kembali? Aku sudah menyuruhmu pergi bersama anak-anak,” bisik Bisma dengan suara yang lemah. Pandangan matanya mulai kabur.

“Aku tidak sanggup meninggalkan kau sendiri, Mas. Apalagi dalam kondisi seperti ini,” jawab Ningsih dengan airmata yang meleleh di kedua matanya.

“Kau harus pergi, Ningsih…”

“Tidak, Mas, kita akan melalui ini bersama-sama," ucapnya dengan suara gemetar namun penuh tekad.

Saat Ningsih masih memeluk tubuh Bisma, tiba-tiba Gatot mendekat lalu menjambak rambut panjang perempuan itu. “Harusnya kau menuruti apa kata suamimu, sehingga kau tak perlu melihat suamimu mati tragis.”

Ningsih menjerit kesakitan, namun dia berusaha tak terlihat gentar. Dia menyentakkan tangan Gatot yang masih memegangi rambutnya. “Sampah sepertimu tidak layak hidup di dunia ini.”

Makian dari Ningsih membuat Gatot naik pitam. Dengan tanpa belas kasihan, Gatot melayangkan tamparan

di wajah Ningsih. Tubuh kurus Ningsih sontak terhempas hingga tersungkur di tanah.

“Ningsih…” pekik Bisma lemah saat melihat istrinya terjatuh. Gatot mendekat pada perempuan berusia 30an itu, lalu menendanginya berkali-kali. Ningsih meringis kesakitan.

“Cukup Gatot! Jangan sakiti istriku lagi,” pinta Bisma. Namun Gatot terus menyerang Ningsih, karena tersinggung dengan ucapannya sebelumnya. Kondisi Bisma terluka parah dan hampir tak berdaya, dengan sisa tenaga terakhirnya, berusaha menyelamatkan Ningsih dari serangan Gatot. Bisma merangkak dan memegangi kaki Gatot yang terus menendang Ningsih. “Cukup!”

“Ini terjadi karena kau keras kepala, harusnya kau menuruti permintaanku, dan membuatkan aku pedang terkuat!” Gatot menarik pedang dari sarungnya lagi, lalu menebaskannya pada leher Bisma. CRASHH! Darah muncurat hingga mengenai wajah Ningsih yang saat itu tergeletak di tanah.

“Mas Bisma!” pekik Ningsih histeris melihat suaminya yang seketika lunglai dan tergeletak tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ningsih dengan tubuhnya yang lemah berusaha merangkak menghampiri tubuh Bisma yang tak lagi bergerak.

“Mas Bisma!” Ningsih histeris saat ia berhasil meraih tubuh Bisma, lalu mendekapnya dengan erat. Dalam keadaan histeris dan penuh keputusasaan,  Ningsih meraih golok yang sebelumnya digunakan oleh Bisma. Dengan susah payah dia berdiri, lalu mengacungkan golong itu pada Gatot.

“Biadab! Aku pasti akan membunuhmu!”

Ningsih berlari menyerang Gatot. Namun, tanpa memiliki latihan atau keterampilan beladiri yang memadai, Ningsih dengan cepat dilumpuhkan oleh keahlian dan kekejaman Gatot. Serangan balasan dari Gatot terlalu kuat dan terampil, menghantam Ningsih dengan kekejaman yang tidak bisa dihindari.

Ningsih jatuh terkapar, tubuhnya terluka dan tak berdaya di tanah. Wajahnya terasa pucat, airmata campur darah mengalir dari luka-luka yang dideritanya. Penderitaan dan keputusasaan tampak terpantul jelas dalam matanya yang memohon belas kasihan, namun Gatot tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.

Bersamaan dengan itu, kedatangan Arya dan Aditya yang mendadak kembali untuk menyusul ibu mereka

membuat moment tragis ini menjadi lebih mendalam lagi. Kedua bocah itu terbelalak dan terguncang, melihat kedua orangtuanya terkapar tak berdaya.

“Ayah! Ibu!” pekik Aditya dan Arya bersamaan.

Bersambung…

Bab 3. Melawan Gatot Kusumadi

Aditya dan Arya awalnya bertemu dengan tabib pria yang sedang melintas di hutan untuk mencari tanaman herbal. Pria muda dengan perawakan tinggi dan berkulit sawo matang itu heran melihat dua bocah laki-laki yang melintasi hutan dengan langkah terseok-seok. Mata mereka sembab, seperti telah mengalirkan banyak airmata. Jaka Wijaya yang tidak tega melihat itu akhirnya menghampiri mereka. Kedua bocah itu menceritakan secara singkat apa yang terjadi, hingga Jaka memutuskan untuk mengantar kedua anak itu kembali untuk menyusul ibunya.

Namun setibanya di depan kediaman Wiratama, mereka disambut dengan sesuatu yang begitu mengerikan. Bisma dan Ningsih terkapar dengan tubuh bersimbah darah. Gatot berdiri angkuh di halaman rumah, sembari menghempaskan pedang panjangnya hingga darah yang membasahi lempengan besi itu terciprat kemana-mana.

“Ayah! Ibu!” penkik Aditya dan Arya bersamaan.

Aditya dan Arya histeris, menangis dalam keputusasaan saat mereka berlari mendekati tubuh ayah dan ibu mereka yang terbaring tak berdaya. Arya mengguncang tubuh Ningsih sambil menangis meraung. Sedangkan Aditya memeluk tubuh Bisma.

“Ayah! Ibu!” teriak mereka di antara isak tangis, dengan suara yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan.

Jaka Wijaya tak pernah membayangkan jika niat baiknya mengantar anak-anak itu sepertinya adalah keputusan yang salah. Karena bisa jadi, keputusannya justru mendorong dua anak itu menuju jurang kematian. Jaka melangkah gontai mendekati dua anak kembar itu, namun dia bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Situasi saat ini begitu menegangkan. Jaka bisa merasakan aura membunuh yang begitu kuat di antara pria kekar dengan jenggot tebal itu.

Aditya dan Arya masih memeluk erat tubuh ayah dan ibu mereka, menangis dan meratap dalam kehancuran yang tak terbayangkan. Dalam kebingungan dan kesedihan yang mendalam, mereka berusaha mencari jawaban atas kekejaman yang baru saja mereka saksikan.

Mereka berbalik ke arah Gatot, yang masih berdiri di dekat mereka dengan ekspresi yang dingin dan tanpa belas kasihan. Dalam suara yang penuh dengan keputusasaan dan ketakutan, mereka bertanya pada Gatot, mencari jawaban atas tindakannya yang kejam.

“Mengapa? Kenapa kau melakukan ini?" teriak Arya, suaranya penuh dengan rasa sakit dan ketidakpercayaan atas apa yang baru saja terjadi.

“Kenapa kau begitu kejam pada orangtua kami? Apa salah mereka?” lanjut Aditya di sela-sela isaknya.

Namun, di hadapan mereka, Gatot tetap diam dan dingin. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya setelah Tindakan keji yang ia lakukan.

Aditya dan Arya, dipenuhi kemarahan atas kekejaman yang telah mereka saksikan. Tanpa ragu Aditya meriah golong yang tergeletak tak jauh

dari tubuh Ningsih yang terkapar.

“Kubunuh kau!” teriak Aditya. Dengan gerakan cepat, Aditya berlari dan mengayunkan golok itu pada Gatot. Namun dengan mudah Gatot menghindari serangan amatiran tersebut. Arya yang tidak ingin melihat kakak kembarnya

berjuang sendirian, akhirnya maju setelah meraih pedang kayu yang sebelumnya dia gunakan untuk berlatih bersama Aditya.

Jaka yang menyaksikan kejadian ini, terkejut melihat tindakan anak kembar itu. Dia menyadari bahwa Aditya dan Arya— bagaimanapun juga tidak sebanding dengan kekuatan dan keterampilan Gatot. Jaka Wijaya merasa khawatir karena menyadari bahwa kedua anak itu tidak akan mampu bertarung dengan Gatot, yang tenaga dalamnya begitu besar, bahkan bisa dirasakan meski hanya

dengan berdiri dengan jarak beberapa meter darinya.

Aditya dan Arya masih terus menyerang Gatot Kusumadi dengan niat yang kuat. Mereka mencoba menghancurkan pertahanan Gatot dengan golok dan pedang kayu mereka, namun setiap serangan mereka bertemu dengan pertahanan yang

kuat dan lincah dari Gatot.

Dalam sekejap, Gatot dengan gerakan yang halus dan cepat menjatuhkan Aditya dan Arya.

“Arrgghh!!” ringis Arya tak sanggup menahan rasa sakit setelah tubuhnya dihempaskan hingga menghantam dinding kayu rumahnya dan berakhir mendarat pada tanah. Arya terbatuk hingga mengeluarkan darah. Aditya yang melihat adiknya terbatuk darah jadi cemas, dengan langkah tertatih dia menghampiri bocah kecil yang memiliki wajah persis dengan dirinya itu.

“Kau masih bisa bertahan?” Aditya membantu adiknya berdiri. Arya mengangguk, wajahnya masih dipenuhi kemarahan. Meski sebenarnya tak banyak

energi yang tersisa. Keduanya kembali berlari menyerang, dengan serangan yang terkesan asal-asalan. Gatot tertawa-tawa, saat serangan bertubi-tubi menerjangnya.

“Ayo, kerahkan semua kemampuan kalian!” seru Gatot terlihat kegirangan. Kadang Gatot sengaja membiarkan Arya dan Aditya menebasnya dengan

senjata mereka, sengaja memamerkan otot-otot tubuhnya yang digdaya, bahkan tak bisa digores dengan senjata paling tajam sekali pun.

“Kenapa cuma seperti ini? Kerahkan lagi kemampuan kalian!” seru Gatot.

Aditya dan Arya tersengal-sengal, namun tak ada niatan untuk berhenti berjuang untuk menyerang Gatot. Meskipun mereka berusaha dengan sekuat

tenaga, kekuatan dan keahlian Gatot jauh melampaui kemampuan mereka. Setiap serangan mereka dengan mudah dipatahkan oleh keahlian Gatot. Bahkan satu hempasan tangan Gatot, membuat dua bocah itu terhempas, terlempar dan berakhir tersungkur tak berdaya di tanah. Meski begitu, sorot mata penuh dendam itu tidak redup dari kedua anak itu.

Melihat tekad bocah kembar itu, membuat Gatot

bersenang-senang. Gatot menunjukkan senyuman yang dingin dan ekspresi senang di wajahnya ketika melihat kemarahan dua bocah itu. Kemenangan mudah yang diraihnya atas mereka tampaknya memberinya kesenangan tersendiri, seolah-olah

pertarungan ini adalah hiburan baginya.

Melihat Aditya dan Arya yang sudah jatuh tersungkur tak berdaya, Jaka Wijaya segera berdiri di depan kedua anak itu. Menghadang Gatot

yang berusaha mendekatinya. Dengan wajah yang serius namun penuh dengan ketegasan, Jaka Wijaya menghadang Gatot, berusaha menghentikan pertarungan yang sudah tidak adil ini.

“Sudah cukup, Kisanak! Apa kau tidak bisa berbelas kasihan— bahkan kepada anak-anak?” tanya Jaka, berharap Gatot menyudahi tindakannya yang kejam pada dua anak itu.

Namun, kata-kata Jaka hanya ditanggapi dengan sikap dingin dan tidak peduli dari Gatot. Gatot tetap berdiri dengan sikap angkuh dan mengabaikan permohonan Jaka.

“Siapa kau?” tanya Gatot.

“Aku Jaka Wijaya, seorang tabib yang kebetulan lewat,” jawab Jaka. Gatot menaikkan sebelah bibirnya. “Aku tidak ada urusan denganmu. Cepat

minggir!” hardik Gatot.

“Sudahi ini. Apa kau tidak malu, melawan dua anak yang tidak berdaya?” ujar Jaka dengan nada yang lebih keras, mencoba membuat Gatot menyadari kekejaman dari tindakannya.

Gatot hanya tersenyum sinis, menganggap situasi ini sebagai sebuah hiburan bagi dirinya. “Jika kau tidak ingin mati, lebih baik jangan ganggu kesenanganku,” ujar Gatot dengan nada mengancam, menunjukkan

keengganannya untuk menghentikan pertarungan.

“Aku tidak akan bisa diam saja melihat anak-anak ini kau siksa,” seru Jaka Wijaya.

Gatot dengan kekejaman yang tak terbendung menghempaskan tangannya dengan kekuatan yang mengerikan, mengirim tubuh Jaka Wijaya terhempas

ke udara. Jaka tersungkur, terhantam keras oleh kekuatan pukulan Gatot.

Arya dan Aditya kaget melihat pria yang membantunya justru terlibat dalam masalah mereka.

Bersambung…

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!